"Sya, lusa temenin aku ke acara pesta pertunangan teman aku. Bisa nggak?"
"Teman kuliah?" Meisya sampai saat ini belum mau bertemu dengan orang-orang yang berasal dari kampusnya dulu. Walau pun sudah banyak yang tahu mengenai dirinya yang sudah menikah dengan Mario, Meisya tetap saja menghindar dari mereka semua. Meisya belum sepenuhnya siap untuk menampakkan diri di hadapan mereka.
"Bukan."
"Terus? Teman SMA kamu? "
"Bukan juga. Yang mau tungangan teman aku d klub mobil dulu. Kamu juga pernah ketemu sama dia, yang waktu aku ajakin kamu ke vila di puncak."
Mendengar Mario menyebutkan tempat itu, sekilas bayangan masa lalu berputar kembali di kepala Meisya. Kejadian buruk di tempat itu yang membuatnya terpaksa harus mengikuti kehendak Mario waktu itu. Raut wajah Meisya berubah seketika.
"Kamu kenapa?"
Mario menepuk jidatnya ketika mengingat sesuatu, yang dirasanya menjadi penyebab perubahan raut wajah Meisya. Mario langsung mendekap istrinya tersebut.
"Maafin aku, Yang! Maaf udah ngingetin kamu pada kesalahan yang pernah aku lakukan dulu." Mario mengusap-usap punggung Meisya lembut. "Aku nggak bermaksud-- "
Air mata Meisya menetes begitu saja. Mungkin kalau tidak ada kejadian di vila waktu itu, dia akan terus melanjutkan kuliahnya tanpa harus cuti. Dan dia tidak akan berada di rumah ini sekarang--dengan Mario yang berada di sisinya setiap harinya saat dia membuka mata di pagi hari.
Tapi, semua sudah berlalu. Dia menangisi pun, keadaannya tak akan kembali seperti sedia kala. Mungkin memang ini lah takdirnya. Meisya sudah memaafkan segala kesalahan Mario pada masa lalu, hanya saja tiba-tiba dia barusan teringat karena lelaki itu menyebut nama tempat yang merupakan kenangan buruk bagi Meisya.
"Sayang, maaf." Mario berkali-kali mengecup kepala Meisya. Sungguh, dia juga tidak sengaja ingin Meisya teringat masa kelam itu.
Tak lama, tangis Meisya mereda. "Nggak apa-apa."
Mario mengurai pelukan mereka dan menghapus sisa air mata Meisya dengan jemarinya.
"Maaf. Kalau dulu aku nggak jebak kamu dengan video itu, mungkin hidup kamu akan baik-baik saja." Mario meraih kedua tangan Meisya dan menggenggamnya. "Tanpa aku sadari, aku udah lama tertarik sama kamu, Sya. Bodohnya, egoku terlalu tinggi untuk mengakuinya."
"Aku mau jujur mengenai beberapa hal sama kamu. Seharusnya dari dulu aku ingin bilang hal, tapi baru akhir-akhir ini kita memiliki kesempatan buat ngobrol dari hati ke hati kayak gini."
Meisya diam menatap suaminya--menunggu kelanjutan ucapan lelaki itu.
"Waktu malam itu, aku memang sengaja menaruh obat peransang di minuman kamu. Aku melakukan itu karena dari awal aku dapetin virginnya kamu, aku pengen terus ngerasain kamu. Maaf... "
Mario meringis. Ragu untuk melanjutkan ucapannya di saat melihat tatapan lekat Meisya padanya tanpa berkata apa pun.
"Inget yang waktu kamu ulang tahun? Sebenarnya, hadiah waktu itu bukan dari Pelangi. Tapi, dari aku sendiri. Aku sengaja beli buat kamu saat tahu kamu ulang tahun."
"I know."
"Apa?"
Meisya sudah menebak jika kalung yang diberikan oleh Mario dulu adalah dari lelaki itu sendiri. Bahkan, Meisya semakin yakin ketika Mario tersenyum senang begitu melihatnya menggunakan kalung itu pada saat dia merawat lelaki itu.
***
"Mantu Mama cantik banget malam ini," ucap Sesil saat Meisya menyalaminya, dan mertuanya itu langsung meraih Adya dari gendongan Meisya.
Meisya dan Mario akan pergi ke pesta pertunangan temannya Mario. Makanya, Adya dititipkan pada orang tuanya.
Meisya tersenyum. "Berkat Mama." Memang Sesil sering mengajak Meisya ke klinik kecantikan untuk perawatan, dan Meisya tidak enak untuk tidak menolak. Mertuanya itu juga menyarankan Meisya untuk menggunakan skin care. Meisya diminta untuk selalu merawat dirinya, bagaimana pun seorang istri sebaiknya berpenampilan menarik agar suami betah melihatnya. Meisya memang sudah cantik sebenarnya, hanya saja kurang menonjol karena selama ini perempuan itu terlihat cuek dengan penampilannya.
"Aku nitip Adya lagi ya, Ma."
"Iya. Seminggu atau sebulan cucu cantik Mama ini di sini juga nggak apa-apa." Sesil mencium-ciumi pipi gembul cucunya tersebut. "Tinggal sama Oma aja ya, Cantik." Sebenarnya Sesil sedikit tidak rela waktu anak, mantu dan cucunya pindah dari rumah mereka. Namun, dia menghargai niat anaknya yang ingin hidup mandiri. Lagi pula, jarak rumah mereka tidak begitu jauh jika Sesil merindukan cucunya tersebut. Setiap weekdays, Meisya selalu menitipkan Adya padanya, Sesil tidak pernah merasa bosan. Weekend, tak jarang dia mengajak mantu dan cucunya tersebut keluar bersama. Mario terkadang suka iri dengan mamanya yang ingin menguasai Meisya dan Adya di saat dia libur kerja. Mario kan ingin menghabiskan waktu dengan anak istrinya.
"Entar, kalau kita berdua pergi bulan madu. Kita titipin sebulan sama Mama," celutuk Mario.
Sesil tentu senang sekali mendengarnya. Berbeda dengan Meisya yang mendelik pada suaminya itu. Baginya, berpisah sebentar saja dengan Adya di kala harus kuliah, terasa berat. Padahal dia hanya kuliah sampai siang hari. Apa lagi seminggu, atau sebulan lamanya?
Mario memang sudah berniat mengajak Meisya honeymoon setelah perempuan itu melahirkan, hanya saja belum mengutarakan niatnya tersebut kepada sang istri. Waktu Meisya masih hamil, sempat terpikir mengajak istrinya itu babymoon, namun Mario tak berani untuk menyatakan niatnya itu karena sikap dingin yang ditunjukkan Meisya padanya. Dan juga kondisi kakinya yang belum begitu membaik.
"Wah, kapan itu? Mama seneng dengernya. Cepetan direalisasikan, deh! Bikin project baru entar di sana."
"Project?" beo Meisya tak paham.
Sesil mengangguk antusias. "Project bikin adik buat Adya."
Meisya mendadak pusing. Baru mulai kuliah beberapa bulan, masa dia harus cuti lagi jika hamil? Adya saja baru mau berusia 1 tahun bulan depan. Bagi Meisya, masih terlalu cepat jika Adya mempunyai seorang adik.
***
"Jangan dipikirin banget omongan Mama tadi," ucap Mario melihat Meisya yang hanya diam saja sepanjang perjalanan. Aku nggak masalah kalau kamu belum siap hamil lagi."
Di dalam hatinya, Mario sungguh ingin Meisya hamil dalam waktu dekat. Biar para lelaki yang mendekati tahu, kalau perempuan itu benar-benar sudah menikah dan mengandung bayinya. Mario kesal, kemarin dia mendapatkan laporan dari orang suruhannya kalau masih banyak saja yang mendekati Meisya. Padahal Mario sudah menyebarkan gosip di kampus melewati suruhannya kalau Meisya sudah menikah dan mempunyai anak.
Meisya masih diam, tidak menyahuti ucapan suaminya itu.
Mario meraih tangan Meisya dan menggenggamnya. "Tapi untuk yang honeymoon, aku serius, Sya. Nggak harus ngabulin permintaan mama juga. Aku hanya ingin pergi berdua sama kamu. Kita belum pernah jalan-jalan berdua aja, 'kan?"
Meisya sontak memiringkan tubuhnya menghadap Mario. "Belum pernah pergi berdua, ya?" tanyanya meledek.
Mario menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dengan satu tangannya lagi. "Sering, sih. Kan beda, Sya. Dulu itu... " Mario tampak salah tingkah. Waktu dulu dia memang sering pergi berdua dengan Meisya. Tapi, lebih sering menghabiskan waktu di penginapan karena tujuannya mengajak perempuan itu hanya untuk memuaskan hasratnya.
"Oke, nanti kita pergi. Atur waktunya dulu." Setelah berpikir, tak ada salahnya jika sesekali dia pergi bersama suaminya, toh Adya aman bersama oma dan opanya. Tak hanya dengan baby sitter saja.
"Seriusan, Sayang? Kamu mau?"
"Hmmm."
Mario langsung memeluk istrinya itu dan mengecup bibirnya sekilas. "Terima kasih, Honey!"
Meisya melotot. "Malu ih, main nyosor aja. Ada Pak sopir," cicit Meisya pelan.
"Nggak apa-apa. Gelap, nggak kelihatan."