"Halo,"
"Halo, Syifa. Kila ada di rumah kamu?"
"Iya Pak, Kila ada di sini."
"Saya nanti kayaknya pulang agak larut. Gak papa kan Kila di sana dulu? Pak Wadiman soalnya tadi ada urusan mendadak jadi dia izin pulang kampung."
Syifa diam, mencerna apa yang diucapkan oleh Dwiki.
"Oh, iya Pak. Gak papa, nanti kabarin aja kalo mau jemput Kila. Takut saya ngga di rumah."
"Maaf ya kalo Kila jadi ganggu kamu, dia emang begitu kalo udah deket sama orang."
"Iya Pak. Gak papa." Sedang asik bercengkrama dengan Dwiki ditelfon, tiba tiba teriakan Kakaknya mengagetkan dirinya.
"Cipruttt, gorengan luuu." teriak Lisa dengan lantang. Syifa menepuk dahinya, dia lupa jika sedang menggoreng chicken katsu.
Tanpa basa basi apapun, Syifa langsung mematikan ponselnya. Tidak memperdulikan bagaimana tanggapan orang yang tadi menelfonnya.
Kakaknya sudah berkacak pinggang di pintu dapur menanti kedatangannya. Yang di tunggu hanya memberikan senyuman andalannya, "Ngapain sih kamu, udah tau lagi goreng pake di tinggalin segala." dumel Lisa seraya mengikuti langkah adiknya.
Syifa langsung membalik chicken katsu yang ada dipenggorengan itu, membiarkan saja Kakaknya yang terus mengoceh dibelakangnya. Entah apa yang diocehkan, maklum saja Ibu ibu memang seperti itu. Ada satu masalah pasti disangkut pautkan ke yang lain. Dan ujung ujungnya semua masalah akan dia bahas.
"Kamu dengerin Kakak ngomong ngga sih?" tanya Lisa yang merasa sia sia saja dia memberikan nasihat kepada adiknya.
"Iya Kak. Aku denger kok," Syifa tidak bohong. Walaupun hanya sedikit yang dia dengar tapi setidaknya dia tahu apa yang Kakaknya jabarkan.
Lisa berbalik arah menuju kulkas, menuangkan air dingin ke dalam gelas. Mendinginkan otaknya sejenak sehabis memberikan wejangam kepada adiknya. Bukan sekali dua kali adiknya seperti ini, sudah sering. Jika sedang melakukan aktifitas apapun pasti di tinggalkan. Itu sangat berbahaya, apa lagi jika sedang menggoreng.
Lisa memutuskan untuk balik ke kamarnya saja. Syifa membalikan badannya, memastikan Kakaknya yang cerewet sudah tidak ada di dapur. Syifa menghembuskan nafasnya secara kasar. Paling malas sebenarnya dia jika mendengar Lisa mengomeli dirinya.
Bahkan Lisa itu tidak segan untuk mengomelinya ditempat umum. Semoga dia selalu di beri kesabaran yang ekstra menghadapi Kakaknya yang seperti itu.
Setelah menyelesaikan semua gorengannya, Syifa membagi menjadi dua piring. Piring yang satu dia sengaja menaruhnya di bawah tutup saji. Dan piring yang kedua dia letakkan di lemari dapur. Bukannya dia menyembunyikan makanan, dia hanya menyisakan saja untuk Kila.
Anak itu masih di alam mimpinya, takut nanti jika semua dia taruh di bawah tutup saji akan kehabisan. Merasa tugasnya sudah selesai di dapur, Syifa berjalan ke arah kamarnya. Guna membersihkan dirinya. Bahkan saking sibuknya dia sepulang kuliah, dia lupa membersihkan dirinya.
Dia melihat Kila masih sangat terlelap. Syifa keluar dari kamar mandi masih dengan menggunakan bathrobenya. Ternyata kila sudah bangun, dan sekarang sedang bersender di dipan kasurnya. Belum menyadari Syifa yang keluar dari kamar mandi.
"Hey, udah bangun?" tanya Syifa yang sudah duduk di samping Kila. Kila langsung memeluk Syifa, "Onti." anak itu langsung menangis di pelukannya.
Dengan cekatan, Syifa langsung merangkul Kila dalam pangkuannya. Walaupun dirinya sendiri masih mengenakan bathrobe dan rambut yang masih di bungkus dengan handuk.
"Sshhuutt, kamu kenapa? Ini kan ada Onti," ujar Syifa seraya mengelus punggung Kila. Kila masih belum menjawab tapi tangisnya sudah mereda. Hanya tersisa seg-segannya saja. Perlahan Kila memundurkan wajahnya.
"Kila takut Onti. Ini bukan kamar Kila." cicit Kila dengan mulut bagian atasnya yang ditekuk ke dalam. Ternyata anak ini menangis karena merasa asing dengan kamarnya. Wajar menurut Syifa jika anak kecil seperti ini. Karena Kila pertama kalinya ke kamarnya bahkan rumahnya juga.
Syifa membingkai wajah Kila, "Ini kamar Onti. Jangan takut lagi ya, mending sekarang Syifa ambil wudhu ya. Kita solat bareng." ajak Syifa seraya menurunkan Kila dari pangkuannya. Kila sudah berdiri di samping ranjangnya, tapi tidak ada pergerakan apapun dari anak itu.
Syifa mengerutkan dahinya bingung, "Kenapa sayang?" tanya Syifa yang sudah menyetarakan tingginya dengan Kila.
"Onti temenin Kila wudhu yaa. Kila takut salah wudhunya. Kila belajar wudhu cuman di sekolah."
Deg,
Syifa kaget bukan main. Kila belajar wudhu hanya di sekolah? Lalu di rumah? Apa tidak pernah solat? Syifa langsung menggelengkan kepalanya, tidak boleh suudzon kepada sesama manusia.
"Yaudah, yuk Onti temenin." Syifa menggandeng tangan Kila ke arah kamar mandi. Padahal tadinya ketika Kila wudhu, dia mau ke kamar Kakaknya untuk meminjamkan mukena Dina.
Ketika berwudhu, ada sedikit gerakan yang anak itu lupa. Syifa selalu membimbing sampai Kila selesai wudhunya.
"Kila tunggu sini ya. Onti pinjemin mukena dulu ke Dina." Kila hanya menganggukan kepala yang sudah duduk disamping ranjang. Tidak membutuhkan waktu lama, Syifa sudah balik dengan tangannya yang memeluk mukena bergambar frozen berwarna biru. Warna kesukaan Dina, keponakannya.
"Wah frozen. Kila suka banget Onti." ujar Kila dengan nada yang riang. Syifa membantu Kila mengenakan mukenanya, "Bagus dong. Sama kayak Dina. Dah siap, yuk solat."
Kila memposisikan berdiri di samping Syifa tapi posisinya tidak sejajar. Syifa lah yang memposisikan anak itu. Solat maghrib pun di mulai.
"Assalamu'alaikum warahmatullah," salam Syifa ke pundak kanannya yang diikuti oleh Kila. Begitu pun sebaliknya. Syifa memimpin doa. Walaupun dia tidak menutup kepalanya, tapi jangan salah. Agama selalu diterapkan di rumahnya. Bapaknya sudah lelah mengingatkan Syifa untuk menutup rambutnya. Syifa selalu memberikan alasan, beribu alasan yang dia berikan.
Bahkan Kakaknya dan Ibunya berhijab. Semoga pintu hatinya cepat diketuk dan cepat sadar. Amin. Syifa memperhatikan Kila yang rapih melipat mukena yang tadi di pakainya dan meletakkan di pinggir kasur.
"Onti, aku laper." gumam Kila yang masih bisa didengar dengan Syifa. Itupun Kila memperagakan dengan mengusap perut buncitnya.
"Ya Allah, tadi Onti mau bangunin kamu lupa. Yuk makan, tadi chicken katsunya udah jadi." ujar Syifa seraya mengandeng tangan Kila keluar dari kamarnya. Ternyata di dapur sedang ada Ibunya yang memanaskan makanan menggunakan microwave.
"Ibu," sapa Syifa seraya menggeser kursi meja makan untuk Kila duduk di sana.
"Eh, mau makan Dek?" tanya Ibunya yang masih belum menyadari ada Kila.
"Alhamdulillah, ngga ada yang makan." gumam Syifa setelah mengambil sepiring chicken katsu yang dia tinggalkan.
"Kamu mau makan?" tanya Bu Indah karena pertanyaannya yang tadi belum dijawab oleh anak bungsunya.
"Eh, bukan adek Bu. Itu Kila." tunjuk Syifa kearah Kila yang sedang memainkan jemari kecilnya.
Bu Indah langsung menghampiri anak itu, "Hay," sapa Bu Indah. Dia memang sangat menyukai anak kecil semenjak dirinya remaja.
Kila yang merasa ditegur, langsung mengangkat kepalanya. Dia melihat wanita yang sepertinya seumuran dengan Eyangnya. Kila hanya memperhatikan saja tanpa membalas sapaan Bu Indah.
Bu Indah memaklumi, anak kecil memang seperti itu hanya memperhatikan saja jika belum kenal. Syifa menghampiri keduanya, "Jangan takut sayang. Ini namanya Nenek Indah, Neneknya Dina sama Dino. Ibunya Onti." ujar Syifa memberi penjelasan agar anak itu tidak bingung.
Syifa meletakkan sepiring nasi dan sepiring chicken katsu. Kila sekilas melihat ke arah Syifa, dan melihat kembali ke arah Bu Indah. Bu Indah tersenyum, agar anak kecil itu tidak merasa ketakutan. "Ne-nek?" cicit Kila.
Bu Indah langsung mengelus kepala Kila, "Iya sayang." jawab Bu Indah.
"Nenekkk..." teriak Dino yang sudah berlari ke arah Bu Indah. Dan langsung memeluk neneknya. Bu Indah dengan sigap memeluk cucu laki lakinya.
"Kenapa sayang?" tanya Bu Indah.
"Dina ngejar aku Nek." adu Dino seperti biasa jika sedang bercanda dengan kembarannya.
Syifa langsung duduk di samping Kila, "Kila mau Onti suapin apa makan sendiri?" tanya Syifa.
Kila yang tadinya posisi menghadap Bu Indah, langsung mengubah posisi menghadap Kila di sebelah kirinya, "Di suapin boleh Onti?"
"Boleh dong sayang." Syifa langsung mengambil alih piring nasi dan menyuapkan perlahan kearah Kila. Diam diam Bu Indah memperhatikan interaksi putrinya dengan anak itu. Tampak seperti Ibu dan Anak. Bu Indah langsung menggelengkan kepalanya.
Tidak, dia tidak boleh beranggapan seperti itu. Anak itu punya Mamah sendiri. Tidak mungkin anaknya menjadi perusak hubungan orang.
"Dek, ada yang nyariin kamu. Kayaknya Bokapnya Kila deh." ujar Lisa yang baru datang dari arah ruang tamu.
Syifa langsung memberhentikan suapannya, "Kila tunggu sini ya. Onti mau liat dulu siapa." Kila langsung menganggukan kepalanya.
"Mau Nenek yang suapin?" tawar Bu Indah. Kila langsung melihat ke arah orang yang menyebutkan dirinya Nenek. Awalnya Kila takut, tapi akhirnya dia menganggukan kepalanya. Bu Indah langsung meraih piring itu. Dan menyuapi Kila seperti dia menyuapkan cucu-cucunya. Syifa melangkahkan kakinya menuju ruang tamu, ternyata di sana ada Bapaknya.
Syifa biasa saja, toh dia sendiri tidak memiliki hubungan apapun dengan duda anak satu itu.
"Eh udah dateng Pak." sapa Syifa yang sudah duduk di samping Bapaknya.
"Kila mana Dek?" tanya Bapaknya seraya menyeruput teh yang sudah di sajikan oleh putri sulungnya.
"Masih makan ama Ibu." Syifa melihat sekilas, ternyata tamunya itu sudah di buatkan minum juga.
Pak Arif langsung mengajak Dwiki berbincang. Syifa diam saja. Bukan merasa geer atau apapun itu, tapi dia merasa jika Dwiki sedikit-sedikit melihat kearahnya. Yang tadinya dia biasa saja, sekarang dirinya merasa gelisah.
"Pak, Adek ke dalem dulu ya." pamit Syifa kepada Pak Arif dan hanya memberikan senyumannya kepada Dwiki.
Ketika di dapur, dia melihat Ibunya sangat akrab berinteraksi dengan Kila. Bahkan anak itu sudah habis makanannya, dan Bu Indah menyuapkan suapan terakhir kepada Kila.
"Wah hebat. Udah abis," puji Syifa yang langsung di berikan senyuman oleh Kila.
"Iya dong Onti. Enak banget chicken katsunya Onti. Lebih enak ini dari pada yang di resto." mendengar pujian itu, Syifa hanya membalas dengan senyuman dan mengelus kepala Syifa.
"Mau Onti bungkusin?" tawar Syifa. Kila langsung mengangguk semangat,
"Mau Onti. Mau bangett." Syifa mengambil kotak makan yang sekiranya jarang di pakai, untungnya dia tadi tidak menggoreng semua chicken katsunya. Masih ada sisa di lemari pendingin.
"Dek, panggil Bapak ya. Bilang makan malemnya udah siap gitu." pinta Bu Indah seraya mentata lauk yang tadi dia hangatkan. Lisa yang baru datang langsung membantu Bu Indah mengambil nasi dari rice cooker.
"Iya Bu." jawab Syifa setelah memasukan sisa chicken katsu. Untuk keluarganya bisa dia bikinkan lagi besok. Jadi dia bungkus semua untuk Kila. Kila masih duduk manis seraya memakan sisa chicken katsu dan tidak lama kemudian Dina menyusul duduk di sampingnya.
"Pak, makan malem udah siap kata Ibu." ujar Syifa kepada Bapaknya yang asik bercengkrama dengan Dwiki.
"Ayo Nak Dwiki. Ikut makan." ajak Pak Arif yang sudah bangun dari duduknya.
"Eh, ngga usah Pak." tolak Dwiki secara halus. Tidak enak dia jika harus makan malam di tempat orang. Walaupun dia merasa sudah waktunya dia makan malam.
Dia belum memakan apapun dari balik kantor. Bahkan tadi dirinya hanya memakan sedikit untuk makan siangnya.
"Dek, ajak Dwiki makan." suruh Pak Arif yang sudah meninggalkan ruang tamu. Syifa yang sudah ditinggal Bapaknya, mendadak merasa canggung dengan Dwiki. Padahal sebelumnya dia tidak merasa seperti ini.
"Ayo Pak makan." ajak Syifa yang masih dalam posisi berdiri.
"Saya ngga enakan Syif."
"Udah gak papa Pak. Bapak emang suka gitu kalo ada tamu, diajak makan." tidak sepenuhnya Syifa berbohong. Memang benar, jika ada temannya atau teman Kakaknya ketika waktu makan di rumahnya, pasti di ajak makan bersama.
Tak urung Dwiki akhirnya bangun dari duduknya. Dia mencari keberadaan putrinya. Padahal jika di rumah Mamahnya ketika mendengar suara dirinya pasti anaknya sudah berlari ke arahnya.
"Nyari Kila ya Pak?" tebak Syifa yang tadi sempat, memergoki Dwiki melihat sekitar ruangan di rumahnya.
"Eh iya." Dwiki merasa seperti kepergok mau mencuri. Setelah mereka sampai di pintu dapur, Dwiki melihat anaknya yang sedang asik bercanda dengan gadis kecil yang sepertinya seumuran dengan anaknya.
"Itu Kila." tunjuk Syifa.
"Sini Nak Dwiki duduk." ajak Bu Indah. Dia tahu nama Dwiki karena suaminya yang tadi sempat memberi tahu dirinya. Kila langsung melihat ke arah Papahnya, "Papah." panggil Kila tapi tidak langsung turun dari kursinya. Masih asik memakan cemilan yang tadi Lisa sugukan.
Dwiki hanya tersenyum canggung, "Iya Bu. Makasih," walaupun dia tidak mengenal wanita itu, tapi sepertinya dia Ibunya Syifa. Raut wajahnya tidak jauh dari Mamahnya. Dwiki langsung duduk disamping Syifa. Karena hanya bangku itu yang tersisa.
"Ambil aja Nak Dwiki. Ngga usah malu malu." ujar Bu Indah seraya mempersilakan Dwiki. Dwiki melihat ke arah sampingnya, Syifa hanya memakan potongan buah saja.
"Syifa emang begitu makannya kalo tiap malem. Takut gendut katanya." ujar Bu Indah yang mengerti tadi Dwiki sempat melihat ke arah putrinya.
"Ibuuu." rajuk Syifa.
"Kenyataan kok." tambah Lisa yang tadi masih sibuk melayani suaminya.
Dwiki hanya tersenyum melihat keharmonisan keluarga ini. Dia jadi teringat dengan keluarganya di rumah orang tuanya.
"Udah. Ada rezeki di depan." jika kepala keluarga sudah bertindak, maka semuanya akan diam. Tidak ada yang berani membantah.
Acara makan malam sudah selesai, tapi anaknya masih asik bermain dengan dua orang yang sepertinya sama umurnya dengan sang putri.
Syifa langsung menghampiri Kila yang masih asik bermain dengan dua keponakannya, "Sayang, Papah capek tuh. Mau istirahat, besok lagi ya mainnya." ujar Syifa berusaha membujuk Kila.
Dwiki sendiripun tidak yakin jika Syifa bisa membujuk putrinya yang keras kepala. Tapi ternyata tebakannya meleset, Kila langsung menurut. Dan mengambil tasnya, lalu Syifa memasukan kotak makan ke dalam tas anaknya.
"Chicken katsunya Onti masukin di dalem ya." ujar Syifa yang sudah menutup resleting tas sekolah Kila.
"Oke Onti. Dina Dino, aku pulang dulu ya. Besok kita main lagi." Bahkan sekarang Dwiki tambah di buat tercengang, putrinya mudah akrab. Setahunya, Kila itu tidak mudah akrab dengan orang.
Bahkan dengan saudara dari keluarganya saja dia jarang akrab. Selalu bertengkar. Tapi ini? Bahkan mereka terlihat sangat dekat padahal baru bertemu sore tadi.
Kila sudah menggamit tangan Papahnya. Sebelum pulang, Dwiki pamit dulu kepada keluarga Syifa. Tidak mungkin dia langsung pergi saja setelah disugukan makan malam.
Syifa mengantarkan Dwiki dan Kila sampai gerbang rumahnya, "Onti, Kila pamit duli ya. Besok kita main lagi." pamit Kila seraya mencium tangan Syifa.
"Iya sayang. Nanti kalo udah di rumah, kotak makannya langsung di taro di kulkas ya." pesan Syifa yang langsung diangguki oleh Kila. Dwiki mendudukan anaknya di kursi samping kemudi.
"Makasih ya udah mau ngurusin Kila, Syif. Maaf udah ngerepotin kamu" ujar Dwiki merasa agak sedikti canggung ketika dia berbicara kepada Syifa.
"Iya Pak sama sama. Ngga ngerepotin sama sekali. Kila anaknya baik, penurut kok."
"Hhmm, makasih juga ya suguhan makan malemnya."
"Iya Pak sama sama." jawab Syifa seraya tersenyum. Dwiki sendiri terpana ketika melihat senyuman Syifa. Sampai panggilan anaknya lah yang menyadarkan dirinya dari keterpanaan.
"Pah, ayo katanya mau pulang." protes Kila dari dalam mobil. Dwiki langsung tersadar, "Saya pamit dulu ya."
Syifa merasa kikuk, "Iya Pak. Hati hati." entah dia harus menjawab seperti apa.
Dwiki sudah bersiap untuk menjalankan mobilnya, "Dadah Ontii." teriak Kila dari dalam mobil. Dwiki membunyikan sekilas klakson mobilnya. Mobil tersebut sudah hilang di perempatan komplek rumahnya, tapi Syifa sendiri belum bergerak dari tempatnya dia berdiri.
Bahkan dia tidak menyadari ketika Abang iparnya sudah disamping dirinya, "Suka ama duda Syif?" sontak Syifa membalikan badannya, sejak kapan Bang Iqbal sudah di sampingnya?
"Apaan sih Bang. Ya kali suka ama yang berbuntut." Syifa memang tidak merasakan hal apapun. Lebih tepatnya belum.
"Tiati, omongan doa." ujar Iqbal yang sudah berlalu keluar rumah. Dirinya memang mau ke rumah temanya yang kebetulan ada di komplek yang sama dengan mertuanya.
Syifa diam sesaat setelah melihat Iqbal menjauh dari dirinya, "Gue? Gue suka ama duda?" gumam Syifa kepada dirinya sendiri. Dia langsung menggelengkan kepalanya, mengenyahkan pemikiran seperti itu.
Tidak, dirinya tidak pernah membayangkan hal tersebut. Dan jangan sampai terjadi. Sepanjang dia masuk ke dalam rumah, yang di lakukan Syifa hanya menggelengkan kepalanya.
Untung seisi rumahnya sudah masuk ke dalam kamar masing masing. Dan setibanya di dalam kamar, Syifa mengerjakan rutinitas malamnya dulu.
Solat dan memakai skincare malamnya. Baru dia membaringkan dirinya di atas kasur. Dan berusaha untuk memejamkan mata dan melupakan kalimat yang di lontarkan Abang iparnya. Dia berdoa, semoga besok dia sudah melupakan kalimat tersebut.