Sudah 3 hari semenjak kedatangan Sonya ke rumah mereka, hubungan Mario dan Meisya kembali mendingin. Meisya sering mengabaikan suaminya itu, tapi tetap melayani segala kebutuhannya seperti menyiapkan makan, baju dan lainnya. Masalah ini hanya mereka yang tahu. Baik Mario atau pun Meisya, mereka belum memberitahu orang tua mereka masing-masing.
Mengingat anak yang dibawa oleh Sonya beberapa hari lalu, Meisya sudah berpikir akan bagaimana ke depannya jika anak itu terbukti merupakan darah daging Mario. Meisya ingin menyiapkan diri dari sekarang. Dia semakin mantap untuk menjalankan usaha barunya walau dia belum sempat membicarakannya dengan Mario. Buat berjaga-jaga untuk hal yang akan terjadi nantinya. Dia sudah berkomunikasi dengan Pelangi, mantan pacar Mario sekaligus sahabatnya yang sudah menjalin hubungan baik lagi dengannya. Pelangi yang asli orang Jakarta, akan mengenalkan Meisya kepada seseorang yang mengerti tentang bahan pakaian. Dan untuk sewa ruko, Meisya sudah mendapatkan beberapa gambaran yang harganya cukup murah untuk disewa per tahun. Semoga saja semuanya berjalan dengan lancar.
Meisya tak mau dimadu.
Dia lebih memilih berpisah dengan Mario kalau sampai Sonya meminta dinikahi juga oleh lelaki itu, jika sudah jelas status tentang anaknya. Biar lah Mario bertanggung jawab dengan menikahi Sonya dan dia akan mundur.
Tak menampik bahwa Meisya masih mencintai suaminya itu. Namun, ada rasa kecewa dalam dirinya seolah tak bisa menerima kenyataan yang datang.
Sedangkan Mario, walau Meisya bersikap dingin kembali padanya, dia tetap bersikap seperti biasanya kepada istrinya itu. Tak ada yang berubah dari perlakuan Mario kepada Meisya, dia tetap memperlakukan istrinya tersebut layaknya seorang ratu.
Pagi ini, Mario yang kebetulan meeting di tempat yang searah dengan kampus Meisya, berangkat bersama istrinya itu setelah mengantarkan anak mereka ke rumah sang mama. Lagi, sepanjang perjalanan Meisya lebih banyak diam. 'Ya, enggak, hmm, enggak tau, nggak papa,' Hanya itu lah keluar dari mulut perempuan itu di saat Mario mengajaknya berbicara. Mario tampak tak peduli, dia tetap saja berusaha mencairkan suasana dengan tak henti-hentinya mengajak Meisya berbicara.
"Aku lumayan lama nanti ketemu kliennya, banyak yang mau dibahas. Kamu pulang kuliah jam berapa hari ini? Mau aku jemput? Kita bisa makan siang bareng sebelum jemput Adya."
"Nggak tahu," jawab Meisya singkat.
Mario menghela napas. "Biasanya kira-kira jam 12 atau setengah satu-an, 'kan?" Meisya selalu mengabarkan setiap dirinya akan pulang dari kampus, makanya Mario tahu. Namun, dia hanya ingin memastikannya hari ini. Siapa tahu istrinya itu pulang cepat atau gimana, bisa saja ada dosen yang berhalangan hadir.
Meisya mengedikkan bahu.
"Hari Rabu begini, seharusnya jam segitu kamu pulang, " ujar Mario lagi. Dia hapal jadwal jam pulang kuliah istrinya dari hari Senin sampai dengan Jum'at.
"Hmmm."
"Aku jemput kalau gitu," putus Mario walau mendapatkan jawaban tak meyakinkan dari Meisya.
Tiba di depan kampus, Meisya tetap pamit bersalaman dengan Mario. Namun, saat suaminya itu ingin mencium keningnya, Meisya buru-buru mengelak dan langsung membuka pintu.
Sabar, Yo! Lo udah biasa ngadepin sikap dingin Meisya, bukan?
"Mau jalan sekarang, Pak?" tanya sopir Mario.
"Bentar," ucap Mario yang terus menatap punggung istrinya yang perlahan menjauh dengan tatapan sendu. Sampai bayangan istrinya itu menghilang, baru lah Mario meminta sopirnya untuk pergi dari sana.
Mario memejamkan matanya sepanjang perjalanan ke tempat meeting. Kepalanya berdenyut nyeri. Anak yang dibawa Sonya belum ada kejelasannya, jadi dia tak bisa melakukan banyak hal untuk saat ini. Sedangkan Meisya tahu bagaimana reputasinya pada masa lalu.
Kalau klien yang ditemuinya hari ini bukan lah orang yang penting, rasanya Mario ingin di rumah saja hari ini setelah mengantarkan Meisya. Dia ingin menenangkan pikirannya. Datang ke club malam itu bukan lah solusi untuk membuatnya lupa dengan masalah yang menimpanya.
Pulang dari club, dikiranya Meisya akan peduli dengan dirinya yang pulang dalam keadaan mabuk. Meisya hanya menatapnya datar tanpa mengatakan apa pun. Sungguh Mario rasanya ingin berteriak. Baginya, lebih baik Meisya marah-marah dan mengeluarkan semua unek-uneknya dari pada mendiamkannya.
***
"Hasil tesnya keluar seminggu lagi. Mohon ditunggu," ucap sang dokter kepada Mario dan Sonya.
Mario mengangguk, tanpa tersenyum. Beda dengan Sonya yang dari tadi terlihat bersemangat. Wajahnya sumringah.
Keluar dari ruangan dokter, Mario langsung bergegas menuju lobi tanpa menghiraukan Sonya, sopirnya sudah menunggu. Walau sudah tak memakai kruk lagi, Mario masih belum yakin untuk mengendarai mobil sendiri.
"Mau makan siang bareng nggak?" Sonya tiba-tiba saja sudah berjalan di samping Mario. Bayinya digendong oleh baby sitter yang berjalan di belakangnya.
"Nggak," jawab Mario singkat.
"Kenapa?"
"Gue nggak laper."
"Tapi, Yo, gue bisa nebeng sama lo nggak? Gue nggak bawa mobil tadi."
"Nggak bisa."
Sonya mengerucutkan bibirnya. Dia menahan lengan Mario.
"Yo, nggak kasihan sama bayi kita? Masa gue dibiarin nunggu taksi, kadang kan suka lama."
Mario sontak tertawa seolah Sonya baru saja mengatakan hal yang lucu kepadanya. Mario menghentikan langkah kakinya dan menatap Sonya dengan sorot mata tajam ketika tawanya reda. "Bayi kita? Jangan pernah bilang bayi kita lagi kalau hasil tesnya belum keluar," ucapnya dingin.
Setelah mengatakan itu, Mario pergi meninggalkan Sonya yang mengepalkan kedua tangannya.
"Lo lihat aja, Yo. Gue pasti akan dapetin apa yang gue mau. Kali ini, gue nggak akan kalah dengan cewek kampungan itu."
***
"Bisa diam nggak, sih?"
Sonya sakit kepala mendengar suara tangis anaknya yang terus saja menangis semenjak naik taksi online. Sementara si baby sitter bayi itu terus berusaha untuk menenangkan. Anak majikannya sudah diberi s**u, namun tetap saja masih menangis. Di cek diapers-nya, masih kering, karena dia sempat menggantinya terlebih dahulu sebelum keluar dari rumah sakit.
Huh, bikin malu gue aja.
"Tahu nggak di antar sama Mario kampret, gue bawa mobil aja tadi." Sonya menggerutu sebal.
"Mungkin Binarnya mau makan, Bu," ucap baby sitter itu. Binar adalah nama yang diberikan Sonya pada anaknya tersebut.
"Itu kan ada cemilannya di dalam tas, kasih itu aja dulu."
"Dia nggak mau, dilepeh. Mungkin maunya makan kayak biasa." Maksud baby sitter-nya itu adalah nasi lembek berserta lauk yang biasa dimakan oleh anak bayi berumur 9 bulan itu.
"Ya udah, tunggu sebentar lagi kita juga nyampe. Kamu tenangin dia aja dulu, berisik soalnya."
Jujur saja, Sonya tidak begitu suka mendengar suara bayi menangis. Apa lagi kalau tangisnya tak kunjung reda, Sonya suka ikut uring-uringan. Dia memang tak pandai dalam mengurus anak.
Waktu beberapa hari yang lalu ke rumah Mario saja, dia hampir stress rasanya. Datang hanya berdua dengan sang bayi. Namun, dia berusaha untuk tidak menampakkannya di hadapan lelaki itu.
Sepuluh menit kemudian, Sonya tiba di depan rumahnya. Baru saja dia keluar dari mobil, matanya membola melihat seseorang yang baru saja keluar dari sisi kemudian pada sebuah mobil yang terparkir di dekat rumahnya. Muka Sonya langsung memucat, apa lagi ketika lelaki itu berjalan ke arahnya. Langkah kaki Sonya sontak mundur perlahan, tubuhnya gemetar.
"Sonya."
Hanya dengan mendengar suara beratnya saja, Sonya sudah ketakutan. Ingat dengan hal yang pernah dialaminya dulu bersama lelaki itu.
"Bu, Binarnya-- "
"Bawa dia ke dalam!" Sonya segera menarik tangan baby sitter yang tengah menggendong anaknya. Sedangkan lelaki yang memanggilnya barusan, tampak terkejut melihat bayi kecil yang berada dalam gendongan seseorang berseragam yang diyakininya adalah seorang baby sitter.
"Son, kita perlu bicara." Lelaki itu dengan cepat menghampiri Sonya dan memegang lengan perempuan itu.