Bareng gue ke sana?

2174 Kata
“Eh, siapa yang liat Kelvin?” teriak Wiily. “Kelvin belum datang ke kelas ya? Apa dia gak sekolah? “tanyanya lagi dengan suara nyaring naik satu oktaf. “Berisik !” Pekik Sarah, merasa terganggu dengan suara Willy yang membangunkan telinganya. “Ukhti, liat Kelvin gak? Gue dari tadi carian dia, gak ke temu. Dari ujung selokan sampai loteng asap udah gue cari, gak ketemu juga.” “Apaan sih, Willy ! Lo gak lucu, malah kesannya jadi kek orang bego.” “Idih, ngegas aja nih ukhti.” “Gue cuman ngasih tahu aja. Sekali-kali kek bersikap kayak orang normal.” “Kalo gue normal bahaya, entar Lo jadi suka sama gue.” “Idih geer banget.” “Geer itu sama dengan percaya diri. Dalam hidup kita butuh percaya diri.” Willy tersenyum lebar. Sarah malas meladeni Willy lebih lanjut yang ada moodnya makin hancur. Ia sudah cukup sedih atas tamparan mamanya kemarin. “Udahlah pergi sana Willy,” usir Sarah. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di dalam tumpukan tangannya sendiri. “Ukhti lagi sedih ya? “ tanya Willy. “Hem.” “Ada yang bisa gue bantu biar ukhti gak sedih? “ “Gak ada.” “Bilang aja. Gue bakal bantuin kok.” “Gak ada.” “Pasti ada. Mau dibeliin apa? Es crema, cokelat atau donat?” “Bilang aja ukhti gak perlu sungkan.” “Jadi mau apa? “ “Mau cokelat? “ “Donat aja enak.” “Suka donat kan? “ Sarah menghela nafas panjang. Ia hanya ingin tenang tapi manusia bernama Willy ini tidak membiarkan dirinya tenang. “Minumnya mau apa?” “Es teh hangat, mau? “Gue bilang, gue gak mau apa-apa! “ Sarah mengangkat kepalanya. “Astagfirullah !” Sarah spontan ngucap. Ia terperanjat kaget karena rupanya Willy juga meletakan kepalanya di hadapan dirinya. “Ngapain sih Lo ikut-ikutan aja! Buat gue jantung aja! “ Willy mengangkat kepalanya. “Jadi... Es teh hangat, mau? “ katanya tanpa polos. “WILLY! “ teriak Sarah, geram. Willy malah cengengesan. “Gak suka ya, os okey...kalo gitu gue cari Kelvin dulu ya.” Sarah tidak bisa berkata-kata lagi, kedongkolannya pada Willy sudah mendarah daging. “Eh, Zahr, liat Kelvin gak? “tanya Willy mencegat Zahra yang baru saja sampai ke kelas. “Emangnya ada apa?” “Pasti belum buka ponsel ya...padahal beritanya udah heboh.” Zahra merogoh tasya dan mengecek apa yang sebenarnya terjadi. “Kelvin membatalkan semua dan menolak untuk tampil di acara adapun. Kelvin bahkan menghapus semua akun media sosialnya seperti i********: yang sudah diikuti lebih dari dua juta orang.” “Kagetkan? Makanya, gue mau tanyai itu sama Kelvin,” kata Willy. “Tapi dari tadi gak batang hidungnya Kelvin.” “Bentar lagi bel masuk, itu artinya Kelvin gak masuk sekolah.” “What the, ckckckck! Gue udah belain datang sebelum matahari menyinari bumi, eh gak tahunya si Kelvin gak masuk.” Zahra masuk ke kelas dan meletakan tasnya lalu berbalik menghadap Sarah yang masih setia menyembunyikan wajahnya. “Udah liat berita tentang Kelvin? “ Sarah menggeleng. “Belum.” “Tumben,” gumam Zahra. “Sarh, Kamu kenapa? Sakit? “ “Gak kenapa-napa.” “Kamu nangis ya? “ “Hiks... Lo kok tahu..” Sarah mengangkat kepalanya. “Dari suara kamu.” Sarah langsung menghapus air mata yang membanjiri pipinya. “Ada apa, kenapa kamu nangis? “ “Hem, gue sedih, buat pertama kalinya mama marah dan nampar gue.” “Pasti ada alasannya. Jangan pikir hal buruk, semua orang tua itu mau anaknya jadi orang yang hebat di dunia dan akhirat.” “Gak gitu Zahr. Mama gak pengen gue masuk surga.” “Hust, kok bilang gitu sih? Seburuk-buruk orang, jauh dilubuk hatinya mereka semua tetap pengen masuk surga.” “Mama gak pengin. Mama cuman mau fashion, fashion aja. “ “Sarh.. gak baik ngomong gitu tentang orang tua.” “Emang itu kenyataannya, Zahr. Mama gak boleh gue ikut kajian karena takut gue sesat, tapi mama gak marah kalo gue ke clubbing.” “Seburuk-buruk apapun orang tua, tugas kita buat menjaga nama baik mereka, Sar. Jangan pernah ngomong ini sama yang lain, Sar. Cukup sampai di sini aja.” Zahra berpaling. “Lo marah sama gue?” “Gak. Aku cuman gak suka aja kamu bilang gitu tentang mama kamu. Mungkin beliau belum mengerti, tapi bukan berarti kita yang udah ngerti jauh lebih hebat dari beliau. Fungsi kita sebagai anak buat ngingetin bukan buat seolah mereka salah selama ini, dengan ngelakuin itu kita bakal merusak wibawa mereka sebagai orang tua. Kita gak akan dapat hati mereka malah jadi jauh dari mereka.” “Kerly belum datang?” “Belum. Kayaknya dia telat deh.” Bel berbunyi nyaring di seluruh penjuru sekolah. Gerbang sekolah hendak ditutup, dengan cepat Kerly berlari dan masuk sebelum gerbang tertutup sempurna. Kerly buru-buru mempercepat langkahnya menuju kelas, ia tidak mau harus menambah masalah jika guru yang masuk duluan. “Kerly, Lo dari mana aja? Kesiangan ya? Ponsel Lo juga gak aktif dari tadi.” Sarah menyerbu Kerly dengan pertanyaan yang sejak tadi ia tahan. Kerly meletakan tasnya. “Terus jilbab Lo juga berantakan banget. Lo dari mana sih ?” kening Sarah makin berkerut. “Gue tadi ada urusan gitu, makanya telat.” “Gue sejak semalam kirim pesan ke Lo. Tapi sampai detik ini pesannya belum Lo bales, kenapa?“ Kerly refleks mengiggit bibir bawahnya, ia tidak bisa mengatakan yang sejujurnya tapi juga tidak mau berbohong. “Hem...” “Sebenarnya gue mau cerita, gue mengundurkan diri dari acara kajian itu. Mama gak setuju dan ngelarang gue buat ikut kajian lagi.” Sarah menunduk sedih. “Gue juga mengundurkan diri dari acara itu. Gue gak bisa ke sana.” “Kenapa? “ “Hem, gue harus bantuin mama dan papa.” “Oh, mama kamu ngajak shopping ya? Udah lama rasanya kita gak shopping, boleh gak gue ikut? “ “Bukan. Bukan itu.” “Terus apa? “ “Hem...” “Temenin gue shopping yuk, Kerl, Zahr, gue harus beli stok jilbab buat pergi sama buat sekolah.” “Bukannya, pekan kemarin kamu udah beli di online shop? “ “Iya sih. Cuman Kayaknya kurang. Temani yak, pliss...” “Aku gak bisa Sar. Gak ada yang jagain rumah, bulek ada urusan lama di luar terus Maryam juga ada tugas kelompok,” jawab Zahra. Sarah menghela nafas kecewa, satu-satu harapannya hanya Kerly yang persentase penolakan 0% apalagi soal shopping. “Kerly, Lo pasti mau kan? Sekitar jam dua aja kita berangkat. Oke? “ “Gue gak bisa Sarah.” “Ha?” Sarah menlonggo bingung. Kerly bukan tipe orang yang akan menolak jika di ajak hangout. “Gue ada urusan.” “Urusan apa?” tanya Zahra. “Hem... Gue mau... “ “Kerly Ardilah.” Bu guru datang membawa selembar kertas. “Iya, Bu.” Kerly langsung bangkit dari kursinya. “Kamu dipanggil ke kantor administrasi.” “Iya, Bu.” Kerly tahu hal ini akan terjadi. Ia belum membayar uang spp sekolah selama tiga bulan. “Assalamualaikum, Bu.” Kerly masuk ke dalam ruangan itu dengan jantung berdegup kencang. “Hem, apa kamu tahu kenapa ibu panggil ke sini ?” Kerly mengangguk, mengangkat sedikit kepalanya, menatap dengan sopan wanita paru baya yang ia panggil bu guru. Kerly mengeluarkan amplop dari saku roknya. “Bu, mungkin saya belum bisa melunaskan semua tungakan spp, saya hanya punya uang ini. Saya janji saya akan mencicilnya.” Kerly meletakan amplop berwarna putih itu. Uang itu Kerly dapatkan dari sisa uang di rekeningnya dan hasil ia menjual ponselnya. Dan semua masih kurang untuk menutupi uang spp Kerly. Bu guru menatap amplop itu lalu menatap Kerly. “Ini memang soal spp, tapi bukan itu yang ingin ibu tanyakan.” “Tadi pagi ini menemukan amplop putih ini di atas meja ibu. Amplop ini atas nama kamu, dan di dalamnya ada sejumlah uang serta ada surat yang meminta agar uang di dalam amplop ini digunakan untuk membayar spp kamu.” Bu Guru memberikan amplop itu pada Kerly. Kerly menatap amplop itu. Dalam benaknya ia bertanya-tanya siapa malaikat baik yang hendak membantunya ini. “Saya tidak tahu Bu dari mana.” Bu guru berdeham pelan. “Kalo begitu, uang ini akan di jadikan jaminan untuk uang spp kamu. Apa kamu setuju ?” Kerly tidak tahu harus apa, di satu sisi ia tidak ingin menerima bantuan orang yang tidak ia kenal, tapi di sisi lain dia membutuhkan uang itu sekarang. “Saya akan mencicil uang spp saya bu, uang itu bisa ibu simpan sebagai jaminan.” “Baiklah.” ** “Aduh, sakit banget,” Sarah membungku di meja. Ia memegangi perutnya yang terasa nyeri. Sejak tadi pagi, Sarah belum makan apa pun. Ia tidak bernafsu sedikit pun untuk memasukan makanan ke dalam rongga mulutnya, alhasil sekarang maag nya kambuh. “Sar, kamu kenapa? Kamu belum makan dari tadi pagi ya? “ “Iya.” “Lo mah! Udah tahu punya penyakit maag, tapi masih aja gak mau makan! “ cibir Kerly. “Gue gak selera, Kerl. Gimana dong?” “Makan buat hidup bukan buat nurutin selera Lo! Lo mati karena gak makan, sama aja Lo bunuh diri!” “Udah, udah, mending sekarang kita ke kantin.” Zahra menengahi. “Perut gue sakit banget, Zahr. Gue gak bisa ke kantin.” “Ya udah, Lo tunggu di kelas aja. Biar gue yang beliin ke kantin.” Kerly menawarkan diri. “Iya biar kita aja.” Zahra setuju. Mereka berdua lalu ke kantin. Seperti biasa di jam genting, kantin sekolah menjadi tempat pertama yang dikunjungi perut-perut yang lapar, hampir setengah murid di sekolah berkumpul di kantin untuk mengisi perut mereka, tidak heran jika jam sedini murid-murid berdesakkan untuk mendapat mmakanan pesanan mereka. Di jam istirahat, kantin menjelma menjadi seperti pasar, berdesak-desakan. Biasanya Zahra, Kelry dan Sarah akan datang ke kantin sepuluh menit sebelum masuk , biasanya kantin sudah tidak seramai ini. Itu lebih aman setidaknya ketimbang desak-desak seperti ini, meski resikonya kadang mereka kehabisan makanan atau makanan yang dibeli sudah tidak ada. “Astagfirullah, aku kelupas, jam tangan aku ketinggal di musholah.” “Ya udah ambil gih sana, Zhar. Biar gue yang beli makanan buat Sarah.” “Iya, kalo gitu aku ke musholah dulu ya. Entar aku balik ke sini lagi.” “Sip.” Zahra pergi. “Ya Allah, ramai banget nih kantin.” Kerly bergidik membayangkan harus berdesak-desakan. Tapi Kerly tidak punya pilihan selain desak-desakan mendapatkan pesananya. Kasihan Sarah kalo harus nunggu lama. “Bu, roti sama minumnya satu.” “Bu, rotinya satu.. “ Kerly mendesak semakin mendekat. “Bu.. rotinya satu. Bu, roti itu satu...”pekik Kerly. Kerly terombang-ambing di tengah-tengah, ia sulit bergerak dan terus terdesak ke ujung, tidak memperhatikan langkahnya. “E-eh..” Kerly jatuh. Kakinya tergelincir karena lantai yang licin. “Aw! Mama, papa... kaki Kerly sakit.” Kerly menangis. Pot jatuh tepat mengenai tulang kering kakinya. . . Zahra sejak tadi tidak bisa duduk dengan tenang, ia berkali-kali bangkit, mengintip keadaan Kerly di dalam ruang rawat. “Zahr, Kerly bakal baik-baik aja kan?” Sarah menunduk sedih, gadis itu menyalahkan dirinya atas apa yang terjadi pada Kerly. Untuk pertama kalinya Sarah merasa menyesal mengabaikan jadwal makannya. Ia tidak pernah mengira bahwa semua ini akan berbuntut panjang. “Insyallah, semoga akan baik-baik aja.” Zahra menepuk pelan pundak Sarah. “Maag kamu udah sembuh? “ Sarah menghela nafas panjang. “Gue yang salah, Zahr. Gue bodoh! Dan Kerly yang mendapat imbas dari kebodohan gue!” Sarah menyesal, andai dia tidak mengabaikan makannya, maag-nya tidak akan kambuh dan Kerly tidak akan berujung di rumah sakit seperti ini. Berbaring tidak berdaya di kasur pesakitan. “Kata umi, orang yang sakit maag gak boleh banyak pikiran nanti kambuh lagi maag-nya. Mending sekarang kamu salat ashar dulu deh. Udah azan dari tadi.” “Gue mau nunggu orang tua Kerly datang dulu, baru gue bisa tenang.” “Nunda salat itu gak baik tahu, Sar. Di padang masyrah, salat jadi perkara pertama yang bakal di hisab.” Sarah menghela nafas, apa yang Zahra katakan memang benar. “Lo gak salat? “ “Aku lagi ada udzur. Kamu salat aja. Biar aku jagain Kerly di sini.” “Iya.” Musholah rumah sakit sedang direnovasi. Sarah di sarankan untuk melaksanakan salat ashar di mushola yang ada di dekat rumah sakit, tidak jauh, hanya perlu menyebrang jalan untuk sampai ke mushola berukuran sedang itu. Sarah selesai mengambil wudu, bertepatan dengan seorang pria di shaf depan yang terhalang pembatas hendak melaksanakan salat. “Wanita yang di belakang, apa mau salat berjamaah? “ Sarah mengernyitkan, bukan lantaran pertanyaan yang di ajukan melainkan karena suara si penanya. Suara itu terdengar seperti suara orang yang Sarah kenal. “Boleh.” Sahut satu wanita mewakili suara yang lain. Ada tiga wanita di shaf wanita termasuk Sarah. “Baiklah.” Mereka melaksanakan salat ashar berjamaah. Setelah selesai, Sarah buru-buru mengenakan sepatunya. “Ukhti...” Sarah menoleh. “Willy, ngapain Lo di sini? “ “Menurut Lo gue habis ngapain di musholah? “ “Salat.” “Tuh tahu.” “Bukan gitu maksud gue, maksud gue, Lo ngapain di sini ? Rumah Lo kan bukan daerah sini.” “Gue perwakilan kelas buat jenguk Kerly, bukan cuman gue sih, ada ketua kelas, wakil ketua kelas, bendahara, terus bu Nirmala juga ikut. Mereka ke masuk duluan.” “Oh.” Sarah mengangguk. “Ngomong-ngomong berarti yang jadi imam tadi itu Lo?” “Iya. Baguskan suara gue.” “Ngaur “ “Eh, berarti Lo tadi jadi makmum gue ya? “ “Menurut Lo? “ “Berarti doa gue terkabul. Akhirnya Lo jadi makmum gue.” “Lo doa gitu ?!” Suara Sarah naik satu oktaf. “Santai gak usah marah. Orang gue mintanya sama Allah bukan sama Lo.” “Yah, karena Lo bawa nama gue! “ “Emang nama Lo ada hak ciptanya? Ada lisensi gitu?” “Ihh! “ Sarah menggeram kesal. “Astagfirullah... Sabar Sar, sabar... ”Sarah menghela nafas panjang. “Gimana keadaan Kerly? “ “Gue juga gak terlalu paham sih. Orang tuanya juga belum datang dari tadi.” “Lo udah makan? “ “Kenapa emang? “tanya Sarah sewot lagi. Ia masih sensitif mengenai hal ini. “Nanya aja, idih galak amat sih, nih ukhti.” “Lagian, kepo banget.” “Gue cuman mau kasih roti aja.” “Buat? “ “Buat di makanlah. Masa di celupin.” Sarah memutar bola matanya. “Serah Lo aja.” “Nih, ambil. Ini hadiah, gak boleh di tolak.” “Idih maksa banget sih.” Sarah menerima roti dari Willy. “Nah gitu dong ukhti.” Willy tersenyum. “Kalo gitu gue pergi ya...” “Eh, emang mau ke mana Lo? “ “Mau ke rumah sakitlah, besuk Kerly.” “Gue juga.” “Gue tahu, makanya gue pergi duluan. Emang Lo mau barengan gue ke sana? “ **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN