Sebuah kecurigaan

2349 Kata
Kejutan ulang tahun untuk Maryam yang mereka rencanakan gagal total. Zahra lah yang membuat semuanya gagal total. Bukannya pergi ke toko kue, Zahra malah berlari ke taman dan menanyakan Maryam mengenai foto gadis itu. Maryam bingung dan memberi tahu, bahwa foto itu ia temukan dari belakang kaca yang Ilham berikan dan Zahra langsung berlari ke pesantren. Zahra meminta akses pada pakde untuk bertemu dengan Ilham, tapi Ilham sedang tidak ada di pesantren. “Nak Ilham sedang pergi keluar.” “Ke mana Pak? “ “Hem, entahlah mereka pergi satu rombongan. Ada Ilham, Gita dan juga Amina.” “Apa mereka sudah lama pergi, Pakde?” “Lumayan sih, Nak.” “Kalo gitu, biar Zahra tunggu mereka pulang di sini.” “Duh, pakde jadi gak enak kalo nak Zahra nunggu di luar, tapi pakde gak bisa bantu apa-apa. Jam segini, peraturan di sini gak boleh ada pihak luar yang masuk ke pondok.” “Iya, Pakde, gak masalah. Biar Zahra tunggu sini saja.” Zahra melangkah, menjauh dari pos jaga Pakde dan memilih duduk di bawah pohon. Hampir satu jam Zahra menunggu tapi Ilham dan yang ain tidak juga pulang. Langit nampak mendung, sebentar lagi hujan akan turun membasahi bumi. Rintik-rintik air hujan mulai sampai ke kulit Zahra, Zahra segera bertemu di teras rumah warga yang ada di sana. Zahra menghela nafas panjang melihat hujan turun, ada banyak pertanyaan yang memuncak di benaknya tapi semua itu harus ia tahan lagi. “Ya Allah, sebenarnya apa yang terjadi?” Zahra termenung lama, bersamaan dengan air hujan yang terus menguyur bumi. Ia kembali mengingat banyak hal yang terjadi. Dua jam berlalu, tapi Ilham masih belum pulang ke pesantren. Zahra menghela nafas panjang dan memutuskan untuk pulang, hari makin gelap karena langit tertutup awan gelap. Zahra berjalan gontai, ia masih belum mau pulang, ada banyak yang menganjal dibenaknya. Zahra memutuskan untuk memutar langkahnya dan datang ke rumah pohon. “Kak Gita ada di sini? “ Zahra kaget melihat Gita baru saja turun dari rumah pohon. Gita nampak kaget, namun ia berusaha terlihat tidak gugup dan menarik senyum pada wajahnya. “Kata pakde, Kakak, kak Amina, Ilham dan yang lainnya sedang pergi keluar, tapi kenapa Kakak ada di sini? “ “Kak, tadi, Hem, mengambil sesuatu milik Amina yang tidak sengaja tertinggal di rumah pohon.” “Kak, Aminah dan yang lain sudah pulangkah ke pondok? “ “Belum, kamu tadi ke pondok? “ “Iya. Aku cari Ilham, Kak.” “Emang ada apa? “ “Hem, hanya ada sesuatu yang perlu dibicarakan Kak.” Zahra menatap menerawang jauh. “Oh, tapi kelihatannya penting.” “Hem.” Zahra bergumam pelan, ia menyembunyikan foto itu di dalam katung roknya. “Kakak kelihatan terburu-buru, apa ada masalah, Kak? “ “Hem, itu, tidak.” Gita terlihat gugup, Zahra dapat merasakan itu dari intonasi dan gerak mata Gita yang terlihat bergerak cepat. “Kak, apa aku boleh bertanya sesuatu ?” Mata Gita terbelalak, ia terlihat makin gugup dan tidak sengaja menjatuhkan benda yang ada di tangannya. “Ya ampun.” Buru-buru Gita mengambilnya. “Benda apa itu, Kak? “ “Hem, itu, hem....” “Kak, aku ingin bertanya, apa Kakak percaya ada vampire?” “Vampire? “ Gita kaget. “Iya, Kak, jin yang mengambil rupa makhluk pengisap darah.” “Kenapa kamu menanyakan itu? “Gita menelisik mata Zahra. Zahra terlihat ragu mengungkapkan apa yang ada di hatinya. “Ada apa, Zahr?” Zahra mengeluarkan foto itu dari saku roknya. “Gadis ini korban vampire itu, Kak.” “Gadis ini....” “Kakak mengenalnya? “ “Dia...” . . “Maryam, maaf, gara-gara kak, kejutan ulang tahun kamu jadi gagal.” “Is okey Kak, santuy aja.” Maryam menunduk seraya memainkan buku jari tangannya. “Kamu marah ya sama kakak? “ “Gak.” “Serius? Kenapa kamu tiba-tiba diam gitu?” “Tadi Kakak ke pondok ya, nemuin kak Ilham? “ “Iya, rencananya. Tapi gak ketemu.” “Kakak kenal sama gadis itu? “ “Hem.” Zahra bergumam tidak jelas. Ia tidak bisa mengatakan sebenarnya atau berbohong pada Maryam. “Siapa gadis itu kak? Kenapa fotonya ada di dua tempat, di kaca kak Ilham dan juga di buku paman.” “Ha, di buku abi ada gambar gadis itu juga? Buku yang mana?” “Buku yang waktu itu aku pinjam Kak. Aku juga gak tahu kenapa ada foto gadis yang sama di buku punya paman.” Maryam merogoh tasnya lalu mengeluarkan secarik foto gadis itu dengan pose dan gaya yang sama seperti foto yang di temukan Maryam di kaca milik Ilham. “Sama persis,” gumam Zahra, membandingkan keduanya. “Ada bedanya kak, liat di belakang foto milik kak Ilham ada sebuah tulisan, entahlah ini tulisan atau lambang.” Zahra mengamati lambang yang Maryam katakan. Zahra merasa tidak asing dengan lambang ini, ia seperti pernah melihatnya. “Astagfirullah, aku ingat.” Zahra langsung berlari ke kamarnya. “Ada apa Kak? “Maryam mengekor di belakang. Zahra sibuk mencari sesuatu di rak buku miliknya, ia mengambil sebuah buku bersampul biru. Buku kesayangan abi. “Kakak, liat lambang ini di buku abi.” “Ha?” Zahra langsung membolak-balik, kertas demi kertas, dan berhenti di sebuah kertas halaman lima, terlihat catatan kecil yang ditulis dengan pulpen di ujung halaman, sepertinya abi menulisnya dadakan karena takut dilupakan. “Lambangnya sama, Kak,” seru Maryam, heboh. “Castel? Apa maksudnya Kak ? Kenapa lambang itu sama dengan castel, castel apa? Memangnya di dekat sini ada castel? Terus apa arti lambang atau kode itu? “ “Castel... “Zahra bergumam, pelan. Ia teringat sesuatu, selain pernah melihat lambang itu di buku abi, Zahra juga pernah melihat lambang itu di castel Kelvin. Ya, Zahra ingat itu, lambang itu ada di castel , Zahra tidak sengaja melihatnya saat ia berusaha untuk kabur dari castel. “Dek, kamu mau bantuin, Kakak? “ “Bantuin apa Kak? “ “Temenin, Kakak ke castel.” “Castel ? Kak di sini mana ada castel.” “Ada, Dek.” “Ha? “ “Di hutan.” . . . Maryam mengeratkan tangannya pada lengan Zahra, ia sangat takut berada di hutan, meski hari masih sore. Suara bintang yang bersahutan terdengar menyeramkan bagi Maryam. Dulu Maryam sering ikut ayahnya masuk ke dalam hutan, seingatnya hutan ini bukanlah hutan rimba. Hutan ini juga tidak terbilang hutan aman dan tidak di huni hewan karena seingat Maryam hutan ini tidak menyediakan banyak makanan untuk hewan hidup, mungkin hanya beberapa hewan kecil yang ada di hutan ini. Maryam tidak menyangka hutan ini sudah berubah tidak seperti hutan dulu yang dia ketahui. “Kak, benaran di sini ada castel? “ “Iya.” “Kak, kira-kira di sini ada harimau gak ya?” “Mungkin ada.” “Ih, Kakak, jangan bilang gitu kek. Makin parnok nih....” “Gak perlu takut, kamu banyak-banyak dzikir aja.” Maryam mengikuti saran Zahra, ia berdzikir sepanjang perjalanan mereka. Mereka sampai di depan castel milik Kelvin. Maryam terkagum. Maryam menatap dengan takjub bangunan yang ada di hadapannya. “Masyallah, ternyata beneran ada castel di sini...” Maryam menoleh pada Zahra. “Dari mana Kakak tahu ada castel di sini? Siapa pemilik castel ini? “ “Hem, Dek, kamu duduk di bahwa pohon itu aja ya. Tutup mata kamu dan baca ayat Qursi sampai kakak datang ke sini lagi. Kamu jangan buka mata sebelum dengar suara Kakak. Oke? “ “Tapi kenapa, aku harus duduk di sana? Aku mau ikut kakak aja, masuk ke dalam.” “Jangan, Dek. “ “Kenapa? Jelasin dulu! “ Zahra menghela nafas panjang, ia tidak mungkin mengatakan bahwa Maryam akan mendapat masalah jika masuk ke castel dan tidak sengaja bertemu Stefani. Zahra tidak mau, Stefani sampai melukai Maryam karena marah. “Nanti kakak jelasin. Sekarang kakak mohon, dengar apa yang kakak bilang! “ Maryam berpikir sejenak, ia tidak mau di tinggal sendiri di sini. Tapi ia melihat mimik Zahra yang tidak terlihat seperti biasanya, ini pasti serius, pikir Maryam. “Ya udah Kakak, tapi jangan lama-lama ya! “ Zahra segera berlari, masuk ke dalam gerbang sedangkan Maryam mulai mengikuti apa perintah Zahra. Zahra mengendap-endap masuk ke dalam castel, Zahra tidak mau sampai tertangkap. Castel itu memang terlihat sepi seolah tidak ada penghuni, tapi Zahra tahu jelas di setiap sudut castel ada beberapa penjaga dari kalangan jin, mereka memang tidak terlihat tapi Zahra bisa merasakan dan mencium bau keberadaan mereka. Zahra harus benar-benar berhati-hati, ia harus terus mengawasi. Zahra tiba di ruangan yang di sebelah dinding terdapat simbol yang sama seperti yang ada di buku abi dan gambar gadis itu. Zahra hendak mendorong ruangan itu, tapi suara derap langkah kaki mterdengar ke arahnya. Buru-buru Zahra bersembunyi. “Ilham sudah bergabung dengan mereka.” Suara Stefani menggema di lorong castel. “Kematian gadis itu, Ck! “ Kelvin berdecak keras. “Kamu harus pikirkan segalanya Kelvin, kamu harus bert—“ “TUTUP MULUTMU, STEFANI! “teriak Kelvin, tiba-tiba. Zahra terlonjak kaget hingga tanpa sengaja menginjak rumput dan menimbulkan suara kecil. Kelvin melirik ke arah Zahra, satu detik ia tidak berpaling dari arah itu, Zahra takut Kelvin menyadari kehadirannya di sana. “Suara rumput dan angin sangat mengganggu," Kelvin berdecak. Zahra baru bisa bernafas lega, Kelvin dan Stefani seperti tidak menyadari kehadirannya di sana. “Itu tidak penting Kelvin!“ “Lalu apa yang penting? Kamu yang sudah membunuh gadis itu!” kata Kelvin, pelan. “Ha? Apa kata kamu? “ “Stefani, selama ini kamu selalu jahat. Kamu bahkan tega membunuh gadis yang tidak bersalah.” “KELVIN! “ “Rendahkan suaramu, Stefani! Dengan meninggikan suaramu, tidak bisa membuktikan apa pun! Kamu yang membunuh gadis itu! “ “Tidak, Kelvin! “ “Saya selama ini selalu menahan, Stefani! Saya sudah tahu semuanya! Kamu yang membunuh gadis itu, adik Ilham.” Kelvin tersenyum miring. “Kau pembunuh! “ bisik Kelvin pelan. “J-jadi...” Stefani melihat siluet di dinding. Kelvin tersenyum seraya menaikkan alis matanya. “PERSETAN DENGAN SEMUA INI! “ Teriakan Stefani, membuat Zahra buru-buru pergi dari sana. Tanpa Zahra duga ia mendapat jawaban dari pertanyaannya. Gadis yang menolong Zahra melarikan diri dari castel, adalah adik Ilham. Stefani yang sudah membunuh gadis itu bukan Kelvin, Ilham salah paham kepada Kelvin, Kelvin hanya berusaha menutupi kebusukan Stefani. Itulah yang Zahra ketahui kini. Langkah Zahra terhenti. Ia melihat Kelvin dan Ilham berkelahi. Ilham tidak peduli pada wajahnya yang penuh lembam. Ilham terus memberikan perlawanan pada Kelvin, hingga akhirnya Kelvin tersungkur di tanah. “Semua akan berakhir di sini! Bissmilahirahmanirahi.” Dengan wajah merah menahan marah, Ilham mengeluarkan pedang, mengayunkan pedang itu ke arah Kelvin. Zahra refleks langsung berlari dan mendorong pedang itu, alhasil tangan Zahra yang terkena. “Aw !” Zahra meringgis. Ilham kaget akan keberadaan Zahra di sana. “Zahra....” “Apa kamu baik-baik saja, Kelvin ?” tanya Zahra. “Kamu yang terluka karena menyelamatkan saya.” “Zahra! Jangan mau tertipu muslihat dia! Dia jin kafir ! DIA YANG TELAH MEMBUNUH ADIKKU! “ “Tidak! “Zahra berdiri menantang Ilham. “Bukan Kelvin pembunuhnya tapi Stefani!” “Itu bohong!” mata Ilham menyalak tajam. “Saya tidak bohong! Saya mendengar percakapan mereka tadi. Kelvin hanya kambing hitam atas perbuatan Stefani. Bukan Kelvin pembunuhannya.” “Kamu tidak tahu apapun, Zahr! “ “Saya tahu! Kamu yang selalu menutup mata untuk segalanya! Kamu membenci Kelvin maka kamu selalu berusaha membuat Kelvin terlihat jahat!” “Dia jahat!” “Dia tidak jahat! Dia memang jin kafir, tapi dia sedang berusaha untuk menjadi jin baik. Dia bahkan menolong kucing tidak seperti kamu yang malah menendang kucing.” Zahra bersikeras. “Saya yakin bisa membantu Kelvin! Saya sangat yakin! “ “Kamu hanya tahu setengah kebenaran!” jawab Ilham. “Tidak, apa yang aku katakan memang benar,” sanggah Zahra. “Jangan sakiti, Kelvin! Setiap jin dan manusia punya kesempatan untuk berubah. “ . . “Dek.” Maryam menghentikan gerakan mulutnya, lalu membuka mata dan langsung berlari ke menghampiri Zahra. “Apa sudah ketemu, Kak? “ “Sudah.” “Jadi itu lambang apa? “ “Ayo kita pulang, hari sebentar lagi akan malam.” Zahra mengalihkan topik pembicaraan. “Eh, iya ya, ngeri juga kalo malam-malam di sini.” Keduanya pulang, menyusuri jalan tadi. Maryam tidak setakut tadi, ia sudah bisa berjalan sendiri tanpa menempel pada lengan Zahra. “Ternyata pohon-pohonnya indah juga ya, Kak.” Maryam melangkah ringan dan tidak memperhatikan dengan baik langkahnya. Maryam juga hampir jatuh tersandung pelepah kering pohon. “Hati-hati Maryam, salah melangkah kamu bisa masuk dunia lain.” “Dunia lain? “ Maryam spontan berhenti bergerak. Zahra ingin menceritakan segalanya mengenai pengalamannya yang hampir terjebak di dunia jin, tapi ini hampir malam jika mereka terlalu banyak menunda langkahnya. “Dunia jin, Dek. Kamu pasti tahukan, jin juga punya dunianya. Tapi sebaiknya sekarang kita pulang, hari mulai gelap.” “Hem, iya.” Krek Zahra dan Maryam kaget mendengar suara daun kering yang diinjak, mereka spontan menoleh ke sumber suara. Maryam ketakutan melihat orang yang berlari karena tertangkap oleh mereka. “Kak, itu siapa?” Zahra terkesiap. Itu Amina, Zahra tahu hal itu dari tudung kepala yang tidak sengaja tersikap dan memperlihatkan kerudung yang Amina kenakan. Kerudung yang Zahra berikan sebagai hadiah untuk Amina. "Kenapa kak Amina ada di sini?” batin Zahra. Zahra langsung mengejar Amina, Maryam juga ikut mengejar Zahra. “Kak, tangguin,” teriak Maryam. “Maryam, buruan, kita harus mengejar dia.” Zahra sedikit memperlambat larinya, ia tidak mungkin meninggalkan Maryam di belakang. “Tapi dia siapa, Kak? “ “Dia...” Zahra terkesiap. “Kak, buruan, dia larinya makin cepat!” seru Maryam. Maryam malah justru berlari lebih cepat dari Zahra dan sudah berada di depannya. “Kak, buruan! “ teriak Maryam. Maryam berlari sangat cepat, ia hampir meraih pundak Amina tapi gagal karena Amina berhasil mempercepat langkahnya dan hal itu malah membuat Maryam hampir terjatuh. “Yam....” Zahra berhasil menangkap tangan Maryam. “Hati-hati.” “Kejar dia, Kak! “ seru Maryam. Zahra ragu, dia tidak mau meninggalkan Maryam. “Kak, kejar aja. Kita juga udah di luar hutan. “ “Buruan, Kak! Tuh dianya makin jauh!” Zahra segera mempercepat larinya, meski sudah tidak melihat Amina lagi, Zahra tahu Amina berlari ke mana. Zahra cepat-cepat berlari ke arah pondok. Maryam masih mengekor di belakang. Zahra berhenti di depan pondok, nafasnya memburu sangat cepat. “Kak, kenapa ke pondok? “tanya Maryam heran. Zahra tidak menjawab, matanya sibuk mencari ke sana-ke mari. Ia akan menanyakan semua yang mengganjal selama ini di dalam benaknya. Baru saja Zahra hendak melangkah, langkahnya terhenti karena melihat ada Stefani bersembunyi di antara pohon. Stefani menggunakan kerudung yang tadi Amina kenakan. Zahra menajamkan matanya, pendapat bahwa mungkin Amina berada di castel tadi seketika menguap di benak Zahra. Stefani memakai kerudung milik Amina, apa yang berusaha vampire itu lakukan? Apa dia berusaha membuat Zahra meragukan sahabatnya sendiri? “Zahra, kamu ke sini? “ Amina keluar dari dalam pondok. “Eh, ada Maryam juga. Ada apa? Kata pakde, tadi siang kamu juga ke sini ya, Zahr? Emangnya ada apa Zahr? “ “Kak, tadi kakak pergi ke c-castel? “ tanya Zahra, ragu. Zahra sudah tidak melihat Stefani di sana. “Castel? “ Amina tertegun. “Sebenarnya kakak sedang mencari sesuatu, kerudung yang kamu kasih waktu itu, gak ada di kakak.” “Hah?” Zahra tertegun, berarti benar, Stefani mencoba membuatnya meragukan Amina, tapi kenapa Stefani melakukan itu? “Kamu marah ya sama kakak? Maaf ya? “ “Gak, Kak. Gak masalah.” “Eh, lebih baik kita masuk aja yuk ke pondok, bentar lagi magrib. Kalian salat di sini dulu, terus pulangnya nanti kakak anterin. Gimana? “Amina tersenyum tulus, seketika perasaan bersalah bersemedi di hati Zahra, bagaimana bisa ia mencurigai sahabatnya sendiri. “Terima kasih, Kak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN