Maaaay, cepat bangun. Itu belnya udah bunyi 3x. Sholat hajat woi,” pekik Syifa tepat ditelingaku sambil menggoyang-goyangkan tubuhku dengan keras. Refleks aku tersentak kaget. Kudengar langkah kaki Mbak-Mbak pondok saling bergantian menuju Hamam yang ada di lantai bawah.
Kulihat memang sudah pukul 03.00 pagi. Waktunya untuk melakukan sholat hajat, sholat tasbih, sholat taubat, dan sholat daf'il balak dengan berjamaah. Setelah itu kami akan membaca surat Yasin, Waqiah, dan Al-Mulk secara bersamaan.
Kegiatan tersebut selalu rutin dilakukan untuk melatih para santri bangun dan beribadah sambil menunggu adzan subuh menjelang. Romo Yai selalu berpesan kepada kami agar menghidupkan sepertiga malam terakhir dengan sholat, membaca Alqur’an atau berdzikir.
Fadhilahnya sangat banyak. Selain gerakan sholat sangat bagus untuk kesehatan, manfaat dzikir dan membaca Al-Qur’an pun sangat banyak. Diantaranya dapat menenangkan hati, menjauhkan diri dari sifat iri dan dengki, membuat hati semakin khusyu mengingat Allah.
Jika para santri tidak mengikuti kegiatan wajib tersebut maka akan terkena takzir dari pengurus pondok. Aku segera bangun lalu menggeliat ke kanan dan ke kiri. Mataku terasa sangat berat.
“Hoam… Masih ngantuk. 5 menit lagi ya,” tawarku pada Syifa.
Duk.
“Aduh!” pekikku. Kepalaku terbentur keras ke lantai ubin yang hanya beralaskan karpet untuk tidur. Rupanya Syifa dengan sengaja menarik bantalku yang empuk agar aku lekas bangun.
“Cepat bangun dong, May! Jangan bikin darah tinggiku makin naik,” semprot Syifa.
“Iya iyaa.” akhirnya aku mengalah dan memaksa mataku terbuka lebar. “Bawel ah.”
“Lha gimana aku enggak bawel. Wong kamu mbangkong terus,” gerutu Syifa.
“Iya ini udah bangun, Syifa yang cantik nan baik tapi ceriwis,” balasku menggodanya.
“Kalau cantik itu jelas bawaan dari lahir. Baik apalagi. Nah kalau ceriwis itu yang salah. Aku ini pendiam loh,” selorohnya tak terima.
“Halah Halah. Pendiam dari Hongkong. Yo meneng fotone tok ,” timpalku tidak terima.
“Ya udah lah terserah apa katamu. Cepat keburu ketinggalan jamaah kita,” Syifa mendorongku agar lekas mengambil air wudhu.
Ocehan Syifa sudah sangat familiar di telingaku. Aku bahkan sangat kebal jika dia marah-marah karena aku susah dibangunkan. Aku memang hobi tidur. Hehe. Kalau sudah tidur lupa sekabehane alias lupa segalanya.
Selesai wudhu aku bersegera memakai mukena dan mengambil sajadah. Syifa yang sudah menungguku dari tadi tidak sabar langsung menarik tanganku dan menyeretnya menuju majlis.
Majlis adalah ruangan yang luas dan terbuka. Kami menyebutnya demikian sebab tempat itu digunakan untuk ngaos bersama Romo Yai dan Kang-Kang pondok. Ruangan antara majlis putra dan putri terpisah pintu yang tinggi dan berkaca gelap. Jika waktunya jamaah atau ngaos maka pintu tersebut di buka lebar.
Sesampainya di majlis aku dan Syifa mengambil shaf paling belakang sebab keterlambatanku bangun tadi membuat kami keduluan Mbak-Mbak lain yang sudah bangun awalan berada di shaf paling depan.
Kami menjalankan sholat malam dengan khusyu. Imam melantunkan surat-surat pendek hingga satu persatu sholat selesai ditunaikan.
Dan tiba waktunya membaca surat Yasin. Karena aku memang anaknya gampang sekali mengantuk. Tidak sadar ketika sampai ditengah ayat, kepalaku hampir tersungkur di sajadah. Syifa lekas mencubit lenganku.
“Mayang! Kamu ini kok kebiasaan sih. Astagfirullah. Ngantukmu itu lo sudah kebangetan. Apa-apa kok ketiduran. Perlu dirukyah sepertinya anak ini,” Syifa lagi-lagi menceramahiku.
“Ngawur. Emang aku kemasukan arwah pakek dirukyah segala. Ya habisnya ngantuk banget,” jawabku sewot sambil menguap beberapa kali.
“Nanti kalau dilihat Mbak Naning tamat riwayatmu,” ucap Syifa sambil terkikik.
“Ah jangan dong. Nih uda lebar mataku. Udah nggak ngantuk lagi.” Aku memaksakan mataku untuk tetap terjaga.
Mbak Naning adalah salah satu pengurus pondok bagian keamanan. Dia termasuk orang yang sangat disiplin dan ketat. Semua santriwati wajib mengikuti kegiatan pondok dengan rajin. Jika dia tahu ada salah satu santri yang badung sepertiku maka dia tidak akan segan-segan memberi hukuman.
Di pesantren bagian keamanan tugasnya memastikan semua santriwati mentaati aturan dengan baik. Ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Seperti pacaran, keluar dari pesantren tanpa izin, dan bermalas-malasan ketika ikut kegiatan wajib sehari-hari.
Beruntung aku memiliki sahabat baik seperti Syifa yang bagiku dia itu seperti alarm yang tidak pernah telat mengomeliku ketika aku mulai mangkir dari kegiatan rutin.
Aku sebenarnya selalu ingat dawuh Romo Yai kala ngaos setelah ashar seminggu yang lalu.
“Kalau sampeyan bisa melawan malas di kala sepertiga malam. Dan memaksakan diri untuk qiyamul lail, maka Allah akan kabulkan salah satu doa yang selalu dimunajatkan padanya. Awalnya memang malas. Tapi lama-lama akan terbiasa. Selain itu hati juga akan merasa tenang sebab kita jadikan Allah sebagai tujuan kita.”
Aku merasa sangat tertampar dengan dawuh beliau. Sudah hampir 2 tahun aku mondok di pesantren ini. Tetapi ya masih gini-gini aja. Aku masih suka bolos kegiatan dan sering mendapat teguran dari Mbak-Mbak pengurus.
Selesai sholat malam dan membaca surat-surat panjang, tepat sekali adzan subuh sudah berkumandang. Aku kembali ke Hamam untuk berwudhu kembali supaya kantukku benar-benar hilang. Ah Mayang. Kapan kamu akan tobat dari rasa malasmu?
***
Siang ini matahari sangat terik. Aku dan Syifa berjalan pulang kembali ke pondok sepulang sekolah. Pesantren kami adalah murni pesantren salaf sehingga tidak ada sekolah formal didalamnya. Hanya sekolah Diniyah dan para hafidz-hafidzah yang hafal Al-Qur’an. Jadi kami bersekolah di yayasan yang berbeda dengan pondok.
“Duh rasanya kayak di oven. Panas banget,” keluhku sambil mengibas-ngibaskan tangan ke muka.
“Dih endel. Kayak nggak pernah kena panas aja kamu ini,” sahut Syifa yang berjalan disampingku.
“Lah kan aku nanti tambah item terus Ayuku berkurang gimana dong, Fa? Batal deh jadi bintang iklan.” aku terkikik. Suka sekali aku menggoda sahabatku satu ini.
“Halah bintang iklan apa? Ojo keduwuren lak ngipi. Engkok tibo lorone eram lo,” balas Syifa mengejek. Entah mengapa dia suka sekali mematahkan angan-anganku.
“Kalau ada temannya yang bermimpi itu ya didukung ta, Fa. Bukan malah meremehkan gitu,” protesku.
“Iya kalau mimpimu masuk akal. Lah ini mimpimu terlalu tinggi sayang. Yang ada malah diketawain kamu ngaku-ngaku jadi bintang iklan segala,” balas Syifa sambil terkekeh.
Aku bilang juga apa. Dia bahagia sekali mengejekku. Tapi ya sudahlah. Aku yakin Syifa sebenarnya hanya bercanda saja. Lagi pula mana ada bintang iklan model kayak aku gini. Sido geger dunyone. Aku juga cuma mengarang saja
Ketika aku dan Syifa berbelok memasuki kawasan pondok, tiba-tiba kok ada Mas-Mas ganteng berpapasan dengan kami. Dia mendekap kitab di kedua tangannya. Wah jelas pangeran ini, batinku. Gantengnya nggak umum. Posturnya tinggi tegap, dadanya bidang, wajahnya terlihat teduh dan berseri. Ada sedikit jambang yang menghiasi sekitar rahang dan dagunya. Menambah karisma ketampanannya.
“Hai, Kang. Bening amat. Namanya siapa sih?” refleks mulutku gatal ingin berkenalan dengannya. Ya begitulah aku. Suka ceplas ceplos. Syifa seketika mendaratkan tangannya memukul mulutku.
“Hush. Mayang! Jaga sikap. Itu Gus putra Pak Kyai,” bisik Syifa padaku. Aku terkesiap. Wah bisa gawat kalau Gusnya marah gara-gara ucapanku barusan. Raut mukanya terlihat dingin dan angkuh. Buru-buru aku meminta maaf.
“Aduh. Ngapunten njeh Gus,” ucapku masih menatapnya. Aku tidak bisa memalingkan mataku dari makhluk ciptaan Tuhan yang sangat rupawan ini.
Lelaki itu hanya menoleh sekilas padaku lalu melanjutkan langkahnya berjalan masuk ke ndalem. Yah aku dikacangin. Padahal sudah berharap Gusnya mau menjawab walaupun hanya dengan sepatah atau dua patah kata.
“Kamu itu lo, May. Jangan lancang gitu dong. Kok lamis amat sih ini mulut, nggak malu apa.” Syifa mencubit pipiku gemas.
“Habisnya aku nggak tahan kalau lihat yang being-bening gitu, Fa. Ganteng amat ya Gusnya.” Aku mengusap-usap pipiku yang kena cubit.
“Ya itu yang namanya Gus Rasyid. Yang belakangan ini jadi bahan gosip Mbak-Mbak pondok,” Syifa menjelaskan.
Oh pantas saja kudengar kasak kusuk obrolan santri putri mengenai Gus Rasyid sering terdengar belakangan ini. Aku memang cuek perihal itu dan tidak tertarik. Kupikir orangnya hanya biasa saja. Tetapi dugaanku salah. Diluar ekspektasiku, cakepnya nggak ketulungan. Sungguh Allah maha sempurna dengan segala ciptaannya.
Beliau baru menamatkan kuliah strata satunya di kota Surabaya. Sebelumnya Gus Rasyid juga mondok di pesantren Gontor mulai Tsanawiyah sampai Aliyah. Jadi tidak pernah terlihat di lingkungan pondok. Tetapi jika sekarang kulihat dia setampan itu, aku seketika berubah haluan. Aku menjadi orang pertama yang paling tergila-gila dengan ketampanannya.
Siang terik yang begitu menyengat tiba-tiba tidak terasa olehku. Hatiku begitu rindang diguyur pemandangan indah yang baru saja lewat di depanku. Rasa bahagia semakin menjadi-jadi membuat jantungku berdentum kencang. Aku dan Syifa kembali berjalan memasuki pondok sambil membayangkan jika saja Gusnya memanggil namaku. Sayup-sayup hatiku mulai mendengungkan namanya. Gus Rasyid.