"Enggak makan, May?"
Dokter Reza memerhatikan Maya yang belum mau beranjak dari tempat duduknya. Perawatnya itu tampak begitu takjub menyimak rangkaian acara resepsi yang dipertunjukkan Agung dan Rumaisha. Beberapa kali ia bahkan terlihat berdecak kagum.
"Nanti saja, Dok," balas Maya masih tetap enggan beranjak.
Saat pertama kali memasuki ruangan resepsi tadi, dia sudah dibuat kagum oleh dekorasi yang menurutnya begitu indah. Untaian bunga Crisant putih yang menghias ruangan begitu memukau perhatiannya.
Selanjutnya, dia pun dibuat terpesona oleh penampilan duet Agung dan Rumaisha dalam membawakan lagu Penghujung Cinta yang dipopulerkan oleh Pasha Ungu featuring Adel.
Suara kedua mempelai itu memang tidaklah sempurna. Akan tetapi, jiwa dari lagu itu benar-benar sampai di hati, membuat siapa saja yang mendengarnya, terutama Maya, bawa perasaan.
Lalu, sekarang dia sampai tidak bisa berkata-kata ketika menyaksikan Agung menyampaikan seuntai aksara untuk Rumaisha. Kata demi kata yang diucapkan mempelai pria itu, mampu membuatnya begitu terharu.
(Kisah Agung dan Rumaisha dapat dibaca di n****+ STEPMOTHER LOVE)
"Ini, May."
Maya sedikit terkejut ketika Dokter Reza menyentuh pundaknya. Semakin terkejut ketika melihat apa yang laki-laki bawa.
"Kok, diambilin, Dok?" tanyanya setengah tidak percaya. Tidak dia sangka, Dokter Reza tiba-tiba mengulurkan satu piring nasi lengkap dengan lauk pauk padanya.
"Makan dulu."
Setelah Maya menerima piring yang ia ulurkan, Dokter Reza segera duduk di samping gadis itu. Kemudian ia mulai menyuap nasi di piring sendiri.
"Tadi siang kamu hanya makan sedikit bakmie. Kalau enggak segera diisi kembali, nanti perut kamu masuk angin," ucapnya di sela kunyahannya.
Maya tersenyum senang. Jarang-jarang dokternya itu bersikap baik padanya.
"Iya, Dok. Terima kasih," ucapnya.
"Saya enggak mau repot kalau sampai kamu masuk angin," ucap Dokter Reza datar, "saya sudah berjanji sama orang tua kamu untuk membawa kamu pulang sebagaimana kondisi saat kamu berangkat."
Ucapan Dokter Reza seketika memupus senyum di bibir Maya yang tadi terkembang. Baru saja jiwanya serasa melayang, sudah dijatuhkan kembali.
Maya pikir laki-laki itu tulus mengambilkannya nasi karena perhatian, ternyata cuma karena tidak mau repot. Bibir Maya mengerucut sebal. Namun, tak urung makanan itu ia santap juga.
"Kamu kelihatan menikmati sekali acaranya."
Setelah beberapa lama terdiam karena fokus dengan suapannya, Dokter Reza memulai obrolan di sela-sela kunyahan.
"Iya, Dok." Maya mengangguk antusias membenarkan ucapan Dokter Reza. Wajahnya seketika berbinar.
"Kenapa?" tanya Dokter Reza ingin tahu. Dia menghentikan suapannya, lalu menoleh pada Maya.
"Ini pernikahan yang hebat, sih, menurut saya, Dok. Dari sekian banyak resepsi yang saya hadiri, ini merupakan salah satu yang terkeren."
"Oh, ya?"
"Huum."
"Hebat bagaimana?"
"Ya, hebat. Saya bisa melihat cinta yang begitu besar dari pengantin lelaki ke pengantin perempuannya. Bagi saya sebagai perempuan, yang berkesan itu bukan sekadar mewahnya acara, tapi rasa dicintai. Andai saja ada laki-laki yang begitu mencintai saya seperti itu."
"Tentu saja ada. Dia nanti yang akan jadi suami kamu," balas Dokter Reza sambil kembali melanjutkan suapannya.
"Siapa kira-kira, Dok?" Maya bertanya antusias. Dia begitu ingin tahu, siapa laki-laki yang dibicarakan Dokter Reza. Akan tetapi, Dokter Reza justru bergeming. Laki-laki itu memilih tidak menanggapi pertanyaan Maya, membuat gadis itu merengut kecewa.
"Dok ...." Setelah beberapa lama hening, Maya kembali memecah kebisuan di antara mereka.
"Hmm?"
"Jujur, saya merasa iri sama pengantin perempuannya."
"Iri bagaimana?"
"Ya iri. Dia benar-benar perempuan yang sangat beruntung. Di sana cinta suaminya begitu besar. Di sini cinta Dokter pun tidak kalah besar."
Dokter Reza lagi-lagi menghentikan suapannya. Ia menatap Maya dengan perasaan tidak nyaman.
"Wajar, sih, kalau banyak yang cinta sama dia. Dia cantik banget," lanjut Maya pelan.
Dokter Reza mengembuskan napas secara perlahan, kemudian memasukkan suapan terakhirnya, "Kamu juga cantik banget, kok, May," ucapnya kalem.
***
"Hei, Za! Ternyata kalian juga di sini?"
Baru saja Dokter Reza dan Maya menyelesaikan makan mereka, satu suara dari belakang mengagetkan keduanya.
"Rovi?" Dokter Reza menatap si Pemilik suara dengan sorot setengah tidak percaya. Bagaimana mungkin sepupunya itu ada di sini? Apa dia sengaja mengikuti untuk meminjam Maya?
"Yap!"
"Lo ngapain nyusul kita sampai ke sini?"
"Ge-er! Siapa juga yang nyusul kalian? Gue ke sini juga diundang."
"Enggak ada alasan lain yang lebih bisa dipercaya?"
"Lo tahu pengantin laki-laki itu?"
"Hmm!"
"Dia kerja satu kantor sama gue!"
"Ooo ...."
Dokter Reza mengangguk paham. Dia pernah tahu jika Agung bekerja di kantor pemerintahan daerah kota ini. Rovi juga bekerja di sana. Syukurlah jika ternyata tempat undangan yang mereka tuju ternyata sama. Jadi tidak ada alasan bagi Rovi lagi untuk meminjam Maya. Tidak mungkin mereka membawa gadis yang sama. Lagi pula, dia tidak rela Maya dipinjam oleh siapa pun.
"Oke, Rov. Kalau begitu kami duluan." Dokter Reza beranjak dari duduknya.
"Eh, enggak barengan, Za? Bentaran lagi. Gue belum selesai makan."
"Ogah banget gue barengan sama Lo!"
"Kenapa emang?"
"Takut dicaplok komodo entar gue rabies."
"Asem!"
Dokter Reza terkekeh ringan. Ia tidak menggubris sepupunya yang menggeram kesal, justru meraih tangan Maya dan menggenggamnya erat.
"Ayo, May," ucapnya. Ia menggandeng perawatnya itu menuju pelaminan untuk memberi selamat pada kedua mempelai, meninggalkan Rovi yang mengumpat saat melihatnya menggenggam tangan Maya.
"Terima kasih sudah mau hadir, Dokter." Agung menyambut hangat begitu Dokter Reza dan Maya sampai di pelaminan.
"Sama-sama. Terima kasih juga sudah mengundang saya," balas dokter Reza tidak kalah hangat. Senyum ramah terlukis di bibirnya.
"Ini siapa, Dok?" Netra Agung mengarah pada Maya yang berada di belakang dokter Reza.
"Oh, ini? Dia calon saya. Doakan semoga sebentar lagi kami segera menyusul," sahut dokter Reza.
"Aamiin. Semoga disegerakan, Dok. Lancar hingga hari H."
"Aamiin. Terima kasih, Pak Agung."
"Sama-sama."
Di sana, hanya Maya yang mengira jika doa yang dipinta dokter Reza itu tidak tulus.
***
"Mau jalan-jalan dulu enggak, May?" Usai turun dari pelaminan, Dokter Reza bertanya pada Maya.
"Jalan-jalan kemana, Dok?"
"Di sini sebenarnya enggak ada tempat yang khas, sih. Kotanya juga kecil. Tapi kalau kamu mau, kita bisa keliling untuk melihat-lihat suasana kota. Paling enggak kamu kenal sedikit-sedikit daerahnya, sebagai tanda kalau pernah datang ke sini."
Maya mengerjap sejenak, menatap tidak percaya pada Dokter Reza yang tiba-tiba bicaranya berubah lembut.
"Mmm .... Boleh, Dok," sahutnya kemudian.
"Mau?"
"Iya."
"Ayo!" Refleks Dokter Reza meraih tangan Maya dan menggandengnya menuju mobil.
"Dok?"
"Hmm?"
"Apa masih perlu gandeng tangan? 'Kan undangannya sudah lewat?"
"O, iya," sahut Dokter Reza kikuk, lalu segera melepaskan genggamannya pada Maya.
"Dokter dulu benaran tinggal di kota ini?" tanya Maya setelah mereka berada di dalam mobil. Ia tengah asyik memindai setiap jalan yang dilalui, memerhatikan kiri dan kanan sambil mencari tempat yang menurutnya menarik. Dokter Reza membawa mobil dengan sangat pelan, sehingga Maya bisa melihat dengan jelas kondisi sekitar.
"Iya," sahut Dokter Reza singkat, "kenapa?"
"Kenapa kemudian pindah?"
"Ayah dipindah-tugaskan oleh kantor ke Pontianak. Jadi, ya, saya sebagai anak juga ikut pindah."
"Ooo ...." Maya mengangguk paham.
"Di sini banyak intan, ya, Dok? Makanya dijuluki kota intan?" Ia bertanya kembali.
"Iya. Dulu banyak sekali ditemukan intan oleh warga di sepanjang perairan. Mereka mengambil pasir dan kerikil, lalu dilimbang dengan alat khusus. Cuma sekarang sudah sangat jarang ditemukan intan."
"O, begitu?"
"Huum."
"Di daerah sini benaran banyak air terjun, Dok? Kata Bang Rovi di sini banyak air terjun."
"Banyak, tapi enggak di dalam kota. Agak masuk sedikit ke pedalaman."
"Jauh, Dok?"
"Lumayan."
"Dokter pernah ke sana?"
"Pernah beberapa kali. Kamu mau pergi ke sana?"
"Mau banget sebenarnya, Dok."
"Kalau begitu lain waktu kita pergi."
"Benaran Dokter mau ajak saya?"
"Jika kamu mau."
"Mau banget, Dok. Kapan?"
"Ya, kapan-kapan kalau waktu luang."
"Wah, terima kasih, Dok."
"Sama-sama."
"Eh, Dok?"
"Hmm?"
"Tumben hari ini Dokter baik banget?"
"Bukannya saya memang selalu baik?"
"Ish, ge-er!" Maya mencebik, membuat Dokter Reza terkekeh geli.
"Tapi ajakan saya ini enggak gratis, lho, May," ucap Dokter Reza kemudian.
"Iya, Dok. Saya bakal bayar uang bensinnya."
"Bukan itu maksud saya."
"Terus apa kalau begitu?"
"Ada. Nanti kalau waktunya tiba, saya beri tahu."
"Dih, pakai rahasia-rahasia segala, Dok?"
"Bukan rahasia, tapi belum waktunya."
"Sama saja." Lagi-lagi Maya mencebik dan lagi-lagi Dokter Reza terkekeh geli.
"Kamu mau mampir ke Taman Kota?" Dokter Reza menunjuk sebuah tempat yang lumayan ramai yang berada di sisi kanan mereka. Sebuah plang nama cukup besar tertulis di sana, TAMAN KOTA INTAN.
"Ada apa memangnya di sini, Dok?"
"Saya juga sudah lama tidak ke sini. Jadi tidak tahu ada apa di dalamnya. Dulu tempat ini tidak seramai ini. Kalau mau tahu ada apa di sini, ya, kita harus mampir," balas Dokter Reza.
"Boleh, Dok, kita mampir."
"Oke. Sebentar, saya parkir dulu."
Dokter Reza mengarahkan mobilnya pada sisi taman yang memang di peruntukkan sebagai tempat parkir. Setelah merasa pas, dia segera turun dari mobil, diikuti Maya dari pintu berlawanan.
Malam ini malam Minggu. Jadi Taman Kota cukup ramai. Pada bagian luar, ada banyak pedagang makanan yang menjejer gerobak mereka di sepanjang sisi taman.
Dokter Reza meraih tangan Maya dan menggandengnya saat mereka memasuki gerbang taman.
"Jangan jauh-jauh. Nanti kamu hilang jejak saya repot," ucapnya.
Modus!
Padahal Taman Kota Intan sama sekali tidak luas, tidak akan membuat orang tersesat dan hilang. Apalagi ada ponsel yang dapat dengan mudah mencari keberadaan seseorang. Dokter Reza menyadari, sepertinya dirinya sudah keenakan menggenggam tangan Maya.
Bergandengan tangan, keduanya mengitari isi taman. Tempat ini memang cocok digunakan untuk famili time. Ada banyak wahana permainan anak-anak yang disediakan di sana. Orang tua bisa menyenangkan hati putra putri mereka tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam.
Di sepanjang sisi taman, disediakan tempat duduk yang dapat digunakan untuk bercengkrama sembari menikmati alam bebas.
Setelah cukup lama dan puas mengitari taman, Maya mengajak Dokter Reza duduk pada salah satu kursi.
"Kamu kenapa?" Dokter Reza menatap Maya yang menunduk sambil memijat-mijat betisnya.
"Pegel, Dok," sahut Maya sambil cengengesan malu. Ia menggunakan high heels saat pergi undangan tadi. Jadi kakinya terasa pegal. Pada dasarnya, ia memang jarang menggunakan high heels. Bahkan saat bekerja, ia lebih sering menggunakan sepatu kets. Jika pun mengenakan pantofel, ia memilih hak yang tidak terlalu tinggi.
"Sepatumu terlalu lancip dan tinggi, makanya pegal," ucap Dokter Reza.
"Iya, Dok. Menyesuaikan gaun dan momen. Lagi pula saya enggak tahu kalau Dokter ngajak jalan-jalan ke sini," balas Maya.
"Ya, sudah. Kalau begitu kamu tunggu di sini sebentar."
"Dokter mau kemana?"
"Saya ke sana sebentar. Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana."
Dokter Reza segera beranjak, lalu melangkah keluar gerbang taman, meninggalkan Maya yang menatap bingung.
Maya mendengkus sebal. Laki-laki itu, memang senangnya berbuat sesuka hati, tanpa mau kompromi. Apa susahnya mengatakan dia akan kemana? Malah ngeluyur tanpa penjelasan.
"Ini, May."
Maya yang sedang serius memerhatikan anak-anak yang sedang asyik bermain, terkejut ketika tiba-tiba Dokter Reza sudah kembali. Laki-laki itu mengulurkan sebotol minuman mineral padanya.
"Eh, terima kasih, Dok. Dokter, kok, tahu saya haus?"
Dokter Reza tidak menjawab. Ia kembali mengulurkan sesuatu, sebuah kantong plastik bertuliskan nama mini market ternama.
"Apa ini, Dok?" tanya Maya bingung.
"Sandal jepit. Sementara pakai itu dulu supaya kaki kamu enggak tambah pegel. Nanti kalau kita sudah nikah dan kaki kamu pegel, saya pasti akan gendong kamu."