6. Bagaimana, Dok?

1897 Kata
Dokter Reza berdecak sendiri. Kepalanya spontan menggeleng cepat. Dia memikirkan apa, sih, barusan? Laki-laki itu merasa otaknya mulai korslet. "Kenapa, Dok?" Gerak-geriknya ternyata tidak luput dari pengamatan Maya. Gadis itu bertanya ingin tahu. "Kenapa, apanya?" tanyanya berlagak tidak acuh, berusaha mengelak dari kejaran Maya. Lagi pula, memangnya dia harus menjawab bagaimana pada gadis itu? Menjelaskan apa yang baru saja dia pikirkan? Tentu saja tidak mungkin. Mau diletakkan di mana mukanya? Bisa terjun bebas harga dirinya. "Dokter kenapa tiba-tiba berdecak sambil menggeleng begitu? Ada yang Dokter pikirkan?" "Enggak apa-apa. Saya tidak memikirkan apa-apa," elaknya. "Masa, sih?" "Iya." "Tapi tingkah Dokter aneh." "Aneh bagaimana?" "Ya, aneh! Seperti gugup dan salah tingkah begitu." Dokter Reza mengembuskan napas kasar. Dalam hatinya sedikit merutuk, bagaimana gadis itu bisa menebak dengan tepat bahasa tubuhnya? "Kepo saja kamu! Selalu saja ingin tahu urusan orang," ucapnya ketus. "Ya, cuma penasaran saja, Dok. Apa salahnya 'kan?" "Ya, Salah! Kebiasaan! Selalu usil sama urusan orang." "Enggak juga. Saya tidak selalu usil sama urusan orang. Cuma kadang-kadang usil sama urusan Dokter saja, sih." "Kenapa usil sama saya?" "Enggak tahu. Suka saja rasanya kalau bisa ngusilin, Dokter." "Begitu?" "Iya." Kedua sudut bibir Dokter Reza terangkat tipis. Entahlah, kenapa dia justru merasa senang ketika tahu perawatnya itu hanya suka usil pada dirinya saja. "Kalau begitu lanjutkan!" ucapnya spontan. "Apa, Dok?" "Heh?" "Dokter bilang apa barusan?" "Saya enggak bilang apa-apa!" "Ada!" "Enggak ada!" "Ada, Dok. Apa Dokter senang saya usili?" "Ngaco kamu!" "Jujur juga gak apa-apa kali, Dok." "Mana ada orang yang senang diusili." "Terus tadi Dokter bilang lanjutkan itu apa yang dilanjutkan? Lanjutkan usilnya 'kan?" "Saya enggak ada bilang apa-apa, Maya. Kamu salah dengar. Atau mungkin itu suara kotoran kuping kamu saja kali yang berguling. Makanya kalau punya telinga itu dibersihkan!" "Astaghfirullahal'azim, Dokter! Sekata-kata kalau ngomong." Maya merengut sebal, terlebih saat melihat Dokter Reza tertawa puas. Bibirnya serta merta mengerucut. *** Jarak yang mereka tempuh membutuhkan waktu kurang lebih empat jam perjalanan. Baru separuh perjalanan, Maya sudah tidak mampu menahan kantuknya. "Kalau ngantuk tidur saja, May. Enggak apa-apa," ucap Dokter Reza setelah beberapa kali melihat perawatnya itu menguap. Dia sebetulnya butuh teman mengobrol, sebab mengemudi dalam jarak jauh dan waktu yang lama juga dapat membuatnya mengantuk. Tentu saja hal itu cukup berbahaya. Akan tetapi, melihat Maya yang terus menguap karena menahan kantuknya, bahkan beberapa kali tidak sengaja terlelap lalu terbangun kaget membuatnya merasa tidak tega. "Benaran enggak apa-apa, Dok?" tanya Maya memastikan. "Iya, enggak apa-apa. Tidurlah." Maya tersenyum, bukan hanya karena Dokter Reza mengijinkannya tidur, melainkan laki-laki itu berbicara dengan lembut. Boleh dibilang tidak pernah Dokter Reza bicara selembut itu padanya, selalu saja dingin dan ketus. Jadi sekali ia berbicara lembut, Maya merasa hatinya begitu sejuk. "Terima kasih, Dok." "Hmm." Yah, laki-laki itu dingin lagi. Maya merengut kecewa. Rasa kantuk yang Maya rasakan sudah tidak tertahankan lagi. Dia memiringkan tubuhnya sedikit membelakangi Dokter Reza lalu mulai memejamkan mata. Hanya dalam hitungan menit, ia sudah terlelap. Dengkuran halus begitu saja keluar dari bibirnya. Dokter Reza menatap sekilas sosok yang ada di sampingnya itu. Bibirnya seketika menguntai senyum. Dia tidak tahu, entah mengapa hatinya begitu suka cita dapat melihat wajah polos yang tengah terlelap itu. Perasaannya, tidak bisa ia jelaskan secara gamblang apa yang pantas untuk menggambarkannya. Satu hal yang pasti, rasanya ia ingin memandangi wajah damai yang terlelap itu seharian. Melihat wajah Maya, membuat hatinya seolah dipenuhi aneka warna. Dokter Reza memutuskan untuk menghentikan mobilnya sejenak. Ia menekan rem perlahan agar tidak mengejutkan gadis di sampingnya. Lalu dengan sangat pelan, ia memalingkan wajah Maya agar menghadap ke arahnya. "Kemana saja saya selama ini, May. Mengapa saya tidak sadar jika kamu begitu cantik dan menarik. Mengapa baru sekarang saya sadar, bahwa begitu menyenangkan saat bersama kamu." Dokter Reza tidak bisa menahan jemarinya untuk tidak menelusuri setiap inchi pipi lembut Maya. Pipi itu begitu putih dan bersih, juga kenyal. Tak luput ujung telunjuknya menyentuh bagian tengah pipi yang kerap menampilkan ceruk setiap gadis itu tersenyum. Seketika ia merasakan dadanya berdebar kencang ketika jari kasarnya menyentuh kulit halus perawatnya itu. Hatinya berdesir halus, geli seolah ada yang menggelitik. "Jadilah milik saya, May," ucapnya lirih. Sayangnya kata itu hanya berani ia ucapkan ketika gadis itu sedang terlelap, sehingga tidak ada jawaban yang diterima. Di saat Maya bangun, ia justru merasa begitu gengsi untuk mengakui jika telah jatuh hati. Dokter Reza mengambil ponselnya. Ia lantas menyalakan kamera, lalu mengarahkan benda pipih persegi panjang itu pada Maya. Ia ingin memiliki paling tidak satu foto Maya, agar dapat dipandangi saat sedang sendiri. Setelah merasa cukup, Dokter Reza kembali menyalakan mesin kendaraannya, lalu melajukan roda empat itu ke kota tujuan. Sepanjang sisa perjalanan, tak henti ia melirik wajah damai yang masih terlelap dalam tidurnya itu, menikmati sepuasnya tanpa harus curi-curi pandang. Bibirnya pun tak henti menguntai senyum bahagia. *** Menjelang tengah hari, mobil yang dikendarai Dokter Reza mulai memasuki kawasan kota Ngabang. Ia sedikit memperlambat laju kendaraan, lantas menoleh pada Maya yang masih terlelap. Dipandanginya sebentar wajah manis itu sekali lagi, sebelum memanggil untuk membangunkan. "Bangun, May. Sudah sampai," ucapnya pelan seraya menggoyang bahu Maya perlahan. Hening. "May ...." Ia mengulanginya lagi ketika gadis itu tidak merespon. "Hmm?" Maya menggeliat, memicingkan mata menatap Dokter Reza dengan linglung, lalu menguap sambil berusaha mengembalikan kesadaran. Dokter Reza terkekeh geli melihat ekspresi perawatnya itu. Apalagi ketika Maya tampak gelagapan setelah menyadari sedikit sudut bibirnya basah oleh iler. Bukannya merasa ill feel, baginya Maya justru terlihat lucu dan semakin menggemaskan. "Sudah sampai, Dok?" tanya Maya sambil memindai sekeliling. "Sedikit lagi," sahut Dokter Reza singkat. Seketika bicaranya berubah ketus kembali. Entahlah, dia sendiri merasa heran mengapa begitu susah untuk bersikap lembut di depan Maya. "Ini kita di mana?" "Sudah masuk wilayah kota Ngabang." "Maksud saya, spesifik nama tempatnya." "Ya, spesifiknya ini kota Ngabang, Maya." "O ...." Maya mengangguk sok paham. Padahal dia benar-benar buta daerah ini. "Kita mau langsung ke hotel apa cari makan dulu?" tawar Dokter Reza. "Singgah dulu boleh, Dok. Saya haus pengen minum yang dingin-dingin." "Minum saja apa sekalian makan?" "Makan juga boleh, Dok. Di tempat makan 'kan pasti ada minumnya. He he," sahut Maya diiringi tawa cengengesan. Padahal belum tepat tengah hari, entah mengapa ia merasa perutnya sudah menunjukkan gejala lapar. "Mau makan apa?" "Apa aja, Dok. Yang penting halal dan sudah matang. Saya enggak cerewet, kok, orangnya." Dokter Reza mengembuskan napas panjang perlahan. Dia sering mendengar atau membaca konten-konten di sosial media, bahwa perempuan itu bisa menentukan apa saja, kecuali apa yang ingin dia makan. Dan sekarang dia mengalami sendiri bahwa semua itu benar adanya. "Nasi Padang mau?" tawarnya ketika mereka melewati sebuah rumah makan Padang. "Duh, jangan nasi Padang, deh, Dok. Sudah keseringan makan itu saya." "Terus apa?" "Apa aja selain nasi Padang." "Katanya terserah." "He he. Iya, terserah, Dok. Tapi jangan nasi Padang. Lagi pengen yang lain." "Nasi uduk?" "Yang ada kuahnya gitu, lho, Dok." Fix! Kalau diajak makan, perempuan memang suka ribet. Padahal katanya terserah. *** "Za, di Ngabang kamu menginap di rumah Uwak Jum, ya. Jangan di hotel! Sudah beberapa kali kamu ke Ngabang, jangankan menginap, mampir juga enggak. Beliau marah." Sebuah pesan singkat dari Arumi masuk ke ponsel Dokter Reza. Laki-laki itu menghela napas dalam. Beberapa kali yang dimaksud Arumi itu hanya satu kali. Waktu itu dia ada kegiatan mengisi seminar yang diselenggarakan dinas kesehatan kabupaten Landak. Kegiatan dilaksanakan di hotel, akomodasi pun diharuskan di sana. Maka menginaplah dia di hotel. Selesai kegiatan, karena sudah malam dan besoknya harus bekerja, dia langsung pulang dan tidak mampir. Celakanya, yang satu kali itu selalu saja diingat dan dijadikan ghibah oleh Uwak Jum setiap ada kesempatan, selalu dijadikan alasan untuk menyudutkan dirinya. Padahal, selebih dari satu kali itu, dia selalu menginap di rumah kakak perempuan dari wanita yang telah melahirkannya itu jika sedang berkunjung ke kota kelahirannya. Hari ini dia membawa Maya bersamanya. Jika menginap di rumah Uwak Jum, dapat dipastikan akan banyak pertanyaan yang akan dia terima perihal siapa Maya? Apa hubungan mereka? Akan bagaimana dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul nanti? Apa mereka percaya jika dijawab bahwa dia dan Maya hanya hubungan dokter dan perawat? Tidak ada yang lebih? Oleh karena tidak ingin ditanya itulah dia memutuskan untuk mengajak Maya menginap di hotel. Keberadaan Maya bersamanya pun dirahasiakan dari kedua orang tuanya. Masa iya kemudian lebih dulu dikenalkan kepada uwaknya? Bisa merajuk dua manusia yang menjadi perantaranya ada di dunia itu nanti. Dia berencana akan mengenalkan Maya jika sudah resmi mengikat gadis itu dalam sebuah hubungan. Eh, bagaimana? Hubungan? Mikir apa barusan? Dokter Reza menepuk dahinya sendiri. Apa Maya diinapkan di hotel dan dia di rumah Uwak Jum? Tega sekali dia jika melakukan hal itu. Dokter Reza mengembuskan napas frustrasi. Mengapa kondisi seolah menjadi rumit? "Iya, Bun." Akhirnya ia hanya bisa menurut. Membantah ucapan Arumi hanya akan menciptakan perang dunia sepulangnya nanti. "Ada apa, Dok?" Maya menatap penasaran ketika Dokter Reza meletakkan ponselnya ke atas meja sambil mendesah resah. Dokter Reza menggeleng pelan, "tidak ada apa-apa," sahutnya. Matanya menatap dalam gadis di depannya yang tengah menyuap bakmie dengan lahap. Sedikit saos bercampur kecap menempel di sudut bibirnya. Akhirnya, pilihan mereka jatuh pada bakmie Singkawang. Maya tiba-tiba ingin mencicipi makanan yang konon katanya khas dari kota Amoy itu. Ya, walaupun makan bakmie Singkawang tidak di kota aslinya, melainkan di kota Ngabang. "Benaran enggak ada apa-apa, Dok? Enggak ada masalah?" tanya Maya tidak percaya. Jika tidak ada masalah, mengapa laki-laki itu terlihat susah? "Enggak." Dokter Reza kembali menggeleng. "Oh, syukurlah kalau begitu." Gadis itu kembali menyuap bakmie-nya. "Makannya pelan-pelan saja, May. Lihat bibir kamu sampai belepotan begitu." Dokter Reza gemas melihat bibir Maya yang semakin bertambah belepotan. Tangannya lantas terangkat, lalu ujung ibu jarinya mengusap pelan bibir gadis di depannya itu, membersihkan kuah saos dan kecap yang menempel di sana. "Jangan buru-buru. Saya enggak akan ninggalkan kamu, kok. Apalagi makan jatah kamu. Kalau misalnya kurang, boleh nambah sepuasnya," ujarnya sembari menarik tangannya kembali. Lalu, diam-diam, sembunyi-sembunyi, dia mengisap ujung ibu jarinya, merasakan sisa bibir Maya di sana. Hah! Walaupun laki-laki, tetapi dia juga bisa merasa jantungnya sedang tidak aman di dalam sana. Jumpalitan ke sana ke mari. Jedag jedug tidak karuan. Andai saja boleh, rasanya ingin dia mengisap langsung bibir tipis perawatnya itu, melumatnya sampai puas. Fix! Otaknya benar-benar korslet. "Terima kasih, Dok. Maaf." Maya menunduk malu. Bagaimana bisa dia makan sampai belepotan begitu? Di depan dokter pujaan pula. Mungkin karena begitu excited bisa menemukan makanan itu di kota kecil ini, membuatnya begitu bersemangat menikmatinya. Dia kemudian mengusap bibirnya yang tadi sudah dibersihkan Dokter Reza, khawatir kalau-kalau masih belepotan. "Hmm." Dokter Reza menyahut singkat. Ia berdeham membuang salah tingkah seraya mengalihkan pandangan ke sudut lain. Melihat Maya mengusap bibir sendiri, otaknya terasa kian korslet. Benar-benar kacau! *** "Ini rumah siapa, Dok?" Maya memerhatikan rumah cukup besar dengan desain minimalis yang ada di hadapan mereka. Usai makan siang tadi, Dokter Reza mengarahkan mobilnya menuju rumah ini. "Rumah uwak saya," sahut Dokter Reza singkat. "Uwak?" "Iya. Kakak dari Bunda." "O ...." Maya mengangguk paham, teringat sebelumnya cerita Dokter Reza bahwa ia mempunyai keluarga di sini. "Ayo, turun," ucap Dokter Reza. Ia lantas membuka pintu untuk sendiri, diikuti Maya yang menyusul melalui pintu di sampingnya. Dokter Reza melangkah menuju belakang mobil, membuka pintu bagasi untuk mengambil tas miliknya dan juga Maya. "Lho? Kenapa tasnya dikeluarkan, Dok?" tanya Maya saat melihat laki-laki itu mengeluarkan tas mereka. "Memangnya kamu mau ganti baju di mobil?" sahut Dokter Reza asal. "Apa kita menginap di sini?" tanya Maya lagi. "Iya." "Lho, katanya di hotel?" "Nginap di hotel nanti saja tunggu kita bulan madu." "Hah? Bagaimana, Dok?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN