8. Rumah Selina

2060 Kata
"WOI LASKAR! Dasar warga bucin akut, lihat nih buah karya lo, beresin kek malah pacaran," seloroh Azka yang terganggu dengan tumpahan mie kuah milik Laskar. "Ka, kalau lo iri bilang dong, Laskar juga mau seneng kali biar aja dia pacaran dulu umur kan gak ada yang tau," ujar Damar yang baru saja keluar dari dalam warung dengan membawa dua nasi bungkus. Damar melempar satu nasi bungkusnya untuk Mahesa yang ditangkap baik oleh cowok itu. "Justru karena umur gak ada yang tau Mar, buat ibadah kek malah buat dosa. Sepet nih mata, tengok kanan uwu, kiri uwu, depan belakang, gue sebagai warga jomblo kan merasa terhina," omel Azka. "Mangkanya cari pacar!" sahut Laskar. Tidak pernah Wabes tidak sepi, selalu seperti ini. Semua orang-orang berkumpul. Ada yang ngegame bareng, nonton 1821, konser dadakan, main basket di lapangan sebelah, pacaran seperti Laskar, bercanda, dan lain-lain. Mahesa yang ada di antara mereka jadi lupa apa itu namanya kesepian. Di sini, bersama teman-temannya Mahesa bisa merasakan nyaman yang sesungguhnya. Mahesa boleh jadi ketua, orang paling tinggi di antara yang lainnya, tapi sekalipun semua teman Mahesa tidak ada yang mempermasalahkan kedudukan itu. Baik ketua, wakil, bahkan anak baru sekalipun, semuanya sama. Tidak ada yang saling membedakan. Mereka berbaur tanpa beban. Kebersamaan seperti ini yang entah sudah berapa lama tidak Mahesa rasakan di rumah. "Bengong aja, Sa. Mikirin apa?" Mahesa seketika tersadar dari lamunannya. Di sebelah cowok itu sudah ada Rizal. Mahesa lantas menggeleng sambil tersenyum. "Gak mikirin apa-apa," kata Mahesa. Cowok itu mulai membuka nasi bungkusnya. "Lo mau?" tawarinya kepada Rizal. "Lo aja yang makan," balas Rizal. Mahesa acuh, dia mulai memakan makanannya. "Kadang manusia itu lucu ya, Sa. Heran aja gue, apa gak sakit bohongin diri sendiri? Gue aja nih ya, suka nyesek kalau harus jadi badut saat suasana hati gue kacau. Memaksakan keadaan itu nyakitin banget, Sa." Penuturan Rizal membuat Mahesa terdiam lama. Gerakan mulutnya juga otomatis terhenti. Melihat itu Rizal terkekeh. "Santai aja, jangan tegang gitu dong bos, mukanya. Nih ya, lo inget gak, lo sering nasehatin kita, bawa lepas aja jangan pikirin masalah lo, di sini kita buat have fun aja, lepasin beban yang selama ini lo tanggung," Rizal menirukan gaya bicara Mahesa. "Lo kalau nasehatin orang tuh udah kayak diri lo paling bener, pinter banget buat motivasi orang, padahal dirinya sendiri butuh motivasi yang sama." "Lo itu ibarat lilin Sa, lo yang kasih penerangan, tapi malah lo sendiri yang terbakar." "Sa, gue sama yang lainnya gak bakal ngejek lo kok, kalau lo mau cerita," ujar Rizal terus kepada Mahesa. Selama ini Rizal telah berusaha memendam apa yang dia rasakan tiap kali melihat wajah murung Mahesa, apalagi saat ketuanya itu tiba-tiba uring-uringan tanpa sebab yang jelas. Dari situ saja Rizal tau jika Mahesa sedang tidak baik-baik saja. Mahesa itu gampang ditebak. Sekarang, Rizal sudah tidak bisa menahan lagi, kalau tidak dipancing seperti ini Mahesa pasti akan terus diam. Membiarkan dirinya terbakar dan perlahan menghilang. Rizal tidak mau kehilangan Mahesa, dalam bentuk apa pun. "Lo gak perlu tau urusan gue, Jal," kata Mahesa sambil menutup kembali nasi bungkusnya. Napsu makan Mahesa mendadak hilang. Rasa lapar yang sejak tadi dia tahan lenyap begitu saja. Mahesa tiba-tiba kenyang. "Sa, gue bisa jadi pendengar yang baik buat lo," ujar Rizal menahan Mahesa yang hendak beranjak pergi. Apa yang dilakukan dua cowok itu sukses menjadi perhatian. Seluruh pandangan langsung tertuju otomatis ke arah Mahesa dan Rizal. "Sa?" Mahesa menarik napasnya dalam. Tanpa mengucapkan apa pun lagi, Mahesa langsung pergi, setelah memberi Damar uang dan membuang sisa nasi bungkusnya. "MAHESA?!" teriak Rizal, tapi terlambat, Mahesa sudah terlebih dahulu menaiki motornya. Membawa kuda besi itu untuk ikut pergi bersamanya. "MAHESA, LO JUGA PERLU DIDENGAR!" Rizal kembali berteriak saat Mahesa melintas di hadapannya. Bahu Rizal merosot. Kenapa bisa Mahesa sekeras kepala itu? Apa salahnya cerita? Rizal dan yang lainnya tau jika hubungan Mahesa dan keluarganya di rumah tidak harmonis, tapi dengan cerita, kita bisa menjadi lebih baik kan? Rizal hanya ingin Mahesa merasakan itu. Selama ini Mahesa yang selalu mendengar tapi dia tidak pernah mau didengar. "Jangan paksain dia terus, Jal. Mahesa butuh privasi." Kaylendra tiba-tiba muncul dari belakang Rizal. Rizal memutar badannya menatap cowok minim ekspresi itu. "Tapi sampai kapan, Kay? Apa dia gak capek kayak gitu terus? Gue juga mau balas kebaikan dia yang selama ini buat gue, Kay. Bahkan hal sekecil ini Mahesa gak mau nerima," keluh Rizal. "Kalau dia capek pasti bakal datang sendiri ke lo. Orang kayak Mahesa gak bisa dipaksa. Semakin lo paksa dia akan semakin berontak. Lo cukup ikuti aja mau dia apa, dengan gitu lo bisa buat Mahesa lebih merasa baik," kata Kaylendra tetap terdengar tanpa intonasi. Rizal membuang napasnya kasar. "Kayaknya gue yang lama-lama bakal capek kalau terus ikuti alur hidup Mahesa." Rizal melenggang pergi dari hadapan Kaylendra. Cowok sipit itu masuk ke dalam warung, memesan makanan untuk mengalihkan pikirannya. **** Di jalanan Mahesa terus memacu motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Cowok itu ngebut-ngebutan yang sesekali membuat pengguna jalan lainnya marah dan tak segan buat menyemprot Mahesa dengan u*****n kasar. Mahesa peduli apa? Semua itu hanya akan numpang lewat di kepalanya. Sekarang Mahesa tidak tau harus ke mana. Kembali ke rumah? Sama sekali bukan pilihan bagus. Ke rumah sakit? Melihat Mamanya yang seperti itu? Percayalah itu malah akan membuat Mahesa tidak nyaman. Mahesa paling tidak tega mendengar racauan-racauan Mamanya yang kesakitan. Rintihan Mamanya sudah seperti nyanyian horor di telinga Mahesa. Mahesa tidak akan tega, lebih baik dia menjauh. Bukan tidak peduli, tapi Mahesa benar-benar tidak bisa. Mahesa bingung harus ke mana, tidak ada yang bisa dia datangi sekarang? Panti asuhan? Yang ada malah kena ceramah dan Mahesa membencinya. Hingga tiba-tiba Mahesa teringat seseorang. Selina. Apa kabar dengan gadis itu? Setelah acara bentak-bentakan di UKS tadi pagi, Mahesa sama sekali belum melihat Selina. Mahesa jadi merasa bersalah telah marah-marah. Apa Mahesa ke rumah Selina saja? Sekalian minta maaf bukan? "Iya, gue harus temuin Selina," gumam cowok yang masih menggunakan seragam sekolah lengkap itu. Mahesa lalu menepikan motornya di pinggir jalan. Mahesa membuka ponselnya, mencari nomor seseorang di sana. Mahesa : [Kirim alamat rumah Selina sekarang] Anggi : [Buat apa?] [Lo mau ngapain?] Mahesa : [Jgn banyak tanya!] Anggi : [Ck, oke! Bentar] [Sharelok] Setelah mendapatkan apa yang dia mau, Mahesa segera menuju kediaman gadis itu. **** "Ma, kalau yang ini gimana? Kira-kira laku berapa ya kalau di jual?" tanya Selina kepada Mamanya sambil menunjukkan sebuah perhiasan bentuk gelang kaki dengan hiasan lumba-lumba. Yura lantas mendekat melihat perhiasan milik Selina. "Ini kan hadiah ulang tahun dari Papa saat kamu umur sepuluh tahun, apa nggak sayang kalau dijual?" Selina berpikir sejenak. "Sayang sih, tapi ya mau gimana lagi? Kita butuh duit," katanya. Yura menghembuskan napasnya kasar seraya menggelengkan kepala. "Jangan dijual, simpan saja. Lagian ini model lama, harga jual sama belinya bakal kebanting jauh, udah simpan aja." "Yaudah iya, terus sekarang gimana? Kita mau makan apa? Listrik? Uang Mama kan habis, belum lagi nanti buat bayar sekolah," ujar Selina. "Pikirin cara lain, pokoknya gelang kaki itu jangan dijual. Itu semua juga simpan kembali aja. Sayang banyak kenangannya," balas Yura menunjuk barang-barang yang hampir saja mereka jual. Semua barang-barang itu mempunyai ceritanya masing-masing. Selina akhirnya mengangguk pasrah. Dia menatap gelang kakinya dengan sedih. "Andai Papa kayak Papa-Papa lain di luar sana yang sayang sama keluarganya pasti kita gak bakal ngerasa susah kayak gini. Ya kan Ma?" kata Selina. "Awalnya Selina kepikiran buat nanti kalau cari suami mau yang kayak Papa aja, tapi setelah tau Papa kayak gini, Selina jadi ragu. Selina nggak yakin kalau bakal sekuat Mama nanti. Ditinggalin saat Mama sedang butuh-butuhnya penyemangat." Yura mendekati Selina, menarik anak semata wayangnya itu ke dalam pelukannya. Perlahan air mata Yura luruh, semua yang dikatakan Selina tentang Papanya itu benar. "Mama udah terima semua ini, Lin. Sekarang yang Mama pikirin cuma kamu. Cari laki-laki yang bener-bener sayang sama kamu, yang nggak akan pernah ngecewain kamu, yang selalu bisa jagain kamu. Ya?" Selina mengangguk. Senyumnya terangkat sempurna. "Iya, Ma." Tok! Tok! Tok! Sontak Yura langsung melepas pelukannya. Selina juga refleks berdiri. "Siapa Ma?" tanyanya. "Coba kamu buka." Selina mengangguk. Gadis itu kemudian berjalan ke depan guna melihat siapa yang datang. Tok! Tok! Tok! "IYA SEBENTAR," jawab Selina. Ceklek! "Mahesa?" mulut Selina secara otomatis menyebut nama itu. Selina melihat orang di depannya itu dengan intens dari atas hingga bawah dan berulang-ulang, takut salah. Namun sebanyak apa pun Selina melihat, dia tetaplah orang yang sama. Pertanyaannya sekarang adalah, buat apa Mahesa ke rumahnya dan dari mana cowok itu tau alamatnya? "Siapa, Lin?" tanya Yura tiba-tiba keluar ikut melihat tamunya. "Eh, em ini teman satu sekolah Selina, Ma," jawab Selina. Mahesa yang melihat Yura pun langsung nyelonong masuk dan menyalimi tangan Yura membuat Selina sedikit tercengang. "Assalamu'alaikum tante," ucap Mahesa sangat sopan. Yura tidak punya alasan untuk tidak tersenyum ramah. "Wa'alaikumsalam, duduk dulu nak, duduk sini." Selina berdecak kesal melihat perlakuan Mamanya kepada Mahesa. Tidak taukah Yura kalau anaknya ini tengah kesal dengan Mahesa? "Namanya siapa ganteng?" tanya Yura kepada Mahesa. "Mahesa tante." "Ooo Mahesa, teman sekolah Selina?" Mahesa mengangguk. "Satu kelas kah?" "Saya anak IPA tante." Yura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tatapan wanita itu lalu tertuju kepada Selina. "Lin, malah jadi patung, gak mau buatin Mahesa minum nih?" "Iya Lin, gue haus rumah lo jauh banget ternyata," kata Mahesa dengan begitu percaya dirinya. Selina memutar kedua bola matanya malas. "Maap-maap aja nih sebelumnya. Bukan gue gak mau, cuman di rumah gue lagi nggak ada teh, kopi, atau semacamnya. Adanya cuma air putih mau?" "Gak pa-pa, nanti gue minumnya bisa sambil lihat lo." "Halah basi!" sentak Selina membuat Mahesa tertawa. "Yaudah tunggu gue ambilin," kata Selina lalu pergi ke dapur. Yura menggelengkan kepala melihat sikap Selina. Dia jadi tidak enak dengan Mahesa. "Mahesa, kalau gitu tante tinggal ke belakang dulu ya? Ada yang mau diberesin," ujar Yura. Dengan cepat Mahesa mengangguk. "Iya tante," jawabnya. Yura lalu berjalan masuk meninggalkan Mahesa sendirian. Lama Selina tidak kunjung datang, apa gadis itu sengaja dilama-lamakan agar tidak bertemu dengannya? Apa dia marah? Mahesa sesekali melihat ke dalam rumah Selina. Namun, tidak ada tanda-tanda Selina akan keluar. Mahesa kemudian berdiri, melihat-lihat tiap sudut ruang tamu Selina. Ada banyak foto keluarga terpajang di sana. Ada juga satu lemari khusus untuk piala-piala dan penghargaan Selina. Pasti orang tua Selina sangat bangga punya anak seperti Selina yang sangat pintar. Mahesa sering mendengar nama Selina seliweran di speaker sekolah karena prestasi, beda dengan Mahesa yang namanya seliweran karena masalah. Mahesa dan Selina sangat bertolak belakang. "Maaf lama ya? Gue tadi harus masak air dulu, air galon habis gak sempet beli." Selina datang membawa nampan berisikan segelas air untuk Mahesa. Melihat kedatangan Selina, Mahesa pun langsung kembali duduk. "Airnya masih panas, tadi gue tambahin gula biar manis, biar lo gak perlu repot-repot lagi minum sambil lihat muka gue," kata Selina. "Makasih," balas Mahesa. Selina duduk bersebelahan dengan cowok itu. Selina melirik Mahesa yang tengah meniup-niup minumannya. "Mau apa lo ke sini, Sa?" tanya Selina setelah Mahesa minum. "Pengen aja," jawabnya. "Terus tau alamat gue dari mana?" "Anggi." Sampai situ Selina cukup merasa kesal dengan Anggi, awas saja besok di sekolah Selina akan membuat perhitungan. "Lin?" panggil Mahesa sukses membuat Selina sedikit terkejut karena dia sedang melamun sambil menyumpah serapahi Anggi. "Ada apa?" tanya Selina. "Nanti malam ikut gue mau?" Selina mengangkat sebelah alisnya bingung sekaligus kaget. "Ke mana?" "Pasar malam, tadi waktu ke sini gue gak sengaja lihat pasar malam baru buka. Mau ya ikut gue pergi ke sana? Nanti jam tujuh gue jemput, gimana?" Selina terkekeh merasa aneh dengan sikap Mahesa. "Lo habis kejedot ya? Aneh banget perasaan." "Kenapa? Nggak mau ya?" "Bukannya nggak mau, nanti malam gue harus belajar besok ada ulangan harian," kata Selina jelas bohong, Selina tidak mau saja pergi dengan cowok itu. "Gue ngajak lo sebagai permintaan maaf atas perlukan gue tadi pagi. Gue kelepasan." "Kalau soal itu gue udah maafkan kok," balas Selina. "Tapi gue tetap nggak enak, nanti ikut gue mau ya?" Mahesa tetap kekeh hingga terdengar helaan napas kasar dari Selina. "Gue besok ada ulangan, Mahesa." "Gue percaya cewek kayak lo nggak akan mendadak bodoh kalau nggak belajar sekali," cetus Mahesa. "Kaylendra contohnya," lanjut cowok itu. Memang benar, jika di anak Bahasa ada Selina yang paling pintar, maka di anak IPA ada Kaylendra. Keduanya selalu mendapatkan peringkat satu secara pararel. Kerena bukan? Kadang Mahesa merasa iri. "Yaudah oke! Tapi gak lama ya?" putus Selina akhirnya. "Oke! Nanti jam tujuh gue ke sini." "Iya." Mahesa aneh, kenapa harus dia sesenang itu bisa mengajak Selina jalan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN