Tidak Punya Hak

1003 Kata
Shanty tidak bisa berkutik lagi saat pak Hendra datang menghampiri nya. Ia tertunduk malu dan tidak bisa merubah keadaan yang sudah berantakan itu. "Apa yang sedang kamu lakukan, Shanty? bukannya kerja, malah bikin onar di sini," kata pak Hendra dengan suara meninggi bak seperti suara tenor yang menggema. Kekisruhan yang sudah terjadi, membuat Keyla meneteskan air mata. Rasa sakit pada hatinya membuat pak Hendra, Izma dan yang lainnya merasa iba. Andai saja Shanty tidak melabrak nya, pasti dirinya tidak akan se-cengengeng itu. "Maaf, Pak. Sa-saya hanya ingin membuat perhitungan saja sama dia," kata Shanty gugup. "Apa! Perhitungan?" ucap pak Hendra dengan sorot mata yang tajam. "Iya! Karena saya tidak suka ada orang asing yang menggantikan posisi saya dalam bekerja, makanya saya marah sama dia," kata Shanty dengan tegas. Dia bahkan masih tidak bisa menatap ke arah pak Hendra karena malunya masih kian berkecamuk di dasar hatinya. "Kalau kamu tidak suka, kenapa marahnya sama Keyla? Kenapa tidak sama saya? Kan saya yang mengatur semuanya, bukan Keyla," tutur pak Hendra. "Ma-maafkan saya, Pak. Saya—" Belum juga Shanty selesai bicara, pak Hendra pun langsung menyelanya. "Kamu tidak punya hak untuk memarahi orang tanpa sebab, Shanty. Apa ini caramu bekerja di perusahaan saya?" "Maaf, Pak. Saya salah," ucap Shanty pelan. "Kamu tahu tidak, kenapa saya gantikan posisi kamu dengan Keyla?" tanya pak Hendra sembari mendekap tangan di dadanya. Shanty pun menggeleng cepat karena memang dirinya tidak tahu. Bahkan Shanty pura-pura tidak merasa kalau pak Hendra sudah mencurigai dirinya karena keuangan perusahaan nya sedang tidak beres. "Nah, kalau tidak tahu, jangan sembarangan memarahi orang dong, Shanty! Posisi yang saya berikan pada kamu itu tidak rendah-rendah amat," kata pak Hendra dengan tegas. "Dan kedua pekerjaan yang saya berikan pada kalian berdua juga sama-sama berperan penting bagi perusahaan ini. Jadi, stop jangan saling iri dan saling membenci, dan saya tidak suka ada kejadian yang seperti ini lagi. Paham kan maksud saya?" Shanty pun mengangguk sambil menyeka air matanya. Begitu juga dengan yang lainnya, mereka semua terdiam, terutama Keyla yang sedari tadi hanya bisa menundukkan kepalanya saja. Setelah pak Hendra memberikan nasehat kepada Shanty, kini laki-laki paruh baya itu meminta untuk saling damai dan saling bekerja dengan secara profesional. Dengan terpaksa Shanty meminta maaf kepada Keyla atas perbuatannya yang sudah membuat keonaran di ruangan tersebut. "Ya sudah, kalian bubar dan selesai kan pekerjaan kalian dengan baik. Saya akan tetap awasi kalian, walau saya sedang pergi ke luar kantor," kata pak Hendra. Semua karyawan nya pun langsung bubar meninggalkan ruangan nya Keyla. Sementara, Izma dan Keyla mengucapkan rasa terimakasih nya kepada pak Hendra, karena susah membuat situasi menjadi aman kembali. "Oh iya, Pak. Mengenai masalah Shanty, saya rasa dia terlalu arogan dan sombong. Bukan hanya sekali ini saja, tapi yang aku lihat sudah beberapa kali dia memperlakukan karyawan baru seperti itu," celetuk Izma kepada pak Hendra agar sang pemilik perusahaan itu tahu bagaimana sikap Shanty yang sebenarnya. "Iya, saya juga sudah tahu. Semua yang Shanty lakukan, saya sudah tahu. Hanya saja, saya masih punya hati untuk memberikan kesempatan agar dia sadar apa yang sudah dia perbuat di perusahaan saya. Tapi, entah lah. Kita lihat saja nanti," ucap pak Hendra dengan santainya. "Baik Pak, terimakasih banyak atas semuanya," ucap Izma dengan sopan. "Iya, silahkan kalian bekerja dengan baik, kalau terjadi sesuatu lagi, langsung saja hubungi saya atau pak Toni, dia pasti akan sigap membantu semua karyawan saya jika sedang ada masalah," kata pak Hendra tersenyum kecil. Laki-laki paruh baya itu, langsung meninggalkan ruangan Keyla. Dan kini, hanya mereka berdua yang ada di ruangan tersebut. "Baiklah, Key. Kita teruskan yang tadi. Dan aku juga akan mengajarimu apa saja yang harus kamu lakukan selama menjadi pemegang keuangan di perusahaan ini. Harusnya sih yang mengajari kamu itu, si Shanty. Tapi pak Hendra mempercayakan tugas ini sama aku," kata Izma. Wanita berambut pendek itu memperlakukan Keyla dengan sangat baik. Sehingga Keyla pun langsung nyaman ketika diajari oleh Izma, sahabat pertamanya saat berada di kantor. *** Sementara di tempat lain, Bu Rumli terus saja menghubungi anak semata wayangnya karena sudah sangat rindu dengan kehadirannya. Ardian dan Zeline, bahkan belum bisa menerima telepon nya karena mereka berdua sedang berada di suatu tempat untuk menambah liburan nya selama beberapa hari ini. Akan tetapi, yang namanya seorang ibu ketika sedang merindukan anaknya, pasti ia akan terus berusaha agar keinginannya dapat tercapai. Dengan mengklik beberapa kali tombol teleponnya, Bu Rumli terus saja berharap sampai Ardian benar-benar menerima panggilan darinya. Dan tidak lama kemudian, Ardian pun segera menerima telepon dari Bu Rumli. Wanita paruh baya itu sangat senang tidak terkira. Kini ia bisa menyapa anaknya walau sinyal telepon seluler sangat menggangu. Wajar, menelpon ke luar negeri, pasti selalu ada kendala dari sinyal walau cuma sebentar. "Sayang, pokoknya kalian berdua cepat pulang ya, mama sudah sangat rindu sama kalian berdua. Apa kalian tidak merindukan mama gitu? Sampai-sampai waktu liburan kalian terus bertambah?" tanya Bu Rumli dengan manjanya. "Iya, Ma. Aku pasti akan pulang secepatnya. Mama jangan khawatir, kita di sini baik-baik saja," kata anaknya itu di ujung telepon. "Pastinya kapan? Kasihan loh papa kamu kerja sendirian," kata Bu Rumli. Ia sengaja berbicara seperti itu agar anaknya cepat pulang. "Besok deh, Ma. Aku dan Zeline pasti pulang. Tolong sampaikan permintaan maaf kita pada papa ya," kata Ardian di ujung sana. "Iya, iya. Tapi nanti kalau pulang jangan lupa bawa oleh-oleh ya," kata Bu Rumli dengan sumringah. "Memangnya mama mau dibawain apa? Tas? Baju? Atau—" Belum juga Ardian selesai bicara, Bu Rumli langsung menyela nya. "Mama oleh-oleh nya mau cucu!" "Loh, mana bisa begitu, Ma! Kitakan di sini sedang bulan madu, masa pulang-pulang langsung bawa seorang cucu?" kata Ardian. "Kan bisa jadi pulang-pulang Zeline langsung hamil!" kata Bu Rumli. "Sudah lah, ayo tutup telepon nya nanti biayanya mahal!" Setelah mengakhiri percakapan dengan anak semata wayangnya itu, Bu Rumli segera menyimpan telepon nya. Rasa bahagia masih saja menyelimuti hati nya. Apalagi, sekarang ia sudah mempunyai seorang menantu, hatinya semakin terasa istimewa. "Semoga saja Tuhan mendengar ucapan kita, Nak. Mama sudah tidak sabar ingin segera menggendong cucu," kata Bu Rumli sembari senyam-senyum sendiri. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN