Suasana terasa hening pada perjalanan pulang mereka. Tak ada siapapun yang berniat memulai percakapan. Terlebih memang dari awalpun keadaan sudah mencekam, setidaknya bagi Reva, itulah yang dia rasa.
Sementara Abim sedang mencari kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan. Terutama untuk meminta maaf. Karena tentu saja hal itu harus dia lakukan setelah segala perlakuan buruknya terhadap Revalia sebelum hari ini. Namun dia tak bisa menemukannya. Malah, rasa segan langsung saja memdominasi hatinya.
"Stop." terdengar gadis itu bergumam.
"Ya? Kamu mengatakan sesuatu?"
"Hentikan mobilnya. Saya turun disini." ucap Reva.
"Ap-apa?"
"Hentikan mobilnya, saya akan turun disini."
"Benarkah? Kenapa?"
"Hanya... Hentikan saja mobilnya!" ucap Reva lagi, dan kini suaranya lebih tinggi.
Abim segera memelankan laju kendaraannya, kemudian menepi.
"Apa ada masalah?" pria itu bertanya.
"Saya... Hanya akan turun disini." jawab Reva tanpa menoleh. "Semuanya sudah selesai bukan? Semua bukti sudah anda dapatkan, dan seperti janji saya, begitu selesai saya akan pergi."
"Pe-pergi?"
Reva menganggukan kepala, namun sesaat kemudian dia memalingkan wajah ke arah pria itu, yang kini tengah merasakan hatinya berkecamuk.
"Ke-kenapa?" dia memberanikan untuk bertanya.
"Bukankah seharusnya seperti itu? Seperti yang anda katakan sebelumnya, bahwa saya harus menyingkir begitu semua bukti terbuka. Atau anda akan melaukan sesuatu yang buruk kepada saya dan bayi ini." dia menyentuh perutnya sendiri.
"Dan saya memilih untuk pergi daripada harus membahayakan dia. Anda tidak usah khawatir, kami tidak akan muncul selamanya. Saya janji. Dia bahkan tidak akan tahu siapa ayahnya. Segalanya menjadi hak dan kewajiban saya. Susah senangnya, duka bahagianya, tangis dan tawanya, hidup dan matinya... akan saya tanggung sendirian." ucap Reva dengan seulas senyum yang hampir saja terbit di sudut bibirnya.
Namun hal tersebut terasa bagai mata pisau yang menyayat-nyayat hati Abimanyu. Mendengar gadis itu berkata demikian membuatnya merasa tengah disakiti sedemikian rupa. Bagai luka yang bertambah-tambah.
Menyakitkan.
"Jadi... Terimakasih." dia hampir saja membuka kunci pintu di sebelahnya ketika Abimanyu malah menguncinya secara otomatis.
Reva menoleh dan menatap wajah pria itu yang juga tengah menatap ke arahnya.
"Pak? Bisa anda membuka kuncinya? Saya mau turun." pintanya.
"Kemana kamu akan pergi?" Abimanyu akhirnya berbicara.
"Kemana saja, yang penting menjauh dari anda bukan?"
"Apa yang akan kamu lakukan?"
"Maksudnya?"
"Kamu sendirian, kamu tidak punya apa-apa. Kamu bahkan tidak membawa pakaian ganti ataupun sedikit uang untuk hidup diluar sana."
Reva tertegun.
"Hidupmu akan sengsara."
"Sejak kecil saya berjuang sendirian, dan saya mampu bertahan hingga sejauh ini. Jadi jika itu harus terjadi lagi memang apa masalahnya? Apapun bisa saya lakukan diluar sana."
Kini Abimanyu bungkam.
"Jadi... Bukalah kuncinya. Supaya saya bisa turun dan kita bisa segera berpisah."
Bagai petir yang menyambar kepalanya, ucapan gadis itu semakin membuatnya merasa tak karuan. Dia seperti tengah dituntut hukuman atas kesalahan besar yang diperbuatnya.
Reva merasa tidak sabar, dia kemudian bangkit lalu mencondongkan tubuhnya ke arah kemudi, dimana Abimanyu berada lalu menekan tombol pembuka kunci di sebelah kanan stir. Yang tanpa disadarinya hampir saja membuat Abim memeluknya.
Kunci otomatis pun terbuka setelah bunyi klik terdengar. Dan Reva kembali pada posisinya, lalu segera membuka pintu.
"Saya pamit." ucapnya, dan dia hampir saja keluar ketika Abimanyu meraih lengannya untuk menahan kepergiannya.
Gadis itu kembali menoleh dengan kening berkerut dalam.
"Pak?" ucapnya.
"A-apa... Kamu tidak mau mengambil pakiammu dulu?" Abim berbasa-basi. Meski nyatanya dia memang tengah mencari cara untuk membawa gadis itu kembali ke apartemen miliknya.
"Itu bukan milik saya."
"Tapi kamu tidak memiliki apapun untuk pergi."
"Memang dari awal saya tidak meiliki apapun. Dan itu bukanlah masalah bagi saya."
"Katakan kemana kamu akan pergi, agar aku bisa mengantarmu sekarang juga."
Reva menggelengkan kepala.
"Saya hanya akan kembali ke jalanan diamana anda menemukan saya tempo hari. Tempat saya berasal."
Ucapan gadis itu semakin membuatnya terasa sakit, dan dia sudah tak tahan lagi.
"Reva, pulanglah bersamaku. Aku janji tidak akan melakukan hal buruk kepadamu." ucapnya kemudian.
Dia tak bisa membayangkan gadis itu akan hidup diluar sana sendirian. Tanpa perlindungan, tanpa memiliki apapun untuk mempertahankan hidupnya. Kini bahkan dia harus pula menanggung kehidupan bayi dalam kandungannya.
Namun gadis itu kembali menggelengkan kepala.
"Reva aku mohon, pulanglah bersamaku. Aku tidak bisa memikirkan bagaimana kamu hidup diluar sana, itu Pasti akan sangat sulit. Ditambah sekarang kamu... " tatapannya dia tujukan pada perut Reva.
"Kamu sedang hamil." katanya, dan suaranya melemah saat mengucapkannya. Dia merasa telah menyakitinya.
Ucapannya tempo hari memang tedengar kejam, namun dia tak tahu itu akan berdampak besar. Karena yang diketahuinya keadaannya memang sangat tidak masuk akal untuk menerima kehamilan gadis itu.
"Terimakasih, tapi tidak usah. Saya bisa sendirian." ucap Reva seraya menghempaskan cengkeraman pria itu kemudian bergegas keluar. Dia berjalan tergesa meski tak memiliki tujuan pasti. Namun yang ada dalam pikirannya saat ini adalah pergi menjauh. Seperti yang dikatakan Abimanyu dua minggu yang lalu. Dan memang keinginannya, apapun yang terjadi dia tetap aka pergi. Meski tak tahu arah dan tujuan, dan apa yang akan dia lakukan. Pergi sejauh mungkinlah hal utama yang ingin dia lakukan.
Langkahnya terasa ringan, dan dia dengan senang hati melakukannya. Tak ada sedikitpun rasa takut, dia hanya merasa bersemangat. Membayangkam dirinya akan hidup bebas tanpa tekanan, dan tanpa siapapun yang akan menjadi beban. Hanya dirinya dan anak yang akan lahir beberapa bulan kedepan.
Ya, hanya mereka berdua. Tidak ada lagi para bbajingan yang akan membebani pikirannya. Hanya dia dan anaknya.
"Reva!" Abim malajukan mobil untuk mengejarnya.
"Apa kamu tidak takut?"
"Tidak." dia terus berjalan, dan Abimpun tetap di dalam mobil yang melaju pelan.
"Kamu sendirian."
"Sejak dulu saya sendirian."
Pria itu memutar otak, mencari cara. Lalu sebuah ide muncul di kepalanya.
"Bagaimana jika Razan menemukanmu?" katanya, dan hal itu sukses membuat Reva menghentikan langkahnya.
"Bagaiamana jika dia masih mencarimu dan suatu hari menemukanmu dalam keadaan seperti ini?" katanya lagi, dan diapun menghentikan laju mobilnya.
"Saya... Akan sembunyi." gadis itu kembali berjalan.
"Tapi dia aka tetap menukanmu. Dan mebawu pergi, dan mungkin kali ini dia akan berhasil!" Abim berteriak saat Reva tak kunjung menghentikan langkahnya.
"Ah, ... Sial!!" dia memukul-mukul stir dengan keras. Usahanya gagal membuat gadis itu untuk kembali. Rupanya dia lebih keras kepala daripada yang dibayangkan.
Abim kembali melajukan mobilnya untuk mengejar Reva, dan dia segera membanting stir ke arah kiri untuk menghalangi langkah gadis itu, kemudian segera keluar dan menghampirinya.
"Maafkan aku." akhirnya kata itu keluar juga dari mulutnya.
"Maafkan aku karena telah berkata buruk kepadamu."
"Maafkan juga sikapku karena telah merendahkanmu. Aku hanya tidak tahu."
Reva membeku.
"Reva, pulanglah bersamaku. Biarkan aku mengurus kalian. Biarkan aku bertanggung jawab."
Gadis itu menggelengkan kepala.
"Reva dengar... " Abim mendekat. "Yang ada dalam kandunganmu itu adalah anakku. Jadi biarkan aku bertanggung jawab untuknya."
"Ti-tidak pak...
"Reva!!" pria itu berteriak, dan dia mencengkeram lengan gadis itu dengan kencang.
"Aku harus memastikan dia baik-baik saja, setidaknya sampai dia lahir. Baru aku akan merasa tenang."
"Dia akan baik-baik saja ...
"Tidak! Dia tidak akan baik-baik saja, keadaanmu tidak memungkinkan untuk hidup sendirian, terlebih lagi Razan pasti akan mendapatkanmu. Kamu tahu, sekarang ini dia masih terus mencarimu."
"Benarkah?" Reva menatapnya dengan raut ketakutan.
"Tentu saja, aku ... Menyuruh seseoramg untuk mengawasinya, dan memang benar dia masih mencarimu. Ke bar, ...dan ke ...tempat kerjamu." dia menjawab asal, namun sepertinya idenya kali ini berhasil. Karena Reva tampak berpikir.
"Jadi sebaiknya... Kembalilah dulu ke apartemen. Setidaknya sampai melahirkan." lanjutnya.
"Sampai melahirkan?"
"Ya, Dan setelah itu kamu bisa pergi kemanapun."
Reva masih berpikir.
"Setidaknya aku tahu anaku selamat, dan dia akan baik-baik saja denganmu." sambung Abim, dan dia menangkap sinyal aman. Gadis itu sudah kembali berada dibawah pengaruhnya.
"Anda mengakui kalau ini milik anda?" Reva menyentuh perutnya lagi.
"Tentu saja, dia memang anakku kan?" pria itu lebih mendekat dan diapun melakukan hal yang sama. Menyentuh perut gadis itu perlahan-lahan seolah dia benda yang sangat berharga.
Reva terdiam.
"Jadi, ... Ayo kita pulang, dan menjaga anak kita sampai dia lahir nanti?"
"Anak kita?"
"Ya, ... Anak kita." ucap Abim seraya membuka pintu mobil dan menggiring gadis itu untuk masuk. Dan usahanya berhasil kali ini. Dia mampu membuatnya kembali meski tak tahu apa yang harus dilakukannya setelah ini. Yang penting dia bisa membawanya pulang ke tempatnya. Sementara yang lainnya, akan dia pikirkan nanti.
*
*
*
Bersambung...