“Apa-apaan ini...,” Gita menghela nafas, lelah, ia melampiaskan rasa lelahnya dengan membanting selembaran itu di batu dekat sungai. “Kita hanya buang-buang waktu saja! Kenapa yang datang malah orang-orang aneh. Membuat tim bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, kita juga belum mendapat izin dari kiyai dan sampai detik ini kita masih belum dapat anggota baru.”
“Kalian mudah sekali menyerah,” sindir Amina. Amina terlihat tenang bak air laut yang terlihat tenang di luar namun entah apa yang ada di dalamnya, dan entah kapan gelombang akan tiba-tiba muncul di lautnya.
“Gita kamu mau menyerah? Apa kamu lupa tentang calon suamimu? Dan kamu Ilham, apa kamu tidak ingat masa lalu yang terjadi? Jika dia saja tidak mudah menyerah, lantas kenapa kita begitu mudah menyerah? “ Amina menatap lurus aliran sungai yang bergerak menghasilkan sedikit riak.
“Amina.” Gita bangkit, hendak menghampiri Amina, tapi justru tangannya menyenggol selembaran dan menjatuhkannya ke sungai.
“Selembarannya... “ mata Gita membelalak, ia berusaha untuk meraih, kertas-kertas yang hanyut. “Kenapa kalian malah diam aja! Kenapa kalian gak bantu ambil kertas-kertas itu sebelum pergi jauh.”
“Buat apa?” tanya Amina datar. “Percuma kertas itu kita ambil, kertas itu sudah tidak berguna lagi.”
“Amina, kita buat itu dengan susah payah, ada banyak uang yang kita keluarkan, sekarang kita tidak punya uang lagi, kamu lupa!!” teriak Gita.
“Sama seperti kertas yang hanyut di air itu, kemarahan kita tidak akan berarti jika kita berhenti. Kita hanya akan seperti kertas yang tidak berguna di dalam lautan kebatilan. Kita akan hidup seperti kertas itu, tanpa arti! Tekad kita untuk menimbun lautan itu, akan sia-sia!” Mata Amina menyalak tajam. Ia begitu berapi-api.
“Jangan pernah menyalakan api jika tidak berani untuk memadamkannya! Kalian mungkin bisa melupakan segalanya, tapi aku tidak! Kematian kedua orang tuaku akan selalu menjadi cambuk untukku! Kebatilan itu akan padam sebentar lagi!”
“Lalu apa rencananya kita selanjutnya?” Ilham juga tahu ini sulit tapi dia tidak akan mundur. Dia sudah maju maka lebih baik ia babak belur di depan ketimbang harus duduk manis dan tenggelam.
“Kita akan mencoba untuk mendekati seseorang yang mudah kita ngapai.”
“Maksud kamu? “ Gita tidak mengerti apa sebenarnya yang ada di kepala Amina, bagaimana bisa mereka akan mengajak, orang yang sama sekali tidak tahu apa pun ?
“Yap, kita harus mengajak mereka ke dalam tim kita.”
“Kamu gila! Itu tidak bisa, mereka tidak tahu apa pun! “
“Maka, kita akan memberi tahu mereka segalanya.”
“Bukannya itu berbahaya? Mereka terlalu dekat. Apa bisa kita memberi tahu segalanya? “Ilham menyahut.
Amina termenung sejenak. “Memang ini sedikit berbahaya, tapi sepertinya sudah ada celah yang membuat kita mudah untuk masuk.”
**
Maryam membereskan buku-buku miliknya di atas meja. Maryam merentangkan kedua tangannya, rasanya ia sudah sangat lelah dan ingin segera pulang. Tugas kelompoknya sudah selesai, Maryam memilih menyelesaikannya sendiri dan membiarkan teman satu kelompoknya untuk pulang duluan.
Tidak ada orang lagi di kelasnya hanya ada dirinya sendiri. Maryam melihat ke arah luar jendela, langit nampak sedikit mendung tapi tidak menutupi sinar matahari yang mulia layu karena sekarang pukul tiga sore.
“Harus buru-buru pulang, takutnya hujan.” Maryam mempercepat gerakannya memadukan semua buku miliknya ke dalam tas.
“Alhamdulillah, kamu rupanya belum pulang, Yam.”
“Astagfirullah!” Maryam terperanjat. Ia kaget tiba-tiba Dila, teman satu kelasnya muncul di ambang pintu kelas.
“Kaget ya, perasaan aku gak ngomong kenceng deh.”
“Gak kenceng emang, tapi aku kaget soalnya aku pikir udah gak ada orang lagi di sekolah.” Hari senin merupakan hari bebas ekstrakurikuler. Hari senin dianggap hari yang paling melelahkan, pihak sekolah mutuskan untuk tidak memperbolehkan eksul di haru senin.
“Banyak kok siswa yang belum pulang, tadi ada rapat OSIS dadakan makanya masih di sini, ini baru pada mau pulang.”
“Oh gitu, aku juga mau pulang.”
“Eh, tunggu dulu, Yam. Temenin aku ke toilet dulu yuk, aku gak berani kalo sendirian.”
“Tapi barang-barang aku belum selesai.”
“Udah, tinggalin aja dulu bentar.” Dila memanggil temannya. “Tolong jangan bentar ya, tas sama bukunya. Kita mau ke toilet bentar.”
“Oke.”
“Makasih ya.” Dila langsung meraih lengan Maryam. “Buruan Yam temenin gue,” katanya seraya menarik pelan Maryam.
“Yam, menurut Lo lorong sekolah ini serem gak sih? “
“Gak, ah, biasa aja.”
“Setem tahu, Yam. Apa lagi sepi gini, berada kayak adegan sepi eh tiba-tiba hantunya nonggol, boom !!!... serius gue takut.” Dila heboh sendiri. Ia berjalan seolah bayangan Maryam, mempel.
“Lo gak takut, Yam? “
“Gak? “
“Serius.”
“Hantu itu gak ada, yang ada manusia, jin, malaikat dan iblis. Hantu tuh sejenis apa? Mereka itu jin. Jin usil yang mau kita takut sama mereka.”
“Gimana mereka buat kita jadi takut? “
“Menurut kamu gimana ? Mereka gak akan terang-terangan mengungkap ini, itu, tentang agenda mereka, ini udah jadi rahasia umum. Mereka tahu gimana caranya melemahkan tanpa menyentuh.”
“Mereka tidak menyerang kita dengan s*****a, tapi mereka menyerang kita dengan hiburan dan prinsip hidup yang mereka tanamkan. Mereka menyerang kita dengan sangat halus, melalui hiburan yang mudah sekali di terima dan menerima tempat di hati banyak orang. Mereka tidak perlu berkotbah sana sini, mereka tidak perlu melakukan seminar untuk menyebarkan cara mereka berpikir. Mereka ingin kita seperti kerbau yang memakan apa saja yang mereka sajikan. Mereka membuat kita terlelap hingga lupa untuk bergerak.”
“Mungkin saja, di balik film horor juga ada tangan besi yang terlibat. Nilai-nilai yang ditanamkan tanpa kita sadari. Dan nilai itu akan lebih melekat ketimbang pelajaran yang mengandalkan otak. Mereka tidak menamakan pandangan mereka di otak, tapi di alam bawa sadar mereka.”
“Alam bawa sadar kamu bilang, bahwa hantu itu kuat, karena apa? Karena begitulah yang sering kita tonton di film horor. Hantu seolah bisa segalanya. Jadinya kita selalu merasa bahwa kita akan kalah kali bertemu jin nama bekennya Hantu. Mereka makin senang karena manusia yang notabennya khalifa bumi, malah takut sama mereka.”
“Jadi saran aku, lebih baik kamu berhenti baca n****+ horor atau film horor. Biar gak terus-terusan terdekte pandangan bahwa hantu itu kuat. Itu tidak benar.”
“Hem, iya, ya, aku kok baru kepikiran sekarang.” Dila malah senyam-senyum.
Mereka akhirnya sampai di toilet. Dila dan Maryam langsung masuk ke kamar mandi masing-masing. Lima menit berikutnya, Maryam sudah duluan selesai, Maryam mencuci tangannya dan merapihkan sedikit jilbannya di depam cermin sekolah mereka, toilet sekolah mereka mirip seperti toilet di mall yang lighting-nya mendukung untuk selfi dan foto-foto.
Maryam sudah selesai, Dila masih belum keluar dari bilik toilet.
“Dila, gue tunggu di luar ya.”
“Oke. Tunggu bentar ya... “
Maryam melangkah keluar toilet, ponsel Maryam bergetar, Maryam mengambil ponselnya, ia hendak mengangkat panggilan telepon dari Zahra.
“Assal—Astagfirullah. “ Maryam kaget. Begitu ia keluar dari toilet, tiba-tiba ada yang melintas di hadap Maryam.
“Ada apa, Dek, semua baik-baik aja kan? “ suara Zahra masih terdengar dari ponsel Maryam. Nafas Maryam naik-turun, apa yang ia barusan liat? Sekelibat sosok berjubah hitam.
“Yam !” sebuah tepukan pelan mendarat di bahu Maryam.
“Astagfirullah! “Maryam terperanjat, kaget.
“Kenapa Lo? “ heran Dila.
“Hem, g-gak.” Maryam menggeleng pelan, ia tidak mungkin menceritakan mengenai suatu hal yang mungkin salah liat. “Udah kan? Yuk, balik ke kelas. Aku mau pulang.”
“Oke. Yuk, gue temenin ke kelas.”
Sesampainya Maryam di kelas, Maryam buru-buru mengambil tas. Lalu buku-buku miliknya di atas meja, begitu Maryam mengangka t bukunya, ia melihat tulisan ‘adik cokelat' di bawah bukunya.
“Siapa yang nulis ini! “teriak Maryam.
Dila dan temannya refleks masuk ke kelas karena teriak Maryam.
“Ada apa, Yam? “
“Siapa yang nulis ini, di sini, sebelumnya gak ada tulisan ini di meja gue! “ Maryam bingung, takut dan marah, bercampur aduk. Ia bingung sebenarnya ini hanya mimpi atau nyata.
“Paling ada yang iseng aja,” sahut Dila santai. “Udahlah, mending sekarang kita pulang.”
“Lo yang dari tadi di sini kan? Berarti Lo liat siapa yang masuk ke sini dan nulis ini?!” tanya Maryam lagi.
“Yak, udahlah tulisan gitu doang..,” sahut Dila.
“Lo gak ngerti apa-apa! Jadi lebih baik Lo diam!”
“Fine.” Dila memilih bungkam.
“Perasaan gue gak liat siapa-siapa masuk ke kelas ini.
“Gak mungkin tulisan ini ada sendiri! “tegas Maryam. “Pasti ada cela orang masuk ke sini! Lo ninggalin kelas atau ngobrol sama orang gak? “
“Oh iya, gue ingat. Tadi ada teman gue yang lewat sini, terus kita ngobrol bentar, pas gue mau balik ke kursi di luar, gue liat kayak ada sesuatu yang keluar dari kelas.”
“Apa dia pake jubah hitam ?”
“Hem, kayaknya ia sih.”
“Hey! Kalian ngomongin apa sih, gue jadi takut.” Dila mengintrupsi.
.
.
“Nak Ilham mau izin ke mana? “
“Mau keluar bentar pakde, mau ke warung di depan jalan itu. Sampo, sabun sama pasta gigi tinggal sedikit, takutnya entar kelupaan.”
“Wah, jauh banget, Nak. Kenapa gak beli dekat sini aja? Gak perlu capek-capek, toh?” kata Pakde seraya membuka gerbang pondok.
“Gak papa, Pakde, capek dikit. Di sana harganya lebih murah ketimbang di dekat sini. Lumayan lebih hemat, uangnya bisa di tabung buat beli kitab.”
“Yowes, hati-hati di jalan. Kalo ketemu cewek yang pas di hati, di ajak nikah jangan di ajak pacaran. Dosa.”
“Pakde, ada-ada aja. Saya toh cuman mau ke warung pakde, beli sabun sama sampo.”
“Justru itu, nak. Kan lebih enak kalo udah punya istri, ada yang temenin. Ke warung gak sendiri kayak gini.”
“Ah, pakde bisa aja. Saya pergi dulu, Pakde. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah membeli semua kebutuhannya di warung yang Ilham tempu selama setengah jam. Ilham segera pulang.
Langit sore yang sedikit mendung mengiringi langkah Ilham, tidak banyak orang yang keluar seperti biasanya karena mengira hujan akan turun, Ilham juga sempat cemas untuk hal itu, ia tadi berencana membawa payung tapi rupanya payungnya rusak. Alhasil Ilham keluar tanpa payung, ia sudah kepalang tanggung meminta izin pada bagian keamanan di pondok. Ilham mempercepat langkahnya, langit makin tamak gelap.
Ilham tidak sengaja melihat Maryam. Gadis itu duduk berjongkok di dekat pohon. Ilham refleks langsung menghampiri gadis itu. Baru Ilham sadari Maryam sedang menangis.
“Maryam?”
Maryam kaget, suara tangisnya samar berhenti seketika. Maryam tidak langsung mengangkat kepalanya, ia mengusap matanya beberapa detik sebelum berani mengangkat wajahnya.
“Ada apa, kenapa kamu malah nangis di sini? “
“Hem, g-gak ada apa-apa, Kak.” Maryam kembali menunduk.
Ilham tidak tahu apa yang terjadi pada Maryam, yang ia tahu sekarang Maryam sedang sedih dan Ilham akan membantu Maryam untuk mengurangi sedikit kesedihan Maryam. Bagi Ilham, Maryam seperti Zulaikah, adiknya.
“Kamu tahu gak, kenapa ular sawah tidak berbisah?
Maryam menggeleng. “Kenapa emangnya, kak? “ cicit Maryam pelan, suara gadis itu masih parau karena menangis tadi.
“Dulu ular sawah adalah ular yang bisahnya paling berbahaya. Ular sawah sangat menyombongkan kelebihannya itu, ia berlagak seolah tidak ada langit di atas langit lagi. Tidak ada ular yang mampu mengalahkannya, bahkan ular cobra. Ular sawah takabur akan kekuatannya.
“Suatu ketika, ular sawah sedang berburu di sungai, tapi sudah hampir siang, ular sawah tidak mendapatkan makanan apapun. Ular sawah sangat marah lalu datanglah ular cobra, ia mengatakan bahwa ular sawah tidaklah sehebat para manusia. Ular sawah tidak bisa mengalahkan mereka.
“Ular sawah murka, dia mencoba mengalahkan manusia, tapi yang terjadi justru dia yang kalah. Ular sawah sangat malu, lalu menyadari bisahnya tidaklah sekuat dugaannya, dalam kekecewaannya ular sawah langka membuang semua bisahnya.
Melihat hal itu lebah, ulat bulu, kalajengking langsung mengambil bisah milik ular sawah yang telah dibuangnya dan karena itu hewan-hewan itu memiliki bisah.”
Maryam menjadi pendengar yang baik. Gadis itu bahkan mengangguk-ngangguk pelan. “Oh jadi gitu ceritanya Kak, Maryam baru tahu, alasan kenapa ular sawah gak ada bisa.”
“Kamu percaya? “ Ilham menahan tawanya. Bagaimana mungkin Maryam mempercayai cerita fiksi seolah itu sejarah.
“Iya, emang kenapa kak? Ceritanya masuk akal kok. Lebah, ulat bulu emang punya bisah.”
Ilham tertawa pelan. “Itu tidak benar. Kisah itu hanya fiksi saja yang baru saja terlintas supaya kamu tertawa.”
“Ha serius kak? “ Mata Maryam melebar, lalu terbit senyuman di wajah Maryam. Maryam menertawakan dirinya sendiri. Jelas-jelas semua itu seperti cerita fiks yang ia pelajari di SD.
“Alhamdulillah akhirnya kamu ketawa juga.”
“Terima kasih, ya kak Ilham. Sudah buat Maryam berhenti nangis.”
“Oh iya, kak Ilham punya cokelat buat kamu, oleh-oleh dari warung.” Ilham menyodorkan sebatang cokelat pada Maryam. “Ini...”
Maryam menatap cokelat itu, raut wajahnya seketika murung lagi.
“Kenapa?” bingung Ilham. “Kamu gak suka cokelat? “
“Hem, Maryam suka cokelat, Kak. Tapi, Maryam takut.”
“Takut gendut? “
“Takut cokelat, Kak.”
“Ha? Kenapa? “
“Maryam takut karena ada...” Suara Maryam tercekik di tenggorokan. Maryam pucat, ketakutan.
Ilham tertegun.“Apa kamu takut pada cokelat karena... “ Ilham berhenti sejenak berharap dugaanya salah.
“Adik cokelat? “
**