22. Senja bersama Mahesa

1877 Kata
"Yaudah deh, Anggi, Gisel, gue pergi duluan ya?" pamit Selina kepada kedua temannya yang masih menunggu jemputan. Sementara Selina sendiri sudah ditunggu oleh Mahesa di seberang jalan sana. "Percaya deh yang bentar lagi go publish," ledek Anggi terus-terusan. Sejak di kelas tadi temannya satu itu tak mau berhenti meledeknya. Selina lantas berdecak kesal. "Apaan sih. Yaudah gue duluan, bye!" "Bye! Hati-hati beb!" Anggi membalas lambaian tangan Selina sembari sedikit berteriak. Begitu juga dengan yang dilakukan Gisel. Selina setengah berlari menyeberang jalan hingga akhirnya sampai di sebelah motor Mahesa. Cowok itu sejak tadi sudah memperhatikannya. Saat Selina sudah ada di sampingnya, Mahesa tersenyum membalas senyum Selina. "Gimana tadi?" tanya Mahesa tiba-tiba membuat Selina sedikit loading. Pandangan gadis itu berlarian. "Gimana ... apanya?" "Ya tadi di kelasnya gimana? Pasti banyak yang langsung nyerbu lo ya? Notif lo aman?" Cowok itu bertanya sambil mengangkat sebelah alisnya. Seketika Selina tersadar dan langsung menepuk jidat. Detik itu juga Selina menatap Mahesa sengit. "Anjir banget lo ya? Gila! Lo kalah mau pansos bukan gini caranya Mahesa, astagfirullah! Sumpah gue gak ngerti lagi. Nih ya, sekarang hp gue ngelag gara-gara kebanyakan notif dan semua gara-gara lo! Gila emang. MAHESA GILA!" Selina mengomel mati-matian. Dia juga memukuli Mahesa. Cowok itu sesekali menghindar sambil tertawa lepas. Setiap murid yang melewati mereka berdua sampai keheranan. Tak sedikit juga yang sengaja mengabadikan momen Mahesa tertawa seperti itu. Hingga dirasa capek, Mahesa akhirnya berhenti. Bulir air matanya telah berjatuhan, wajah cowok itu sampai merah. "Maaf," ujarnya kemudian. "Maaf, maaf, maaf! Lagian kenapa sih pakai posting foto gue segala? Mana candid diem-diem lagi. Penguntit! Nggak sopan tau dasar ish!" "Iya maaf ya, Lin? Gue hapus aja gimana?" Selina menghela napasnya panjang. "Percuma mau lo hapus juga. Mereka udah keburu nyerang gue. Mereka udah keburu tau, udah keburu lihat!" sentak Selina. Masih ingatkah kalau Mahesa menyukai Selina yang marah-marah seperti ini? "Yaudah kalau gitu gue harus apa biar lo nggak marah lagi?" tanya Mahesa serius. Perlahan Selina menatap Mahesa. Kedua pandangan itu bertemu, hingga kemudian saling mengunci. "Ekhem sorry," Selina yang terlebih dahulu tersadar langsung berdehem, membuang muka yang sangat gugup. "Langsung pulang aja gimana?" "Padahal gue mau bawa lo ketemu Mama." "Ha?" Selina jelas terkejut. Terlihat juga dari raut wajahnya. "Mama? Nyokap lo maksudnya?" tanya Selina dan Mahesa mengangguk mantap. "Iya nyokap gue, mau kan ketemu sama dia? Pasti dia seneng banget lihat anak semata wayangnya bawa perempuan. Cantik, pinter pula, pasti Mama gue bangga lihat anaknya bisa dapatin cewek kayak lo," kata Mahesa. Selina masih tidak bisa menangkap maksudnya. "Gue sama sekali nggak tau maksud lo apa, Sa." Tatapan Mahesa semakin dalam. Sampai tiba-tiba kedua tangan Mahesa terulur meraih kedua tangan Selina. Tangan Selina tenggelam pada genggaman Mahesa. Cowok itu menatapnya dengan teduh. "Ngaku pacar gue di depan Mama ya?" Mahesa meminta dengan sungguh-sungguh. "Please, mau ya, Lin?" "Tapi, kenapa?" "Seenggaknya gue mau Mama gue lihat kalau gue cukup bahagia. Gue ingin Mama gue tau, jika suatu saat gue sedih karena kepergiannya, masih ada lo tempat gue pulang, meski semua ini hanya kepalsuan," pandangan Mahesa merosot beriringan dengan tangannya. Terdengar tarikan napas kasar darinya setelah itu. "Tapi kalau lo nggak mau gue juga nggak bisa maksa. Pulang yok gue anterin." Selina terdiam. Bagaimana bisa Mahesa dengan cepat mengubah ekspresinya seperti itu? Pasti sakit harus pura-pura tersenyum saat hati sedang terluka. Tak kunjung mendapatkan respon dari lawan bicaranya. Mahesa pun kembali menoleh menatap Selina yang masih membatu. "Lin, ayo naik. Mau pulang kan?" tegur Mahesa mengingatkan. "Sa?" "Kenapa?" Selina bergumam sebentar kemudian mengangguk dan tersenyum canggung. "Gue mau kok jadi pacar pura-pura lo di depan Mama lo." Seketika wajah Mahesa yang suntuk berubah sumringah. "Beneran kan, Lin?" Selina mengangguk. "Iya gue mau, Sa. Tapi cuma di depan Mama lo doang ya?" "Iya!" jawab Mahesa cepat tanpa mikir. Cowok itu lalu segera menyiapkan motornya. "Yok berangkat," ujarnya membuat Selina terkekeh. Setelah memberikan helm kepada Selina, seperti biasa, Mahesa mengulurkan tangannya ke belakang untuk membantu Selina naik ke atas motornya. "Udah, Lin?" tanya Mahesa sambil melirik Selina dari spion. "Sudah." Motor Mahesa akhirnya melaju. Meninggalkan area sekolah. Mulai membela jalanan padat ibu kota. Selina sendiri selalu suka dengan suasana seperti ini. Saat wajahnya harus tertabrak angin, saat suaranya teredam oleh suara bising pengguna jalan lain. Selina suka, sangat suka. Berkendara bersama dengan Mahesa adalah satu dari banyak hal yang berhasil membuat Selina bahagia. Tidak jauh berbeda dengan Selina. Mahesa juga merasakan hal yang sama. Dia suka saat dengan sengaja melirik Selina dari spion. Melihat gadis itu uang kadang memejamkan mata seolah tengah meresapi udara. Padahal penuh polusi. Mahesa rasanya ingin tertawa. Namun, biarlah apapun yang membuat Selina senang akan selalu Mahesa lakukan. **** Sampai di rumah sakit, Mahesa langsung membantu Selina untuk turun dari atas motor. Keduanya berjalan beriringan, sekilas Mahesa dan Selina terlihat sangat cocok. Yang satu tampan dengan tampilan berantakan, yang satu cantik dengan tampilan rapi. "Ini ruangan Mama," ucap Mahesa saat tiba di depan sebuah kamar. Selina hanya mengangguk. Gadis itu meyakinkan dirinya untuk masuk. Hingga saat pintu di buka, Selina dapat melihat Mama Mahesa terbaring tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan berbagai macam alat medis yang tertancap pada tubuhnya. d**a Selina rasanya langsung sesak. "Ayo Lin." Mahesa mengajak Selina mendekat. Cowok itu menggenggam tangannya. "Assalamu'alaikum, Ma," ujar Mahesa sambil meraih tangan Mamanya untuk dicium. Mama Mahesa bangun, ia membuka matanya, lalu tersenyum saat melihat Mahesa. "Wa'alaikumsalam, sudah pulang Nak?" begitu tanyanya. "Sudah Ma." Di sini Selina melihat Mahesa dari sudut pandang yang sangat berbeda. Tutur katanya sangat lembut kepada sang Mama. Terlihat jika Mahesa sangat menyayangi Mamanya. Selina tersadar dari lamunannya saat Mahesa menggerakkan genggamannya. Selina kemudian melakukan hal yang sama seperti apa yang Mahesa lakukan. Gadis itu mengambil tangan Mama Mahesa untuk diciumnya. Tidak lupa juga Selina mengucap salam dan tersenyum ramah. "Ini pacar Mahesa, Ma." ujar cowok itu tiba-tiba sambil melirik Selina. "Namanya, Selina. Perempuan yang berhasil membuat Mahesa jatuh sejatuh jatuhnya sama dia." "Selina juga yang selama ini menemani Mahesa. Dia baik dan cantik kan, Ma?" lanjut cowok itu. Selina tidak bisa berkata-kata selain tersenyum. Mama Mahesa terlihat bahagia saat mendengar penuturan anaknya. Mereka lalu saling berbincang. Sejauh itu Selina berhasil memposisikan dirinya sebagai pacar Mahesa. Melakukan hal layaknya orang pacaran. Selina sebenarnya tidak nyaman, berbeda dengan Mahesa. Selina merasa jika cowok itu melakukannya dengan tulus. Atau hanya perasaannya saja? Selina tidak tau. Mahesa masih terlalu abu-abu. Sulit untuk menebak setiap apa yang cowok itu lakukan. Segala sesuatu yang dilakukan Mahesa tidak bisa diprediksikan sebelumnya. Waktu terus berjalan. Pukul empat sore, Mahesa dan Selina harus berpamitan pulang. Mahesa senang hari ini bisa melihat Mamanya terus tersenyum. Mahesa senang bisa membuat Mamanya bahagia. Memberi Mamanya bahagia sederhana. Mahesa dan Selina berjalan keluar. Keduanya menjadi canggung setelah itu. Sampai di parkiran, Mahesa menarik napasnya panjang. "Makasih, Lin udah mau jadi pacar pura-pura gue di depan Mama," kata Mahesa seraya memberikan helm kepada Selina. Selina tersenyum dan mengangguk. "Iya sama-sama. Mama kamu tadi seneng banget lihat anaknya akhirnya laku," Selina menyelingi ucapannya dengan bahan candaan. Dia tidak suka dengan keadaan canggung seperti ini. Mahesa sukses tertawa. "Iya, lo udah cocok tadi." "Cocok?" "Cocok menjadi pacar beneran saya." Sontak Selina langsung terdiam. "Maksudnya?" "Bercanda, udahlah lupakan. Pakai nih helmnya." Selina berdecak kesal. Diraihnya helm full face itu dari tangan Mahesa. Seperti biasa, Mahesa membantu Selina untuk naik ke atas motornya. Setelah siap, Mahesa langsung melajukan motor tersebut. Udara sejuk di sore hari selalu enak dinikmati sambil motoran seperti ini. "Selina?" panggil Mahesa dengan suara setengah berteriak. Mendengar itu Selina langsung memajukan wajahnya jadi berada tepat di sebelah wajah Mahesa. Keduanya sangat dekat sekarang. Tentu saja itu tidak aman untuk kinerja jantung Mahesa. "Kenapa, Sa?" tanya Selina. "Lo mau nggak gue ajak ke suatu tempat sebentar?" "Ke mana?" "Ke tempat yang selalu buat gue tenang." **** Bangunan rumah tua yang sudah lama ditinggalkan menyapa Mahesa dan Selina. Ilalang panjang tumbuh liar hampir menutupi semua akses masuk ke dalam bangunan itu. Selina jadi merinding. Masalahnya bangunan itu sudah banyak bagian tembok yang runtuh, juga auranya menyeramkan, ditambah lagi dengan sekarang sudah senja. "Sa, yakin kita ke sini?" tanya Selina mengusap-usap kedua lengan atasnya takut. "Kenapa memangnya? Lin, jangan hanya dilihat dari depannya saja. Di balik semua keseraman ini, ada satu keajaiban yang gue yakin lo akan terkesan melihatnya." "Ayo," Mahesa mengajak Selina. Mereka bergandeng tangan untuk masuk. Selina ragu, tapi tidak bisa menolak juga toh mereka sudah sampai. Selina mengikuti saja ke mana Mahesa berjalan. Di balik ilalang panjang itu. Ternyata ada pintu masuk kecil ke dalam bangunan. Mahesa membukanya, menunjukkan mereka sebuah lorong gelap. Segera Mahesa menyalakan senter dari ponselnya. Melihat Selina yang ketakutan di sampingnya. Mahesa segera berinisiatif untuk memeluk gadis itu. "Jangan takut, di sini nggak ada setan atau semacamnya. Semua jenis setan takut sama gue. Lo nggak perlu khawatir," kata Mahesa masih sempat-sempatnya bercanda. Tidak tau kah dari tadi Selina sudah merinding. Setelah berhasil melewati lorong, barulah Selina bisa bernapas lega. Selina menatap hamparan di depannya. Sebuah danau buatan, tidak terlalu besar, tapi cukup indah dan lumayan terurus. "Mau lihat yang lebih indah?" tanya Mahesa. "Apa?" "Ikut gue." Mahesa kembali mengajak Selina untuk berjalan lebih jauh. Sampai mereka menemukan anak tangga untuk ke lantai atas. Selina nurut saja. Lama menapaki anak tangga tersebut. Kini sampailah mereka pada sebuah rooftops. Secara refleks Selina melepaskan tangannya dari genggaman Mahesa. Selina berjalan melihat sekelilingnya. Mahesa hanya tersenyum di belakang memperhatikan gadis itu. Tak henti-hentinya Selina berdecak kagum. Bagaimana bisa seorang Mahesa punya tempat menyendiri seindah ini. Dari atas mereka dapat melihat pemandangan danau dan tepat di tengah danau tersebut, matahari tenggelam dengan begitu menawan. Mahesa lalu berjalan mendekat. Cowok itu berdiri di samping Selina. Tatapannya lurus ke depan membuat Selina yang melihatnya. "Setiap gue ada masalah, gue selalu ke sini. Tempat ini selalu memberi gue rasa nyaman. Setiap berdiri di sini, gue selalu merasa tenang," ujar Mahesa. "Lo tau, ini sebelumya bangunan apa?" Selina menggelengkan kepalanya. "Apa?" tanyanya. "Ini rumah Mama yang lama, sebelum Mama dan Papa menikah," jawab Mahesa sambil memutar kepalanya menatap Selina. "Gue tau semua ini saat nggak sengaja nemuin diary Mama saat masih remaja. Mama gue suka senja, oleh karenanya dia mendesain rumah seperti ini. Setiap sore pemandangannya sangat indah, sama persis seperti yang lo lihat sekarang." Selina terpaku. Tidak menyangka pernah menyangka akan semua ini sebelumnya. "Mama gue nggak pernah salah. Senja selalu menenangkan." Selina tidak bisa menyangkal. Dia juga merasa nyaman dengan tempat ini. "Lo orang pertama Lin yang gue ajak ke sini." "Ha?" Selina terkejut mendengarnya. Di tatapannya wajah Mahesa pun sebaliknya. "Teman-teman lo, mantan, atau siapa pun itu?" Mahesa menggeleng. "Hanya lo Selina, dan gue harap selamanya hanya akan lo yang berdiri di sini sama gue." Selina tidak mengerti. "Lupakan," Mahesa kemudian terkekeh. "Besok gue ada ulangan, lo mau nggak berangkat pagi buat belajar bareng sama gue?" pinta cowok itu yang sekali lagi dan entah sudah berapa kali berhasil membuat Selina kehabisan kata-kata. "Mau kan, Lin?" tanya Mahesa sekali lagi. "Iya gue mau, Sa. Besok ya berangkat pagi?" Mahesa tersenyum lebar. "Siap ibu negara!" Mereka lalu sama-sama tertawa dengan lepas. Sungguh Selina tidak pernah terbayang akan ada di posisi sekarang ini. Mahesa, cowok itu sangat berbeda dengan pandangannya dulu. Mahesa yang sekarang, sangat jauh berbeda dengan Mahesa yang dulu Selina kenal. Mahesa seperti satu orang dengan dua pribadi yang berbeda. Namun, mau bagaimana pun pribadi Mahesa, Selina akan selalu suka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN