“Ya Allah..,” kata Maryam.
Sekonyong-konyong Zahra langsung berlari ke tempat itu. Maryam mengekor di belakang Zahra, ia ragu-ragu untuk mendekat, berbeda dengan Zahra yang tanpa ragu menerobos kerumunan, orang-orang refleks memberinya jalan pada Zahra karena melihat seragam Zahra yang sama seperti korban kecelakaan.
“Astagfirullah.” Zahra kaget mengetahui siapa korban kecelakaan itu. Itu Ilham. Belum pulih dari keterkejutannya, mata Zahra menangkap sesuatu di balik gedung, ia melihat Stefani berdiri di sana, lalu menghilang.
“Kak, itu Kak Ilham.”
Sekonyong-konyong Zahra langsung berlari ke tempat itu. Maryam mengekor di belakang Zahra, ia ragu-ragu untuk mendekat, berbeda dengan Zahra yang tanpa ragu menerobos kerumunan, orang-orang refleks memberinya jalan pada Zahra karena melihat seragam Zahra yang sama seperti korban kecelakaan.
“Astagfirullah.” Zahra kaget mengetahui siapa korban kecelakaan itu. Itu Ilham. Belum sadar dari keterkejutannya, mata Zahra menangkap sesuatu di balik gedung, ia melihat Stefani berdiri di sana dan saat tertangkap basah dengan cepat ia menghilang.
“Kak, itu Kak Ilham.”
“Kalian kenal dia? “
“Iya, Pak. Kami kenal.”
“Kalo gitu, kalian ikut mobil ambulans ya? “
Maryam mengangguk dan langsung menarik tangan Zahra untuk ikut masuk ke dalam ambulans. Di dalam ambulans terlihat darah di wajah Ilham, Zahra tidak berani melihatnya. Semenjak kejadian waktu itu, Zahra seolah takut jika melihat darah. Ia merasa pusing dan mual.
“Kak, Lo kenapa, muka Lo kok pucat sih?”
“Gak tahu, Dek. Tapi gak apa-apa kok.”
“Haus...”
Zahra dan Maryam refleks langsung menoleh mendengar suara Ilham.
Kepala Ilham bergerak lemah, perlahan matanya terbuka. “Apa yang terjadi?” katanya pelan, nyaris seperti berbisik.
“Kakak tadi kecelakaan,” jawab Maryam.
“Ya Allah, kok bisa, apa tadi ada badai angin ?” tanya Ilham, suaranya terdengar lemah sekali. “Tadi aku terjatuh karena ada angin yang seketika menarik tubuhku.”
“Eh, perasaan gak ada deh...,” Maryam bergumam sendiri. “Gak adakan, Kak? “ bisik Maryam.
Zahra tertegun. Ia tahu apa yang terjadi.
.
.
.
“Terima kasih atas bantuannya,” ucap Ilham . Ia sudah sadar sepenuhnya. Dan diperbolehkan untuk pulang. Tidak ada luka berat yang mengharuskan Ilham untuk opname. Ia hanya perlu banyak istirahat untuk memulihkan kondisinya dan juga luka pada lengan dan kepalanya.
“Iya, sama-sama, kak Ilham. Kakak sekalian kita anter gak? “ Maryam yang baik hati. Zahra menoleh mendengar tawaran baik hati adik sepupunya itu, Maryam memberi isyarat pada Zahra untuk setuju.
“Iya. Kita bisa pulang naik angkit bareng. Takutnya kalo mas Kaca sendirian, jaga-jaga kalo tiba-tiba sakit di jalan,” tambah Zahra. Maryam mengangguk setuju.
“Syukron. Tapi tadi saya, sudah telepon pihak pesantren. Insyallah mereka akan jemput saya sebentar lagi.”
“Eh, Kakak di sini mondok? “
“Iya.”
“Emang aslinya dari mana, Kak? “
“Subang.”
“Oh jauh ya.. btw pondok kakak di mana deh? “
“Di jalan cempak.”
“SERIUS? “Mata Maryam membulat telur. “Itu dekat rumah kita. Iyakan kak?”
Zahra mengangguk. “Pesantren dekat lapangan itu, bukan? “
“Iya.” Ilham refleks tersenyum.
“Wah, ternyata kita tetangga ya, Kak....baru tahu.”
“Kalo gak salah, di sana buka kajian setiap sore buat umum kan? Gimana cara daftarnya? Berapa biayanya, Mas? Insyallah mau ikut juga,” tanya Zahra.
“Daftarnya cukup datang aja ke pondok. Gak ada daftar formal dan biayanya seikhlasnya, indah buat pembangunan masjid.”
“Masyaallah. Maryam juga mau ikut, Kak.”
“Iya silakan.”
“Kak Ilham yang ngajarnya bukan? “
“Bukan saya. Saya belum ada ilmu. Saya cuman santri aja di sana.”
“Yahhh... “Maryam spontan mendengus kecewa.
“Apaan sih, Dek.” Zahra mengingatkan.
“Heheh.. keceplosan kak, maaf,” bisik Maryam.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Terlihat seorang masuk ke dalam ruangan.
Ilham tersenyum, “Dah, sampai Pakde..maaf jadi ngerepotin.”
“Udah gak masalah nak Ilham. Nak Ilham udah kayak anak bapak sendiri.”
“Ngih. Matur suhum, pakde.”
“Same-same. Sekarang nak Ilham boleh pulang? “
“Boleh pakde.”
“Kalo gitu, kita pulang sekarang aja ya, nak Ilham takutnya kalo kesorean, bisa macet di sini daerah rawan macet.”
“Betul tuh, Pakde.” Maryam asal nyambung aja. Jiwa sok akrab Maryam memang suka timbul tiba-tiba.
“Eh, neng-neng ini ..?” Pria berusia paru baya itu, baru menyadari kehadiran Zahra dan Maryam di sana.
“Mereka teman saya Pakde. Tadi mereka juga yang nolongin saya.”
“Oh, gitu toh. Wah, neng-neng udah cantik baik lagi,” puji orang yang di panggil pakde. Maryam tersenyum malu. Sedangkan Zahra langsung mengalihkan wajahnya, agar rona wajahnya tidak terlihat.
“Pakde, rumah mereka dekat pondok. Apa boleh, mereka pulang bareng kita? “
“Yo boleh dong, Nak Ilham.”
“Alhamdulillah.”
“Eh, kita mau di tebengin pulang ya, Kak? Wah alhamdulillah, bisa ngemat ongkos.”
Maryam sukses membuat Zahra malu. Sepertinya Zahra perlu meruqiah Maryam setelah pulang.
.
.
“Makasih ya, Kak Ilham dan pakde atas tumpangannya.”
“Iya, sama-sama neng Maryam. Nanti kapan-kapan mampir ke pondok, neng Zahra smaa neng Maryam.”
Zahra dan Maryam turun dari mobil.
“Insyallah pakde,” jawab Zahra. “Insyallah dalam waktu dekat pakde.”
“Wah, bagus tuh, Neng. Nanti pakde petikin buah rambutan panen kebun sendiri.”
“Mantul tuh pakde. Maryam jadi gak sabar.”
“Kalo begitu pakde sama nak Ilham pamit dulu ya.. Udah mau magrib bentar lagi.” Pakde tersenyum ramah.
“Terima kasih sekali lagi atas bantuannya. Saya sama pakde pulang ya, salam buat bulek, maaf, karena udah buat kalian jadi pulang lama. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Hati-hati Kak Ilham. See you next time, kak ganteng,” teriak Maryam heboh. Untung mobil sudah melaju jauh, kemungkinan suara toak Maryam tidak terdengar, atau paling terdengar samar-samar.
“Kok aku baru tahu ada cogan di sekolah...” gumam Maryam. “Kak udah tahu, Kak Ilham satu sekolah sama kita?”
“Baru tahu ahad kemarin.”
“Oualah.... tapi kak Ilham bukan murid baru kayak kak Stefani dan kak Kelvin kan? “
Zahra refleks membuang nafas keras mendengar nama Stefani di sebut. Ia teringat kecelakaan tadi dan juga Stefani di sana.
“Weee... Kenapa kak? Lp cemburu gue nyembut nama kak Kelvin dan kak Stefani barengan? Cemburu ya? Katanya gak suka sama kak Kelvin. Gimana sih Lo kak..”
“Lo.. Lo.. gak sopan,” ketus Zahra. Biasanya dia tidak marah jika sedang dalam kondisi bad mood seperti ini.
“Idihhh.... “
Maryam malah tertawa kencang, sukses menghilang semua mood yang tersisa. Zahra mendengus.
“Mulai sekarang jangan sebut nama dua jin itu. Ini peringatan..,” ketus Zahra sebelum berjalan cepat masuk ke dalam rumah, meninggal Maryam di teras. Bukannya mengejar Zahra, Maryam justru menyambung tawanya, yang terdengar bak backsound penggiring langkah Zahra.
***