Bab 5

1522 Kata
Rara " Ra, itu adek lo bukan sih?" Fokusku langsung terbagi begitu mendengar suara Dea. "Mana?" tayaku celingukan. " Itu yang lagi berdiri di luar. Dia nunggu lo tuh kayaknya." Aku mengerutkan kening heran. Lah, Zidan bahkan nggak ngomong kalau mau ke kantor. " Oh iya, itu Zidan. Bentar, gue samperin." Aku langsung berdiri dan berjalan keluar menghampiri Zidan. Dia ngapain nunggu aku? Aku juga nggak minta dia jemput. Memang, sebentar lagi sudah jadwalnya pulang. " Udah lama Dan? Maaf ya, aku baru selesai." Langkahku langsung terhenti begitu melihat Pak Danu menghampiri Zidan. Nah, Zidan ke kantor bukan buat jemput aku? Kan bisa sekalian, dia pakai motor, aku nebeng. Motorku dia pakai. Motornya masih di bengkel. Meski kakinya masih di perban, tapi anak itu sudah ngotot pengin bawa motor sendiri. " Nggak kok mas. Belum ada lima menit." " Ya udah ayo kita pergi sekarang." Pak Danu merangkul Zidan. Aku melongo. Sejak kapan mereka jadi akrab begitu? " Bentar mas, aku mau ketemu Mbak Rara dulu. Aku kesini pake motor dia. Kalau aku ikut Mas Danu, biar motornya dibawa Mbak Rara." Zidan menoleh dan kebetulan tepat mengarah kearahku. " Loh... itu Mbak Rara di situ." Zidan langsung berlari kearahku. " Mbak, aku mau pergi sama Mas Danu dulu ya, ini motornya dibawa Mbak Ra aja. Biar ntar nggak usah naik bis trans." Aku menerima kunci motor dari tangan Zidan. " Kamu mau ngapain emang?" " Biasa, urusan cowok." Aku mencibir. Urusan cowok? Hello, Zidan sama Pak Danu bahkan nggak seumuran. Urusan seperti apa yang bisa menyatukan mereka? " Mau nge-game ya?!!! Nggak-nggak. Kamu langsung balik aja. Bentar lagi udah ujian." " Saya cuma mau bawa adik kamu ke rumah saya. Mau saya pinjamin buku." Aku menoleh kearah Pak Danu yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Zidan. " Iya loh mbak, buku bacaan doang." Aku memicing melihat mereka berdua bergantian. Aku jadi curiga, Pak Danu ngasih apa ke Zidan sampai adikku ini mau ikut ke rumahnya. Bukannya gimana-gimana, Zidan ini termasuk anak yang cukup tertutup. " Jam delapan harus sudah pulang. Kalau belum, mbak jemput." " Kamu tahu rumah saya emang?" timpal Pak Danu santai. " Gampang. Saya bisa tanya Mbak Luna." " Terserah kamu saja, yang penting hari ini Zidan saya bawa dulu." " Dan, beneran kamu mau ikut? Kok tumben, cepet akrab sama orang baru?" "Aku butuh bukunya mbak, kebetulan Mas Danu masih nyimpen. Ya udah, aku pinjem." " Ya udah kalau gitu. Aku masuk lagi." " Ra, jangan lupa, deadline kerjaan kamu dua hari lagi." aku hanya melirik Pak Danu malas. Sialan itu orang, ngasih kerjaan nggak kira-kira! Saat itu juga, aku balik badan dan kembali masuk ke dalam. Namun, setelah masuk kantor, aku langsung mengawasi mereka. Zidan berjalan dibelakang Pak Danu dan mereka menghilang di belokan menuju parkiran. " Ra, ayo pulang." Teriakan Dea mengalihkan perhatianku. *** Danu " Makasih ya mas," Zidan menyalami tanganku dan berterimakasih. Aku mengangguk dan tersenyum. " Iya sama-sama. Sana buruan masuk. Ntar kakak kamu marah-marah." Aku terkekeh diujung kalimatku. " Mbak Ra mah gitu mas. Dia khawatiran orangnya. Kadang bikin aku sebel." " Loh itu tandanya dia sayang banget sama kamu." " Tapi kan aku udah gede, mas. Mbak Ra itu selalu nganggep aku anak kecil." " Namanya juga kakak, wajar kalau nganggep adiknya anak kecil. Dulu aku juga gitu." " Tapi kan mas..." " Udah, sana masuk. Aku langsung pulang ya..." " Beneran nggak mau masuk dulu mas? Makan malam dulu kaya waktu itu." tawar Zidan sambil memasukkan buku yang aku pinjami kedalam tasnya. " Ini masih jam tujuh juga." Lanjutnya. " Nggak ah Dan. Ntar dikiranya aku kesini buat cari makan doang." Balasku sambil terkekeh. Zidan juga ikut terkekeh. Oh iya, ngomong-ngomong aku dan Zidan jadi akrab semenjak aku menjenguknya beberapa hari yang lalu. Kalian masih ingat Zidan kan? Anak SMA yang aku tolong waktu itu? Kami bertukar nomor setelah aku mengajaknya makan di sekitar rumahnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Rara maupun kedua orang tuanya. Bukannya apa-apa, aku hanya tidak ingin mereka salah paham. Ntar dikiranya aku mau ngapain Zidan lagi? Karena dari dulu aku ingin sekali memiliki adik laki-laki, bertemu dengan anak seperti Zidan ini membuatku sangat senang. Dia anaknya nggak neko-neko dan asik kalau diajak ngobrol. Meski awalnya dia tampak tertutup dan cukup canggung, namun pada akhirnya bisa akrab juga. Aku memang memiliki adik, tapi dia perempuan. Aku tidak bisa mengajaknya main bola, bermain game dan permainan lainnya. Meskipun kakakku laki-laki, tapi kakakku lebih sibuk dengan teman-temannya. " Nggak papa kali mas, mama pasti seneng kalau Mas Danu mau main lagi ke rumah." " Lain kali aja deh Dan." " Ya udah." " Oh iya, itu kan buku yang kamu pinjam buku lama. Kalau banyak yang nggak ada jawabannya, bisa tanya aku. Kalau aku bisa, aku jawab." " Siap mas!" Zidan tersenyum. " Ya udah ya, aku pulang dulu." " Iya mas," Aku barusaja balik badan ketika tiba-tiba mataku silau terkena lampu mobil. Keningku berkerut begitu mobil itu berhenti dan kaca mobil depan diturunkan. Aku diam begitu melihat sosok laki-laki paruh baya. Namun sedetik kemudian, kepala Bu Ratih melongok dari dalam. " Loh Mas Danu lagi disini?" " Eh iya bu." jawabku kikuk. " Ayo masuk dulu. Ibu bawa banyak makanan dari rumah saudara." " Ndak usah bu, saya pulang saja." " Ayo Nak Danu, masuk dulu." Aku diam mematung begitu mendengar suara sosok laki-laki paruh baya tadi. Aku rasa beliau ini suaminya Bu Ratih a.k papanya Zidan. " Lain kali saja pak," balasku sopan. " Ayolah mas, masuk dulu." Kini Zidan kembali mengajakku masuk. " Saya juga ingin kenalan sama orang yang sudah berbaik hati menolong anak saya." Lagi-lagi entah kenapa suara papanya Zidan ini membuatku mematung. Suaranya benar-benar terdengar berwibawa. " Ayo Mas Danu, jangan sungkan." Kali ini suara Bu Ratih menginterupsiku. " Ayolah mas," " Ya sudah bu, iya." "..." *** Rara Aku mengikat rambutku asal-asalan dan menancapkan bulpoin disana. Mataku mulai nggak bisa dikompromi. Rasanya ngantuk berat. " Pak Danuuu! Andai lu bukan bos, udah gue sunat anu lo!" aku mengerang tertahan. Anjir banget emang tuh bos satu. Masak iya, kerjaanku dia tambah lagi di bagian accounting. Partnerku kan kebetulan cuti lahiran, nah bukannya cari orang baru malah dilimpahkan semuanya ke aku. Bete nggak sih?! Mana catatan rapatnya juga banyak. Dengan mata setengak melek, aku berjalan keluar kamar menuju dapur. Secangkir kopi hangat kayaknya bisa membantu menahan mataku agar mau melek lebih lama. Padahal ini belum jam delapan, tapi aku udah ngantuk gitu aja. Efek capek ya gini nih, dikit-dikit pengen tidur. Aku barusaja melangkah beberapa langkah menuruni tangga ketika tiba-tiba suara Zidan mengagetkanku. " Nah, itu ma, ada Mbak Rara. Mbak Ra, niat turun pasti mau ke dapur kan? Sekalian bikinin minum buat kita berempat ya!" mata setengah melekku menyipit saat itu juga. Namun ketika ekor mataku menemukan sosok yang akhir-akhir ini membuatku kaya robot, mataku langsung membeliak kaget. Secepat kilat aku langsung mengalihkan pandangan sebelum papa mama lihat ekspresi kagetku. " Nah iya Ra, bikinin minum sekalian ya. Jarang-jarang loh Mas Danu ini mau main ke rumah." Lanjut mama sambil tersenyum kearah Pak Danu sok manis. Dasar mama, masih aja ganjen lihat yang bening-bening. SEKALIAN AJA NGGAK USAH MAIN PAK! Batinku dongkol. Itu manusia satu ngapain coba, bertamu malam-malam begini? " Nggak usah bu, ngrepotin." IYA, NGREPOTIN BANGET. PULANG SANA! " Nggak kok, cuma minum ini." lagi-lagi mama tersenyum. " Kenapa nggak mama aja sih?" balasku akhirnya. " Rara, papa nggak pernah ngajarin kamu ngelawan mama. Ayo, bikinin minum." Timpal papa yang langsung membuatku menciut. Nggak tahu kenapa ya, ucapan papa itu paling nggak bisa aku bantah. Rasanya apapun yang beliau ucapkan seperti perintah yang harus segera dilakasanakan. " Iya pa." "..." *** " Makasih ya Ra, saya dapat oleh-oleh lagi dari mama kamu." Pak Danu tersenyum sambil menenteng plastik berisi makanan yang tadi mama bawa dari rumah Pakde. " Hmmm, buruan pulang gih." " Dejavu." " Apanya?" " Kamu ngusir saya lagi kaya waktu itu." Pak Danu terkekeh. Apanya yang lucu coba? " Gimana nggak diusir kalau bertamunya nggak inget waktu?" " Loh ini masih jam delapan lebih sedikit. Jam bertamu masih ada." " Ah terserah bapak deh." " Lagian tadinya saya mau langsung pulang sehabis nganter Zidan. Eh, malah ketemu papa sama mama kamu. Akhirnya saya disuruh ikut masuk." " Nggak nanya." Timpalku judes. Ini manusia satu betah banget sih? Udah diusir juga, masih nggak sadar diri. " Kamu segitu nggak sukanya sama saya ya?" " Udah jelas masih nanya." " Jadi sudah nggak papa kalau saya pecat?" Dih, anceman basi. " Silahkan saja bapak pecat saya. Biar bagian accounting sekalian kosong." Balasku dengan nada sarkas. " Eh jangan ding, saya masih butuh kamu." " Awas aja ya, kalau bulan ini gaji saya sampai nggak nambah." " Iya, saya janji gaji kamu saya tambah jadi dua kali lipat. Plus bonus karena catetan rapat minggu lalu bagus." Aku tidak bisa menyembunyikan rona bahagia begitu mendengar ucapan Pak Danu barusan. Dua kali lipat plus bonus guys! Gimana nggak seneng coba?! Bisa belanja banyak...! Hehee... " Saya harap kamu lebih banyak tersenyum seperti barusan kalau di kantor." " Hah?" aku melongo. " Kamu itu Ra, banyakin senyum kalau di kantor. Jangan terlalu judes." " Saya nggak judes. Saya ya gini. Kalau nggak ada yang bikin saya seneng, ngapain saya harus senyum? Ntar dikira orang gila lagi." Pak Danu tertawa kecil mendengar jawabanku. " Ya sudah, saya pamit pulang dulu. Salamin ke Zidan, belajarnya suruh lebih rajin lagi." Pak Danu tersenyum manis. Anjir! Kali ini beneran manis, " Kenapa nggak bilang sendiri? Kan udah punya nomornya." " Saya pengennya kamu yang bilang." " Apa bedanya?" " Kamu tadi ngusir saya, tapi kenapa sekarang jadi ngajak ngobrol terus?" Pak Danu menaikkan sebelah alisnya sambil tertawa miring. Praktis aku mendengus. " Ya udah buruan sana pulang." Ucapku cepat sebelum akhirnya aku balik badan dan berjalan masuk rumah. " Ra..." aku menoleh sejenak begitu Pak Danu memanggilku. Apa lagi sih? " Kamu cantik, kalau senyum kaya tadi." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN