“Argh!!! “
“LEPASKAN SAYA! “
“Audzubillah himinasitoni Rojim..”
“Argh, LEPAS!! HENTIKAN BACAAN KALIAN! “
“Aargh!! LEPASKAN SAYA, ATAU SAYA CELAKAKAN PEMILIK TUBUH INI!”
“Berhenti ! Berhenti ! Aargh sakut! Berhenti atau saya bunuh pemilik tubuh ini, Aarg! “
“Tolong, ustadz jangan biarkan anak saya terluka... “
“Amina hentikan bacaan kamu! “
“Aarg, sakit! sakit! Mama tolong aku! Mama! “
“Ustadz, anak saya kesakitan, tolong hentikan proses ruqiah ini! “
Amina tidak mengindahkan perkataan ustadz. Ia terus membacakan surah-surah Al-Qur’an.
“Amina ! hentikan! “
“AMINA! “
Amina tersentak kaget. Ustadz menatap sengit Amina.
“Keluar dari ruangan ini! “
“T-tapi Ustadz.. “
“Keluar!”
Amina tidak bisa berkata-kata, ia berjalan keluar pintu. Gita menghentikan bacaanya, ia melirik Amina dan meminta izin untuk menyusul Amina.
“Salah lagi,” kata Amina untuk dirinya sendiri.
“Sudahlah jangan sedih.” Gita langsung saja duduk di sebelah Amina. “Kamu tadi pasti teringat kejadian orang tua kamu kan?”
“Maksud kamu apa? “
“Saat proses ruqiah seharusnya kamu khusyuk, Amina.”
“Iya. Saya salah.”
“Sudahlah, jangan cemas. Ustadz pasti mengerti apa yang terjadi.”
“Amina, kamu di panggil Ustadz.” Teman satu angkatan mereka menghampiri Amina dan Stefani.
Amina tertegun, pikiran buruk menyerbu hatinya. Gita menepuk pelan bahu Amina, mencoba menyalurkan pikiran positif.
“Pergi gih sana,” kata Gita.
Amina mengangguk dan melangkah pergi. Terlihat Ustadz tengah memberikan beberapa nasihat pada pasien agar terhindar dari gangguan jin. Setelah pasien itu pergi, ustadz baru menyadari kehadiran Amina di ambang pintu. Ustadz menghampiri Amina.
“Afwan, Ustadz, maafkan saya.”
“Antuna, kenapa tadi? “
Amina membisu.
“Ana dengar kamu mau membuat tim unit? “
Amina refleks mengangkat kepalanya. “Na’am ustadz, jika ustadz mengizinkan.”
Ustadz mengangguk kecil, seolah mencerna perkataan Amina. Amina kembali menunduk. Lima detik terjadi keheningan.
“Ana harus tahu, kenapa antuna mau membuat tim khusus ini? “
“Na'am, ustadz. Ana memilik misi untuk di selesaikan. Ana ingin bisa fokus menyelesaikan itu.”
“Apa misi antuna ini masih berhubungan dengan kemarahan antuna di masa lalu? “
Amina membisu.
“Jika itu benar, maka ana tidak akan mengizinkan itu,” jeda sejenak. “Tapi jika itu salah, ana akan membantu kalian.”
.
.
“Amina, Kamu tidak di keluarkan dari tim kan? “ tanya Gita. Gita sejak tadi memburu Amina dengan beragam pertanyaan, tapi tidak ada satu pun pertanyaan yang Amina jawab.
“Apa yang ustadz, katakan? “ tanya Gita lagi. Kali ini ia sangat berharap Amina menjawabnya. Dua menit, tiga menit, lima menit, Gita menunggu tapi Amina tidak kunjung membuka mulutnya. Amina hanya menatap lurus entah ke mana.
“Kak, saya dengar ada masalah lagi? “Ilham menghampiri Gita dan Amina di tempat biasa mereka berkumpul. Di tepi sungai.
“Entahlah.” Gita mengangkat bahunya ke atas. Ia pasrah dengan kebisuan Amina.
“Tidak terjadi apa-apa,” sahut Amina, membuat Gita berdecak kesal. Sejak tadi ia menunggu suara Amina keluar dari pertapaannya, tapi sekarang dengan mudahnya Amina menjawab pertanyaan dari Ilham.
“Saya dengar kak Amina juga di panggil Ustadz tadi? “
“Iya.”
“Apa yang ustadz katakan? “ Gita kembali menyahut.
“Bagaimana dengan Maryam? “
“Sudah saya jelaskan.”
“Semoga Allah menjaga mereka semua.”
***
Zahra memang merasa tidak enak badan, kepalanya terasa sakit sejak tadi, mungkin ia masuk angin karena cukup lama membersihkan seragamnya yang kotor dan mengambil baju olahraga di loker miliknya. Namun bukannya pulang, Zahra malah memilih untuk berziarah di makam kedua orang tuanya.
Zahra membersihkan pusaran tanah di mana jasad kedua orang tuanya di makamkan. Zahra mencabut rumput liar tanpa bantuan alat, dengan tangan kosong. Alhasil, beberapa kali tangannya Zahra tertusuk duri atau duri menancap di tangannya hingga mengharuskan Zahra untuk mengingatnya dengan sapu tangan agar darah di tangan berhenti keluar.
Setelah selesai melakukan bersih-bersih, Zahra duduk bersimpuh di antara dua pusaran umi dan abi. Zahra mengirim Al-fatiha lalu di sambung dengan mengirimkan surah yassin untuk umi dan abi.
“Umi, abi, Zahra rindu kalian.” Suara Zahra parau.
“Semoga kelak di akhirat kita akan bertemu lagi di surganya Allah.” Zahra tersenyum sendu, linangan air mata mulai membayangi kelopak matanya.
“Zahra di sini, baik-baik saja Umi, abi. Bulek dan Maryam sangat baik pada Zahra, mereka menjaga Zahra dengan baik.”
“Maafkan Zahra, ya Umi, abi...samapai detik ini, Zahra belum bisa mendapatkan pelaku pembunuh umi dan abi.” Suara Zahra getir.
“Maaf, umi, abi...,”lirih Zahra, pelan, nyaris tidak mengeluarkan suara.
“Kasihan Zahra..” kata Gita.
Amina tidak mengangkat apa pun, ada Ilham di sana juga.
“Itulah alasan kita,” kata Amina. “Kalo kita tidak bisa menyelamatkan orang yang kita sayangi kita bisa membantu menyelamatkan orang yang orang lain sayangi.”
Gita mengangguk setuju.
Amina mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. “Ini, Ilham. Tolong berikan ini pada Zahra.”
Ilham menatap sapu tangan itu.
“Saya tidak tega untuk memberikannya pada Zahra,” jawab Amina seolah mengerti apa yang sedang Ilham pikirkan. “Tolong berikan ini pada Zahra.”
“Baiklah.” Ilham mengambil sapu tangan itu.
“Zahra… ” panggil Ilham.
“Kenapa kamu ada di sini? ” tanya Zahra.
Ilham memberikan sapu tangan itu untuk Zahra. “Hanya itu yang bisa saya lakukan sekarang. La Thazan, Allah bersama orang yang sabar.”
Zahra menerima sapu tangan itu. Ilham berbalik. Zahra pingsan. Gita dan Amina yang memperhatikan dari jauh segera menghampiri Zahra.
“Dia pingsan.” Ilham kaget.
Amina dan Gita segera berlari menghampiri Zahra.
“Tolong dia! ” perintah Amina, cemas.
“Apa ada sesuatu di sapu tangan itu ?” tanya Ilham.
Kening Amina berkerut. “Maksud kamu?”
**
“Jeng, butiknya mau keluarin fashion baru ya? ”
Wanita paru baya itu tertawa renyah. “Doakan saja. Secepatnya butik saya akan laucing fashion baru bulan ini.”
“Baru mau laucing, Jeng? Saya pikir tah udah rilis lama.”
“Sejak kapan butik saya rilis trend baru gak booming.” Wanita itu kembali tertawa, kali ini sejenis tawa elegan ala-ala sosialita.
“Eh serius, Jeng? Bukannya anak jeng sekarang suka pakai, pakaian apa itu? Longgar gitu. ”
Sarah sejak tadi diam saja mendengar percakapan teman-teman mamanya. Sarah menahan diri untuk keluar menemui mamanya yang nampaknya sedang sibuk dengan tamunya itu.
“Iya, Jeng. Saya juga sempet gak sengaja liat pas mampir ke butik, Jeng. Anaknya kenapa jeng? Ngeri tahu jeng sekarang, banyak kelompok sesat.”
“Anak saya gak ikut gitu-gituan, dia gak kayak gitu, kajian ah.. gak lah. Dia cuman mau tampil beda aja.”
“Oh kirain, Jeng. Jeng harus awasin betul anak zaman sekarang jeng, apa lagi ke Sarah gitu, pakaiannya panjang banget gitu. Kalo saya mah lebih mending anak saya ke club ke timbang ke majelis, takut saya mah, entar anak saya di cuci otaknya sama dogma-dogma sesat.”
Sarah menunggu respon mamanya. Tidak ada respon dari mamanya. Sarah memilih kembali ke kamarnya.
Sarah meraih ponselnya dan langsung menekan ikon telepon di ponselnya. Dua menit menunggu, suara Kerly terdengar di sebrang sana.
“Eh, udah liat postingan gue belum? ”tanya Sarah, to the point.
“Sudah. Tadi gue baru mau telepon Lo, itu serius bisa daftar jadi panitia buat acara kajian akbar ?”
“Serius, Kerl. Dibuka untuk umum juga. Gue kirim linknya ya. Entar Lo isi aja. Gue udah isi.”
“Oke.”
“Eh btw, soal Lo mau pondok Lo udah nanya orang tua Lo? ”
“Belum sih, Lo udah kasih tahu mama Lo? ”
“Gue belum tanya sih, tadi rencananya mau langsung kasuh brouser ke mama tapi mama lagi ada tamu. Menurut gue mama pasti setuju. Mama gak pernah gak setuju sama permintaan gue.”
Sarah mengambil brosur pesantren yang sempat mereka ambil sewaktu pulang dari kajian.
“Mama, pasti setuju gue ke pesantren ini,”gumam Sarah.
“Semoga ya, gue tunggu kabar bahagianya.”
“Aamiin. Oh iya udah Lo isi formulirnya?”
“Udah barusan. Kapan sih kajiannya?”
“Hem, acaranya sabtu sampai ahad.
“Eh, udah dulu ya Sarah. Nanti masalah kajian kita bahas nanti aja, oke. Sekarang gue mau nemenin mama buat kue dulu. Oke see you, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Kamu mau kajian lagi?” Suara mama Sarah mengintrupsi Sarah untuk menoleh.
“Mama dari tadi di sini? ” Sarah memeluk mamanya. Ritual bisa mereka.
“Jawab pertanyaan mama,”tanya Mama dingin. Mama tidak membalas pelukan Sarah.
“Iya, Ma. Ada kajian akbar. Sarah barusan daftar jadi panitia, suaranya sabtu sampai ahad, Maryam izin per—”
“Kamu gak boleh pergi ke sana,”pungkas mama langsung.
DahI Sarah berlipat. “Emang kenapa, Ma? Kita ada acara dadakan ya, Ma?”
“Gak ada. Mama cuman gak mau kamu ikut kajian-kajian itu.. Mama gak suka.”
“Gak bisa, Ma. Sarah udah daftar jadi panitia acara, Ma.”
“Batalin!”
“Mama kenapa sih? Kemarin mama setuju aja sama kegiatan baru Sarah ini, kenapa sekarang Mama keberatan? Apa karena tante-tante tadi? Mama lebih percaya mereka ketimbang Sarah?
“ Mama lebih percaya Sarah datang ke club minum-minuman ketimbang cari ilmu? Mama lebih percaya, Sarah kumpul-kumpul sama orang yang gak kenal Tuhan mereka ketimbang kumpul sama orang yang mengagungkan Tuhan? Mama lebih suka Sarah pakai pakaian yang terbuka biar semua orang bisa liat tubuh Sarah secara gratis? ”
Plak!
Tamparan mendarat sempurna di pipi Sarah. Sarah meringgis, untuk pertama kalinya mama Sarah melakukan hal ini.
“Inilah yang mama takutkan!”
Sarah memegangi pipinya yang terasa panas. Air mata mengalir dari kelopak mata Sarah. Mama menatap dingin Sarah.
“Ma… ”lirih Sarah mengiringi kepergian mamanya. Sarah menangis, begitu mamanya benar-benar pergi meninggalkannya tanpa sekata pun selain kata pedas tadi.
***