"Kasur aku kecil, nggak muat berdua. Kamu tidur di karpet aja," ujar Meisya setelah mereka berada di dalam kamarnya--di rumah orang tuanya.
Mario memperhatikan kasur Meisya. Memang berukuran kecil, tapi rasanya itu masih bisa muat untuk dua orang. Tapi sepertinya Meisya sedang tidak ingin sharing tempat tidur dengannya. Kamar Meisya ini berbeda jauh dengan kamar mereka berdua di rumah orang tua Mario.
"Ya udah, aku nggak apa-apa tidur di karpet."
"Emang harus nggak apa-apa. Mau tidur di mana lagi emang kamu? Kalau nggak nyaman di sini, sana tidur ke hotel! Aku udah bilang tadi, kamu nggak harus ikut aku ke sini."
"Aku nyaman, kok." Mario tersenyum tipis.
Sebelumnya, mana pernah Mario tidur di lantai yang hanya beralaskan karpet saja? Tapi tidak masalah baginya, selagi masih berada di kamar yang sama dengan istrinya itu.
"Ini bantal buat kamu."
Mario menerima bantal pemberian Meisya dan meletakkannya di atas karpet. Perlahan, dia mulai merebahkan badannya.
Sebenarnya keluarga Mario ingin membelikan rumah baru untuk keluarga Meisya. Namun, mereka menolaknya. Mereka enggan meninggalkan rumah yang sudah mereka tempati dari sebelum Meisya lahir. Jadi lah, mereka hanya merenovasi rumahnya. Untuk kamar Meisya sendiri, masih sama seperti dukungan ukurannya Hanya saja, sekarang sudah dipasang AC dan ada lemari baru juga. Untuk kasur, Meisya memang melarang untuk mengganti. Menurutnya, kasur yang ditempatinya selama ini masih bagus.
Lima belas menit berlalu, Mario belum bisa tertidur. Dia bangkit duduk, hendak melihat Meisya sudah tertidur atau belum. Ternyata Meisya sedang bergerak gelisah di atas tempat tidur sana. Mario segera bangkit sambil berpegang ke pinggir tempat tidur. Dia menyentuh bahu Meisya pelan. "Kenapa belum tidur? Punggung kamu nyeri lagi?" tanyanya khawatir.
Meisya memang sering merasakan nyeri pada punggungnya semenjak trisemester dua kehamilan hingga saat ini. Mau miring kiri atau ke kanan, rasanya serba salah. Mario tentu saja tidak tinggal diam. Dia memijit punggung dan juga bagian kaki istrinya itu yang sudah mulai membengkak.
"Iya," cicit Meisya pelan.
"Aku pijitin. Kamu miring ke sana dulu." Mario duduk di pinggir ranjang dan bersiap untuk memijit istrinya tersebut.
Meisya menganggukkan kepala.
Mario menyingkap gaun tidur Meisya yang berbahan satin itu perlahan. Dia meneguk salivanya berkali-kali menyaksikan punggung dan paha Meisya yang putih serta mulus. Mario yang dari dulu punya hasrat seksual tinggi tentu saja tergoda melihatnya. Tubuh Meisya yang selalu menjadi favoritnya walau tubuh perempuan itu agak membengkak karena sedang mengandung buah hatinya. Hanya saja ketika dia sudah resmi menikahi Meisya, dia tidak mau meminta terlalu sering kepada perempuan itu. Sangat berbeda dengan apa yang dilakukannya sebelum Meisya ketahuan hamil. Mario lebih berhati-hati bersikap terhadap Meisya saat ini, takut jika dia melakukan satu kesalahan saja, Meisya akan meninggalkannya. Mario tidak sanggup untuk itu. Mario sangat mencintai Meisya dan juga calon anak yang tengah berada di dalam perut Meisya.
"Jadi mau pijitin apa enggak?" tanya Meisya ketika dia merasa tangan Mario belum menyentuh bagian punggungnyayang ingi dipijit.
Mario berdehem menghilangkan rasa gugupnya. "Iya, jadi."
Baru 10 menit Mario memijit, Meisya nampaknya sudah tertidur. Mario tetap melanjutkan pikirannya. Selesai di bagian punggung, dia memijit bagian kaki istrinya itu. Tak lama, Mario pun merasa mengantuk. Dia memilih ikut berbaring di samping Meisya dan memeluk perempuan itu dari belakang. Walau ranjangnya kecil, masih bisa muat untuk tidur berdua jika berdempeten. Dan Mario mengabaikan seruan Meisya tadi yang menyuruhnya untuk tidur di karpet saja.
***
Bangun tidur di pagi hari, Meisya terkejut mendapati tangan kekar Mario yang melingkari perutnya yang buncit. Seingatnya, semalam dia menyuruh lelaki itu tidur di karpet, kenapa malah jadi di atas ranjang bersama dengannya?
Meisya melepaskan tangan Mario tanpa ingin membangunkan lelaki itu. Dia ingin ke kamar mandi ingin mencuci muka dan sikat gigi. Di kamar Meisya ada kamar mandi juga tapi ukurannya kecil, tak ada WC di sana. Selesai dari kamar mandi, Meisya keluar kamar menemui ibu dan ayahnya yang pasti sudah bangun dari tadi. Meisya agak kesiangan hari ini. Biasanya dia selalu bangun pagi, mungkin karena kemarin dari pagi buta sampai menjelang maghrib, dia merasa agak lelah. Meisya tidak memungkiri kalau pijitan Mario bisa membuatnya merasa lebih baik.
"Eh, kamu udah bangun?" tanya Deborah melihat kedatangan anaknya itu ke dapur.
"Iya, Bu. Maaf, aku kesiangan jadi nggak bisa bantu Ibu nyiapin sarapan."
"Walah kamu ini, nggak apa-apa, Nak. Ibu bisa nyiapin sarapan sendiri. Ibu udah bikin nasi goreng buat sarapan pagi ini. Umm, suamimu udah bangun?"
"Belum." Meisya menarik salah satu kursi dekat meja makan dan duduk di sana. Meja serta kursi minimalis yang sederhana, hanya untuk 4 orang saja. Itu dibelikan oleh Meisya sekitar 3 bulan yang lalu. Dia menyisihkan uang jajan yang diberikan Mario kepadanya untuk diberikan kepada sang ibu. Kebetulan Mario sudah bekerja di kantor papanya sejak beberepa bulan yang lalu. Tidak langsung menempati posisi tinggi di sana, papa mertua Meisya itu ingin Mario memulainya dari bawah. Jadi lah Mario hanya sebagai seorang staf karyawan di sana. Mario harus berjuang keras jika ingin mendapatkan posisi yang tinggi walau di kantor papanya sendiri.
Deborah--ibunya Meisya, ikut duduk di samping anak semata wayangnya itu setelah menyendokkan nasi goreg ke dalam wadah besar dan meletakkannya di atas meja makan.
"Ibu mau ngomong sama kamu." Deborah menatap anaknya itu dengan raut wajah serius.
"Mau ngomong apa, Bu?" Meisya mencomot kerupuk di dalam toples yang berada di depannya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
"Kamu... Ibu harap kamu bersikap lebih baik lagi dengan suamimu, Sya."
Meisya yang sedang asik mengunyah kerupuk dan ingin mengambil lagi, tangannya otomatis terhenti--menatap ibunya heran. Apa ibunya sudah tahu mengenai dia yang sampai saat ini masih bersikap dingin kepada suaminya sendiri? Bukannya apa-apa, Meisya masih saja teringat perlakuan semena-mena Mario padanya dulu. Belum lagi, masa depannya hancur gara-gara ulah lelaki itu. Meisya memang sudah memaafkan kesalahan Mario. Namun, memaafkan bukan berarti melupakan, bukan?
“Bu, aku— ”
"Ibu rasa, suami kamu udah banyak berubah. Lihat saja, dia melakukan apa pun untuk kamu. Dan yang Ibu perhatiin, dia benar-benar tulus sama kamu."
Meisya bingung. Dia memang merasa jika Mario mencintainya, berulang kali lelaki itu juga mengucapkan kata cinta untuknya. Namun, apa Mario bisa setia hidup bersama dengannya hingga akhir hayat nanti? Mengingat lelaki itu pernah selingkuh ketika masih berpacaran dengan Pelangi. Kata orang, kalau udah sekalinya selingkuh, bakal terulang kembali suatu saat nanti. Karena selingkuh itu semacam penyakit yang bisa kambuh kapan saja.
"Tapi, apa Ibu nggak ingat kalau masa depan aku hancur karena siapa? Aku udah bikin Ayah dan Ibu kecewa. Aku kehilangan beasiswa, bahkan sampai dikeluarkan dari kampus."
"Ibu dan Ayah memang sempat kecewa. Tapi mau gimana lagi? Mungkin memang udah takdirnya begitu. Lagi pula, kamu bisa melanjutkan kuliahmu nanti setelah melahirkan. "Deborah tersenyum, lalu meraih jemari tangan Meisya untuk digenggamnya. "Berdamailah dengan masa lalu, Nak! Jangan kebanyakan mikir hal yang negatif terhadap suamimu sendiri. Coba tanamkan rasa kepercayaanmu terhadapnya. Ibu yakin, Mario nggak akan sia-siain anak Ibu yang cantik ini."
Tanpa Meisya dan Deborah ketahui, Mario mendengar percakapan mereka dari dekat pintu kamar. Dia sudah bangun semenjak Meisya beranjak dari kasur, namun diurungkannya. Mario takut Meisya marah karena tidur seranjang dengan perempuan itu, padahal semalam dia disuruh tidur di karpet.
Mario kembali merasa bersalah setelah menguping pembicaraan antara Meisya dan ibu mertuanya. Meisya hancur karenanya.
Andai saja dia tidak melakukan hal yang bodoh di masa lalunya...
Andai saja dia mampu mengendalikan hawa nafsunya...