♡Bagian 1♡

1609 Kata
"Pah," merasa dirinya dipanggil putri kecilnya, dia menolehkan kepalanya. "Iya sayang. Kenapa?" tanya Dwiki seraya menghentikan acara sarapannya. "Nanti ke rumahnya Onti Afra yaa." pinta Kila ke papahnya. "Iya, nanti abis dijemput sama Pak Wadiman langsung minta anterin ke sana aja ya." Kila mengangguk patuh. Dia paham, jika bukan hari libur papahnya itu tidak memiliki waktu luang. Bahkan jika ada kerjaan yang sangat mendadak, papahnya bisa saja meninggalkan dirinya di saat weekend. "Pak, nanti pulang dari sekolah anterin Kila ke rumahnya Afra ya," pesan Dwiki kepada pak Wadiman. Pak Wadiman mengiyakan, pasalnya sudah biasa dirinya selalu mengantarkan putri dari majikannya itu ke rumah wanita itu. Hari ini Dwiki memutuskan untuk membawa mobilnya sendiri. Tanpa seorang supir yang mendampingi. Dia lebih memprioritaskan putrinya ketibang dirinya sendiri. Lebih aman jika putrinya yang menggunakan supir pribadi dari pada mengikuti antar jemput dari sekolahnya. Sesampainya Dwiki di kantor, semua langsung menunduk tanda menyapa atasannya datang. Dwiki merespon mereka dengan senyumannya. Jika yang kalian berfikir sosok Dwiki sama seperti cerita di tokoh tokoh n****+ tentang CEO yang kalian baca, seperti sosok dingin, datar, cool. Maka kalian salah besar. Sosok Dwiki dikenal sangat ramah di kantornya. Bahkan saking ramahnya, ada mungkin beberapa yang terlalu terbawa perasaan. Padahal, dirinya tidak pernah memberi harapan lebih kepada siapapun. Pernah suatu ketika, ada seorang karyawatinya yang menyangka dirinya suka dengan orang itu. Sampai-sampai, karyawatinya tersebut berkunjung langsung ke rumah mamahnya. Mamahnya pun mengira, jika wanita tersebut yang kelak akan menjadi sosok ibu sambung dari cucu tersayangnya. Sejak dari situ, mamahnya menasehati. Jangan terlalu ramah kepada seorang wanita jika tidak mau wanita itu terbawa perasaan kepada dia. Mulai saat itu, dia sedikit membatasi antara karyawan dan karyawati di kantor dengan dirinya sendiri. Tok.. Tok.. "Misi Pak," ujar suara di depan ruangan Dwiki. "Masuk." masuklah seorang wanita, yang mana itu sekertaris dari seorang Dwiki Dirgantara. Sekertarisnya ini sudah bekerja semenjak papahnya belum pensiun dari masa kerjanya. Sekertarisnya berbeda dari kebanyakan sekertaris seorang CEO, di mana pasti mengenakan pakaian yang seksi dan serba mini. Salah. Gita, sang pemilik nama sekertaris Dwiki dia mengenakan hijab. Catat hijab. Jadi otomatis jika berhijab pakaian pun tertutupkan. Karena dulu, dalam tahap pemilihan sekertaris untuk papahnya bahkan mamahnya yang turun langsung untuk mencari. Mamahnya Dwiki takut, jika nanti dia tidak menyeleksi calon sekertaris suami nya maka akan berujung affair seperti sinetron di televisi. Maklum, mamahnya Dwiki memang korban sinetron. "Ada apa Git?" "Begini Pak, nanti siang setelah istirahat ada sebuah investor yang ingin langsung bertemu dengan Bapak," ujar Gita seraya menyerahkan dokumen yang dia bawa untuk ditanda tangani Dwiki. "Oh oke. Kamu atur aja ya," jawab Dwiki tapi tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari depan laptop. "Baik Pak, kalo begitu saya permisi dulu." baru saja Gita ingin keluar dari ruangan, Dwiki sudah menghentikannya, "Oh iya Git. Itu perusahaannya Ciko jadi mau kerja sama?" "Tadi dia bilang ke saya jadi Pak. Tapi belum tau lagi. Oh mungkin nanti makan siang saya tanyakan Pak," "Kamu mau makan siang sama dia? Gimana kalo makan siang bareng aja? Kamu ngga kesian apa sama saya, kamu enak ada pasangan. Sedangkan saya kalo makan siang selalu sendiri." ujar Dwiki sengaja menampilkan raut wajah sedih lnya. Gita yang mendengar penuturan bosnya hanya bisa memutar bola matanya dengan malas. Memang seperti itu, Dwiki sudah menganggapnya adik. Begitupun dengan Gita, tapi Gita berani melakukan hal nyeleneh hanya ketika dia sedang berbicara berdua saja dengan Dwiki seperti saat ini. Mereka tidak ada hubungan apapun. Sedangkan Gita sendiri sudah memiliki tunangan yang mana sebentar lagi akan melangsungkan acara pernikahan. "Gimana?" tanya Dwiki yang sudah mengalihkan pandangannya dari depan laptop. "Oke. Di sini Pak?" "Di resto biasa aja deh. Jangan lupa kamu booking tempatnya ya." Gita menganggukkan kepalanya paham. Dan langsung izin pamit keluar ruangan guna menyelesaikan pekerjaannya. Ponsel di saku jasnya bergetar tanda ada panggilan masuk. Afra is calling you ? Dwiki berfikir sejenak, ada apa Afra menelfonnya? Oh dia lupa, putri kecilnya berada di kediaman Abiedzar. "Halo assalamu'alikum putri cantik," "Wa'alaikumsalam Papah. Pah, aku udah di rumahnya Onti Afra ya. Tadi pulangnya agak di percepet Pah, soalnya guru guru aku ada rapat katanya." "Oh begitu. Oke sayang, jangan lupa makan siang yaa yang tadi Papah buatin." "Oke Papah. Nih Onti Afra mau ngomong." Ponsel diseberang sana sudah berpindah tangan, "Halo assalamu'alikum, Pak." "Wa'alaikumsalam. Afra maaf yaa ngerepotin kamu, si Kila dari kemarin minta ke rumah kamu terus." "Iya Pak. Gak papa kok, saya ngga merasa terbebani sama sekali." "Syukurlah. Nanti mungkin sekitar jam 4 atau jam 5 Pak Wadiman bakalan jemput Kila ya." "Oh iya Pak." "Ya sudah, saya tutup ya. Masih mau ada rapat, wassalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Tut, Panggilan pun terputus. Dwiki menenangkan hatinya sejenak. Entah kenapa, dirinya jika berkomunikasi atau berkontakan langsung dengan orang yang tadi berbicara kepadanya di telfon ada gelenyar aneh di dirinya. Gelenyar yang sama ketika dirinya dulu baru jatuh cinta kepada mendiang Almarhumah sang istri. Cukup. Dia tidak mau memikirkan jauh sampai ke sana. Masalahnya, untuk mencari pasangan hidup sekarang bukan hanya dirinya yang merasa senang dan bahagia. Tapi dia juga harus memikirkan, apakah putri kecilnya itu nyaman dengan wanita pilihannya? Dia tidak boleh egois yang hanya mementingkan keinginannya. Tok.. Tok.. Tok.. Ketukan pintu membuyarkan lamunan Dwiki, "Misi, Pak. Ayo makan siang Pak," ajak Dita melalui pintu yang terbuka sedikit. "Eh iya. Tunggu saya di parkiran ya." Dwiki segera memakai jasnya yang terlampir di kursi kebesarannya. Dan melangkahkan kakinya menuju parkiran. Tidak mau membuat Gita terlalu lama memunggu. "Si Ciko langsung ke sana?" tanya Dwiki sambil mengenakan seatbeltnya. Begitu pun dengan Gita. Tapi bedanya, Gita duduk di kursi belakang. Tidak di sebelah Dwiki. Dia tidak mau siapapun akan salah sangka jika dia duduk disamping bosnya itu. Dwiki yang memang sudah terbiasa dengan apa yang dilakukan Gita tidak mempermasalahkannya. Dari zaman papahnya menjadi pengurus perusahaanpun, Gita memang seperti itu. Beruntunglah Ciko. Mendapatkan wanita seperti Gita. Semoga saja kelak akan mendapatkan wanita untuk dirinya seperti Gita. "Iya Pak. Mas Ciko langsung ke restoran." Mobil pun membelah jalan raya menuju restoran jepang tempat di mana dia biasa bertemu dengan klien. "Selamat siang Pak Dwiki, Bu Gita." sapa seorang waiters yang berdiri di depan restoran untuk menyapa pelanggan yang datang. Kan, sampai waitersnya pun sudah mengenal Dwiki dan Gita. Saking seringnya mereka bertemu klien di sini. Baik itu client projek besar atau pun kecil. Karena baginya resto di sini sangat nyaman dan pelayanannya pun memuaskan. Dan salah satu alasan yang lebih penting adalah Dwiki pribadi memang amat menyukai makanan berbau jepang. Seperti sushi atau pun sashimi. "Siang Mba," sapa balik Gita seraya tersenyum ramah. Sedangkan Dwiki sudah berjalan terlebih dahulu, hanya membalas dengan senyumannya kepada waiters tersebut. "Mari Pak Bu, saya antarkan." tawar seorang waiters lelaki yang menunjukan meja yang mana sebelumnya memang sudah di bllbooking oleh Gita. "Terima kasih ya Mas," ujar Gita setelah pelayan tersebut pun berlalu kembali lagi ke dapur. "Mana si Ciko Git?" tanya Dwiki sambil membuka menu. Barang kali ada menu baru yang disajikan di restoran ini. Karena sudah menjadi hal yang di sukai Dwiki, setiap minggunya pasti ada menu baru yang di olah oleh Chef di resto ini. "Lagi di lobby Kak." jawab Gita. Mereka berdua jika di luar kantor memang tidak memanggil Bapak atau sejenisnya. Karena Dwiki yang menyuruh langsung. Jika di luar kantor, dia menyuruh Gita untuk memanggilnya dengan sebutan Kakak. "Oh oke," "What's up bro," sapa seseorang yang bari datang dari arah pintu masuk. Dwiki yang tadinya menatap iPad yang dibawa, langsung mendongakan kepalanya. Dwiki balik menyapa Ciko dan berpelukan ala pria. Sedangkan Gita langsung menyalami tangan Ciko. "Udah lama kalian?" "Belum terlalu lama sih A," jawab Gita. Mereka bertiga langsung memesan apa yang akan mereka santap di siang hari. "Eh Git, itu bukannya Adek sepupu kamu ya?" tanya Ciko seraya menunjuk seorang wanita yang asik bercengkrama dengan teman temannya. "Mana A?" Gita memperhatikan baik baik arah yang di tunjuk oleh Ciko. Dwiki yang merasa penasaran mengikuti arah ke mana Ciko menunjukan seorang wanita. "Eh iya itu Syifa loh." dan tepat ketika wanita itu mau keluar dari resto yang kebetulan melewati meja di mana Gita dan yang lain duduk. "Teh Git," sapa Syifa yang baru mau keluar dari resto. "Hey, baru mau aku wa. Kamu udah nyapa duluan." Gita menyuruh Syifa untuk bergabung bersamanya. Menemaninya, dia hanya wanita seorang diri sedangkan nanti pasti jika kedua laki-laki ini sudah membicarakan tentang projek pasti Gita hanya diam dan menyimak saja. Sungguh sangat menjengkelkan, walaupun dirinya seorang sekertaris. Tapi tugasnya hanya mencatat saja jika disuruh oleh Dwiki. Awalnya Syifa menolak. Tapi Gita berhasil merayunya dan Syifa pun menurut saja. Dia memang jarang bertemu dengan kakak sepupunya yang satu ini. Dan dia menyuruh temannya untuk pulang terlebih dahulu. Dwiki dari tadi terus memperhatikan wanita yang mana itu adik sepupu dari sekertarisnya. Dia seperti tidak asing dengan wanita ini, "Ehm," dehem Dwiki supaya memancing perhatian Syifa. Dan benar, Syifa menoleh ke arahnya. "Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" tanya Dwiki. Syifa berfikir sejenak. Mengingat siapa orang disampingnya ini. "Bapak Papahnya Kila bukan?" tebak Syifa. Tapi merasa tidak yakin dengan apa yang diucapkannya. Dia hanya sekilas mengingat pertemuannya dengan gadis kecil yang waktu itu dia diajak bertemu oleh sahabatnya, Afra. Benar. Ternyata Dwiki memang pernah bertemu dengan wanita ini. Buktinya, dia mengingat anaknya. Tapi kenapa dia tidak mengingat dirinya? Hanya putrinya saja yang di ingat? Seperti ada rasa sakit di hatinya. "Iya benar. Dia putri saya." Reaksi Syifa? Hanya ber-oh ria. Padahal Dwiki menunggu respon apa yang akan di berikan. Tapi ternyata ZONK! Tidak sesuai dengan ekspetasinya. Ada apa ini dengan dirinya? Dia padahal belum kenal dengan wanita ini? Tapi anehnya, ada aura tersendiri dari wanita di sampingnya. Aura yang membuat jantung Dwiki berdetak berkali kali lipat. Tapi Dwiki mengartikan, dirinya hanya gugup bertemu orang baru. Bukan gugup karena hal lainnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN