something spesial?

3452 Kata
Eh, siapa sih kemarin yang main drama di pentas seni? “ “Drama yang ada vampire, vampirenya itu?” “Nah iya, pemeran cowoknya ganteng banget.” “Itu namanya Kelvin, dia murid baru deh kalo gak salah anak 11 IPS 2.” “IPS ya.. Wah, tatapan matanya itu loh dalem banget, buat malting...apa lagi pas natap lawan mainnya.” “Siapa? Stefani? Gue kemarin sempet foto sama Stefani, gila sih, dia juga cantik banget. Kulit putih pucat, hidung mancung terus tataPan matanya gak kalah dalam dari Kelvin.” “Ini, nih fotonya.” “Iya sih cantik, wajahnya kayak artis hollywood tapi bukan yang ini, yang satunya lagi.” “Yang pake Jilbab itu? Zahra? “ “Nah iya. Keliatan anggun dan kalem gitu.” “Tapi menurut gue, kalah cantik dari Stefani. Aktingnya juga kaku gitu, mending Stefani aktingnya naturalisasi banget.” “Stefani yang perani penyihir itu kan? “ “Iya. Menurut gue drama kemarin berhasil karena Stefani, seharusnya Stefani aja yang jadi pemeran utama.” “Gak cocok tahu, Stefani emang cantik tapi gak cocok perani putri dengan sikap elegan gitu.” “Lah emang kenapa? “ “Ya, gak cocok aja. Dia kayak bad girl . Emang lebih cocok Zahra sama Kelvin.” “Gak lah, cocokan Kelvin dan Stefani, dua visual.” “Eh, kita ke kantin yuk...” “Yuk, tapi kita muter lewat kelas Kelvin ya...?” “Setuju. Mau cuci matikan Lo? “ “Iya nih...,” kedua gadis itu cekikikan sembari berjalan. Semenjak drama seni itu, nama Kelvin benar-benar tenar seantero sekolah, terlebih lagi ketampanannya yang menjadi daya tarik yang kuat para gadis di sekolah. Aneh, terkadang ketampanan memang menjadi poin utama untuk menilai sesuatu, entah itu baik, atau tidak, semua akan dimaklumi berkat visual yang dianggap wow. Jika baik, akan dipuju berlebihan dan jika buruk, akan sangat mudah dimanfaatkan. Don’t judges book by the cover, hanya sekadar pepatah yang diucapkan agar terdengar bijak dan seolah tidak menaruh minat pada cover. Nyatanya semua orang berlomba-lomba memperindah ‘Cover'. Tidak salah memang memperbaiki cover agar isi tidak dianggap remeh, tapi sering kali cover seolah menjadi hal utama yang harus selalu diperbaiki, itu yang salah, apa lagi sampai tergila-gila hanya karena sebuah ‘cover! miris. Tapi itulah yang sekarang terjadi. Cover yang menarik, bisa lebih mudah mendapat ruang di dunia dewasa ini. Cover seolah harga mati! Orang bijak berkata, jika ada kebaikan pada seseorang maka sukai kebaikannya bukan personalnya. Jangan sampai karena menyukai personal, buta segala hal, bahkan yang buruk jadi terlihat baik. “Ststtst! liat ada Stefani dan Kelvin di sana.” Dua gadis itu spontan langsung menyembunyikan diri mereka, agar tidak terjangkau dari pandangan Stefani dan Kelvin. “Mereka ngapain? Kenapa Stefani senyum? “ “Eh, gue mau rekaman mereka ah, sweet gitu, cantik sama ganteng.” Salah satu di antara mereka mengeluarkan ponselnya. “Kelvin juga senyum gitu. “ Itu senyum atau gula sih, manis banget.” . . “KESEL BANGET!” Sarah menghempas tubuhnya dengan keras ke kursinya. Sejak tadi Sarah terus-terusan mondar-mandir membersihkan teras kelas yang belakangan ini selalu kotor. Hari ini, hari piketnya, Sarah jadi benar-benar sibuk sejak tadi. “Uh, ya ampun, kan jadi marah-marah gini!” Sarah mencoba menarik nafas panjang, mencoba mengendalikan rasa marah di hatinya. “Sabar, Sar, sabar, jangan marah-marah ih, malu sama jilbab kalo marah-marah terus.” Sarah kembali mengantuk nafas, tarik-hembuskan. “Uh, sabar...” “Sabar....” “Sabar..... “ Sarah terus melafadzkan kata itu sembari menutup matanya. “Ukhti, lagi latihan vokal ya? “ Suara berat Willy menyapa gendang telinga Sarah, Sarah memilih mengabaikannya, ia sudah bersusah payah menekan rasa dongkolnya, dia tidak mau karena Willy rasa dongkolnya kembali naik ke permukaan. Willy berdiri di samping mejanya. “Ukhti, halo... Koma ya? “ “Sabar, Sar...,” gumam Sarah. “Ukhti, lagi latihan jadi patung ya? “ “SABAR, SAR....” “Ukhti, giat banget latihan jadi patungnya, totalitas banget.” “Ukhti, ukhti, boleh saya ikut latihan jadi patung? “ “Eh, ukhti, patung apa ya yang ganteng di dunia? “ “Eh, ukhti kalo gue mau jadi patung, cocoknya jadi patung apa? “ “Ukhti, berapa lama latihan jadi patungnya?” “Kita harus tetap nafaskan? “ “WILLY! “teriak Sarah, murka. Mata Sarah membelalak, menatap sengit si subjek manusia di hadapannya itu. “Lo kenapa sih, buat gue dongkol terus! Gue tuh pengen jadi muslimah yang baik, yang gak mudah marah, tapi kenapa Lo selalu mancung gue buat marah?!! “ “Oh, ukhti, gue harus dialog apa? Gue belum baca naskahnya,” sahut Willy, tanpa beban sedikit pun. Wajah Sarah memerah, ia makin dibuat dongkol karena kelakuan manusia yang satu ini. “GUE GAK LAGI LATIHAN DIALOG , WILLYION! “ Pekik Sarah. “Lah, terus tadi apa? Ih serius, sini deh biar gue baca naskahnya dulu, baru deh gue bantuin Lo latihan dialog.” “Astagfirullah....”Suara Sarah menurun. Sudahlah.... Ia terlalu lelah untuk meladeni manusia yang mengaku KW super dari bintang drama korea, Lee Min Hoo. “Ukhti, mau pergi ke mana? “ tanya Willy. “Kenapa mau gangguin gue lagi ?” sahut Sarah keki. Mendengar jawaban nelangsa dari Sarah yang lelah, bukannya iba Willy malah menganggap itu sebagai joke drak yang mampu memancing tawanya keluar dari persemedian. “Mending sekarang gue pergi.” “Ada yang mau gue bantu gak, ukhti? Barang kali ukhti butuh bantuan orang tampan.” Sarah nyengir, memaksa senyum untuk keluar dari kedua sudut pipinya. “Emang Lo mau bantu gue? “ “Hem, iya dong, hero Willy akan selalu membantu sesama, jadi s*****a apa yang perlu gue keluarin buat bantuan Lo? “ “Beneran mau bantuan gue? “ “Bener, gue janji.” “Kalo begitu...” Sarah berjalan menuju rak sapu dan pel. Ia mengambil, dua alat kebersihan itu. “Pahlawan, hero Willy butuh dua s*****a ini buat bantuin gue.” “Eh, sapu sama pel? Buat apa, buat nyapu? “ “Yap! Sapu tuh teras sampai bersih, oke, hero Willy? Lo sudah janji bantuin gue kan, Lo gak akan bisa nolak!” Sarah tersenyum penuh kemenangan. “Selamat menjalankan tugas, HERO WILLY....BYE! “ Sarah bergegas pergi ke kantin, menyusul Kerly dan Zahra yang sudah duluan ke sana. Willy melongo melihat Sarah yang segera kabur dari kelas setelah meletakan tahta piket kelas kepadanya. “Bye.. “ Willy terkesiap menatap dua alat kebersihan yang sekarang ada di tangannya. “Lucu.” Willy tersenyum. “Dia lucu.” Willy refleks memeluk gagang sapu di tangannya. *** “Viral: drama religi yang nnnnmmmmm.” Maryam melirik Zahra, Maryam sengaja mengeraskan suaranya saat membaca artikel mengenai berita Zahra dan Kelvin yang mendadak terkenal karena drama mereka yang di unggah di internet. “Cie yang sekarang famous,” goda Maryam. Zahra menghela nafas panjang, sejak tadi ponselnya terus bergetar karena notif i********: yang tiba-tiba membeludak, banyak sekali yang meminta konfirmasi untuk mengikutinya. “Jadi gimana, Kak, rasanya jadi terkenal?” “Gak enak...” Zahra menutup bukunya, ia tidak bisa konsentrasi sama sekali, di kepalanya terus berpikir kenapa orang mau mengikutinya? tidak ada yang spesial darinya, tapi kenapa mereka tertarik? “Lah kok, kenapa kak?” “Dari tadi kakak mau ngerjain tugas gak selesai-selasain karena notif yang rame gini. Seharusnya tugas kakak udah selesai dua jam yang lalu.” “Tinggal di senyapin aja notifnya, Kak.” “Udah, tapi kakak masih gak bisa fokus.” “Notif dari i********:?” “Iya.” “Kakak privat akun ya? “ “Iya.” “Pantesan.” “Pantesan apa? Ubah aja setting akun i********:, kakak, biar Kakak gak perlu repot konfirmasi lagi.” “Gak, ah, entar banyak orang yang gak kakak kenal.” “Ya udah, kalo gitu hapus aja akun i********:, Kakak.” “Gak bisa juga, Dek. Inikan tempat kakak berdakwah juga.” “Nah justru itu kak! “ Maryam menatap serius Zahra. “Karena akun itu buat dakwah, ya udah gak papa punya follower yang gak dikenal, yang penting bisa menjadi jalan dakwah kakak.” Zahra menimbang-nimbang saran adiknya itu. “Enak tahu, Kak, jadi terkenal tuh, kakak banyak yang kenal dan banyak orang yang sayang juga, kali aja ada yang kasih hadiah.” Maryam terkekeh. “Apaan sih dek! “ Kalimat andalan Zahra, jika Maryam sudah berhasil menggodanya. Maryam sudah hafal betul. “Dan tahu Kak apa enaknya? Enaknya kakak bisa dapat hadiah GRATIS gak bayar. “Dasar pejuang gratisan!” Tok... Tok... “Assalamualaikum, paket...” “Kayaknya di depan ada tukang paket deh, iya gak sih, Dek? “ “Paket...!!” “Iya, itu tukang paket.” “Emang kamu beli apa? “ Mata Zahra berkedip. Kehening sekilas melintas, keduanya mengajukan pertanyaan yang sama dan selanjutnya Zahra dan Maryam malah tertawa, lebih tepatnya menertawakan sifat kepo diri mereka yang ternyata sama. “Paket! “ teriak tukang paket lagi. “Itu bukan paket, Kakak? “ tanya Maryam memastikan. “Bukan, kakak gak beli apa-apa. Kamu mungkin beli sesuatu, terus lupa.” “Gak tahu, Kak, aku lupa akut gitu. Gak mungkinkan jari aku klik sendiri.” Maryam memutar bola matanya. “Ya udah sekarang mending kita ambil paket bareng.” “Oke. Kepo, itu paket siapa.” “Paket..” “Iya, Pak. Paket atas nama siapa ya? “tanya Zahra setelah membuka daun pintu. “Atas nama Zahra.” “Ha? Saya? “ “Tuhkan, Kak. Kakak yang lupa nih...jarinya order sendiri mungkin.” Maryam cekikikan di belakang Zahra. “Tapi maaf, Pak. Saya gak pesen apa-apa.” “Iya, ini ada yang ngirim paket buat, Mbak.” “Ha? Siapa, Pak? “ “Gak tahu, mbak. Tulisannya dari penganggum rahasia.” Kening Zahra berkerut. Tukang paket itu lalu memberikan sebuah kotak persegi dan satu buket bunga pada Zahra. Di tengah buket bunga itu tertulis sebuah kalimat pendek, ‘menganggumi dari jauh, mencintai dengan nyata.’ Kening Zahra makin berkerut membaca kalimat itu. Raut wajah Zahra makin tidak terkendali. “Cie, Kakak...” bisik Maryam. “Dari followers Kakak mungkin, kan kakak sekarang famous.” Maryam makin cekikikan, wajah Zahra langsung memerah, ia sangat malu sekaligus bingung dengan paket yang dia dapat. “Saya foto bentar ya, Mabk, sebagai tanda udah di terima.” “Iya, Pak, foto aja, sekalian foto kakak Zahranya juga, dia SELEBGRAM loh, Pak,” sahut Maryam makin membuat Zahra sangat malu. “Oke, udah, Mbak. Terima kasih.” “Iya.” Zahra langsung menutup kembali pintu setelah tukang paket pergi dari sana. “Dek, kamu apa-apaan sih!” tegur Zahra. “Apanya yang apaan, Kak? Orang aku ngomong bener kok. Kakak kan sekarang SELEBGRAM, makanya ada yang ngotot paket plus buket bunga mawar lagi, sweet banget...” Maryam sengaja menekan kata selebgram untuk menggoda Zahra. “Apaan sih dek! “ kesal Zahra. “Kak, buka dong paketnya! Penasaran nih.” Zahra meletakan paket itu di atas meja kecil, lalu dengan hati-hati membuka kotak persegi yang diikat pita berwarna putih. “Wah, isinya cokelat, Kak.” Kotak itu berisi beberapa batang cokelat dari beragam merek terkenal. “Iya, cokelat.” Zahra tersenyum lebar, baru saja ia ingin maka cokelat dan sekarang cokelat ada di di depannya. “Alhamdulillah, rezeki anak sholeha,” gumam Zahra. “Bagi satu ya, Kak.” Maryam langsung mencomot satu batang cokelat di dalam kotak itu. “Dasar, main comot aja. “ Maryam terkekeh. Gadis itu sudah bersantai di soda untuk menikmati cokelat mete kesukaannya. “Dek, ada surat di dalamnya.” “Apa Kak isi suratnya? Bacaan doang, mager, mau baca sendiri,” sahut Maryam sembari menginggit cokelat. “Semoga suka. Salam hangat buat, Zahra dan adik cokelatnya.” Deg! Jantung Maryam rasanya seperti berhenti berdetak. Cokelat yang ia kunyah seketika terasa hambar. “Adik cokelat?” Zahra terkekeh, “Apa maksudnya? Kamu tahu dek artinya apa? “ Zahra menoleh dan mendapati wajah Maryam yang menegang. “Kenapa dek? “ tanya Zahra heran, tapi Maryam malah diam seribu bahasa. Ada notif di ponsel Zahra, mengalihkan perhatian Zahra pada Maryam. Notif itu dari Sarah. Sarah : Zahr, n****+ favorit kita barusan update. Buruan baca, mumpung masih hangat wkwkwkkw... Oke! Meluncur! —batin Zahra bersorak girang. . . Sarah merebahkan tubuhnya di kasur, mencari posisi ternyaman untuk membaca n****+ digital favoritnya yang baru saja update satu detik yang lalu. Mata Kirani mengerjap, menatap punggung yang sekarang berdiri di hadapannya. Mata bulat gadis itu menatap nanar pemilik punggung itu “Apa kamu tidak merindukan saya?” suara Kirani, goyang. “Atau saya selayak itu untuk tidak dirindukan? Apa saya seburuk itu di mata kamu? Sampai kamu bahkan tidak mau melihat wajah saya? “ Tidak ada sahutan. Sang pemilik punggung masih membeku dalam posisinya, enggan menoleh barang sedetik saja. “Hina kah saya ini! “terik Kirani dengan suara lantang namun terdengar pilu. “Saya tahu, saya salah. Tapi saya hanya melakukan itu karena saya mencintai mu! “ “Mencintai?!” lirih Husin. Tersirat rasa pedih pada kata yang di ucapkan Husin. “Mbak tidak mencintai siapa pun kecuali diri Mbak sendiri. Mbak, tidak mencintai saya, mbak mencintai ego Mbak. Mbak melakukan semua itu karena ego Mbak terluka, Mbak tidak terima jika babu ini bahagia dengan yang lain! Bagi mbak saya hanya seperti barang yang berusaha Mbak miliki dengan berbagai cara, bahkan sampai memfitnah saya! “ “Saya memang salah, tapi saya benar mengatakan bahwa saya MENCINTAIMU! “ “MENCINTAI! Apa begini cara mbak mencintai orang lain! Apa dengan memfitnah saya melakukan hal yang bahkan tidak pernah saya bayangkan dalam hidup saya!” Husen berbalik, matanya memerah, seolah ada bara yang membakar matanya. “Saya tidak pernah menyentuh Mbak, sedikit pun! Bahkan sehelai rambut pun, tidak pernah! Saya sangat menghormati Mbak sebagai seorang atasan! Saya sangat menghormati Mbak, karena Mbak seorang wanita, yang di titipkan amanah untuk mengandung dan melahirkan generasi penerus bangsa. Kedudukan wanita yang kelak ada surga di bawah telapak kakinya, madrasah pertama bagi anaknya. Saya menghormati itu semua! Tapi kenapa Mbak menjatuhkan diri Mbak sendiri! Dan menyeret saya ikut jatuh ke dalamnya! Beginikah cinta yang Mbak katakan? Beginilah cara Mbak mencintai orang lain! Dengan cara menghancurkan hidupnya, memfitnahnya, merusak pernikahannya, dan merenggut segalanya darinya? Beginikah?” Nafas Husin, berantakan, kesal, marah dan kecewa memenuhi hatinya. “Apa ini alasan kenapa semua orang yang Mbak cintai pergi dari Mbak? Mereka pergi karena takut pada cinta Mbak? Mereka takut di cintai dengan egois oleh. Mbak? Mbak tahu, bahkan sekarang saya juga takut.” Kirani tertegun, setiap kata yang keluar dari mulut husen terdengar begitu menyakitkan di telinganya, seperti tombak yang menghabisi nyawanya perlahan-lahan. Ia merasa amat sesak dan sangat sulit bernafas dengan baik, hatinya hancur sehancur-hancurnya. “Percuma menangis, Mbak! Tangisan Mbak tidak akan membuat keadaan menjadi baik. Umi tidak akan kembali lagi.” Husen berbalik. “Apa kamu juga mau meninggalkan saya? “ lirih Kirani. “Mungkin. Saya ingin pergi jauh dari sini, ke tempat yang tidak bisa Mbak temukan lagi.” “Jangan, saya mohon jangan tinggalkan saya! Semua orang pergi meninggalkan saya! Saya tidak mau sendirian! Saya tidak mau kamu pergi, maafkan saya, maafkan saya jika saya egois. Maafkan saya, saya mohon, jangan tinggalkan saya, saya mohon.” “Saya sudah memaafkan, Mbak, sudah banyak pengalaman yang saya dapatkan, terima kasih atas semua luka yang Mbak berikan, saya akan menyimpan dan membawanya di dalam hati saya.” “Jangan pergi, saya mohon....,” lirih Kirani pelan, sangat pelan. Husen tetap melangkah, langkahnya sudah tetap. Ia tidak akan menoleh lagi, rasa kasih sayangnya pada Kirana sudah menguap, Kirana tidak akan mendapat tempat secuil pun di hati Husin. Husin menyesal jika dulu ia pernah menyukai wanita seegois Kirani! Ia menyesal, untuk hari-hari sedih yang pernah ia lewati karena tercekik rindu pada wanita yang tidak halal baginya. Husen sadar, dia salah karena membiarkan cinta itu tumbuh bak rumput liar yang membunuh pohon kehidupannya. “Umi, maafkan Husin.” . Bersambung... Kata yang sangat Sarah tidak sukai. Apa-apaan ini, kenapa harus ada kata bersambung di adegan yang sangat memilukan seperti ini! Sarah mendengus berkali-kali, hatinya masih cenat-cenut membaca setiap kalimat yang Husen katakan, seolah kalimat itu juga ikut menujam hatinya. “Apa-apaan ini! “ protes Sarah, geram sendiri. Gadis itu meraih ponselnya di dalam nakas, dan menekan gambar telepon pada layar ponselnya. “Assalamualaikum, Zahr. Gimana Lo udah baca kelanjutannya, belum? “ tanya Sarah langsung tanpa berniat menunggu jawaban salam dari Zahra. “Gue kesel banget, sumpah! Kesel banget sama Kirani! Tapi gue juga kasihan sama dia, ia pokoknya gue jadi labil deh, gara-gara nih n****+! Mana bersambung lagi, duh gue kepo... Beneran gak ya Aa Husen bakal ninggalin, Kirana. Duh potek hati gue kalo itu sampai terjadi.” “Sarah... “ “Eh bentar, Zar, mama gue manggil. Gue matiin dulu ya, entar nanti gue telepon lagi. Oke, bye.. ” Sarah mematikan sambungan telepon. Terlihat wanita paru baya berpenampilan modis memasuki kamar Sarah. “Iya Ma? “ “Nak, Hem, kamu tahunan hari ini ada arisan di rumah kita kan? “ “Tahu, Ma. Ini Sarah mau siap-siap dulu. Gak lama kok, Ma. Sarah tinggal ganti baju dan pasang jilbab, gak perlu carly rambut atau nyatok rambut.” “Kamu mau keluar pake...hem... “ Mama Sarah memperhatikan penampilan Sarah dengan alis terangkat. “Memangnya kenapa, Ma? “ Sarah ikut memperhatikan penampilannya, Sarah tahu akan ke mana arah pembicaraan mamanya itu. Hubungan Sarah dan mamanya terbilang sangat dekat, seperti sahabat. Mama Sarah yang berjiwa muda sangat mengerti Sarah. Terutama mengenai selera fashion karena Mama Sarah merupakan seorang pencinta fashion. Semua orang menjulik mamanya sebagai trend fashion berjalan. Mamanya sangat mengutamakan fashion di atas segalnya. Dan menurut mama Sarah, apa yang Sarah kenakan tidaklah memenuhi syarat fasihon baginya. Mamanya memang tidak melarang keputusan Sarah tentang perubahan fashionnya tapi mamanya juga tidak pernah mengatakan setuju untuk itu. “Hem..” Mama Sarah bergumam pelan. Jika ada satu lagi mengenai mamanya, maka Sarah akan mengatakan bahwa mamanya adalah orang yang berpendirian teguh, beliau terbiasa berdiri di kakinya sendiri, baginya aturan yang mengikuti bukan dia yang mengikuti aturan. Mama Sarah seorang single parent yang telah membesarkan Sarah sendirian tanpa suami. Ayah Sarah, meninggal saat Sarah duduk di bangku SD. “Sebaiknya kamu gak perlu turun, nak. “ Jawaban yang sudah Sarah duga. “Fine, Ma, apa pun yang membuat mama bahagia.” Sarah langsung memeluk mamanya. “Thanks sayang.” Mama Sarah membalas hangat, pelukan Sarah. “Kalo ada yang mau kamu ambil keluar, kamu telepon aja bibi.” “Sip, Ma. Eh, btw Ma, Sarah mau donat stwaberinya sama s**u putih, bilangin bibi ya, Ma, buat segera anter ke kamar Sarah.” “Iya sayang. Kamu istirahat aja di kamar.” “Dengan senang hati, Ma.” Sarah mengecup pipi namanya, sebelum wanita paru baya itu turun ke bawah. “See you, Ma.” Sarah merebahkan kembali tubuhnya di kasur, menatap lurus ke atas langit-langit kamarnya. “Alhamdulillah,” gumamnya pelan. Sejak dulu ia selalu tidak pernah suka dengan acara arisan mamanya itu. Yang mereka bahas selalu hal yang sama, mengenai uang, uang dan uang. Sarah meraih ponselnya, ia menghubungi Zahra tapi Zahra tidak mengangkat panggilannya. Sarah lalu menekan nomor Kerly. “Halo, Kerly... “ “H-HALO ? ADA APA SAR??” “Eh, Lo di mana sih? Kok berisik banget.” “Gue ada di rumah.” “Terus itu suara apa, kayak lagi pentas seni aja, segala bunyi kedengaran.” “Biasalah... “ . . Kerly menghela nafas panjang. “Ma, Pa, Kelry gak kesurupan.” “Pa, buruan... “ Pyur Air satu ember disiram pada Kerly. Mata Kerly membelalak, melebar. “Ma, Pa...” protes Kerly, langsung bangkit dari sofa. “Mama, Papa, Kerly gak kesurupan.” “Mana ada orang kesurupan ngaku, kalo ngaku penuh penjara,” sahut Mama. “Lah, Ma, itukan pepatah, mana ada penjahat ngaku, kenapa malah di hubungi ke situ, Ma,” revisi papa Kerly. “Beda dikit juga, my king, my kingkong.” Kerly memutar bola matanya, lalu berjalan ke kamarnya, untuk menganti bajunya yang sekarang sudah basah kuyup. “Kerly kamu mau ke mana nak? Kamu gak kesurupan lagi kan? “ “Kerly gak kesurupan, Ma,” sahut Kerly dengan suara nada yang biasa saja meskipun ia merasa amat tidak suka dengan perbuatan orang tuanya, tapi Kerly sadar itu semua mereka lakukan karena keduanya sangat menyayangi Kerly dan karena kurangnya ilmu agama. Keduanya selama ini terlalu sibuk mengejar material. “Ini, sayang kamu lupa bawa kartu ati kamu, papa baru isi uang di rekening kamu buat shopping,” kata Papa. Kerly kembali berbalik. “Kerly gak mau Pa, itu terlalu berlebihan buat Kerly.” “Berlebihan? Sejak kapan uang segitu jadi berlebihan? “papa panik mode on. “Ya ampun Ma, anak kita masih kesurupan.” Mama dan Papa Kerly spontan langsung berlari mengejar Kerly. Mama dan Papa memegangi kedua lengan Kerly, menahan gadis berparas cantik itu masuk ke kamarnya. “Eta saha? “ kata Mama sembari meletakkan telapak tangannya di pucuk kepala Kerly. “Eta Saha? “ Kerly kembali menghela nafas panjang, apa ia harus menjawab, ‘aing maung? ‘. Oh ya ampun, batin Kerly menolak. “Kerly gak gini, dia selalu bahagia kalo rekeningnya di isi. Ini bukan Kerly! “ “Ini Kerly, Ma, Pa. Kerly cuman gak mau nerima uang banyak-banyak gitu. Kerly gak butuh apa-apa.” “Tapi, nak, apa kamu gak mau beli tas, sepatu atau baju gitu? “sahut Papa, khawatir. “Gak perlu, Pa. Baju, sepatu dan tas Kerly juga masih ada, malah ada yang belum pernah di pakek masa beli baru lagi sih. Malah Kerly berencana buat Lelang, percuma aja di sini, cuman jadi penghuni lemari doang, mending di jual dan uangnya bisa buat Kerly bantu sesama.” “Ha? Kamu serius, Sayang ? Kamu gak mau shopping? “ “Gak ah, Ma.” Kerly melepaskan genggaman tangan kedua orangtua dari lengannya. “Ma, Pa, Kerly mau ganti baju dulu, ya... “ Mama dan Papa mengangguk pelan. Kerly masuk ke dalam kamar. Mama menoleh, “Pa, sehelai kain itu sudah mengubah anak kita... “ “Iya, Ma, itu bukan sehelai kain. Itu sehelai kain istimewa. “ *** “Ya Allah, lucu banget! “ Dari sebrang sana, Sarah tidak henti-hentinya tertawa. Mendengar cerita Kerly. Zahra juga tidak bisa membendung tawanya apa lagi setelah melihat ekspresi wajah Kerly. Mereka bertiga sedang melakukan panggil video call bersama. “Ternyata kisah Lo lebih lucu dari kisah gue,” kata Sarah disela rasanya. “Iya gak, Zar?” Zahra mengangguk. Ponselnya tiba-tiba mendapat notif, ada pesan masuk dari nomor si jin, maksudnya Kelvin. Zahra membukanya. “Lagi sibuk ya, Zahr? “ “Gak, emang ada apa? “ “Ada sesuatu yang mau saya tanyakan.” “Tanya aja.” “Hem, tadi saya gak sengaja dengar azan barusan, itu namanya adzan buat salat apa?” “Oh yang barusan, azan buat salat ashar. Kalo siang itu salah dzuhur, kalo setelah ashar itu salat magrib, terus salat Isya.” “Oh gitu, hem, kamu sudah salat ashar?” “Ha? Memangnya kenapa? “Zahra tersenyum membaca pesan dari Kelvin. “Eh, Zahr, di ajak ngomong malah senyum-senyum sendiri,” panggil Sarah. “Lagi sibuk ya, Zahr? “tanya Kerly di sebrang sana. “Gak. Cuman lagi jawab pesan teman aja.” “Teman? Atau someone spesial nih...,” goda Sarah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN