4. Kenyamanan

1751 Kata
Pagi ini seperti biasa para pentolan sekolah datang secara konvoi, namun mereka hanya berempat, minus Mahesa, entah ke mana ketua satu itu. Suara bising derum motor bukannya membuat para murid SMA Garuda marah-marah malah membuat semuanya kegirangan karena hal yang jarang terjadi saat para cogan itu datang sepagi ini. Biasanya mepet kalau enggak gitu telat. Kedatangan mereka sungguh seperti sebuah kejadian yang sangat langkah. Parkiran yang paling sejuk, letaknya tepat di bawah pohon rindang adalah hak paten milik anggota inti Titan. Sekolah ini tidak ada tempat yang tidak mereka klaim secara asal. Seperti pojok kantin, belakang sekolah, parkiran, dan beberapa tempat lagi yang haram hukumnya untuk ditempati murid lain selain inti atau anggota Titan itu sendiri. "Buseettt mimpi apa gue bisa datang kayak orang normal gini?" kata Rizal terheran-heran dengan dirinya sendiri. Motor-motor itu sudah berjejer rapi, dengan posisi motor Kaylendra paling ujung, disusul dengan Laskar, Azka, dan yang terakhir Rizal. Azka melepas helmnya membuat rambutnya yang sudah sedikit panjang jadi berantakan terhempas angin. "Emang biasanya lo datang kayak orang apaan Jal kalau bukan orang normal?" tanya Azka kepada Rizal. "Biasanya kan kayak anak pemilik sekolah, datang telat tapi pulang duluan, Rijal, Rijal," ucap Laskar menggelengkan kepalanya. "Yeee ente juga sama aja Bambang!" protes cowok dengan mata sipit itu tidak terima. "Nomornya Mahesa gak aktif," celetuk Kay tiba-tiba membuat semua mata menatapnya. "Kok bisa?" tanya Laskar. "Gak tau." "Tuh Pak Bos ke mana sih? Gak biasanya kayak gini. Apa jangan-jangan dia gak sekolah?" tebak Azka. "Kalau bolos kan biasanya ajak-ajak kita, Ka," balas Rizal. "Terus ke mana sekarang orangnya?" "Ck, lo mikirin Mahesa udah kek mikirin bocah lima tahun aja. Udah, Bos lo itu kan sekarang kayak demit ntar juga datang-datang sendiri," ujar Azka jengah sambil memutar kedua bola matanya. "Kelas kuy?" ajaknya kemudian. Laskar, Kaylendra, dan Rizal pun mengangguk setuju. Mereka berempat lalu berjalan menuju kelas sesekali diiringi dengan guyonan receh Rizal yang membuat koridor menjadi ramai karena tawa ketiga cowok itu. Iya hanya tiga karena seperti biasa, Kaylendra adalah cowok yang paling pelit ekspresi, jangankan tertawa, senyum saja sangat jarang. Sementara itu di tempat lain, Mahesa baru saja membuka matanya. Cowok dengan wajah penuh lebam itu semalaman berada di rumah sakit menemani Mamanya yang memang dirawat di sana. Mahesa mengerjap beberapa kali berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk hingga seorang suster yang memang tengah membuka gorden jendela menyadari hal tersebut. "Baru bangun ya? Mahesa nggak sekolah?" tanya suster yang telah mengenal Mahesa itu dengan lembut. Dia adalah Suster Kania, orang yang khusus merawat Mamanya selama dua puluh empat jam dalam dua bulan terakhir ini. Mahesa menggeleng menjawab pertanyaan Kania. "Udah kesiangan banget," jawabnya. "Sus, nitip Mama ya? Hesa mau pulang, mandi dulu nanti ke sini lagi," ujar cowok itu. Lihat kan? Mahesa akan sangat sopan jika orang itu juga berlaku baik kepadanya. Mahesa akan memperlakukan orang selayaknya orang itu memperlakukannya. "Iya bakalan saya jaga. Mahesa jangan lupa makan juga, jangan sering-sering bolos kasihan Papa kamu yang cari uang buat bayar sekolah kamu," ujar Suster Kania. Mahesa berdecak, sangat malas mendengar kata 'Papa' soal sekolah saja perhitungan tapi giliran soal wanita? Maju nomor satu paling depan. Dengan malas Mahesa mengangguk. Tanpa meninggalkan sepatah kata pun cowok itu akhirnya pergi, Mahesa juga tidak berpamitan dulu kepada Mamanya. Melihat perubahan Mahesa membuat Suster Kania merasa bersalah, pasti ada yang salah dengan ucapannya. Sejauh ini Kania cukup paham dengan sikap Mahesa. **** Masuk ke dalam rumah, kesunyian yang menyambutnya. Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang menyapanya. Papanya pasti telah berangkat kerja. Mahesa sama sekali tidak peduli, cowok itu langsung berjalan masuk ke dalam kamar guna membersikan dirinya. Selang beberapa saat, Mahesa sudah terlihat lebih segar. Dengan handuk putih yang menggantung di lehernya serta beberapa tetes air yang menetes dari rambutnya, Mahesa keluar kamar mandi dengan wajah yang lebih fresh. Sangat cool dan memanjakan mata jika saja ada kaum hawa yang melihatnya. Mahesa lalu meraih kaos yang tergantung di belakang pintu, memadukannya dengan celana jeans selutut. Dengan rambut yang dibiarkan acak-acakan Mahesa kembali keluar kamar. Cowok itu menuruni anak tangga dengan terburu-buru hingga sampailah dia di depan ruang kerja Papanya. Di sana Mahesa langsung masuk karena dia telah memiliki akses untuk ruangan super penting itu. Tidak peduli dengan apa yang akan terjadi nantinya, Mahesa langsung mengambil beberapa uang yang tersimpan di dalamnya. Tidak banyak, hanya lima juta, setelah puas Mahesa kembali keluar. "Aden ngambil uang Tuan lagi?" Seketika Mahesa menegang, cowok itu memutar badannya ke belakang melihat seorang asisten rumah tangga berdiri dengan tongkat pel di tangannya dan kain lap di bahunya. Mahesa berdecak kesal sambil memutar kedua bola matanya malas. "Den, kalau Tuan tau nanti Aden bisa kena marah lagi, nanti Aden dipukul lagi sama Tuan," ujar wanita paruh baya itu. Mahesa tau kalau sebenernya wanita itu khawatir, tapi sekarang Mahesa sedang butuh. Dia lantas tersenyum miring sambil tertawa pelan. "Kalau dipukul ya udah takdir, Mbok," katanya kemudian. "Aduh Aden, emang Den Mahesa butuh buat apa? Pakai uang Mbok dulu aja ya jangan ngambil uangnya Tuan." "Nggak, Uang Papa uang Aku juga kan? Dari pada habis buat perempuan-perempuan jalangnya, mending habis buat Mahesa. Ya kan?" "Aduhh ...." "Udah Mbok tenang aja. Mending sana gih lanjutin kerja. Mahesa mau pergi dulu." "Nggak sarapan Den?" "Nanti aja di luar." Setelah itu Mahesa langsung beranjak pergi. Mbok Ginem menatap kepergian Mahesa dengan cemas, anak majikannya itu kalau sudah kena marah tidak tanggung-tanggung lagi, dipukul ya pukul beneran, ditendang juga tendang beneran, kadang Mbok Ginem merasa kasihan tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Setiap Mahesa kena amukan Irwan—Papanya, Mbok Ginem selalu diam-diam mengintip dari dapur dan saat Mahesa telah tidur barulah Mbok Ginem memberanikan diri untuk mengobati luka-luka Mahesa. Semua itu telah Mbok Ginem lakukan selama kurang lebih lima tahun. Sejak Shafira—Mamanya Mahesa divonis kangker serviks. Sementara uang yang baru saja Mahesa ambil adalah untuk taruhan balap nanti malam. Mahesa akan menaruh lima juta sementara kalau dia menang, dia akan mendapat berkali-kali lipat lebih banyak. Mahesa kemudian langsung mengendarai motornya, tujuan utama cowok itu sekarang adalah Warung Belakang Sekolah, Mahesa akan menemui teman-temannya di sana. **** "Selina!" Merasa namanya dipanggil, Selina yang akan kembali ke kelas setelah dari toilet pun menolehkan kepalanya ke belakang. Di sana Selina melihat Bu Fitri berjalan ke arahnya, langsung saja Selina mendekat. "Ada apa Bu?" tanya Selina setelah saling berhadapan. "Kebetulan saya ketemu kamu, ini saya mau minta tolong foto kopikan ini di toko depan itu ya? Seratus lembar," kata Bu Fitri menyerahkan selembar kertas kepada Selina. Selina mengambil alih kertas itu dengan bingung. "Kenapa nggak difoto kopi di koperasi aja Bu?" tanyanya. "Mesinnya rusak. Sudah, ini nanti kamu bilang disuruh Bu Fitri biar sekolah yang bayar nanti." Selina mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baik Bu," jawabnya. "Terima kasih ya Lin?" "Iya kalau gitu Selina ke depan dulu." Setelah mendapat anggukan, Selina bergegas pergi, namun sebelum itu dia sempatkan dulu untuk menghubungi Anggi agar mengizinkannya kalau ada guru yang bertanya nanti. **** Wabes kali ini cukup ramai. Anak-anak Titan yang bebal memilih membolos setelah tau jika Mahesa ada di sana. Semua yang nakal-nakal tengah berkumpul di warung belakang sekolah itu. Warungnya tidak terlalu besar dan hanya terbuat dari anyaman bambu, pemiliknya juga sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Namun kebersamaan di sana begitu terasa. Nyatanya definisi nyaman bukan digambarkan tentang seberapa mewah tempat yang kita tempati namun tentang seberapa hangatnya orang yang ada bersama dalam tempat itu. Jujur saja Mahesa juga lebih suka berada di tempat biasa-biasa seperti ini, berkumpul dengan teman-temannya yang hangat dan saling bercengkrama, bercanda dengan bebas daripada harus berada di tempat yang formal, di mana isinya hanya orang-orang sok sibuk dan lebih mementingkan diri mereka sendiri. Mahesa bisa berpikir seperti itu karena dia telah mengalaminya. Perbedaan yang sangat kontras saat Mahesa berkumpul dengan keluarga besarnya dan saat Mahesa kumpul bersama teman-temannya. Bersama teman-temannya Mahesa bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus mementingkan image. "Woi woi! Gue dapat cewek baru coo!" seru Azka tiba-tiba dengan begitu heboh. "Alaah cewek baru paling juga tahan seminggu habis itu gamon lagi lo sama Nabila," balas Damar yang kebetulan duduk di sebelah Akza sambil makan nasi bungkus. "Bener tuh! Move on Ka, move on! Lo sama Nabila itu beda! Sadar, lo gak bisa lawan restu Tuhan!" kata Laskar. "Enak jadi gue modal nekat doang udah jadi. Gak nyesel gue nolongin Anggi waktu itu," ujar Laskar lagi. "Sombong amat, waktu itu juga lo berani nolongin Anggi gara-gara Mahesa juga kan yang nyuruh?" ujar Azka kepada Laskar. "Yang penting sekarang gue jadi bucinnya Anggi." "Jadi bucin kok bangga, mana gak pernah bilang makasih sama gue." Mahesa yang baru saja keluar dari dalam warung dengan segelas es kopi di tangannya pun menyeletuk saat mendengar ucapan Laksar. "Iye makasih bos makasih buanyakkkk! Lo emang ketua yang paling the best!" kata Laskar hiperbola. "Kalau diingetin baru bilang makasih," cibir Azka. "Iri bilang! Lagian gimana sih bentukan cewek baru lo? Mana sini lihat," kata Rizal merebut ponsel Azka. Alhasil kedua cowok itu saling kejar hingga akhirnya Rizal terjatuh karena tersandung batu membuat dirinya tersungkur dengan Azka yang menimpa di atas badannya. "SAKIITTTTT BEGE!!!" teriak Rizal kesakitan. Bersamaan dengan itu tawa semua cowok yang ada di sana langsung pecah. Mereka sampai terpingkal-pingkal, memegang perut yang terasa kaku. "MAMPUSSS!!" ledek Laskar yang hampir saja terjungkal karena saking kuatnya tertawa. Rizal meringis kesakitan. Beban Azka ternyata tidak main-main, sangat berat. Cowok bermata sipit itu sampai merasakan sakit pada dadanya. Kedua tangannya pun lecet-lecet terkena goresan kerikil kecil. "Ck, lagian lo sih main rebut hp gue segala! Nyusruk kan?" omel Azka merebut kembali ponselnya. Rizal berdecak kesal. "Ya lo juga ngapain pakai ngejar?" "Lo asal ambil hp gue gimana gak gue kejar?" "Kan gue cuma mau lihat modelan cewek lo." "Cewek gue bukan untuk konsumsi publik mon maap!" kata Azka menye-menye. "Virtual ae sok lo!" "Ba—cot!" "UDAH WOI MALAH RIBUT!" pekik Laskar yang akhirnya bisa berhenti tertawa. Cowok itu sudah ingin menghampiri kedua temannya namun tiba-tiba ponselnya berdering dalam saku celananya. Tepat saat berhenti di hadapan Mahesa, Laskar membuka pesan yang masuk. Kerutan pada kening Laskar membuat Mahesa iseng-iseng mengintip, melihat pesan itu Mahesa juga ikut menyerngit. "Chat dari Rafael?" tanya Mahesa membuat Laskar langsung menatapnya. "Lo baca?" tanya Laskar. "Menurut lo?" "Emm tapi Sa menurut gu—" "Terima!" cetus Mahesa cepat memotong begitu saja ucapan Laskar. Tanpa menunggu balasan Laskar, Mahesa segera pergi lalu mengambil duduk di depan warung dan merokok. Dengan berat hati, Laskar terpaksa membalas pesan dari Rafael, musuh bebuyutan Mahesa itu. 089XXX : [Gue tantang geng lo buat lawan Vendo di lapangan Eagle nanti pulang sekolah. Gak datang, lo semua kumpulan cupu!] [Rafael] Laskar : [Gak takut!]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN