Seperti pagi sebelumnya. Aku akan berkutat dengan kompor dan kawan-kawan untuk menyiapkan sarapan. Meski selalu sederhana, Adit maupun Naura sama-sama tidak pernah protes. Aku bersyukur akan hal itu.
Beberapa hari yang lalu, Naura sudah kembali dari rumah sakit. Katanya tidak betah, juga penasaran dengan keadaanku. Padahal, aku merasa baik-baik saja selama ini. Seakan ada yang disembunyikan Adit. Pada akhirnya, aku tetap tak acuh dengannya.
Hampir sebulan membina rumah tangga, baru satu kali Adit menjadi imam dalam salat. Bisakah aku mengulang kejadian itu? Kuharap, Allah memberikan kesempatan agar lelaki itu mau salat bersamaku lagi. Ada hal yang terasa istimewa saat mendengar suaranya yang merdu melantunkan bacaan alquran. Hati terasa lebih tenang. Bahkan melebihi damainya saat aku mendengar suara Ustaz Fadil.
Mungkin karena sudah halal, jadi rasanya berbeda.
Entahlah.
Naura memasuki dapur lengkap dengan gamis cokelat dan jilbab senada yang membalut tubuhnya. Ia bergegas membantuku menyiapkan sarapan meski sudah kutolak dengan halus.
Aku membiarkannya. Hal itu membuat waktu lebih hemat.
"Kak ...." Naura memanggil.
Aku menoleh sejenak. "Ada apa?" Sup yang sudah matang dipindahkan ke dalam mangkuk, untuk kemudian dibawa ke meja makan.
"Aku bosen ...." Naura setengah merengek. Sisa wortel di atas talenan ia potong-potong secara acak. "Bujuk Kak Adit supaya mau liburan, ya?"
"Bosen kenapa? Kan kamu sering keluar, kan?"
"Iya. Tapi cuman di kampus doang. Selain itu, aku dilarang." Suara ketukan di atas talenan terhenti.
Kasihan juga melihatnya. Adit melarang Naura keluar ke mana pun tanpa seizinnya.
"Kenapa bukan kamu saja yang minta liburan sama kakak kamu?" Ada-ada saja Naura. Jika permintaannya saja ditolak, bagaimana denganku?
"Dia keras kepala, Kak." Naura mengikutiku menuju ruang makan, lalu duduk di salah satu kursi.
"Apalagi aku, Nau." Aku terkekeh pelan. Aku melirik ke arah jam. Tumben dia telat hari ini.
"Pasti bisa, Kak. Kapan Kakak ditolak sama Kak Adit?"
Kapan? Aku belum pernah meminta apapun padanya, seingatku.
"Tapi, Nau--"
"Ayolah, Kak. Coba dulu. Kakak cuman perlu datang ke kamarnya, pasang senyum semakin gula dua kilo, bicara lembut, pasti dapat. Coba, ya, Kak?"
"Nau, ini--"
"Permintaan pertama aku .... Boleh, ya?" Naura melebarkan matanya. Kedua telapak tangannya menyatu di depan d**a.
Jika caranya meminta semanis ini, bagaimana caranya aku menolak?
"Oke. Aku coba sekali, ya?" Aku akhirnya mengalah. Dia tersenyum ceria sambil mengangguk antusias.
Aku bangkit dari posisi duduk, kemudian melangkah menuju kamar Adit.
Pasang senyum semanis gula, dan tata bahasa yang halus.
Bismillah.
Semoga bisa.
Aku mengetuk pintu kamar Adit dengan gugup. Hening sesaat sebelum aku kembali mengetuk.
"Masuk."
Dengan debaran halus di dalam d**a, aku memutar kenop pintu, mendorongnya perlahan hingga menampilkan sebuah kamar yang sangat luas. Bercat abu-abu. Di sisi kamar terdapat dua rak yang diisi oleh puluhan, bahkan mungkin ratusan buku. Di dekat rak tersebut ada meja kerja beserta kursi yang menghadap langsung ke jendela. Di sisi lain, ada pintu kamar mandi. Di dekatnya ada lemari cokelat berukuran cukup besar. Juga tempat tidur ukuran king size.
Waw. Aku berdecak kagum. Sederhana, tapi begitu rapi.
"Nissa?"
Pintu kamar mandi terbuka, memperlihatkan sosok Adit yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya; kemeja marun dan celana bahan hitam.
"Ada apa?" Adit memutuskan kontak mata antara kami dengan menghampiri lemari, membuka kedua pintunya bersamaan. Ia menarik sebuah jas hitam, juga dasi lalu memasangkannya di tubuhnya untuk melengkapi penampilan.
"Anu ... itu ... makan pag-eh, sarapan maksudnya." Astaga, kenapa jadi gugup begini. Aku menggigit bibir bawah sambil menunduk memerhatikan ubin putih.
"Oh." Adit menanggapi. "Kenapa tidak sarapan duluan?"
"Nunggu kamu," balasku dengan nada pelan menyerupai bisikan. Mataku beralih pada tempat tidur. Sebuah buku tebal--ralat-- album berukuran tebal berada di sana. Dengan sampul mawar, membuatku begitu penasaran dengan isinya.
Mungkin saja di sana ada banyak foto masa kecil Adit, kan?
"Ayo!"
Aku tersentak kala Adit langsung mengambil benda yang menjadi objek penglihatanku beberapa saat. Ia menyimpan album itu di antara buku-buku di rak paling atas.
Aku menunduk sambil mengikutinya yang keluar kamar. Bagaimana cara mengatakannya?
Naura menyambut kedatanganku di ruang makan dengan senyuman khasnya. Namun, senyumannya perlahan pudar setelah mengetahui makna ekspresi wajahku. Ia cemberut sambil mengaduk acak nasi di piringnya.
"Ada apa, Sayang?" Adit mencium puncak kepala Naura sekali. Aku mengalihkan wajah melihatnya.
Kenapa harus cemburu?
"Bukan apa-apa," sungut Naura.
"Ada apa, Nissa? Naura mual lagi?" Adit menarik kursi di samping adiknya, membalik piring, lalu menyajikan makanan.
"Bukan itu ...." Naura menjawab. "Kak ... aku ...."
"Apa, hm?"
Adit begitu halus berbicara dengan adiknya. Hingga aku yang mendengarnya saja merasa berdebar, membayangkan diri sendiri yang menjadi Naura. Sayangnya, aku tidak seberuntung Naura.
Apa salah jika aku cemburu?
"Aku mau liburan." Naura menatap takut ke arah Adit. "Nggak usah jauh-jauh. Pantai deket sini aja. Lusa aku libur, kok," ucap Naura dengan cepat.
"Naura ...." Nada suara Adit melemah.
Untuk mengalihkan luapan cemburu, aku beralih menyajikan makanan di atas piring. Dengan kepala tertunduk, aku menyantap makanan dalam diam.
"Kamu lagi hamil. Kondisi kamu lemah. Kamu tidak bisa--"
"Kak Adit .... Aku bosan di rumah mulu!"
"Tapi, Sayang ...."
"Kak Nissa juga pastinya bosen. Ya kan, Kak?"
Aku melotot. Untuk apa menyebut namaku di antara perdebatan mereka?
"Aku ...." Kehilangan kata-kata untuk membela diri.
"Nissa tidak mau."
"Kak Nissa mau!"
"Naura, Nissa tidak mau. Jangan dipaksa."
"Kak Nissa mau kok." Naura beralih padaku sambil mengedipkan salah satu matanya. "Kita pilih demokrasi. Suara terbanyak, itu yang menang. Gimana?"
Aku memerhatikan Adit. Dia menghela napasnya pelan. "Oke."
"Kak Nissa pilih mana?"
Astaga. Kenapa Naura malah menjebakku di sini?
"Aku ... terserah."
"Ai. Nggak boleh gitu. Kak Nissa harus pilih salah satu. Aku atau Kak Adit?" Naura berdecak pelan.
"Aku ...." Bagaimana cara menjawabnya? Jujur, aku lebih suka di rumah, tetapi tidak menolak juga jika diajak liburan.
"Liburan, ya, Kak?"
"Hm ...."
"Tuh kan! Tuh kan!" Naura berseru gembira. "Kita jadi liburan! Lusa, ya?"
"Tapi, Naura. Kakak ada kerja lusa," kilah Adit.
Aku menunduk melanjutkan makan.
"Pokoknya lusa!"
"Naura ...."
"Kak Adit jahat!"
Aku tersentak saat Naura tiba-tiba mendorong kursinya menjauh, lalu berlari meninggalkan ruang makan. Sebelum selesai aku menormalkan detak jantung, Adit sudah menyusul adiknya pergi. Meninggalkan istrinya sendiri seolah aku tidak ada.
Aku punya alasan untuk cemburu, kan?
*****
Sekuat apapun Adit memberikan alasan, tetap saja Naura yang menang. Keinginan wanita itu terwujud sekarang. Kami berada di pantai.
Cahaya oranye keemasan terlihat begitu indah di ufuk barat, menyilaukan mata. Tidak apa. Aku menyukai senja. Namun, menatapnya begitu lama, membosankan juga, dan bisa membuat pandanganku menggelap. Jadi, kuperhatikan saja salah satu ciptaan Allah yang tidak kalah indah dari senja. Adit.
Aku tertawa melihatnya kewalahan menasehati Naura yang bermain pantai. Gadis itu kembali ceria dengan wajahnya yang pucat. Sejak tadi siang, kami terus mengikuti kemauannya. Mulai dari ke mall, taman bermain, dan berakhir di pantai ini.
Dengan memberikan ancaman 'keponakan kakaknya akan ngiler nanti,' ia berhasil membuat Adit kewalahan. Sangat lucu melihat keduanya seperti anak kecil, meski aku sedikit khawatir mengenai bayi yang dikandungnya.
Duduk sendirian di bibir pantai membuatku menertawakan diri sendiri. Tak jauh dari tempat ini, banyak pasangan yang menikmati indahnya senja, saling menggenggam, berlarian di air dan tertawa bahagia. Sementara aku? Memiliki suami yang malah sibuk dengan adiknya.
Kenapa aku malah cemburu?
Sadar, Nissa! Dia itu adiknya Adit, bukan selingkuhan Adit!
Aku tercenung, dengan kepala lurus menghadap matahari yang hampir tenggelam, seolah akan tercebur ke dalam laut dalam.
Matahari sendiri, tetapi bisa berbagi suasana dengan penduduk bumi. Saat pagi, ia memberikan keceriaan bagi orang-orang yang akan memulai hari. Ketika siang, matahari seolah membakar semangat manusia untuk semakin bekerja dengan giat. Dan pada sore hari, sinar hangatnya memberikan ketenangan beristirahat.
Apa aku bisa seperti matahari dalam keluargaku? Memberikan keceriaan, semangat, dan ketenangan. Entahlah.
"Apa yang kamu pikirkan?"
Aku terkesiap mendengar suara Adit yang tiba-tiba. Aku menoleh padanya tepat ketika ia duduk di sampingku, memandang lurus ke objek penglihatanku tadi.
"Bukan apa-apa," jawabku. Jujur, wajahnya itu lebih memberikan ketenangan daripada hanya sebuah cahaya senja. Namun, malu juga jika harus menatapnya secara terang-terangan. Jadi, aku mengikuti arah pandangnya.
"Kamu lelah?" Ia kembali bertanya. Kurasakan, ia melirik ke arahku. "Maaf kalau Naura begitu merepotkan."
"Tidak papa." Aku tersenyum hangat untuk meyakinkan dirinya jika aku menyukai hal ini. "Lagipula di rumah seharian hanya akan membuatku bosan."
"Jadi selama ini, kamu bosan di rumah?"
"Mau aku jawab jujur atau bohong, hm?" Kedua alisku terangkat bersamaan, disertai sebuah senyuman yang belum pudar.
"Ya pastinya jujur."
Kedua ujung bibirku semakin tertarik ke atas melihat wajahnya yang menggemaskan karena kesal. Naura dan Adit memiliki persamaan jika kesal, wajah mereka menggemaskan.
"Lumayan, sih. Tapi ada Naura, jadi nggak bosen lagi."
"Kalau sama saya, kamu bosen?"
Mulutku terbuka hendak menjawab, tetapi disela dengan cepat oleh Adit.
"Saya mau jujur!"
Aku terkekeh pelan melihat tingkat kejengkelan di wajahnya semakin bertambah. Entah kenapa, aku merasa bebas sekarang. Mungkin karena Adit yang terlihat bersahabat. Tidak seperti biasa, dingin, datar, mengintimidasi.
"Bosen, banget!" jawabku. Wajahnya kembali datar. "Tapi kalau santai kayak gini, aku merasa nyaman deket sama kamu."
Kurasa, ucapanku barusan tidak salah. Lalu kenapa Adit mengalihkan wajahnya dariku dengan dingin?
"Apa aku salah?" Aku mempertanyakan sikapnya itu.
"Tidak." Adit mengembuskan napasnya lalu berdiri. "Ayo pulang, bentar lagi magrib."
"Dit!"
Adit menunduk melihatku. Sebelah alisnya terangkat, mempertanyakan maksudku memanggilnya.
"Tarik!" Aku mengulurkan tangan kananku sambil tersenyum. Tidak ada salahnya kan, minta tolong?
Meski ia terlihat tidak ingin memenuhi permintaanku, tangannya tetap terulur. Aku meraihnya lalu berdiri.
Pandanganku beredar, menyusuri sekitar pantai untuk mencari Naura.
"Adit!" Aku kembali memanggil Adit ketika menemukan ada keanehan pada Naura yang berdiri di bibir pantai, tak jauh dariku.
"Kenapa lagi?"
"Naura kenapa?" Mataku tidak pernah berpaling dari Naura. Cukup lama gadis itu mematung. Tubuhnya menghadap lurus ke arah sebuah pohon yang besar.
Beberapa saat berikutnya, ia berlari ke arah kami dengan air mata di wajahnya. Apa yang terjadi pada Naura?
Naura memeluk Adit sambil bergumam tidak jelas.
"Dia ... dia datang ... dia datang .... Aku takut, Kak ...."
Dia datang? Siapa?
"Ssst!! Tenang, Sayang. Kakak di sini. Tidak ada yang akan mengganggumu." Adit menenangkan adiknya yang semakin terisak.
"Ayo pulang, Nissa!"
Aku mengangguk mematuhi perintah Adit. Di belakang tubuh keduanya, aku hanya terdiam menyaksikan Adit merangkul mesra adiknya.
Orang-orang di sekitar memperhatikan kami. Adit dan Naura pasti disangka orang pacaran, sementara aku hanya orang ketiga--obat nyamuk. Ah, Nissa. Kenapa kamu masih cemburu di saat-saat seperti ini!
Di dalam mobil, beberapa kali aku menanyai Naura mengenai 'dia' yang selalu keluar dari bibirnya. Bukannya tenang, hal itu malah membuatnya semakin menangis. Aku pun diam. Jika dia tenang, mungkin akan menceritakan semuanya.
*****
Sarapan selesai disajikan. Tumben sekali Naura belum datang ke dapur. Biasanya dia akan datang dan mencicipi masakanku. Atau mungkin kejadian kemarin masih membuatnya trauma? Masalahnya, Naura hanya diam saja. Sejak kemarin sore, dia hanya melamun dengan pandangan kosong ke depan. Porsi makannya menurun lima puluh persen.
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat, akhirnya aku memilih memanggil Naura terlebih dahulu, baru Adit.
Mengetuk pintu beberapa kali, aku tidak menemukan jawaban dari dalam kamar Naura. Perasaanku mulai aneh. Jadi, aku langsung masuk ke dalam untuk memeriksa keadaan gadis itu.
Embusan napas lega keluar dari hidung seolah ingin mengeluarkan beban kekhawatiran yang sempat melanda tadi. Naura terdiam di atas tempat tidur sambil melamun.
Memangnya, apa yang ia lihat kemarin?
"Naura ...."
Ia tersentak kaget saat aku menyentuh bahunya. Wajahnya semakin pucat dan terlihat lemas.
"Ayo sarapan."
"Aku tidak lapar," jawabnya datar sembari menunduk menatap kedua tangannya yang berada di atas pangkuan. "Kakak duluan saja," lanjutnya.
"Kamu harus makan, Nau. Kasihan anak kamu di dalam sana, dia pasti laper. Aku bawain makanan ke sini, ya? Mau makan apa, hm?" Aku mencoba menghibur Naura. Dia tidak boleh egois, karena ada nyawa lain yang ada dalam dirinya.
"Anak ...," Naura tersenyum tipis, sejenis senyuman mengejek yang ditujukan pada dirinya sendiri. Kepalanya menunduk memerhatikan perutnya yang dibalut kimono satin berwarna merah muda. Dadanya naik turun karena mengembuskan napas. Terlihat jelas sekali jika dia memiliki beban yang besar. "Ayo makan," lanjutnya.
Aku tersenyum melihat Naura berdiri di depanku. Untunglah dia tidak keras kepala. Selama perjalanan menuju ruang makan, ia terlihat lesu dan murung. Apa gadis ini mencoba menyembunyikan beban yang ia tanggung?
Sebuah punggung tegap yang dibalut kemeja putih menjadi objek pertama yang kulihat. Lelaki itu sudah siap berangkat. Ia tengah menyesap kopi di atas meja. Aku meringis pelan karena lupa membuatkannya kopi.
"Selamat pagi ...," sapaku padanya, terdengar canggung yang membuatku semakin malu. Debaran di dalam d**a semakin menggila. Tidak perlu menggunakan toa karena suaranya terdengar hingga keluar. Semoga Adit sedang tuli sekarang.
"Pagi," balasnya. Matanya mengikuti pergerakan Naura yang duduk di kursi tempatnya biasa duduk. "Ada apa, Nau?" tanya Adit.
"Nggak papa."
Jelas sekali dari kalimatnya barusan, Naura memiliki masalah besar. Aku semakin penasaran dengan apa yang ia lihat kemarin, hingga efeknya masih ada sampai hari ini.
Adit mengusap lembut wajah Naura sembari tersenyum hangat. "Kamu nanti ke dokter, ya, sama Nissa."
Sebuah anggukan malas dari Naura sebagai jawaban atas perintah Adit. Aku harus tahu sumber masalahnya.
Aku membantu menyajikan makanan di piring Naura. Pagi ini pun sama seperti semalam, makannya hanya sedikit; setengah piring makan. Biasanya piringnya penuh oleh nasi dan lauk.
"Kamu mau makan apa, Dit?" tanyaku. Tanpa sadar, aku menggigit bibir bawah untuk mengurangi rasa canggung.
Adit terlihat terkejut beberapa saat. Sebuah gelengan membuat semangatku luntur seketika.
"Nggak usah. Saya mau makan di luar saja." Ia berdiri dan mengacak pelan rambut hitam Naura. "Baik-baik ya, Sayang."
Kenapa mesti cemburu lagi, sih?
Aku mengatur napas, ikut berdiri di depan Adit. Ia terlihat kebingungan ketika aku menyodorkan tangan.
Tolong terima, atau aku akan malu!
Ia terlihat ragu, menjabat tanganku. Aku tersenyum lalu mencium punggung tangannya. Terasa nyaman dan tenang. Amarah karena cemburu menguap seketika. Saking tenangnya, aku baru melepas tangannya setelah ia berdeham pelan.
"Assalamu'alaikum," ucapnya sembari meninggalkan aku dan Naura.
"Wa alaikumussalam," bisikku dalam hati.
Makin dekat! Yey!
*****
Setelah memeriksa keadaan Naura di klinik terdekat, ia masih saja sering melamun. Dokter mengatakan jika Naura sedang mengalami stress berat dan bisa membuat kandungannya lemah.
Sejak masih di dalam mobil, aku sering memintanya untuk berbagi beban dengan sedikit bercerita. Tetap saja, ia bungkam.
Kini, aku dan Naura ada di ruang keluarga, mengajaknya menonton. Siapa tahu ia bisa lupa sejenak dengan masalahnya. Dan lagi, usaha ini tidak membuahkan hasil.
"Sebenarnya ada apa, Nau?" Aku kembali bertanya. TV sudah kumatikan agar kami bisa berbicara dengan tenang. Semoga ia merespon kali ini.
"Tidak papa."
"Kamu tahu, Nau. Bercerita bisa membuat beban sedikit berkurang. Kamu kan sudah menganggapku sebagai teman. Apa kamu tidak mempercayai aku lagi untuk menjaga rahasiamu?"
Kepala Naura menunduk dalam, seolah beban itu sudah sampai di ubun-ubunnya dan begitu berat untuk ia tanggung. Tetesan demi tetesan air keluar dari matanya.
"Dia datang, Kak," jawabnya setelah hening. "Dia datang lagi, mau ngehancurin hidup aku."
"Dia? Siapa 'dia'?" Semoga dia terpancing dan menjawab pertanyaanku. Cukup dari kemarin hingga saat ini aku penasaran dengan 'dia'. Aku ingin tahu siapa yang Naura maksud.
"Dia ... dia ...." Isakannya semakin keras, menarikku untuk memeluknya.
"Tenanglah! Tidak perlu cerita sekarang." Aku iba mendengarnya menangis. Jadi membiarkannya tenang adalah pilihan yang tepat, kurasa.
Bahu Naura perlahan luruh dalam pelukanku. Tubuhnya terasa lebih berat. Apa dia tertidur, atau pingsan?
"Nau? Naura?" panggilku. Tidak ada respon.
Aku terdiam dan mendengarkan deru napas Naura yang mulai teratur. Mungkin tidur.
Sekarang, bagaimana caranya membawa Naura ke kamar seorang diri? Masa iya, membiarkannya tidur di sofa sempit ini. Atau aku harus meminta tolong pada Pak Anton.
Mungkin pilihan kedua lebih tepat.
*****