“Heran deh, ada orang yang salah sambung kok sampai berkali-kali,” dumel Zahra. “Kalo sekali lagi nomor itu telepon, hem, fiks aku seprot tuh orang.”
Dan benar saja. Ponselnya kembali berdering bersama dengan suara adzan isya yang sayup-sayup terdengar.
Zahra dongkol. Gadis itu meraih ponselnya dan sudah bersiap mengumpulkan energi untuk mengomel.
“Eh, jadi orang itu jangan usil bisa gak sih? Dipikir hal ini lucu?! Gak sama ya sekali. Apa-apaan, telepon cuman diem doang. Jangan bikin aku marah ya! Jangan telepon lagi! Nomornya saya blok. Bye!!!”
Zahra mematikan sambungan dengan nafas naik turun. “Dasar gak jelas!! “
“Zar... Buruan turun, kita salat Isya...,“ panggil umi di lantai bawah. Hujan masih tidak kunjung reda, suara umi jadi terdengar samar.
“Iya, Mi, bentar.” Zahra sedikit berteriak agar suaranya terdengar. Sebelum turun, Zahra ke kamar mandi dulu. Buang air kecil, lalu mengambil wudu. Gadis itu buru-buru turun sembari memasang kembali mukenanya. Dia sudah melewati dua menit dan suara Umi memanggilnya sejak tadi juga tidak terdengar lagi. Dipikiran Zahra mungkin umi dan abi sudah mulai salat duluan.
“Zahraa..... “
Suara Umi tapi kenapa lirih —batin Zahra. Zahra refleks mengangkat kepalanya. Fokusnya yang sejak tadi pada mukena teralihkah. Langkah kaki Zahra seketika membeku ketika tatapan matanya jatuh pada Umi yang terletak dengan darah di lantai. Belum berhenti disitu, mata Zahra terbelalak menyadari ada seseorang di depan abi. Mempunggungi Zahra. Orang itu memegang kapak di tangannya, lalu dalam hitungan detik, kapak itu sudah menyentuh kepala abi. Darah seketika muncrat di mana-mana.
Langkah kaki Zahra seketika termundur. Gadis itu menggeleng-geleng tidak percaya. Tubuhnya terasa kaku sekali untuk digerakkan. Ia bahkan tidak bisa sekadar teriak. Mulutnya bagai dikunci.
Tiba-tiba sosok itu menoleh, ia tersenyum miring pada Zahra, kapaknya yang penuh darah ia hadapkan pada Zahra. Zahra hanya diam mematung. Ia mengalami shock yang dalam. Zahra seperti linglung. Tidak menyadari ada bahaya di depannya.
“LARI NAK...!!!” seru umi dengan suara yang amat pelan, menahan rasa sakit. Seketika itu, kesadaran Zahra kembali. Intuisi menyelamatkan dirinya, bangkit. Ia berlari dari pintu belakang.
Sosok berjubah hitam itu terus mengejarnya. Langkahnya begitu cepat, mengalahkan langkah kecil seorang Zahra di tambah lagi ia menggunakan setelan mukena yang mempersempit geraknya.
“Ya Allah....,”rintih Zahra ketakutan. Ia terus berlari, bahkan berlari menembus hutan yang gelap. Ia terus saja berlari, tidak peduli pada semak berduri yang terus menyentuh kakinya. Nalurinya untuk hidup dan mempertahankan hidup membuat Zahra lupa bahwa ia takut kegelapan.
Hingga tiba-tiba...
****
“Zar, menurut n****+ vampir yang aku baca, kalo kita melakukan kontak fisik baik berupa sentuhan, atau eyes contact, kita bisa terkena sihir mereka. Dan mereka bakal menganggap kita sebagai jodohnya. Kalo cowok di jadiin suami kalo cewek dijadiin istri. Dan parahnya lagi, kita bakal di bawa ke alam mereka... “
“Kita? “ Zahra mengoreksi kalimat Sarah. Sejak tadi gadis itu heboh dengan n****+ vampir yang dia baca. Zahra sebenarnya tidak peduli.
“Iya....” Sarah makin antusias. “Coba deh, Lo baca n****+ ini. Keren gila sih... kadang gue merinding, kadang gue baper, sampai kadang gue mikir, jadi vampir enak kali ya...?”
“Astagfirullah.” Zahra geleng-geleng tidak habis pikir. “Btw mau aku sarani buku yangebih bagus 100 kali lipat dari buku abal-abal kamu? Bukunya bisa buat kamu senyum-senyum, kadang nangis juga, dan terpenting bisa buat kamu jadi orang baik dan masuk surga.”
“Ehm, emang ada gitu buku sewow itu, tanpa cacat?”
“Ada.” Zahra tersenyum lebar. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini. Namanya Al-Qur’an. Di jamin deh, kamu bakal ketagihan bacanya.”
Sarah agak terperangah. Ia ingin menghela nafas tapi tidak jadi. “Ehm...” Sarah bergumam pelan.
“Kurang-kurangin deh baca yang gak berfedah kayak gitu. Jangan mau digiring kepemikiran yang salah, apalagi sampai pengen jadi vampir atau jin. Ia kalo jinnya islam, kalo jinnya penyembah setan? Kamu gak ngeri tuh...? “
Sarah berdeham pelan. “Lo mah gak asik. Dikit-dikit bawa agama. Ini kan cuman novel.”
“Apa salahnya?”
“Gak semua bisa dikaitin sama agama, kali Zur. Inikan cumnan hiburan.”
“Kita juga harus pinter-pinter cari hiburan kali, Sar. Hiburan kayak gitu bisa berdampak bersama sama pandang hidup kita. Sadar gak sadar, pelan-pelan pola pikir kita bisa ngikut kesan. Fitnah setan itu besar kali, Sar. Setan itu pemain lama yang udah handal buat nyesatin manusia. Kita harus hati-hati. Jangan anggap remeh sesuatu, bahkan termasuk hiburan,” sahut Zahra.
“Sadar atau gak sadar sesuatu sudah tertanam di kepala kamu. Buktinya sampai kamu berpikir pengin jadi vampir. Apa itu namanya cuman hiburan?”
“Au ah..! Males ngomong sama princess muslimah,” sentak Sarah.
“Ada apa sih?” Kerly tiba-tiba datang menengahi keduanya.
Zahra menjelaskan duduk perkara mengapa mereka berdua bersitegang. Setelah mendengar penjelasan, Kerly malah tertawa. Hal itu jelas membuat Sarah makin dongkol.
“GUE DOAIN SEMOGA ZAHRA BERJODOH SAMA VAMPIER.”
Jedar
Petir tiba-tiba terdengar. Zahra seketika terbangun dengan nafas tersengal. Ia meringis, merasakan rasa sakit pada telapak kakinya. Ia baru sadar, ada banyak duri liar yang melekat di telapak kakinya. Berarti semua ini bukan mimpi. Zahra benar-benar berlari di hutan, lalu sekarang? Zahra menatap sekelilingnya. Ia duduk di sebuah ranjang besar dan....itu bukan kamarnya.
Zahra terbelalak. Kenangan mengenai kejadian semalam berputar di kepalanya.
Sosok berjubah hitam itu dengan tenang menyusul langkah Zahra. Berbanding terbalik dengan Zahra yang berlari ketakutan. Beberapa kali Zahra terus menoleh ke belakang, berharap sosok berjubah hitam itu tidak bisa mengejarnya. Tapi semua tidak terjadi demikian. Setiap kali Zahra menoleh, maka setiap kali itu juga sosok berjubah hitam itu semakin mengikis jarang di antara mereka.
Hingga tiba-tiba....
Zahra tersandung batu besar, kakinya sangat sulit digerakkan, meski begitu Zahra terus memaksakan kakinya. Ia berjalan terseok-seok lalu semua gelap.
“Hai, akhirnya kita bertemu lagi....”
Sayup-sayup suara itu terdengar dan seketika kesadaran Zahra benar-benar hilang.
“Apa yang terjadi?” Zahra bergumam. Ia memaksa kepalanya untuk mengingat apa yang terjadi setelah kesadarannya hilang, mungkin saja ada kenangan atau potongan kejadian yang terlewat.
“Dimana aku?” Zahra mengamati sekitar. Kamar itu sangat lebar, berbanding terbalik dengan kamarnya yang minimalis dan sederhana.
Zahra merasakan hawa berbeda di kamar ini. Kamar ini terasa sangat drak dan dingin. Tidak tersentuh sinar matahari sedikit pun. Bahkan tirai-tirai jendela begitu tebal, memberi kesan tertutup. Zahra ingin bangkit melawan rasa sakit yang menjalar di kakinya. Ia harus pergi dari sini sekarang!
“Selamat datang, akhirnya kamu sadar juga.” Suara pria terdengar menyapa indra pendengar Zahra lalu diiringi derap langkah kaki terdengar dari luar. Seorang pria muncul tiba-tiba di ambang pintu, pria itu tersenyum, terlihat taring menyundul dari bibirnya.
“Akhirnya kita bertemu lagi.”
“Stop, jangan masuk! “ Zahra menghentikan langkah pria itu. “Siapa kamu? “tanya Zarah, ia ingat suara itu. Suara yang terakhir ia dengar sebelum pingsan dan berada di sini.
“Saya Kelvin.” Pria itu tersenyum lebar, gigi taring menyundul kembali dikedua sudut bibirnya. Sontak hal itu membuat Zarah terkejut. Itu tidak terlihat seperti gigi manusia pada umumnya.
“Siapa kamu? Kamu bukan manusia? “tanya Zarah dengan suara bergetar.
“Saya Vampir. Maaf jika taring ini menakuti kamu. Akan saya hilangkan taring ini agar kamu tidak takut,” jawab pria itu lugas tanpa beban.Berbanding terbalik dengan raut wajah Zarah. Wajah gadis itu langsung menegang dan pucat.
“Apa saya terjebak di dunia jin? “gumam Zarah, suara tercekik di tenggorokan.
Pria itu tertawa. Tawanya sangat kencang persis seperti setan yang selalu tertawa kencang.
“Kamu berada di dunia biasa. Hanya saja untuk sekarang kamu berada di castel saya,” katanya santai setelah berhasil mengendalikan tawanya.
Zarah menghela nafas, lega. Setidaknya ia masih berada di dunia manusia dan itu artinya ia bisa segera pulang. Zarah berusaha bangkit, namun sinyal nyeri daru kakinya kembali menghentikan pergerakan Zarah.
“Jangan banyak bergerak dulu. Luka kamu masih belum sembuh,” kata pria itu terdengar cemas dan perhatian. “ Apa kamu mau makan sesuatu? Biar saya ambilkan.”
“Dari mana kamu tahu nama saya?” sergah Zarah, tidak suka.
“Jangan bilang kamu belum memberitahu apapun pada Zarah.”
Seorang gadis berpakaian minim, masuk ke dalam kamar. Menyela pembicaraan keduanya. Gadis itu berjalan kearah Zarah dan langsung duduk di sisi kasur. Ia tersenyum ramah pada Zarah.
“Hai, nama saya, Stefani? “Gadis itu mengulurkankah tangannya pada Zarah.
Zarah menatap gadis itu, wajahnya sangat pucat meski sudah di poles dengan make up.
“Kamu Jin juga? “ tanya Zarah, mengabaikan uluran tangan Stefani.
Stefani mengernyit bingung. “Jin? “ gumam Stefani. Dua detik berikutnya gadis itu tertawa, kali ini tawa Stefani berbeda dengan pria tadi. Ia tertawa lebih anggun seperti gadis ‘manusia’ pada umumnya.
“Kamu orang pertama yang memanggil saya dengan kata Jin. Jarang ada yang menyebut jin. Kami lebih sering mengenalkan diri sebagai vampir, itu lebih spesifik ketimbang menyebut jin. Kami suka menghisap darah dan manusia lebih mengenal kami dengan nama vampir.
“ Saya dengar keberadaan bangsa kami sangat populer di dunia manusia, benarkan itu?” tanya Stefani antusias. “Bagaimana mereka menggambarkan sosok kami? “
Zarah menatap tajam keduanya. “Apa mau kalian? Kenapa kalian membawa saya ke sini?”
“Ha? Ya ampun, saya hampir lupa menjelaskan mengenai ini.” Stefani kembali tersenyum lebar, dua taring menyundul keluar dari sisi bibir Stefani.
“Ini Kelvin Abdas. Dia adalah mate mu.”
“Mate? Pasangan ?”
Stefani mengangguk. “Kami bangsa vampir dapat merasakan mate kami. Terkadang beberapa vampir beruntung karena dijodohkan dengan manusia. Ini sebuah keberuntungan bagi bangsa vampir.“
“ Ini biasanya terjadi karena manusia melakukan kontak langsung dengan Vampir dan ia menjadi yang terpilih. Perjodohan ini biasanya di lakukan oleh iblis...”
“Astagfirullah...,“ Zarah terkejut, gadis itu beringsut menjauhkan dirinya dari Stefani.
“Jangan dekati saya! “teriak Zarah. Zarah ketakutan lalu mengambil sembarang guci yang berada di atas nakas. Zarah menodongkan benda itu ke arah Stefani.
“Kenapa? “Stefani bingung. Gadis itu bangkit menjauh dari sisi kasur. Berdiri di sebelah Kelvin.
“Audzubilahimasyaiton nirazim.. Bismilah hirohman nirohin... La.....
Stefani dan Kelvin nampak kesakitan mendengar lantunan ayat yang Zarah baca. Kedua tangan Kelvin dan Zarah tersemat ditelingah mereka, kedua jin itu mencoba meredam suara ayat Qursj yang Zahra bacakan.
“Argh....Hentikan ini.. Argh.....sakit! Argh!! Hentikan ini.... “ teriak Stefani.
“Zarah hentikan lantunan itu! Kamu bisa membunuh kami! “Kelvin merintih.
“Hey! Apakah ini cara kamu membalas budi! Kami —telah menyelamatkan mu! Tapi kam—kamu mencoba membunuh kami! Apakah begini ajaran agama mu! “teriak Stefani.
Zarah menghembus nafas panjang. “Agama saya tidak pernah mengajarkan keburukan pada saya. Kalian tidak akan mengerti! Sesungguhnya kalian telah tersesat di jalan setan. Kembalilah ! Jangan ikuti langkah-langkah setan! “
Stefani menatap tajam Zarah. Taring gadis itu memanjang tiga kali lipat dari yang tadi. Matanya memerah menyalak. Dengan gerakan cepat, Stefani mencoba menerkam Zarah. Kelvin langsung mendorong tubuh Stefani, menjauh dari Zarah. Stefani terpental hingga ke ambang pintu.
“Ingat. Dia adalah pasangan saya! Kamu tidak bisa menyakitinya! “ Kelvin menatap tajam Stefani yang kesakitan.
Mata merah menyalak gadis itu, meredup seketika, dua detik gadis itu terdiam di lantai.
“Sejak awal aku memang membenci gadis itu. Dan kamu terlalu bodoh, Vin.” Mata gadis itu kembali menyalak saat menatap Zarah. Stefani pergi menghilang setelah mengatakan itu.
“ Saya rasa perkenalan kali ini sudah cukup. Silahkan istirahat. Jangan terlalu banyak bergerak, luka kamu masih basah.”
“Saya pergi....”
Dua detik berikutnya pria yang ternyata bernama Kelvin itu juga menghilang dari hadapan Zahra.
“Aku harus pergi!” putus Zahra, yakin.