Rencana Sonya

1876 Kata
Mario sedikit lega mendengar pengakuan Arya, di sisi lain, dia juga khawatir kepada temannya itu. Arya memang tampak tenang di luar, namun siapa yang tahu isi hatinya? Tanpa banyak bertanya kepada Arya, Mario meninggalkan cafe setelah cukup lama mereka berbicara. Baginya, pengakuan Arya sudah cukup melegakan hatinya. Perihal bagaimana lelaki itu akan mengambil tindakan terhadap Sonya, Mario tidak mau ikut campur. Mario tahu jika Arya tidak akan berdiam diri saja. Buktinya, dia mengakui apa yang telah dilakukannya kepada Sonya dulu. Padahal, dia bisa diam-diam saja dan membiarkan Mario bertanggung jawab atas Sonya. Namun, Arya tak melakukannya. Bukannya tidak mau tahu dengan langkah apa yang akan ditempuh temannya itu selanjutnya, tapi Mario paham kalau lelaki itu pasti tengah berpikir keras. Arya sudah bertunangan kurang lebih 2 bulan yang lalu. Tentu tidak mudah bagi lelaki itu menghadapi kenyataan seperti ini. Memasuki rumah, Mario melihat istri dan anaknya sedang berada di depan TV bermain. Dia menghampiri kedua orang itu. Mario menundukkan kepala dan memeluk leher Meisya yang duduk membelakanginya. "Aku pulang," ucap Mario berbisik di dekat telinga istrinya itu. Dia mengecup kepala perempuan yang sangat disayangnya itu. Meisya hanya meresponnya dengan sebuah deheman singkat. Mario menghela napas. Tunggu sebentar lagi, Sya. Mudah-mudahan semuanya sesuai dengan yang aku harapkan. Walau sudah ada pengakuan dari Arya, Mario tetap ingin membuktikan dengan hasil tes DNA yang akan keluar beberapa hari lagi. "Yah... yah!" Adya yang sedari tadi sibuk bermain, tampak sumringah setelah menyadari kehadiran ayahnya. Dia hendak bangkit berdiri menuju ayahnya. "Ayah mandi sebentar, ya, Sayang. Habis itu baru kita main." Meisya memanggil baby sitter untuk bermain bersama anaknya. Sedangkan, dia menuju kamar untuk menyiapkan air mandi untuk sang suami. Diam-diam, Mario tersenyum mengikuti langkah kaki istrinya tersebut memasuki kamar. Dari awal menikah hingga saat ini, walau sedang ada masalah, Meisya tetap melakukan tugasnya sebagai seorang istri untuknya. Sungguh Mario merasa beruntung memiliki istri seperti Meisya. Mario berharap jika rumah tangga mereka tak akan berpisah sampai maut memisahkan. Kadang Mario tersenyum geli membayangkan dirinya yang begitu bucin kepada Meisya. Tak menyangka jika seorang Meisya bisa membuatnya bertekuk lutut dan menyerahkan hati sepenuhnya hanya pada perempuan itu seorang. Hal yang tak pernah terpikir oleh Mario kalau dirinya akan setia hanya dengan satu perempuan saja. Waktu bersama Pelangi saja, berkali-kali dia mengatakan cinta pada perempuan itu, namun tetap saja dia bermain di belakangnya. Bersama Meisya, semuanya terasa berbeda. Dunia Mario seolah berporos kepada perempuan itu saja. Mario tak memungkiri jika banyak perempuan di gedung yang sama dengannya bekerja, berusaha menunjukkan tanda ketertarikan padanya. Belum lagi kalau dia bertemu klien perempuan. Banyak yang menatapnya dengan tatapan memuja, seperti layaknya dulu saat dia masih kuliah. Bahkan, ada yang terang-terangan mendekatinya meski sudah tahu dirinya sudah memiliki seorang istri. Mario berdecih. Siapa pun, tak ada yang mampu menggetarkan hatinya selain Meisya. Dan Mario akan selalu ingat bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan Meisya karena kekecewaan perempuan itu atas penolakan Mario terhadap kehamilannya dulu. *** "Kenapa? Uang segitu kurang?" Duh, kalau kurang, gue minta duit ke Papa pake alasan apa lagi? Seorang berjas putih di hadapan Sonya saat ini menggelengkan kepala. "Maaf, saya nggak bisa melakukan itu." Sonya berdecak. "20 juta, saya tambahin, gimana?" Toh nanti kalau semua rencananya berhasil, uang segitu bisa didapatnya dengan mudah. Tidak apa-apa sedikit rugi untuk sementara. "Berapa pun nominalnya, saya tidak akan mau melakukan itu. Saya tidak akan melanggar sumpah janji profesi saya." "Tapi-- " "Silahkan anda keluar dari ruangan saya sekarang." Sonya mendelik sebal. Dia menghentak-hentakkan kakinya keluar dari ruangan itu. Sonya harus mencari cari lain untuk mencapai tujuannya. Ketika baru saja keluar dari lobi hendak menuju parkiran mobil, langkah Meisya terhenti melihat seseorang yang dia hindari selama ini keluar dari mobil. Sebelum orang itu melihat dirinya, Sonya kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit. *** Sonya menghela napas gusar. Berkali-kali dia melirik jam pada ponselnya. Hari ini dia adalah hari yang akan menentukan bagaimana nasibnya ke depan. Sonya seharusnya sudah menuju rumah sakit pagi ini. Namun, dia terpaksa menundanya. Anaknya sakit dari semalam dan rewel. Dan sama sekali tak mau berjauhan darinya. Padahal, selama ini Sonya tak banyak mengurus anaknya itu. Kenapa sekarang jadi manja sekali padanya? Jemari tangan mungil anaknya itu menggenggam erat ibu jari Sonya. "Sayang, kamu sama Mbak dan Eyang dulu ya, di rumah. Mama mau berjuang buat masa depan kita. Kamu mau punya papa, 'kan?" Sonya mengusap surai anaknya yang dari tadi hanya diam menatapnya--tanpa mengoceh seperti biasa. Mungkin karena sedang sakit. Semalaman dia benar-benar menjaga anaknya itu layaknya seorang ibu. Binar rewel ketika digendong oleh sang baby sitter dan juga ibunya. Mau tidak mau, Sonya lah yang menenangkan anaknya tersebut. Walau jarang merawat Binar dan tak jarang uring-uringan saat anaknya itu sering menangis, Sonya tetap menyayangi anaknya itu. Bagaimana pun, dia sudah melalui banyak hal hingga melahirkan Binar. Sonya sempat berniat menggugurkan kandungan dulu karena merasa hidupnya jadi berantakan. Namun, dia mengurungkan niatnya mengingat bahwa janinnya tidak mempunyai salah apa-apa. Dia lah yang salah di sini karena telah mengecewakan Arya yang telah setia menemaninya selama bertahun-tahun, hingga kemudian murka padanya yang berkhianat di belakang lelaki itu. Menyesal? Tentu saja. Sonya sungguh tak menyangka jika Arya memperlakukannya kasar. Sonya sadar, dia sudah keterlaluan menyakiti hati lelaki itu. Tak tahan dengan perlakuan Arya, suatu hari Sonya berhasil kabur. Di saat itu juga, dia mendapati jika dirinya sedang hamil. Sonya merasa hancur. Dia bahkan tak berani menampilkan diri di hadapan teman-temannya karena khawatir akan diejek hamil tanpa tanpa seorang suami. Semua telah terjadi. Sonya sekarang hanya ingin fokus pada masa depannya bersama anaknya. Dia ingin sang anak juga mendapatkan kasih sayang seorang ayah. Selain itu, dia yang selama ini tak biasa bekerja--butuh seorang pasangan yang bisa mencukupi kebutuhannya dan sang anak. Tak bisa Sonya pungkiri kalau perkataan papanya memang ada benarnya. Dia tidak mungkin terus-terusan bergantung kepada papanya itu. *** Begitu keluar dari mobil di parkiran, Mario melihat Sonya yang juga baru keluar dari dalam mobilnya. Dia berjalan mendekati perempuan itu dengan santai. Tak seperti sebelumnya saat tes DNA kala itu, Mario lebih tenang hari ini. Mungkin karena pengakuan Arya hari itu yang membuatnya sedikit bernapas lega. Dan merasa siap dengan hasil tes yang keluar hari ini. "Baru datang?" tanya Mario dengan kedua tangannya yag berada di saku celananya. "Iya, eh... enggak juga. Tadi gue udah dateng ke sini." Alis Mario bertaut. "Maksudnya?" Sonya tersenyum. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Sorry, Yo, tadi gue udah ambil duluan hasil tes DNAnya. Sekalian anter anak gue berobat, gue penasaran banget lihat hasilnya dan langsung ambil. Ini gue baru dateng lagi karena janjian sama lo sore ini." "Lo bisa baca sendiri." Sonya menyodorkan amplop yang berada di tangannya kepada Mario. Mario membuka amplop yang diberikan Sonya kepadanya, lalu membaca selembar keras yang dia keluarkan dari sana. "Anak kita, Yo. Gue nggak bohong 'kan sama lo?" Setelah membaca secarik kertas itu, Mario tertawa. Sonya heran kenapa Mario tertawa. Apakah Mario senang begitu mengetahui kalau Bening juga merupakan darah dagingnya? Sonya ikut tertawa juga. "Menurut lo, semudah itu gue percaya sama lo?" Tawa Sonya lenyap seketika. "Maksud lo apa, Yo? Di situ kan udah jelas tertulis kalau lo dan Binar memiliki kecocokan 99,9%. Apa lagi yang harus lo raguin?" Di hadapan Sonya persis, Mario merobek kecil-kecil kertas tersebut membuat mulut Sonya ternganga. "Gue nggak percaya sama apa yang tertulis di dalam kertas ini." Sebelum Sonya mengeluarkan suara protesnya, Mario sudah menarik tangan perempuan itu memasuki rumah sakit. "Lepas, Yo? Lo nggak bisa kayak gini sama gue. Gue bisa tuntut lo di pengadilan karena nggak ngakuin darah daging lo sendiri." Mario rasanya ingin tertawa kencang mendengarnya. Dia mengabaikan ucapan Sonya dan terus menarik tangan perempuan itu dengan kuat. Hingga kemudian langkah kaki MArio berhenti di sebuah ruangan dokter. Wajah Sonya memucat. Dia menghempas tangan Mario, namun dengan cepat Mario mencengkram tangannya kembali. "Lo jangan macam-macam atau gue nggak akan segan untuk berbuat kasar sama lo!" ancam Mario. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan itu, dengan Sonya yang menundukkan kepala. Mario menyapa sang dokter dan meminta hasil tes DNA yang waktu itu dilakukannya. Dan dokter itu memberikannya. Sebenarnya, siang tadi Mario sudah ke sini dan melihat hasilnya. Namun, dia tidak mengambil kertas tersebut. Dia ingin melihatnya bersama dengan Sonya karena ingin tahu apa reaksi perempuan itu. Mario juga telah mengetahui tentang sogokan Sonya kepada sang dokter. Benar dugaan Mario, Sonya berniat memanipulasinya. Sonya tak berani mengangkat kepalanya. Rencananya gagal. Karena Binar sakit, dia tak jadi datang ke rumah sakit lebih awal untuk mengambil tes DNA terlebih dahulu. Niat awalnya adalah mengambil hasil tes DNA yang asli dan menukarnya dengan kertas palsu yang telah dibuat oleh kenalannya. Karena tak sempat melakukan itu, dia memakai cara lain dengan berkata kepada Mario bahwa hasilnya telah diambil olehnya lebih dulu. Dia pikir, Mario akan percaya begitu saja kepadanya, ternyata dugaannya salah. "Terima kasih, Dok. Kami pamit dulu." Setelah keluar dari ruangan dokter, Mario menyeret Sonya ke arah parkiran yang sepi. Di sana, dia baru melepas tangan Sonya dan mengeluarkan kertas dari amplop yang berada di tangannya. "Ini yang asli. Lo pikir semudah itu bisa boongin gue?" Mario tersenyum sinis. "Lo lupa lagi berurusan sama siapa? Mau nyogok dokter, hmm? Ternyata lo nggak berubah dari dulu. Berusaha melakukan hal licik untuk mendapatkan sesuatu yang lo inginkan, nggak peduli walau lo harus nyakitin hati orang lain." Mario mencengkram bahu Sonya. "Lo keterlaluan, Son! Udah dua kali lo bikin orang yang gue sayang ngerasa sedih." Sonya mendongak. "Apa? Lo kan yang sekongkol sama kenalan lo di kampus gue supaya fitnah Meisya? Lo pikir gue nggak tahu, hah?! Sialan!" "Gue-- " "Kalau bukan karena ingat kata-kata istri gue, udah habis lo sama gue! Nggak peduli lo perempuan sekali pun. Siapa yang nyakitin orang yang gue sayang, gue nggak akan toleransi." Mario telah bercerita kepada Meisya tentang siapa yang menjadi dalang atas fitnah yang menyebar di kampus mereka dulu hingga membuat perempuan itu dikeluarkan dari kampus. Jawaban Meiysa sungguh membuat Mario merasa sangat bersyukur mempunyai istrinya itu. Entah terbuat dari apa hati istrinya itu saking baiknya. Meisya tidak ingin Mario membalas apa yang telah Sonya lalukan kepadanya dulu. Semua sudah berlalu katanya. Meisya ingin hidup damai tanpa dendam. "Sekali lagi lo usik rumah tangga gue, lo lihat aja apa yang gue lakuin sama lo. Nggak peduli gimana pun istri gue ngelarang. Ah, bukan lo aja, tapi keluarga lo juga yang akan gue hancurin. Lo nggak lupa 'kan siapa keluarga besar gue?" Sonya terpaksa mengangguk karena Mario yang terlihat menakutkan saat ini. Mario melepaskan cengkramannya. "Bagus. Tepatin janji lo!" "Nasib anak gue gimana, Yo?" tanya Sonya lirih, masih sedikit berharap Mario mempunyai belas kasih membantunya memenuhi kebutuhannya dan Bening. "Temui ayah kandungnya. Lo nggak mungkin lupa kan siapa yang udah hamilin lo?" Sonya menggeleng kuat. Entah kenapa, Mario merasa jika Sonya merasa ketakutan. "Lo harus ngomong sama dia. Walau bagaimana pun dia berhak tahu kalau mempunyai seorang anak dari lo." "Yo, gue-- " "Dia ada di belakang lo sekarang." Mario menatap lurus kepada lelaki yang telah berdiri di belakang Sonya sejak beberapa saat yang lalu. "A-apa?" Sonya terkejut, wajahnya memucat seketika. Tak berani untuk menghadap ke arah belakang. Dia segera berlari, akan tetapi lelaki yang tak lain merupakan mantan kekasihnya itu bisa meraihnya dengan cepat. Sedangkan Mario melenggang pergi dari sana. Urusannya dengan Sonya sudah selesai. Dia tak ingin mencampuri urusan temannya--Arya. Biar lah kedua insan itu menyelesaikan masalah mereka berdua. Toh mereka sudah sama-sama dewasa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN