"Apa yang akan anda lakukan?" Reva mencoba bertahan di dalam mobil ketika mereka tiba di depan sebuah rumah sakit terbesar di kota Jakarta.
"Kita akan mencari tahu, apa yang kau katakan itu benar?"
"Ini benar! Semua yang saya katakan benar. Anda tidak percaya?"
Pria itu menatapnya dengan tajam.
"Sudah jelas keadaanku yang tidak mungkin memiliki keturunan. Dan aku harus percaya begitu saja kepadamu?" dengan sekali hentakan Abimanyu menarik Reva keluar dari dalam mobil dan membawanya ke sebuah ruangan di lantai empat. Setelah sesaat sebelumnya melakukan panggilan telfon kepada seseorang di gedung itu.
Keduanya dengan cepat menerobos ke sebuah ruang pemeriksaan, dengan berbagai macam alat medis yang sudah tersedia di meja, dan sebuah bangsal pemeriksaan yang sudah siap digunakan.
"Tidak! Saya mohoh jangan lakukan ini." Reva mencoba melepaskan diri, dan dia hampir berlari ke arah pintu.
Namun kekuatan Abimanyu tak setara dengannya. Pria itu kembali menarik tangannya, lalu meraup tubuh kecilnya dan membawanya ke tempat pemeriksaan.
"Saya mohon, jangan lakukan ini!" Reva berteriak dan dia hampir saja menangis. Tentu saja dirinya ketakutan, pikiran buruk segera menguasai kepalanya. Apalagi saat Abim menahannya untuk tetap di atas tempat itu. Tak peduli seberapa kuat dia meronta, atau seberapa kuat dia memohon, pria itu tetap menahannya disana. Seolah dia akan melakukan hal buruk kepadanya.
"Saya mohon, jangan. Saya tidak akan menuntut pertanggung jawaban anda, jika itu yang anda inginkan. Saya akan pergi dan tidak akan pernah menampakan wajah di depan anda lagi. Tapi saya mohon hentikan ini. Jangan membunuhnya, dia tidaK bersalah." entah darimana dia mendapat kata-kata itu. Hanya saja, sinyal bahaya terus berdengung di kepalanya. Dia merasa janin di dalam perutnya sedang ada dalam bahaya, dan dia tak bisa membiarkan itu terjadi. Nalurinya mengatakan dia harus mempertahankannya apapun yang terjadi.
"Saya mohon pak, saya mohon." Reva menghiba.
"Kasihani saya, kasihani dia. Salah saya mau melakukannya. Tapi jangan timpakan kesalahan itu kepadanya, dia tidak berdosa." katanya lagi, dia mengerahkan usaha terakhirnya.
Abimanyu menatapnya dengan perasaan asing di dalam hati. Dadanya bahkan berdebar tak seperti biasanya, dan hatinya berdenyut-denyut tak karuan.
Melihat wajah gadis di dalam kuasanya, malah membuatnya bertanya-tanya.
"Apa yang kau inginkan?" dia mulai bersuara.
Reva hanya menggelengkan kepala, namun isakan terdengar lirih keluar dari mulutnya.
"Lepaskan saya, biarkan saya pergi. Dan saya janji tidak akan menemui anda apapun yang terjadi. Saya akan membawanya pergi sejauh mungkin, hingga anda tidak akan bertemu dengan kami. Saya janji. Lepaskan saya..." Reva kembali memohon.
"Maka tenanglah, jangan berulah atau aku tidak akan melepaskanmu." Abim memperingatkan.
Kini Reva menganggukan kepala.
"Janji tidak akan memberontak?" ucap pria itu, dan dia bersiap melepaskan cengkeraman tangannya.
Revalia mengangguk lagi.
"Aku... Hanya akan melakukan tes DNA kepadamu. Untuk mengetahui apakah semua yang kau katakan itu benar atau tidak?"
Gadis itu hampir saja membuka mulutnya untuk berbicara saat Abim mengangkat tangannya.
"Aku tahu situasinya seperti apa, tapi aku butuh bukti, bukan hanya sekedar kata-kata." lanjut pria itu.
Reva terdiam.
"Jadi, ... Biarkan dokternya bekerja." katanya, dan dia melepaskan gadis itu.
Seorang dokter mendekat dengan keadaan siap, pakaian medis, sarung tangan, dan maskernya.
"Ayolah, lakukan dengan cepat." ucap Abim kepada sang dokter.
Kemudian, beberapa prosedurpun dilakukan. Setelah Reva mengganti pakiannya dengan pakaian khusus yang sudah tersedia, dan gadis itu sudah bisa menenangkan diri, dokterpun melakukan pemeriksaan kepadannya.
Sebuah jarum suntik yang berukuran cukup panjang di tusukkan ke perut Reva, tepat di area rahim gadis itu yang di dalamnya tengah tumbuh makhluk mungil yang tak pernah diharapkan akan hadir dalam situasi seperti ini. Namun kenyataannya memang tak bisa dihindari, takdir berbicara lain kepadanya. Karena keputusasaannya mengambil jalan pintas dan inilah hasilnya.
Reva meringis, menahan rasa sakit yang menjalar di area bawah perut saat dokter itu mengambil cairan dari rahimnya lewat alat suntik tersebut. Namun ini harus dia tahan, demi kebenaran yang harus diungkap untuk keselamatan dirinya, dan janin yang kini dikandungnya.
"Selesai." ucap dokter, dan dia menyudahi prosedur tersebut.
"Berapa lama?"
"Paling cepat, satu atau dua minggu kita akan mendapatkan hasilnya." jawab dokter yang memasukan cairan dari tubuh Reva kedalam tabung kecil khusus, kemudian menyimpannya di tempat yang aman.
"Usahakan lebih cepat, aku ingin hasilnya segera aku dapat." ancam Abim.
"Prosedurnya panjang dan rumit Bi."
"Aku tidak peduli, lakukan secepatnya agar aku segera bisa menyelesaikan masalah ini."
"Baiklah, ... Aku usahakan."
"Dan kau juga tahu hal ini harus menjadi rahasia." pria itu berucap. Dan sang dokter yang merupakan kerabatnya itu menganggukan kepala tanda mengerti.
Dan tanpa menunggu lagi, Abimanyu kembali menarik Reva keluar dari ruangan itu, dan membawanya pulang kembali ke apartemen miliknya.
*
*
*
"Diamlah disini dan jagan berulah." pria itu setengah mendorong Reva keatas tempat tidur.
"Hingga saatnya nanti hasilnya telah keluar dan aku telah mendapat kebenaran yang sebenar-benarnya, maka aku akan melepaskanmu. Kau akan kubebaskan keluar dari sini, dan kau harus menepati janjimu."
Abimanyu menunduk kemudian mencengkeram dagu Reva dengan kencang.
"Kau mengerti?" katanya dengan geraman rendah.
Revalia hanya menganggukan kepala. Tubuhnya bergetar, dan napasnya tersengal-sengal. Dia hampir kembali menangis saat pria itu melepaska tangannya.
"Jangan pernah memiliki keberanian untuk melangkahkan kakimu keluar dari tempat ini, atau kau tidak akan selamat. Dan bayi ini... " Abim menyentuh perut gadis itu dan sedikit menekannya untuk mengintimidasi. Dia tahu Reva tidak akan membiarkan apapun terjadi kepadanya.
Namun lagi-lagi perasaan asing itu hadir lagi di dalam dirinya. Saat telapak tangannya menyentuh perut gadis itu, sesuatu terjadi pada hatinya.
Abimanyu mengerutkam dahi, dia tak mengerti, perasaan semacam apa ini?
"Tidak! Tidak akan!!" Reva dengan cepat menyingkirkan tangan pria itu dari perutnya.
"Saya tidak akan keluar dari sini seperti yang anda inginkan." katanya, dan dia kembali memeluk perutnya dengan posesif.
"Bagus kalau kau mengerti." Abim bangkit dan segera menghambur ke ruang ganti.
Dia kembali setelah beberapa menit dalam keadaan rapi.
"Ingat apa yang aku katakan, jangan pernah berulah, jangan pernah memberanikan diri untuk keluar, dan jangan berbuat macam-macam." dia menoleh sebelum pergi.
Reva kembali mengangguk.
Kemudian pria itu meninggalkannya sendiri, dalam posisi duduk mengkeret di ujung tempat tidur dengan menekuk kaki dan memeluk dirinya sendiri. Mencoba menciptakan sedikit ruang untuk dirinya sendiri agar dia merasa aman. Sama seperti yang selalu dilakukannya saat dirinya masih kecil, setiap kali mengalami hal buruk dan merasa ketakutan.
*
*
*
Bersambung ...