Anak Tak Berguna

1186 Kata
Suara bising kendaraan lalu-lalang di depan sebuah toko sembako. Seorang pria berwajah tampan dan memiliki tubuh proporsional, apalagi dia memiliki alis mata yang sehitam arang. Dia pun bersandar di tembok tepat di hadapannya jalan raya, memakai jaket berwarna hijau. Sesekali netranya melirik ke arah arloji yang melingkar di tangannya, sudah menunjukkan pukul lima sore. Tempat dia mencari nafkah sudah tutup. Maka lelaki tersebut akan melanjutkan pekerjaannya yang kedua sebagai ojeg online. Pria itu bernama Daffin Meyles. Anak pertama dari keluarga Meyles—keluarga terpandang dan kaya raya. Semua orang bermimpi ingin menjadi anak di keluarga Meyles, tetapi Daffin justru menyesal telah dilahirkan di keluarga tersebut. Dering ponselnya berbunyi nyaring memekak indra telinga pria itu. Lantas Daffin pun merogoh ponsel yang ada di dalam saku. Tampak nama wanita yang disayanginya memanggil, dengan cekatan Daffin mengangkat telepon itu. Baru saja dia mengucapkan salam. Berita dari Shakira—istri Daffin membuat pria itu tertegun mematung. Saking terkejut mendengarnya. Lekas Daffin menutup teleponnya dan dia bergegas naik motor. Kemudian menjalankan motor dengan kecepatan di atas rata-rata menuju pulang ke rumahnya. Suasana sore di jalanan padat oleh kendaraan beroda dua maupun beroda empat. Namun, Daffin terus menerobos kemacetan itu dengan raut wajah sedih. Daffin tiba di rumah sederhana yang mempunyai halaman rumah di sana terdapat satu pohon mangga besar berdiri tegak yang berbuah lebat. Dia pun menaruh motor di depan rumah itu, lalu masuk dengan langkah terburu-buru. Nampak Shakira sudah memakai hijab dan gamis. Dia duduk di kursi roda. Melihat sang istri berpenampilan seperti itu. Daffin mengerutkan dahi. “Kita nggak usah ke sana,” ucapnya tegas. “Kenapa, Mas?” tanya Shakira menaikkan sebelah alisnya keheranan. “Saya tak mau pulang ke rumah,” jawab Daffin sambil berlutut menyeimbangkan posisi dengan Shakira. “Mas, kakek Mas meninggal. Masa kita tak datang,” protes Shakira. Daffin mengulum senyum tipis dan dia memegang dagu sang istri dengan tatapan menajam. “Apa kamu lupa yang mereka lakukan ke kita?” tandas Daffin melontarkan pertanyaan. Nampak bola mata Shakira berkaca-kaca. Dia merengkuh tubuh sang suami dengan sangat erat. Lantas menepuk punggung Daffin, sebagai ajakan agar Daffin mempunyai hati yang lapang dan pemaaf. Kalimat demi kalimat lolos berselancar dari mulut Shakira yang memakai lipstik berwarna nude. Wanita itu menuturkan kemauannya. “Mas, yang dulu biarkan berlalu. Kita sudah menikah dan hidup bahagia di sini,” urai Shakira. “Pokoknya kamu jangan pergi ke rumah itu. Kita lebih baik besok saja ke TPU setelah mereka tak ada,” balas Daffin sambil duduk. Shakira pun menghela napas panjang dan dia membuka hijab, lantas raut wajahnya berubah sendu. Shakira memutar kursi rodanya dan kembali masuk sendiri ke dalam kamar, sedangkan Daffin masih berkutat dalam lamunan sambil menghisap rokok di kursi ruang tamu. Pikirannya mengawang menggiring dia untuk ke tonggak peristiwa lima bulan lalu yang membuatnya bersumpah. Alunan musik piano nan lembut dengan diiringi lagu oleh penyanyi yang berdiri di atas panggung menghiasi seantero ruangan di rumah kediaman keluarga Meyles. Suara riuh dan tepuk tangan bergemuruh. Usai melagukan selamat ulang tahun. Setiap tahunnya di keluarga Meyles selalu mengadakan pesta ulang tahun ataupun universary pernikahan Kennedy—ayah Daffin dan Risma—ibu Daffin. Kini Camelia—adik Daffin berulang tahun genap usianya dua puluh satu tahun. Daffin dan Shakira berdiri di dekat Risma sembari mengulas senyum manis. Saat ini acara buka kado di depan para tamu, seperti tahun-tahun sebelumnya. Begitulah kebiasaan di keluarga Meyles. Daffin pun maju memangkas jarak mendekati Camelia, lalu memberikan kado yang sedari tadi dia bawa, sebagai kakak tertua Daffin orang pertama yang memberi. Lelaki berkulit putih itu pun memberikan boneka beruang yang ukuran tingginya sama besar dengan Camelia seraya mengulas senyum. “Hanya ini?” cetus Camelia sambil mencebik. “Maaf, Kakak hanya bisa memberikan ini,” jawab Daffin. Camelia mengambil boneka beruang itu sembari mengerucutkan bibirnya. “Aku bukan anak bocah lagi, Kak. Aku tak butuh boneka,” keluhnya. Tiba-tiba Kennedy menghampiri dan dia mengambil boneka beruang itu. Lantas membuangnya ke lantai sembari tertawa terbahak-bahak. “Hahahahhahaa … dasar miskin. Masa memberikan kado buat adikmu sendiri. Hanya sebuah boneka! Orang miskin tak pantas ada di sini,” kelakar Kennedy sambil menginjak boneka tersebut berkali-kali. Daffin terkejut saat melihat Kennedy seperti itu. Dia menundukkan wajahnya. Lontaran kata-kata yang diucapkan oleh sang ayah sudah sekian kalinya dia dengar menghina Daffin karena miskin. Padahal Daffin datang ke acara keluarga Meyles itu karena permintaan Risma. Dia menghargai sang ibu yang masih menyayanginya. “Jangan seperti ini. Hargai Daffin!” bentak Risma. Wanita itu langsung menegur Kennedy dan dia mengambil boneka beruang yang sudah diinjak-injak. “Harga dia berapa? Lelaki tak berguna memangnya ada harganya?” sambung Arwana—adik Daffin sambil menyunggingkan senyum simpul. Lantas dia mendekati Camelia dan memberikan kado. Ketika membuka pemberian kado dari Arwana. Camelia tersenyum lebar dan sumringah langsung memeluk Arwana. “Wah, Kak Arwana. Memang paling top dan keren sedunia. Kalung berlian dan cincin berlian. Terima kasih, Kakakku yang baik,” ucap Camelia sambil mencium pipi Arwana. Kennedy bertepuk tangan sembari tersenyum simpul. Dia meminta agar Camelia keluar. Suasana menjadi riuh, ribuan sepasang mata berdecak kagum. Ketika suara klakson mobil mewah yang datang berwarna merah muda dikendarai oleh seorang lelaki. Camelia sumringah dan langsung berlari kecil menghampiri hadiah dari Kennedy. “Ayah, is the best,” urainya sambil masuk ke dalam mobil barunya. “Kau lihat apa yang kami beri untuk Camelia. Boneka beruang itu tak berharga bagi adikmu. Ekpresi Camelia lebih sumringah melihat berlian dan mobil. Pergi dari sini kau hanya anak tak berguna!!” bentak Kennedy sembari melipat kedua tangannya di depan d**a. Tatapan lelaki berambut putih itu menajam ke arah Daffin dan Shakira yang berdiri bergeming di depannya. “Kak Daffin, kenapa ada di sini? Ini khusus untuk orang-orang kaya. Lihat cara pakaian Kak Shakira sangat kampungan sekali. Dasar memang anak pembantu,” sambung Arwana. Netra Daffin sudah merah. Lelaki itu mengepalkan kedua tangannya. Bahunya naik-turun bersamaan napas yang memburu karena menahan emosi. Daffin ingin berucap, tetapi Shakira langsung meremas lengan lelaki tampan itu agar tak terpancing emosinya. “Pergi dari sini! Kamu itu tak berguna di sini!!” Kennedy memangkas jarak mendekati Daffin dan dia mengusir sang anak sambil mendorong. Sampai Daffin terhuyung hampir limbung. “Ayah,” lirih Daffin menatap nanar manik mata Kennedy. “Jangan panggil aku ayah. Bukankah kamu sudah mengambil jalan hidupmu sendiri! Pergi, kau miskin. Untuk apa datang ke sini? Jika hanya membuat adikmu malu,” hardik Kennedy. Lalu dia berbalik badan beranjak pergi sambil merangkul bahu Camelia. Seribu pasang mata terkejut melihat Daffin diusir oleh Kennedy. Apalagi ketika Arwana menyodorkan sepatu agar Daffin membersihkan sepatunya. “Arwana! Jaga sikapmu,” ucap Risma sebagai seorang ibu. Dia pun tak tega melihat Daffin diperlakukan seperti itu. “Sorry, lebih baik kalian pulang atau istrimu itu lebih baik diam di dapur mencuci piring.” Daffin menyeringai iblis, lantas dia menggandeng tangan seorang wanita cantik memakai gaun mewah yang tak lain dia adalah istri Arwana. Memang sungguh berbeda dengan Shakira yang memakai baju sederhana. Shakira menunduk, dia menahan air matanya supaya tak luruh. Daffin menghela napas panjang dan dia mendekati Arwana. “Arwana!” panggil Daffin. Brugh!! Daffin langsung melayangkan tinju ke wajah Arwana sembari menatap nyalang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN