Kian akhirnya mengambil gulungan tisu toilet karena ternyata mimisannya tidak kunjung berhenti. Ia menggunakan tisu itu untuk menyumpal hidungnya, kemudian keluar dari kamar mandi.
Kian mengambil beberapa lembar tissue lagi dengan kasar, kali ini tisu wajah dari atas meja nakasnya. Kian menggunakannya untuk mengelap kucuran darah dari hidung. Sampai saat ini, terhitung sudah tiga kali Kian melakukan hal yang sama. Namun kucuran darah itu masih enggan berhenti mengalir.
Cukup lama semenjak traumanya kambuh terakhir kali. Waktu sakit Ibu sedang parah - parahnya. Sebentar - sebentar Ibu masuk rumah sakit. Benar - benar saat yang berat bagi Kian. Namun setelah keadaan Ibu berangsur membaik, trauma Kian jarang kambuh lagi. Bahkan saat leukemianya kembali memarah. Bahkan ketika Ibu akhirnya pergi.
Baru sekarang Kian mengalaminya lagi. Karena pernyataan mengejutkan dari seorang Ichal, tentang keadaan kakak yang baru saja Kian kenal.
Sebegitu takutnya kah ia? Sampai - sampai penyakit lamanya segera kambuh sesaat setelah mengetahui keadaan Lintang yang sebenarnya.
Kenapa hal ini kembali terjadi? Orang yang ia sayangi, lagi - lagi akan pergi meninggalkannya, untuk selamanya.
"Yan!" seru sebuah suara yang Kian yakini sebagai milik Ichal. Sesaat setelah menyeru, Ichal mengetuk pintu kamar yang saat ini Kian sandari.
Kian membuka lipatan tissue yang ia tahan pada hidung. Syukurlah, mimisan itu sudah berhenti. Kian bangkit untuk membuka pintu. Kian bisa melihat Ichal cukup kaget dengan kenampakannya sekarang. Pasti karena mukanya yang memucat. Tentu saja karena ia barusaja mengalami pendarahan yang terbilang cukup hebat.
"Udah malem, gue sama Pak Joe pulang dulu," pamit Ichal.
Kian melirik jam dinding. Benar. Ini sudah lewat tengah malam. Kian mengangguk mengiyakan pamit Ichal.
Kian mengantar mereka sampai di luar. Dinginnya hawa malam menusuk tulang. Angin mengibar - ngibarkan surai Kian mengikuti arah pergerakannya. Setelah mobil Ichal sudah tak terlihat lagi, Kian kembali memasuki rumah.
Anak itu berhenti ketika melewati kamar Lintang. Ia merasa ragu. Namun jemarinya tetap tergerak memutar knop pintu. Pemandangan Lintang yang masih betah berkelana dalam alam mimpi, menyambut kedatangan Kian.
Ichal tadi bilang bahwa sebenarnya Lintang sudah sadar. Namun ia segera tertidur kembali sesaat setelah minum obat yang diberikan Dokter Hengki. Terbukti dengan adanya segelas teh hangat yang baru berkurang sedikit, dan juga tabung obat berwarna putih di atas nakas.
Ranjang Lintang tak terlalu tinggi. Dengan Kian yang mendudukan diri di samping ranjang, sudah memungkinkan dirinya untuk menatap wajah damai sang Kakak. Dinginnya lantai seakan tak jadi masalah
Entah karena Lintang yang terlalu peka, entah karena kedatangan Kian yang sekiranya memang mengganggu. Lintang mengernyit, dan benar - benar terbangun dalam sekejap. Matanya terbuka dengan sempurna, seakan ikut tersenyum dengan lengkungan bibirnya. "Belum tidur?" tanyanya.
Kian hanya menggeleng.
"Tadi kamu pasti kerepotan, ya?" Lintang melanjutkan pertanyaannya.
Masih tak ada jawaban dari Kian. Anak itu masih saja terdiam mematung. Membuat Lintang merasa tertuntut untuk menjelaskan sesuatu.
"Maafin aku. Sebenarnya aku mau bilang sama kamu sejak awal. Tapi ... kurasa kita belum seakrab itu. Aku hanya takut, hubungan kita jadi canggung setelah kamu mengetahuinya."
Kian menggeleng lagi, namun kali ini disertai dengan sebuah senyuman. "Gue ngerti."
Lintang mengangguk samar. "Terima kasih."
Kian menunduk, ragu apakah ia akan menanyakan sesuatu yang saat ini benar - benar ingin diketahuinya. Well, mereka memang belum pernah bertemu. Tapi orang itu menjamin kehidupan Lintang semenjak ia keluar dari panti asuhan. Jadi, tak menuntup kemungkinan jika ia sudah tahu tentang penyakit Lintang.
"A - apa ...." Kian menarik napas berusaha menenangkan diri.
"Apa, Yan? Jangan gugup! Katakan apa yang pengen kamu tahu!"
"A - apa Ayah udah tahu?"
Lintang tersenyum. Sebuah senyuman yang manis namun miris. "Jangan beri tahu Ayah! Bisa-bisa ... beliau menemuiku hanya karena aku sedang sakit."
"Tapi, Tang ...."
"Jangan, Yan!" tegas Lintang, membuat Kian terdiam seketika. "Biarkan Ayah menemui aku saat beliau siap. Saat beliau benar - benar ingin menemuiku sebagai seorang Ayah yang ingin menemui anaknya. Bukan sebagai seorang Ayah, yang terpaksa bertemu dengan anaknya yang sekarat.
"Terpaksa bertemu, karena ... mungkin saja ia tak punya kesempatan lagi untuk menemuinya di lain waktu."
Kian benar - benar bungkam. Benar apa yang dikatakan Lintang. Akan terasa tidak tulus dan terpaksa jika Ayah datang menemuinya hanya karena ia tahu Lintang sakit. Tapi bagaimana jika kelak Ayah benar - benar tidak memiliki kesempatan untuk menemuinya?
Namun Kian berusaha memahami keinginan hati kakaknya. Lintang hanya ingin ketulusan. Ketulusan yang untuknya memang terbilang langka. Ia dititipkan ke pantai asuhan oleh ibu kandungnya sendiri. Dan sekarang hanya dinafkahi secara lahir oleh Ayah.
Maka tak berlebihan jika Lintang menginginkan Ayah datang dengan tulus. Datang karena memang benar-benar sudah siap untuk bertemu dengannya.
"Oke," jawab Kian akhirnya. "Uhm ... kata Ichal sebenernya lo udah pulang sejak siang. Sorry, gue nggak tahu. Gue terlalu sibuk sama game, sampek nggak tahu lo udah pulang." Kian memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Nggak apa - apa. Habisnya aku juga tidur terus di kamar," kekeh Lintang.
"Yaudah, lo ... tidur lagi aja sekarang, istirahat! Sorry, gara - gara gue lo jadi kebangun."
"Bukan salah kamu. Kalau kamu di sini, aku jadi ada alasan untuk tetap bangun. Padahal aku udah tidur seharian. Tapi mataku masih ngantuk sampai sekarang."
"Makanya gue mau pergi, biar lo bisa tidur lagi. Lo ngantuk terus, itu artinya kondisi lo lagi nggak baik. Butuh banyak istirahat. Tidur, gih!"
"Tapi, Yan ... kamu udah makan?"
Kian dibuat heran dengan pertanyaan Lintang. Bisa - bisanya di saat kondisinya seperti itu, ia masih sempat memikirkan orang lain.
Enaknya dijawab jujur atau tidak, ya? Takutnya kalau jujur, Lintang akan memaksakan diri bangun untuk membuatkan Kian makanan.
"Uhm ... sebenernya gue belum makan." Kian memutuskan menjawab jujur. "Tapi lo nggak usah khawatir. Gue bakal bikin makanan sendiri. Dan ... lo nggak perlu khawatir gue bakal ledakin dapur. Kalo cuman rebus mie instan, gue bisa kok." Kian cengengesan. "Ya udah, sana tidur! Mimpi indah!"
Kian seakan berlari keluar dari kamar Lintang. Telapak tangan kanannya menepuk - nepuk bibir dengan cukup keras. Apa tadi yang ia katakan? Mimpi indah?
Demi apa seorang Kian mengatakan hal seperti itu pada orang lain?
Kira - kira bagaimana tanggapan Lintang di dalam sana? Lintang pasti sedang menertawainya sekarang.
~~~~~TM: ROLL EGG - Sheilanda Khoirunnisa~~~~~
Masya Allah Tabarakallah.
Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.
Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.
Mereka adalah:
1. LUA Lounge [ Komplit ]
2. Behind That Face [ Komplit ]
3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]
4. The Gone Twin [ Komplit ]
5. My Sick Partner [ Komplit ]
6. Tokyo Banana [ Komplit ]
7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]
8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]
9. Asmara Samara [ Komplit ]
10. Murmuring [ On - Going ]
11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]
12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]
13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]
14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]
Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.
Cukup 1 kali aja ya pencetnya.
Terima kasih. Selamat membaca.
-- T B C --