3. Ada Apa Dengannya?

1361 Kata
"Iya, Dok. Yang ini saja. Saya suka yang ini," sahut Maya. Walau ucapan Dokter Reza barusan tidak ditujukan kepadanya, tetapi ia merasa perlu menekankan pilihannya. Gaun pilihan Maya memang sederhana. Namun, dokter Reza tidak bisa menyebut pilihan gadis itu buruk. Justru sangat bagus sebab di balik modelnya yang sederhana, memberikan kesan anggun dan elegan. Apalagi gadis itu terlihat begitu cantik saat mengenakannya. Warna hitam mengkilap dari gaun, berpadu dengan kulit Maya yang putih, membuat wajahnya seolah bersinar. Setelah menyelesaikan p********n, keduanya segera meninggalkan butik. Dokter Reza memilih berjalan lebih dulu. Walaupun di dalam hatinya tiba-tiba sangat ingin berjalan beriringan dengan perawatnya itu. "Maya? Kamu Maya 'kan?" Di depan pintu, mereka berpapasan dengan dua orang pengunjung yang hendak masuk. Satu wanita paruh baya, dan satu lagi laki-laki muda berusia sama dengan Maya. Laki-laki itu yang menyapa Maya. "Iya. Aku Maya. Kamu Andre 'kan?" sahut Maya semringah. Senyum lebar begitu saja terkembang di bibirnya. Rona bahagia demikian terpancar dari wajahnya. Dokter Reza yang sudah beberapa langkah di depan Maya, berhenti dan membalikkan badan. Dia kembali mensejajarkan diri berdiri di samping Maya. "Iya. Aku Andre. Wah, setelah lama tidak bertemu, akhirnya kita bertemu di sini. Kamu apa kabar?" Laki-laki yang disebut Andre itu tidak kalah semringahnya. "Alhamdulilah, aku baik. Kamu sendiri apa kabar?" "Aku juga baik. Kamu tambah cantik, May. Aku tadi hampir pangling. Tapi lesung pipi kamu bikin aku enggak bisa lupa." "Ah, bisa saja kamu." "Benaran. Suerr!" "Kamu juga tambah ganteng dan gagah." Keduanya kemudian tertawa lepas, begitu hangat. "Eh, May. Kenalkan ini mamaku." Andre mengenalkan wanita yang bersamanya, yang ternyata mamanya kepada Maya. "Saya Maya, Tante." Maya menyapa sopan sambil mengulurkan tangan. "Saya mamanya Andre. Benar kata Andre, kamu cantik sekali." Mama Andre menyambut hangat uluran tangan Maya. Kedua wanita itu saling berjabat tangan diiringi senyum hangat. "Tante bisa aja." Maya tersenyum malu. "Oh, ya. Kamu ke sini sama siapa, May?" tanya Andre. "Mmm ini ...." "Saya Reza." Belum sempat Maya menyelesaikan kalimatnya, dokter Reza langsung menjabat tangan Andre. "Oh, dia ...." Andre melirik Maya, seperti sedang bertanya status Reza kepada gadis itu. "Pasangan Maya." Lagi-lagi belum sempat Maya menjawab, dokter Reza telah menjawab terlebih dahulu. "Oh ...." Andre mengangguk paham. Sementara Maya mengernyitkan dahi, bingung atas jawaban yang diberikan dokter Reza pada Andre. "Oke, kalau begitu aku masuk dulu, ya, May. Ini ngantar Mama mau cari gaun." "Iya, Dre. Happy shopping." "Mama aku yang shopping," sahut Andre diiringi tawa ringan. "Happy shopping, Tante." "Terima kasih, Maya." "Sama-sama. Oke, Andre. Sampai ketemu lagi, ya." "Oke, May. Assalamu'alaikum." "Waalaikumsalam." Setelah saling pamit, Dokter Reza segera menarik tangan Maya, berjalan lebih dahulu meninggalkan Andre yang masih berdiri di depan pintu masuk butik. Maya yang tidak menyangka, sedikit tersentak dan terseok mengikuti langkah laki-laki itu. "Dok! Kok, pakai pegang tangan? Enggak boleh, Dok. Bukan mahram," protesnya. Dia menggerakkan pergelangan tangannya, mencoba melepaskan genggaman dokter Reza. Dokter Reza tercekat. Baru sadar apa yang dia lakukan. Oleh karena terpancing emosi melihat kehangatan Maya dan Andre, dia sampai tidak sadar menarik tangan gadis itu. "Kamu kelamaan ngobrolnya. Ini sudah sore," kilahnya memberi alasan. Lalu lekas melepaskan tangan Maya. Di dalam hati, ingin dia mengorek informasi siapa sebenarnya Andre. Entah mengapa, ada rasa tidak suka di hatinya saat melihat laki-laki itu begitu dekat dengan Maya. Akan tetapi, rasa gengsi membuatnya memendam rasa penasaran yang sebenarnya sudah sampai di ubun-ubunnya itu. *** Fisik memang bukan segalanya dalam menentukan suatu hubungan. Namun, tidak dapat dipungkiri jika sebagian besar individu menjadikan fisik sebagai landasan pertama untuk meletakkan kepada siapa hatinya berlabuh. Sesuai kata pepatah, cinta itu dari mata turun ke hati. Seperti saat pertama dokter Reza jatuh hati pada Rumaisha, adalah karena senyum manis gadis itu. Kemudian hari ini dia seperti Dejavu, merasakan hal yang sama saat melihat senyum Maya dalam balutan gaun yang dia kenakan. Dokter Reza tidak tahu apakah benar senyum Maya terlihat lebih manis setelah mengenakan gaun itu, atau karena tadi dia fokus menatap wajah gadis itu dan baru menyadari bahwa dia memilih senyum yang sangat manis. Sebab, sebelumnya dia tidak pernah menatap secara serius pada Maya. Bahkan lebih sering menghindar untuk beradu pandang. Maya dan Rumaisha dari segi fisik sebenarnya jauh berbeda, terutama Maya memiliki lesung pipi di wajahnya. Dari segi sifat, keduanya juga sangat berbeda. Rumaisha cenderung pendiam dan anggun, sementara Maya tipe gadis ceria. Sepanjang perjalanan pulang dari butik, dokter Reza masih banyak diam. Bahkan lebih diam dari saat pergi. Jika sebelumnya dia diam, tetapi selalu menjawab ketika Maya bicara. Kali ini laki-laki itu hanya merespon dengan sedikit lirikan atau dehaman pendek. Bukan karena apa-apa, dia merasa gemetar setiap hendak mengeluarkan suara lantaran jantungnya yang belum normal detaknya. Terlebih saat mencoba mencuri lirik, lesung pipi gadis itu tiba-tiba tampak begitu memesona. Ah! Kemana saja dia selama ini? "Ini tidak dihitung utang 'kan, Dok?" Dalam perjalanan, Maya memastikan jika gaun itu dibelikan untuknya, bukan dia dipaksa membeli. "Hmm," balas dokter Reza singkat. Terkesan ambigu bagi Maya. "Ini dokter yang bayar 'kan?" Ia masih belum puas atas jawaban laki-laki itu. Gaun itu, dua bulan gajinya sebagai perawat honorer di rumah sakit itu saja tidak cukup, makanya dia harus memastikan. Jika dihitung utang, lebih baik dia kembalikan saja. "Hmm," balas dokter Reza lagi. "Dok!" Maya jadi greget sendiri dengan jawaban tidak jelas laki-laki itu. "Iya. Itu untuk kamu. Saya yang bayar." Akhirnya setelah berdeham dan menghela napas dalam, dokter Reza menyahut lebih panjang. "Wah, terima kasih banyak, Dok." Maya tersenyum semringah. Kedua ujung bibirnya tertarik lebih lebar, menampakkan barisan giginya yang putih serta ceruk di kedua pipinya. Dari ekor mata, dokter Reza dapat melihat senyum itu. Jantungnya kembali berdetak tidak karuan. "Hmm." Kembali dokter Reza menyahut hanya dengan satu dehaman. Dia tidak sanggup mengeluarkan bahkan hanya satu kata setelah melirik dan mendapati senyum manis perawatnya itu. Laki-laki itu merutuk. Mengapa gadis itu jadi begitu memesona, padahal sudah berbulan-bulan mereka bersama, semua terlihat biasa saja. Mengapa hari ini jadi berbeda? Dokter Reza merasakan seret pada kerongkongannya. Beberapa kali ia meneguk ludah. *** "Besok pagi saya jemput kamu jam tujuh. Jangan lupa bawa gaun yang kemarin. Jangan sampai." Malam sebelum berangkat ke Ngabang, Dokter Reza mengirim pesan kepada Maya. Hatinya berdebar ketika pesan itu centang dua. Sejak kejadian di butik tempo hari, ia selalu berdebar setiap berhubungan dengan sesuatu yang berkaitan dengan Maya. Entah itu karena mendengar nama gadis itu, membicarakannya, melihat siluet tubuhnya atau sekadar tiba-tiba teringat padanya. Laki-laki itu merasa seperti orang tidak waras. Saat pagi, dia seolah tidak sabar untuk segera ke ruang poli dan menjumpai Maya. Padahal rutinitasnya sebelum ke Poli biasanya visit ke pasien rawat inap terlebih dahulu. Namun, demi untuk melihat gadis itu, dokter Reza rela walau sekadar memerhatikan dari ujung ruang. "Iya, Dok. Bukannya tadi di Poli dokter juga sudah bilang," balas Maya. Dokter Reza menghela napas dalam. Dia ingat memang sudah mengingatkan Maya untuk yang satu ini. Sejatinya dia hanya mencari alasan untuk bisa berkomunikasi dengan gadis itu saja. "Hanya sekedar mengingatkan kembali. Jika kamu lupa." Dia mengirim pesan kembali. "Saya tidak sepikun itu, Dok." "Bagus kalau begitu." "Dokter belum tidur? Besok mau nyetir jauh, lho." "Ini juga mau tidur." "Oke, Dok. Good night. Have a nice dreame." Ingin sekali dia membalas pesan itu dengan kalimat yang sama. Akan tetapi, egonya melarang. Dia tidak mau menunjukkan sikap manis atau perhatian pada Maya. Dokter Reza menghenyakkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri. Ada apa sebenarnya dengannya? Mengapa seolah seluruh otaknya hanya diisi tentang gadis itu? Tidak mungkin jika sosok Rumaisha terganti begitu saja oleh Maya. Akan tetapi, jika tidak mungkin mengapa dia selalu memikirkan gadis itu? Tadi saja sebenarnya dia sudah hendak tidur. Namun, hati dan pikirannya tidak bisa tenang sebelum menghubungi Maya. Alam bawah sadarnya memaksa dan tidak bisa terlelap sebelum mendengar kabar gadis berceruk pipi itu. Tidak hanya senyum Maya yang membayang di pelupuk matanya, tetapi semua tentang gadis itu. Bahkan segala sikapnya tiba-tiba berkelebat begitu nyata. Laki-laki itu bahkan tidak bisa menahan senyum geli saat teringat Maya menjahilinya. Termasuk ketika dia harus menimpuk kepala gadis itu dengan buku beberapa waktu lalu. "Maya ...." Tanpa sadar dia mengucap nama itu, yang akhirnya membuatnya memukul mulut sendiri. Serta merta laki-laki itu membenamkan kepala di balik bantal, merasa dirinya begitu konyol. Ya Tuhan .... Ada apa dengannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN