10. Ungkapan Cinta Reza

3646 Kata
"Ma, di mana Ara? Kenapa dia belum kelihatan dari tadi? tanya Pak Nathan setelah duduk di kursi ruang makan, dimana kursi itu adalah khusus untuk kepala keluarga. "Mama tidak tahu, Pa. Kan dari tadi Mama bersama Papa di kamar, dan keluar selesai sholat Magrib kemudian menyiapkan makan malam kita," jawab Bu Nara turut bingung, dan mulai sadar kalau memang ia belum melihat putri kesayangannya. "Tunggu, biar Mama lihat di kamarnya," sambung Bu Nara, dengan menepuk bahu kanan suaminya. Kemudian ia berniat ke kamar Ara yang berada di lantai 1. "Iya, cepat kembali." "Iya." Ketika Bu Nara berniat memanggil Ara di kamar gadis cantik itu, tiba-tiba Bu Nara dibuat terkejut saat melihat putrinya menjelma sebagai seorang putri. Tap! Tap! Tap! "Mama! Mama kenapa ada di tangga seperti? Apa Mama baik-baik saja, apa Mama sakit?" tanya Ara beruntun begitu ia berada dihadapan Bu Nara. "Ti--tidak, Mama tidak apa-apa. Mama sehat, dan tidak sakit," jawab Bu Nara setelah sadar dari keterkejutannya. Bu Nara menatap putri kesayangannya dari atas sampai bawah, ketika melihat penampilan Ara yang terlihat cantik bak putri raja. "Ya Allah ... kamu sangat cantik malam ini, Sayang. Mama sampai terkejut melihat penampilanmu, kamu seperti ini memangnya mau kemana, Nak?" tanya Bu Nara lembut, dan langsung merangkul Ara. Kemudian mengajak putrinya ke ruang makan, untuk menemui Papanya. "Hehe ... Ara ada janji sama seseorang, apa Ara boleh pergi Ma?'' izin Ara sedikit takut. "Kita bicara di sana, ya, sama Papa juga,'' ajak Bu Nara, karena ia tidak berhak memutuskan semuanya. Sebab masih ada suaminya yang lebih berhak, dalam mengizinkan. Pak Nathan semula fokus dengan ponselnya, seketika menoleh saat ia mendengar beberapa langkah dan ia tahu kalau ke dua wanita yang ia tunggu telah datang. "Akhirnya kalian datang juga, Papa sudah sangat lap ---" Ucapan Pak Nathan seketika terhenti, saat ia menoleh ia melihat Ara putri nya telah tapi dan terlihat sangat cantik. Sama seperti saat Bu Nara melihat Ara tadi. "Sayang ... kamu mau ke mana? Bukankah kita tidak acara di luar, benar 'kan Ma?'' tanya Pak Nathan cepat. Ara terlihat menoleh ke arah Mamanya, lalu Bu Nara menganggukkan kepalanya memberikan isyarat agar Ara memberitahu Papanya sendiri kalau malam ini Ara ada janji dengan seseorang. Merasa ada yang mendukung, Ara menjadi berani dan ia langsung mengungkapkan niatnya pada Pak Nathan. "Ini ... Ara ada janji dengan seseorang makan malam di luar. Apa Ara boleh pergi, Pa?'' izin Ara pada akhirnya. Pak Nathan mengerutkan dahi sesaat, tidak lama ia mengerti pasti pria yang akan mendekati Ara telah mengajak putrinya makan malam. "Dengan siapa, Sayang? Atau dengan sahabatmu seperti biasanya," tanya Pak Nathan pura-pura tidak tahu. "Bukan sama Sintia, Pa. Tapi, sama teman yang lain." Bu Nara tidak ingin rencana putrinya pergi makan malam dengan seseorang itu berantakan, gara-gara tidak mendapatkan izin dari Pak Nathan. Akhirnya ia berinisiatif mendekati suaminya, dan langsung merangkul lengan Pak Nathan. "Beri izin, ya, Pa. Kita juga bisa pergi jalan-jalan. Bukankah ini malam minggu, Mama jadi ingin seperti anak muda," rayu Bu Nara, dan membuat Pak Nathan bimbang apakah ia harus mengizinkan putrinya makan malam dengan Reza atau tidak. Pak Nathan pun tidak ingin melihat kesedihan di wajah Ara-nya, jadi ia memberikan izin Ara pergi. "Baiklah, Papa izinin kamu pergi. Tapi, jangan pulang sampai lewat jam 21:00 malam. Terus hati-hati, dan biarkan supir keluarga yang mengantar kamu, jangan pergi sendirian," luluh Pak Nathan. Mendengar Papanya mengizinkan, d**a Ara seketika merasa plong. Ia senang sekali, karena biasanya Pak Nathan jarang memberikan izin ia keluar rumah malam-malam. Grepp! Ara menghambur ke pelukan Pak Nathan, untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya. "Terima kasih, Pa. Iya, Ara akan usahakan pulang cepat," peluk Ara sebentar. "Itu harus, dan Papa akan menunggu Ara sampai pulang," paksa Pak Nathan. "Iya, Pa." Tidak lama, selesai memeluk Papanya Ara memeluk Mamanya, untuk berpamitan. "Ma ... Ara pergi dulu, ya," peluk Ara seraya berpamitan. "Kamu hati-hati, ya, Sayang,'' pesan Bu Nara dengan memberikan kecupan lembut di pipi Ara. "Iya, Ma." "Ya udah, Ara pergi dulu," sekali lagi Ara pamit, dengan melambaikan tangannya. Pak Nathan dan Bu Nara tidak lantas membiarkan Ara pergi keluar rumah begitu saja, kedua orang tuanya mengikuti hingga supir keluarga benar-benar mengantar putri kesayangannya. Sebelum supir melajukan mobil, Pak Nathan terus mengingatkan agar membawa mobil pelan dan terus berhati-hati di jalan. "Hati-hati saat membawa mobil, jangan biarkan Putriku sendirian. Pantau terus, dan laporkan padaku," bisik Pak Nathan pada supirnya. "Baik, Pak." Tidak lama, supir pun mulai melajukan mobil. Pak Nathan dan Bu Nara melihat mobil yang di dalamnya ada Ara hingga menghilang di balik pintu gerbang. "Ara sudah pergi, jadi kita juga harus pergi. Tidak usah ganti pakaian, pakai seperti ini saja," ajak Pak Nathan dengan langsung menggenggam tangan Bu Nara, ke arah deretan mobil. Pak Nathan memilih mobil hitam, agar tidak mudah dikenali oleh Ara. Ya, Pak Nathan berniat mengikuti kemanapun putrinya itu pergi. Sebagai seorang Ayah ia hanya ingin memastikan kalau putrinya baik-baik saja, bersama siapapun orangnya. "Tapi, Pa?'' sanggah Bu Nara, tapi tetap menurut dan mengikuti kemana pun suaminya. "Masuklah, kita harus cepat." Tanpa banyak kata, Bu Nara langsung masuk ke dalam mobil begitu Pak Nathan selesai membuka pintu mobil. Melihat sang istri telah duduk dengan nyaman ia menutup pintu, kemudian Pak Nathan bergegas memutari mobil dan duduk di balik kursi kemudi. Pak Nathan mulai melajukan mobilnya, sambil menyetir mobil ia membuka GPS untuk mencaritahu di mana saat ini Ara berada. Ya, hanya cara itu Pak Nathan dan Bu Nara bisa tahu kemana pun Ara pergi. *** Saat Ara dalam perjalanan ke restoran tempat janjiannya dengan Reza, pria yang mengajaknya saat ini baru saja turun dari kamarnya. Ya, Reza baru selesai mandi dan berganti pakaian. Ia sempat ketiduran tadi, sepulang dari kantor. Begitu ia sadar, dan terbangun ia melihat jam di dinding kamarnya telah menunjukkan hampir jam enam malam. Ia pun dengan terburu langsung masuk ke kamar mandi, tidak sampai sepuluh menit ia selesai mandi. Kemudian ia memilih pakaian semi formal untuk acara dinnernya dengan Ara. Reza juga lupa membeli cincin, dan bunga untuk diberikan pada Ara. Ya, niatnya malam ini dengan mengajak Ara makan malam selain ia ingin mengungkapkan perasaannya, ia juga ingin melamar Ara dengan disaksikan banyak orang di dalam restoran. 'Aku harus cepat ke toko perhiasan,' gumam Reza dengan sedikit berlari sebelum memasuki mobilnya. Tidak lama, Reza mulai meninggalkan pelataran rumahnya dan menuju toko perhiasan. 'Masih jam enam lewat lima belas menit, jadi aku masih memiliki banyak waktu untuk membeli cincin dan bunga untuk Ara,' monolog Reza sebelum mobilnya berbelok ke toko perhiasan. Tidak sampai lima belas mengemudi akhirnya Reza sampai di pelataran toko perhiasan, ia pun bergegas turun tidak lupa ia menutup pintu mobil kembali sebelum ia memasuki toko. "Selamat malam Pak Reza, sudah lama Anda tidak kelihatan di toko saya," sambut pemilik toko, yang telah mengenal Reza. "Iya, aku sedikit sibuk di kantor," sanggah Reza berbohong. "Sekarang carikan aku cincin yang bagus," sambung Reza, seraya melihat-lihat beberapa cincin di estalase. ''Oke ... saya tahu selera Anda, Pak Reza. Karena bukan kali ini saja Anda membeli cincin untuk wanita yang Anda kencani," jawab pemilik toko dengan senyum arti. Ya, memang selama ini Reza memang sering pergi ke toko perhiasan untuk membelikan cincin pada wanita yang dekat dengannya. Terkadang ia langsung membawa wanita ke toko, tapi lebih banyak ia membeli sendiri. "Hanya tinggal ini, Pak Reza. Maaf, cincin spesial kami sudah habis terjual, apa Anda mau yang ini?" tanya pemilik toko, karena ia tidak menemukan cincin yang bagus untuk Reza. Hanya cincin sederhana, dan polos. Itu pun harganya tidak menguras kantong, jika cincin itu diberikan pada Ara. 'Tidak ada pilihan lain, lebih baik aku pilih yang murah saja. Terpenting niatku melamar Ara, jadi harga dan model cincin rasanya tidak penting,' batin Reza. Sejenak Reza berpikir, apakah pantas cincin sederhana itu diberikan pada Ara. Tapi, memang niatnya untuk mendapatkan hati Ara malam ini, maka ia tidak peduli sama model dan harga cincin di tangannya. "Baiklah aku ambil cincin itu, jangan lupa taruh dalam kotak perhiasan agar terlihat mahal,'' pinta Reza. "Baik, Pak." Sesuai permintaan Reza, pemilik toko dengan dibantu karyawannya mulai menaruh cincin pilihan Reza di dalam kotak berbentuk love berwarna merah. Kemudian meletakkan di dalam paper bag kecil, setelah selesai pemilik toko memberikan cincin itu pada Reza. "Ini, Pak." "Terima kasih, dan ini uangnya," ucap Reza setelah ia menerima paper bag berisi cincin untuk Ara. Setelan membayar, Reza bergegas pergi tujuan berikutnya adalah membeli bunga yang kebetulan toko bunga itu tidak jauh dari tempatnya ia berdiri saat ini. Mobil yang dikendarai Reza melaju dengan sedikit kecepatan, mengingat waktu terus berjalan cepat. Ia tidak ingin datang terlambat di pertemuan pertamanya dengan Ara, meskipun pada akhirnya ia memang akan datang terlambat mengingat Ara telah berangkat ke restoran tempat janjian lebih awal. Reza turun, dan membeli seikat bunga tanpa memilih atau pun mencaritahu dahulu bunga apa kesukaan Ara. Yang terpenting buatnya saat ini, ia bisa membawa bunga dan cincin. **** Di dalam restoran terlihat Ara telah duduk dengan perasaan gugup, ini adalah kali pertama ia akan makan malam dengan seorang pria. Sengaja ia datang lebih awal, karena ia tidak ingin datang terlambat dan membuat Reza kecewa. Tapi, setelah setengah jam menunggu Reza yang ditunggu tidak kunjung datang. Terlintas dalam pikirannya, apakah pria yang mengajaknya dinner malam ini akan datang atau tidak. 'Kenapa Mas Reza belum datang, apa dia melupakannya janjinya?' tanya Ara dalam hatinya. Ara yang sebelumnya terlihat ceria, dengan senyum indah selalu menghiasi bibir mungilnya. Kini terlihat murung, ia takut Reza tidak jadi datang. Pak Nathan dan Bu Nara yang berada tidak jauh dari meja Ara, terus saja melihat dan memperhatikan ekspresi putri kesayangannya. Semenjak mereka berdua masuk, ia melihat antusias di wajah Ara. Tapi, kini Pak Nathan yang peka merasa tidak suka saat melihat wajah putri kesayangannya murung. 'Awas saja kalau kamu sampai membuat putriku menangis, dengan kebohonganmu dan membuat Araku lama menunggu,' batin Pak Nathan sesaat ia mengingat wajah Reza, dengan marah. Ketika Pak Nathan dalam pikirannya kalau Reza bukalah pria yang baik untuk putrinya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan kedatangan seorang pria muda menggunakan pakaian dalaman kaos polos berwarna hitam, jas warna senada, dan celana jins berjalan ke arah meja Ara. Pria muda itu tidak lain adalah Reza Fahreza, dengan membawa bunga di tangan dan paper bag kecil di tangan kirinya. Pria itu tiba-tiba mengejutkan Ara, yang saat ini tengah menunduk memperhatikan ponselnya, tanpa menyadari kalau pria yang ia tunggu telah sampai di hadapannya. "Hai ... Cantik, apa kamu sudah lama menungguku?" "Mas Reza ...." "Iya, ini aku. Maaf aku datang terlambat, apa kamu sudah lama menungguku?" tanya Reza setelah duduk tepat di hadapan Ara, hanya terhalang meja di tengah-tengah mereka. Karena tidak ingin pria dihadapannya merasa merasakan perasaan bersalah padanya, Ara pun berbohong. "Tidak, Mas. Aku juga baru saja sampai, dan baru duduk di sini juga," bohong Ara, padahal ia sudah setengah jam lebih menunggu kedatangan Reza. "Oh, syukurlah, kupikir aku datang terlambat. Tadi aku sempat ketiduran, dan baru bangun waktu telah menunjukkan hampir pukul enam tadi," jelas Reza tetap merasa tidak enak pada Ara. "Tidak apa-apa, Mas, sungguh. Sekarang Mas Reza mau pesan minuman, dan makanan apa? Biar saya yang pesankan," tanya Ara lembut, dengan mengalihkan pembicaraan. "Ah, iya, aku sampai lupa untuk dinner kita. Kamu pesan semua makanan yang kamu suka, dan minum yang kamu suka. Aku ngikut saja, karena semua makanan tidak ada pantangan buatku," jawab Reza sadar, kalau ia dan Ara saat ini sedang dinner makan malam. Tidak jauh dari tempat duduk Ara dan Reza, terlihat kedua orang tua Ara terus saja memperhatikan dari Reza masuk ke dalam restoran hingga pria itu duduk di hadapan Ara. Terlihat wajah penasaran Bu Nara, ketika ada pria yang tiba-tiba duduk dihadapan putrinya. Bu Nara seketika yakin, kalau pria tampan itu adalah seseorang yang pernah diceritakan oleh Ara beberapa hari lalu. Sedangkan Pak Nathan sudah tahu siapa itu Reza, ia pun tidak merasa terkejut lagi. Meskipun pada akhirnya ia tetap harus mencari informasi tentang Reza, cuma karena mengikuti Ara putrinya ia melupakan niatnya itu. "Pa, apa itu pria yang saat ini dekat dengan Ara kita?" tanya Bu Nara penasaran, tapi pandangannya terus mengarah di meja Ara. "Iya, Sayang. Pria itu bernama Reza Fahreza, seorang CEO muda dari perusahaan Fahreza Group," jawab Pak Nathan datar. "Wah ... ternyata pria yang di sukai putri kita ternyata pria mapan, ya, tampan juga," tanpa sadar Bu Nara memuji Reza. Pak Nathan mendengar pujian dari mulut istrinya, seketika merasa ia merasa kesal sendiri. Sebab Bu Nara jarang sekali memuji pria lain, tepatnya saat dihadapannya. "Cih ... kalah jauh sama Papa, Sayang," ejek Pak Nathan tidak terima. "Iiihh ... Papa, Mama memuji pria yang saat ini dekat dengan Ara bukan karena Mama menyukai dia. Jadi, jangan cemburu,'' kekeh Bu Nara seraya menggoda suaminya. "Terserah, tetap aku tidak suka saat kamu memuji pria lain di hadapanku," larang Pak Nathan Possessive. "Baiklah, Mama tidak akan mengulanginya," pasrah Bu Nara, karena ia tidak ingin berdebat dengan istrinya. *** Makan malam telah selesai, Ara sedari tadi diam tidak menanyakan perihal bunga dan paper bag kecil di atas meja. Tapi, matanya lekat tetap memandang dan tertuju pada apa yang di bawa Reza tadi. Rasa penasaran menggelitik hatinya, ia pun dibuat bertanya-tanya. 'Bunga dan paper bag siapa yang di bawa, Mas Reza? Jika semua itu diberikan padaku, tentunya sudah dia berikan sejak dia baru sampai di restoran. Tapi ini, bahkan setelah makan malam selesai terlihat Mas Reza masih santai dan tidak mau memberitahu diriku bunga untuk siapa itu?' bingung serta tanya dalam hati Ara. Reza bukannya tidak tahu, jika wanita dihadapannya tidak pernah melepaskan pandangannya dari bunga serta paper bag yang ia bawa. Memang sengaja ia tidak memberitahu, ataupun memberikan semua dari awal kedatangannya. Karena ia ingin membuat Ara penasaran, dan juga mengira-ngira bunga itu akan diberikan pada siapa. 'Sepertinya sudah saatnya aku memberikannya kejutan itu, dan mengungkapkan isi hatiku pada Ara. Ya, meskipun aku tahu cintaku ini murni dari hatiku ataukah hanya karena Ara anak dari seorang Nathan Satria Wiraguna?' 'Yang jelas, malam ini aku harus mendapatkan hatinya Ara terlebih dahulu. Kemudian barulah aku menaklukkan hati orang tuanya Ara,' tekad Reza. Saat Ara masih diliputi pertanyaan dalam hatinya, tiba-tiba Reza mengambil cincin di dalam paper bag dan bunga. Kemudian ia berdiri, tidak lama ia berjalan tepat di samping Ara. Lalu ia berjongkok, seraya mengungkapkan isi hatinya. "Aku tidak tahu caraku, dan ungkapan cintaku ini terlalu cepat buatmu. Tapi, bagiku aku telah dibutakan oleh cinta sejak pertama kita bertemu." "Ya, aku Reza Fahreza mencintaimu Tiara Cahyani Wiraguna. Sejak malam pertama kita bertemu, aku selalu teringat padamu. Ada rindu menggebu di dalam hatiku, tapi aku terjebak dalam urusan kantor hingga tidak sempat menemuimu.'' "Tapi, malam ini dengan disaksikan banyak orang dalam restoran ini. Aku tidak akan ragu mengenai perasaan, dan juga cintaku padamu. Maukah kamu menjadi wanitaku, hidup menua bersamaku dengan menjadi kekasih halal dan Ibu dari anak-anakku," ucap Reza dengan lantangnya, hingga membuat semua mata tertuju padanya dan Ara. Mendengar ungkapan cinta, sekaligus lamaran dari pria yang telah mencuri hatinya. Membuat Ara tidak bisa berkata-kata, rasa bahagia dan syukur memenuhi hatinya. Ia begitu terharu, hingga netranya mengeluarkan buliran air mata bahagia. "Mas Reza ....?" "Yang Mas katakan, apakah benar?" Ara bertanya untuk menyakinkan dirinya sendiri apakah yang ia dengar tadi adalah mimpi atau bukan? "Iya, Sayang. Apa yang kukatakan adalah isi hatiku sebenarnya, aku mencintaimu Ara. Maukah kamu menerima lamaranku? Aku tahu ini terlalu cepat untukmu, tapi aku tidak bisa menahan diriku untuk menjadikanmu wanita dalam hidupku," jelas Reza seraya mengulurkan kotak kecil berbentuk hati, yang isinya cincin. Ara menganggukkan kepalanya, ia menyetujui lamaran Reza. Sebab ia merasakan perasaan yang sama, seperti saat ini dirasakan oleh Reza. "Iya, saya mau Mas. Saya menerima lamaran Mas Reza," jawab Ara mantap tanpa pikir panjang lagi karena ia pun dibutakan oleh cinta seorang Reza Fahreza. Mama dan Papa Ara yang kebetulan menyaksikan begitu terkejut dengan kenekatan Reza, tapi Bu Nara merasa senang. Karena menurutnya pria yang melamar putrinya saat ini memang mencintai Ara-nya, dengan membuktikan melamar dan mengungkapkan cinta di hadapan orang banyak. Namun, berbeda dengan yang dirasakan oleh Pak Nathan. Ia merasa Reza terlalu cepat melamar Ara-nya, apalagi perkenalkan mereka baru sekali. 'Ini sangat aneh menurutku, kenapa pria itu begitu cepat mengungkapkan perasaannya dan juga melamar Araku. Apa dia memiliki niat tertentu pada Ara, jika benar awas saja dia,' batin Pak Nathan, tapi saat ia melihat binar di wajah Bu Nara ia pun menepis perasaan itu. ''Lihatlah, Pa, Ara kita begitu bahagia. Cara dia memandang cincin di jari manisnya itu cukup membuktikan, kalau Ara kita sudah siap membina rumah tangga bersama pria itu," ucap Bu Nara antusias, dengan pandangan masih mengarah ke meja Ara dan Reza. "Iya, aku tahu. Semoga saja Ara kita selalu bahagia, tidak ada air mata kesedihan di matanya," harapan Pak Nathan. "Aamiin ...." doa yang sama Bu Nara panjatkan untuk kebahagiaan putrinya. "Sekarang lebih baik kita pulang duluan, biarkan mereka menikmati momen indah mereka malam ini. Aku yakin, besok pasti pria itu akan menemui kita," ajak Pak Nathan, dengan langsung merangkul istrinya. Bu Nara hanya menurut, apa yang dikatakan suaminya memang benar. Sesaat sebelum ia dan suaminya benar-benar pergi meninggalkan restoran ia memandang wajah Ara yang terlihat memancarkan kebahagiaan. Seketika kebahagiaan itu menular kembali, di dalam relung hatinya. Sebagai seorang Ibu, ia hanya bisa mendoakan dan berharap yang terbaik untuk putrinya. "Mama juga bahagia melihatmu bahagia, Sayang. Semoga Allah senantiasa menjaga dirimu, dengan melimpahimu banyak kebahagian. Hingga tidak ada ruang pengkhianatan, dan juga air mata yang dulu pernah Mama rasakan," doa dan harapan Bu Nara dalam hati. Pak Nathan dan Bu Nara pun pergi, meninggalkan area restoran yang menjadi saksi bersatunya cinta antara Ara dan Reza, dengan disaksikan banyak pengunjung restoran. Tepuk tangan meriah dari pengunjung restoran, pada pasangan yang baru saja selesai lamaran itu. Reza dan Ara beberapa kali melempar senyum tulus mengungkapkan rasa terima kasih pada para pengunjung restoran. "Terima kasih banyak," ucap Reza dengan suara keras. Para pengunjung semakin mengencangkan tepukan di tangan mereka, sedangkan Ara tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya kala Reza merangkul tubuhnya. Ia pun langsung bersembunyi di dalam d**a bidang itu. Reza merasa senang, ketika melihat wajah malu-malu Ara di dalam dadanya. Akhirnya apa yang ia pikirkan itu adalah benar, kalau Ara memang memiliki perasaan padanya, dan itu membuat hal untuk memiliki Ara jadi lebih mudah. "Apa kamu senang, Sayang, dengan apa yang kulakukan malam ini?" tanya Reza seraya mengelus punggung Ara. "Iya ... saya senang, Mas. Semoga niat kita dimudahkan, dan dilancarkan hingga kita menikah nanti," harapan dan doa Ara tulus. "Aku berharap juga begitu, sambil menuju halal. Kita bisa saling mengenal sifat kita masing-masing, kamu boleh tanya apa yang aku suka dan tidak. Semua hal tentang diriku, kamu berhak tahu. Begitu pun sebaliknya, aku juga harus tahu semua tentang kamu," jawab Reza dengan melerai rangkulannya, kemudian ia menatap teduh wajah Ara. "Iya, Mas, kita lakukan pelan-pelan saja," saran Ara. "Baiklah. Terserah dan senyamannya kamu, Sayang." "Sekarang aku antar kamu pulang, mengingat saat ini sudah mulai larut malam. Besok aku akan ke rumahmu, untuk menemui kedua orang tuamu," ajak Reza, dan Ara pun menurut. Ara membenarkan ucapan tunangannya, jika malam ini terasa sudah mulai larut. Padahal saat ini masih ingin berlama-lama dengan Reza, tapi mengingat janjinya sama Papa dan Mamanya akhirnya ia menyetujui untuk pulang. "Sayang ... kamu pulang pakai mobilku saja, ya," harap Reza. Tapi, ketika sampai di lobi Ara malah lebih memilih pulang menggunakan mobil yang dikendarai supir keluarga. "Maaf sebelumnya, Mas. Sepertinya saya lebih baik pulang dengan mobil saya saja, ya. Tidak enak, kalau kita langsung semobil," ucap Ara lembut, memberikan pengertian pada Reza. "Oh, begitu, ya. Baiklah, aku akan mengantarmu dengan mengikuti mobilmu dari belakang," setuju Reza setengah hati, tapi dalam hatinya ia menyayangkan penolakan Ara. 'Ah, nggak seru. Kenapa Ara malah menolak ajakanku,' batin Reza sedikit kesal. Mendengar pengertian Reza, Ara merasa senang. Ia pun seketika memutar tubuhnya, dan berniat masuk ke dalam mobilnya. "Terima kasih, Mas, kalau begitu Ara pamit pulang duluan, ya," ucap Ara setelah itu ingin masuk ke dalam mobil, tanpa berpelukan ataupun memberikan kecupan dahulu pada Reza. Tapi, Reza sigap menahan lengan Ara agar tidak masuk ke mobil dahulu. "Ara, tunggu!'' "Iya, Mas?" "Kamu melupakan sesuatu?" bohong Reza. "Eh, apa, ya? Sepertinya tidak ada kok, semua sudah saya bawa," jawab Ara polos. Cup! Degh! Reza mengecup pipi kanan Ara, perlakuan Reza membuat wanita dihadapannya seketika mematung. Karena hal ini adalah kali pertama Ara mendapatkan kecupan dari seorang pria, beruntung Reza tidak mengambil ciuman di bibirnya. 'Apa! Mas Reza mencium pipiku, kenapa dia melakukan itu?' tanya Ara polos dalam hatinya. Padahal jika biasanya untuk pasangan yang sebentar lagi menuju halal, kecupan itu lumrah. Asal tidak melebihi batas, tapi bagi Ara itu hal baru dan rasanya membuat ia tidak nyaman. Bukan karena tidak suka, tapi menurutnya belum waktunya jika belum halal. "Maass ...." panggil Ara, seraya memegangi pipinya yang baru saja di cium Reza. "Tidak apa, itu hanya kecupan selamat malam. Itu juga tanda cintaku padamu, apa aku perlu melakukan kecupan lagi dan itu di bibirmu. Agar kamu lebih percaya, kalau aku memang benar-benar mencintaimu, Ara?" jelas dan tanya Reza, dengan cara menggoda. "Ti--tidak! Mas tidak boleh melakukan itu, sebelum kita resmi menikah Mas tidak boleh mencium saya di bibir, ya," harap Ara dengan ekspresi memohon, membuat Reza menjadi gemas sendiri. "Oke, aku setuju. Tapi, tidak apa-apa 'kan kalau aku menciummu baik di kening dan pipi kamu?" "Ii--iya, boleh," malu Ara, seketika ia berlari kemudian masuk ke dalam mobilnya. Reza yang melihat ekspresi menggemaskan dari Ara hanya bisa terkekeh geli, ia tidak habis pikir wanita dewasa seperti Ara masih malu hanya di cium di bibir. "Kenapa kulihat Ara polos sekali, apa dia tidak menjalin hubungan percintaan dengan pria?'' tanya Reza dalam hatinya, kemudian ia bergegas masuk ke dalam mobilnya sendiri. Kemudian mengikuti kemanapun perginya mobil Ara. Malam ini, sungguh membuat Ara dan Reza sama-sama bahagia dengan porsi yang berbeda. Jika Ara bahagia karena ia telah menemukan jodohnya, Reza entah apa yang ada dalam benaknya. Selain ia senang karena mendapatkan cinta Ara, ia pun yakin tidak lama lagi ia pasti akan mendapatkan suntikan dana untuk kemajuan perusahaannya dari Pak Nathan Papa Ara. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN