Rania tengah berkutat dengan beberapa laporan pasien. Ia harus segera menyelesaikan sebelum jam pulang. Kesibukan yang memang menjadi rutinitasnya selama ini, walaupun terkadang jenuh tapi Rania selalu berusaha menikmati apa yang memang menjadi tanggung jawabnya.
Tidak bisa Rania tergesa-gesa menyelesaikan pekerjaan demi pulang tepat waktu. Hal ini disebabkan ia ingin membeli hadiah untuk ulang tahun Gavi. Minggu depan adalah hari ulang tahun Adiknya sekaligus peringatan kepergian Ibunya, sehingga Rania mulai mencicil dari sekarang mencari hadiah yang cocok untuk Gavi.
“Suster Rania, ada tamu nunggu di depan,” suara Ajeng menghentikan aktivitas Rania.
Alisnya terangkat satu, menebak siapa yang mencarinya. “Siapa? Cewek atau cowok?” tanya Rania penasaran.
“Cewek. Mbak tahu orangnya kok. Buruan ah samperin, kasihan kalau nunggu lama.”
Rania beranjak dari duduknya menghampiri Ajeng, “Emangnya siapa? Kok berasa misterius gini sih?”
“Itu lo anaknya pasien kamar nomor 5 sebulan yang lalu. Aduh lupa lagi nama pasiennya. Yang akrab sama Suster Rania terus anaknya yang ganteng itu lho.” Penjelasan Ajeng benar-benar membuat gadis itu tambah bingung.
“Ya ampun mana aku tahu siapa pasien yang punya anak ganteng, kamu ini ada-ada saja. Bukannya aku jadi ngerti, ini malah bikin aku tambah pusing.”
“Makanya langsung samperin, kan jadi tahu orangnya.”
"Ya udah deh, aku lihat langsung siapa orangnya. Awas aja kamu ngerjain aku ya.” Rania berlalu meninggalkan Ajeng yang tidak peduli dengan ancaman Rania.
Rania berjalan menuju meja resepsionis dan melihat Sally tengah duduk di sofa ruang tunggu. Ia nampak terkejut denga kemunculan Sally yang tiba-tiba tanpa kabar.
“Mbak Sally. Apa kabar?” sapa Rania dengan sopan.
“Baik Sus. Duh Suster Rania makin cantik aja,” goda Sally.
Mendapat pujian bukannya ia malu atau senang tapi malah tertawa geli, “Bisa aja deh Mbak Sally. Nurse cap saya sampai nggak muat gara-gara saya besar kepala di bilang makin cantik,” ucapnya sambil memegang kepala.
Sally ikut terkekeh geli mendengar ucapan konyol Rania. Sosok Rania memang sangat mudah mencairkan suasana. Berada di dekatnya memberikan aura kesenangan bagi siapa saja termasuk Sally. Walaupun perkenalan dengan Rania cukup singkat, tapi tidak sulit untuk menjalin hubungan dengan gadis cantik itu.
“Kenyataan kok, aku nggak ada maksud gombal.”
“Iya deh, saya percaya banget ucapan manis Mbak Sally. Oh iya ngomong-ngomong, Mbak Sally ada perlu apa sampai repot-repot ke sini? Bapak Dirga sehat kan?” tiba-tiba ia ingat pada pria yang sempat menjalani perawatan di rumah sakit ini.
Sally tersenyum ramah, “Papa sehat kok, Sus. Justru saya ke sini mau menyampaikan niat baik Papa.”
Mendadak perasaan Rania tidak enak, “Niat baik apa Mbak?”
“Suster Rania kapan jadwal liburnya?” bukanya menjawab justru Sally balik bertanya.
Rania diam sejenak mengingat jadwal kerjanya, “Dua hari lagi saya libur kok Mbak. Emangnya ada apa? Kok saya jadi degdegan ya?” tanya Rania semakin penasaran.
“Jangan tegang begitu, Sus. Saya nggak ada niat menculik Suster Rania kok.”
“Mbak Sally malah bercanda, ih.”
Sally tergelak melihat wajah tegang gadis cantik di sebelahnya, “Papa mau undang Suster Rania makan malam. Masih ingat kan tawaran Papa waktu sebelum pulang dari rumah sakit?”
Rania terlihat bingung lalu ia ingat tentang niat baik yang di maksud Dirga dan pria itu menunggu jawaban Rania. Ia sampai lupa karena sudah berlalu sebulan lebih dan ternyata Dirga masih ingat akan hal itu.
“Ah iya saya ingat. Tapi kok nggak enak ya Mbak kalau saya makan malam sama keluarga Mbak Sally. Siapa saya sih Mbak, seberuntung ini ikut makan malam dengan keluarga Mbak Sally. Kenal Pak Dirga dan Mbak Sally karena kebetulan profesi saya sebagai perawat di rumah sakit ini.” Ini adalah pengalaman pertama Rania mendapat pasien yang tetap bersikap baik padanya walaupun sudah tidak berurusan dengannya lagi.
“Kenapa dengan profesi sebagai suster? Kan itu pekerjaan mulia. Papa undang Suster makan malam selain ucapan terima kasih juga karena ingin menjaga silaturahmi dengan Suster Rania. Jadi jangan merasa tidak enak, kamu nggak ada niat buruk kok” jelas Sally.
Rania merasa tidak enak karena ucapan Sally “Mbak jangan tersinggung sama ucapan saya tdai ya. Saya nggak bermaksud membuat penilaian tentang keluarga Mbak Sally. Saya hanya merasa tersanjung karena mendapat perlakuan baik dari mantan pasien,” ucap Rania jujur.
“Nggak masalah kok, saya mengerti kegalauan Suster. Apalagi nggak enak sama rekan kerja yang lain kan?”
Rania tersenyum canggung, “Iya, itu juga salah satu alasan saya.”
“Suster tenang saja, Papa bahkan sudah mengirimkan makan siang kepada seluruh karyawan di rumah sakit ini sebagai ucapan terima kasih.”
Mata Rania seketika membola mendengar penutusan Sally, “Jadi waktu itu makan siangnya dari Pak Dirga?”
“Betul sekali, jadi Suster nggak mikir Papa pilih kasih kan?”
Rania menggeleng cepat, “Ya ampun Mbak, saya nggak mikir begitu kok. Mbak Sally jangan marah ya?”
“Saya nggak marah atau tersinggung kok. Jadi jawabannya mau kan?” tanya Sally dengan mimik wajah meyakinkan.
Rania diam, menimbang kembali tawaran itu apakah akan menimbulkan kehebohan di ruangan VVIP atau tidak.
“Iya Mbak, saya mau kok, ” jawab Rania dibarengi anggukan kepala.
Sally bertepuk tangan mendengar jawaban yang ia inginkan, “Ah, good. Jadi dua hari lagi Suster Rania akan dijemput oleh supir kami jam tujuh malam. Ini kartu nama saya dan silakan hubungi saya untuk kirim alamat rumah ya. Deal?” Sally menyerahkan kartu nama miliknya, lalu mengulurkan tangan kepada Rania sebagai tanda kesepakatan.
“Tunggu Mbak..” Rania menginterupsi ucapan Sally yang terdengar janggal baginya.
Sally menurunkan tangannya dengan kecewa, “Apa lagi Suster Rania yang cantik? Masih ada yang kurang jelas?” tanya Sally gemas.
“Kenapa harus dijemput? Saya bisa naik taksi kok ke rumah Mbak Sally. Jadi jangan ada acara dijemput Mbak, kan saya bukan tuan putri kayak di cerita dongeng.”
“Hhhmm, nggak bisa Suster Rania” Sally mengarahkan telunjukknya ke arah Rania. “Ini perintah Papa. Kalau Suster Rania naik taksi dan nggak mau dijemput supir, saya yang kena marah Papa. Masa Suster tega sih saya dimarahin sama Papa. Papa serem kalau udah marah, Sus.”
Rania semakin bingung, “Kok gitu? Kenapa harus marahin Mbak Sally” gadis ini semakin terlihat seperti orang yang bŏdoh.
“Karena saya gagal meyakinkan Suster Rania. Udah paham kan?”
Rania mengangguk pertanda paham dengan maksud wanita di sampingnya, “Iya terserah Mbak Rania aja deh. Saya mah ngikut aja,” jawab Rania pasrah.
“Begitu dong. Sekarang salaman dulu deh biar sah, Sus?” Sally memaksa tangan Rania berjabat tangan dengannya.
~ ~ ~
--to be continue--
*HeyRan*