Bara masih duduk di belakang meja kerjanya. Waktu sudah hampir memasuki maghrib, sebenarnya ia bisa saja menyelesaikan pekerjaannya sejak sejam yang lalu, tetapi ia sengaja memperlambatnya.
Ternyata Starla tipe manusia yang tak akan membiarkan waktu terbuang sia-sia. Slogan: Waktu adalah uang benar-benar berlaku bagi wanita itu.
Bara tak mau lagi terjebak. Jika dia mengatakan bahwa pekerjaannya selesai, maka Starla akan memberikan pekerjaan baru lagi padanya.
Bara melirik ke arah meja Starla. Wanita itu tampak serius di belakang laptop.
"Sialan!! Kok salah lagi, sih!!!" umpat Starla tiba-tiba.
Bara kembali menyembunyikan wajahnya di balik tumpukan file yang baru saja ia stempeli tanda tangan Rahardian.
"Sialan, mengapa aku harus jadi kacungmu!!" gerutu Bara dalam hati.
Bara merasa mood nya semakin buruk setelah melihat gambar Rahardian. Wajah penipu itu benar-benar membuatnya muak.
"HAI! Apa yang Kau lakukan?!"
Bara tersentak kaget mendengar teriakan Starla yang tiba-tiba sudah berada di depan mejanya. Mata wanita itu melotot memandangi cover proposal di tangannya.
"Memangnya apa yang saya lakukan, Bu?" tanya Bara tak mengerti.
"Nih!! Kamu tahu siapa pria ini?!" tanya Starla dengan nada tinggi.
Bara menatap cover proposal yang menampakkan gambar Rahardian dengan tanda silang besar.
Seketika Bara menatap cover lain di atas meja, Bara segera menutupi cover itu menggunakan kedua sikunya.
"Sial! bagaimana bisa aku tidak sadar melakukan hal ini!!" batin Bara.
"Saya-- saya tak sengaja, Bu Mona! Maaf, mungkin karena saya ngantuk jadi tidak fokus! Hoaaammm!!"
Bara merasa lebih baik cari aman dengan berpura-pura tak mengenal Rahardian daripada harus dimarahi atau bahkan dipecat.
"Coba lihat itu!" Starla menunjuk proposan di bawah siku Bara.
Mati aku!!
"Mana!" Starla mengulurkan tangannya.
Dengan enggan Bara menyerahkan cover proposal dengan coretan yang lebih parah dari sebelumnya.
Starla mengamati gambar itu. Ekspresi nya sulit ditebak.
"Maaf, Bu Mona. Saya benar-benar tak sengaja melakukannya. Tolong jangan laporkan saya pada atasan--"
"AHAHAHAHAHAAHAHAAA!"
Bara tersentak ketika mendengar Starla yang tiba-tiba terbahak.
"Kau beneran nggak tahu siapa pria ini?!" tanya Starla setelah puas tertawa.
Bara menggeleng.
"Dia ini Pak Rahardian. CEO D.A Hotel's."
Bara berlagak terkejut. Ia bahkan memasang wajah ketakutan.
"Maaf, saya benar-benar tidak sengaja, Bu Mona! tolong jangan pecat saya!" Bara menangkupkan tangan berpura memohon ampun.
"CIhh!! menjijikkan sekali memohon-mohon seperti ini!!" umpat Bara dalam hati.
Starla tertawa lagi. Ia mengambil spidol di atas meja. Dengan wajah penuh emosi Starla mencoret-coret gambar Rahardian.
"Aku senang Kau melakukannya, Bara!! Ingin sekali aku mencoret, meremas, dan merobek-robek wajah pria super menyebalkan ini!! HIHHHH!!!"
Bara melongo melihat Starla merobek halaman depan proposal lalu meremas dan menginjak-injak lembaran dengan gambar Rahardian itu.
"Bu Mona? Anda baik-baik saja?!" tanya Bara masih tercengang dengan sikap Starla.
Starla mengipas-ngipas wajahnya dengan telapak tangan.
"Aku jauh lebih baik setelah melakukan hal ini!" sahutnya yakin.
Bara manggut-manggut, meski dalam hati masih bingung dengan sikap Starla yang di luar prediksi BMKG.
"Aku tak akan melaporkan perbuatanmu asal Kau juga tutup mulut dengan perbuatanku barusan!" ucap Starla. Ia memungut kertas di bawah kakinya lalu melempar ke tempat sampah.
"Ten--Tentu, Bu Mona."
Apakah Starla Monalisa wanita penjilat?! Dia pasti hanya berlagak baik di depan orang berpengaruh demi mencapai tujuannya. Termasuk check in dengan Om Johan. Dia benar-benar wanita gila! Apa lagi yang dia inginkan selain karir!! Lihat saja! Aku akan memecatmu setelah resmi menjadi CEO baru disini!!
"Heh, Pikat!! Kamu denger nggak aku ngomong apa, Hah?! SINI!!" bentak Starla.
"Eh, Iy--iya, Bu Mona!" Bara segera bangkit dari duduknya. Terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Bara tak mendengar apa yang Starla ucapkan sebelumnya.
"Kamu baru sehari bekerja udah telat, lelet lagi!! Kalau bukan karena penampilan apik Kamu di meeting kemarin, aku nggak sudi punya asisten yang suka ngelamun!" omel Starla.
"Sekali lagi maafkan saya, Bu Mona.." Bara menundukkan kepalanya.
"Bara! Aku mau minta tolong! Katanya Kamu paham masalah IT dengan baik, coba Kamu cek ini, mengapa dari tadi hasilnya salah mulu. Perasaan rumus yang aku masukin udah bener!!"
Starla sedikit bergeser ketika Bara mendekat. Starla menunjukkan tampilan aplikasi yang sejak tadi membuat otaknya mendidih.
Bara mengutak atik aplikasi itu.
"Aduh maaf, Bu Mona. Saya tidak bisa membantu karena aplikasi ini terlalu rumit, baru sekali saya menemui masalah seperti ini," ucap Bara setelah beberapa saat.
Starla menghembuskan nafas berat.
"Yasudah, biarin aja, ntar aku hitung manual! Emang sering begini nih kalau mendekati deadline! bikin sebel! sama aja dengan si bos, tiap menjelang akhir bulan selalu aja bikin masalah!"
Starla terus saja mengomel hingga Bara kembali ke mejanya. Beberapa kali Bara mendengar Starla melempar bolpoint, membuang kertas, bahkan menggebrak meja hingga membuat Bara mengumpat kesal saking kagetnya.
"Wanita gila!" gumam Bara. Ia melirik jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul 18.31 WIB.
YESS!!
"Permisi, bu Mona. Jam lembur saya sudah berakhir. Saya harus pulang," pamit Bara.
Starla mendongak menatap jam dinding. Ia melepas kacamata lalu mengucek matanya.
"Pulanglah!" jawab Starla singkat.
Tanpa banyak bicara, Bara keluar meninggalkan ruangan. Lega sekali akhirnya bisa menikmati udara segar setelah pengap yang ia rasakan sejak seharian ini.
Devan sudah menunggunya di tempat biasa. Bara masuk mobil dan menghempas tubuh penatnya di atas kursi mobil.
"Fuhh!!! Dia benar-benar wanita paling gila yang pernah aku temui!!"
Devan menyalakan mesin mobil.
"Anda mau ke kafe biasanya?" tanya Devan yang paham betul dengan wajah kacau tuannya.
"Hem.. Kita kesana!"
Devan mengangguk paham.
Bara menatap lampu kota yang menyala indah di kanan kiri jalanan. Ia tersenyum puas membayangkan Starla yang saat ini mungkin masih berkutat dengan angka-angka.
Sebenarnya Bara bisa mengatasi aplikasi Starla agar berjalan seperti semula, tetapi dia sengaja mengerjai wanita menyebalkan itu.
Setelah apa yang ia lakukan seharian ini padanya, rasanya wanita itu harus mendapatkan balasannya.
"Dev! Kau tau arti Pikat?" tanya Bara. Ia teringat panggilan Starla padanya.
"Pikat? Lalat pikat?" Devan balik bertanya.
"La-lat?!"
"Iya, Setahu saya pikat adalah nama sejenis lalat. Memangnya kenapa, Tuan?" tanya Devan santai sambil menyetir.
Bara mengambil ponsel lalu mencari tahu di internet. Matanya membulat sempurna dengan tangan terkepal membaca hasil penelusurannya di internet.
Pikat adalah sejenis lalat berukuran besar dan pengisap/ penjilat darah (termasuk manusia).
"Breng$ek Kau, Monalisa!!" geramnya.
Devan menoleh dengan wajah bingung.
________________________________________
"Tuan, ada hal lain yang Anda butuhkan?" tanya Devan setelah duduk di belakang kemudi.
"Tak ada."
"Baiklah, kita pulang sekarang sebelum Ibu Anda menelpon."
Sudah menjadi kebiasaan bagi Diana, ibu Bara untuk menelpon setiap jam 9 malam.
"Ah, benar!" Bara meraih tas kerja di jok penumpang. Bara membuka setiap kantong, mencari-cari sesuatu.
"Sial!" umpat Bara.
"Ada apa, Tuan?"
"Ponselku satunya tertinggal di laci kantor."
Ciittt!
Devan mendadak menginjak rem lalu memutar kemudi ke arah berlawanan, kembali ke kantor Bara.
Bara bergegas kembali menuju ruang Asisten General Manager, ketika keluar dari lift Bara berpapasan dengan satpam yang tengah berpatroli.
"Mas, maaf ada perlu apa?" tanya si satpam.
"Pak, saya asisten baru bu Mona. Ponsel saya tertinggal di laci, tolong dibukain, ya.."
"Oh, bu Mona. Beliau masih di ruangan kok. Langsung ambil aja, Mas,"
Bara tersentak.
Mona masih di ruangan? jangan-jangan wanita itu masih lembur?!
Bara berjalan menuju ruangan Mona. Ia mengetuk pintu.
"Masuk!" terdengar suara dari dalam ruangan.
Bara membuka pintu. Ia tercengang melihat remasan kertas yang berceceran di lantai. Wanita itu masih duduk di belakang laptop dengan penampilan acak-acakan.
Sepertinya dia sama sekali tak beranjak dari kursinya sejak Bara meninggalkannya tadi.
"Bara?" tanya Starla, ia sedikit menurunkan kacamatanya.
"Bu Mona, Anda masih disini?"
"Hem. Mengapa Kamu kembali?" tanya Starla.
"Ponsel saya tertinggal di laci."
"Oh, ambil saja." Starla kembali sibuk menatap laptopnya.
Bara berjalan menuju meja kerja, ia membuka laci lalu mengambil ponsel miliknya.
"Saya permisi, bu Mona.." Bara berjalan menuju pintu. Tangannya sudah menyentuh gagang pintu, tetapi ia kembali berbalik.
"Mengapa Anda tidak pulang?" tanya Bara.
"Apalagi kalau bukan karena aplikasi sialan tadi?! sudah sana pulang! ntar emak Lu nyari in!" sahut Starla, matanya sama sekali tak beralih dari layar laptop.
Entah mengapa Bara tiba-tiba mendekat ke arah Starla.
"Bu Mona, coba saya lihat sekali lagi."
"Eh? Apanya?" Wanita bermake up menor itu menatap bingung pada Bara.
"Aplikasi."
"Bukannya tadi Kau bilang tak bisa?"
Starla bergeser membiarkan Bara kembali mengutak atik laptopnya.
Semenit kemudian.
"Silahkan dicoba, Bu Mona.."
Starla menuruti perkataan Bara meski dengan wajah ragu. Sesaat kemudian ekspresinya berubah sumringah.
"Bar!! Keren! aplikasinya bekerja lagi!!" seru Starla seraya memegang erat lengan Bara.
(Next➡)