Pernikahan adalah sebuah ikatan suci yang harus dijalani oleh dua orang yang saling berkomitmen. Meskipun Nirmala tahu, bahwa pernikahan memang tak selalu didasari atas cinta. Namun dirinya yang masih dalam kebimbangan.
Dua belas jam lagi pernikahan itu akan dilangsungkan. Dan kini Nirmala hanya bisa diam meratapi nasibnya. Pernikahan itu hanya berdasar pengorbanan pada anak kecil yang sangat disayanginya. Namun hati Nirmala sama sekali tak ada sosok Hendra di dalamnya.
Bahkan dalam kesendirian itu. Nirmala selalu memikirkan Rafi. Bayangan wajah pria tampan itu pun seolah menggugah rasa yang diam-diam dia inginkan. Namun Nirmala tak bisa mengatakan. Hatinya seolah terikat sebuah rasa yang sama sekali tak diimpikannya.
Ponsel Nirmala kembali berdering. Satu nomor yang kemarin menghubunginya. Nirmala pun segera mengangkat telepon itu, meski awalnya ada keraguan yang sempat bersemayam.
“Halo,” sapa Nirmala.
“Apa kamu mencintai Hendra?”
Pertanyaan pertama itu membuatnya ingin melepaskan rasa yang menyiksa batinnya. Suara Rafi begitu terdengar jelas dalam pembicaraan itu. Nirmala masih tak bergeming. Dia cukup diam seribu bahasa.
“Buka jendela kamarmu Nirmala, aku menunggumu.”
Kata-kata itu membuat Nirmala segera menarik tirai jendela kamarnya dan membuka jendela yang terbuat dari kaca itu. memang benar lelaki bernama Rafi itu telah menunggunya. Senyumnya lepas seakan menentramkan.
“Mas Rafi ngapain ke sini?”
“Tante Rose bilang, besok Hendra akan menikahimu?”
Nirmala terdiam. tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Selain hanya menundukkan pandangannya ke arah lantai. Dia sama sekali tak berani menatap Rafi.
“Nirmala, apa kamu mencintai Hendra?”
Nirmala hanya bergeming dalam kediamannya. Bibirnya seolah tak mendukung ungkapan hatinya yang berbicara. Namun Rafi terus saja memaksanya untuk sekadar memberikan jawaban secepatnya.
“Nirmala tatap mataku, apa ada cinta di hatimu untukku?”
Rafi mendongakkan kepala Nirmala. Dana kini posisi kedua mata mereka saling menatap tanpa lepas. Nirmala mengatur napasnya dalam-dalam. Dirinya sama sekali tak mengira bahwa ucapan Rafi membuatnya seolah seperti patung yang hanya diam tanpa bergerak.
“Jawab aku, apa kamu juga mencintaiku Nirmala?”
Nirmala tak ingin menyakiti siapa pun. Baginya kini hanya tentang kebahagiaan Asila. Meskipun kebahagiaannya sendiri harus dikorbankan. Nirmala tak ingin menyakiti Rafi. Lelaki baik yang membuatnya bisa merasakan makna cinta.
“Katakan Nirmala, jika kamu mencintaiku, kita bisa pergi dan meninggalkan rumah ini.”
Mendengar perkataan itu. tiba-tiba perasaan Nirmala terguncang. Dia tak bisa bayangkan bagaimana reaksi Asila bila melihatnya pergi jauh. Nirmala tak mau Asila terluka. Menahan perihnya hati untuk kedua kalinya karena kepergiannya.
Nirmala hanya mementingkan psikis gadis kecil yang amat dicintainya itu. Betapa tidak, Nirmala sangat merasakan bagaimana tak punya orang tua. Diejek di sekolah adalah hal yang wajar. Kebahagiaan terasa kurang meskipun kekayaan melimpah.
Nirmala tak mau bila Asila seperti dirinya. Sebatang kara tanpa kasih sayang. Mandiri dengan apa yang menjadi sebuah pilihan hidup. Bahkan sempat ingin menyerah saat dunia terasa mempermainkan.
“Nirmala, katakan! Kamu mencintaiku, bukan?”
“Maaf, Mas. Aku tidak mencintai siapa pun.”
“Kalau begitu katakanlah dengan menatap mataku.”
Nirmala tak melakukan apa yang dikatakan Rafi. Dia kemudian dengan cepat menutup jendela kamarnya. Dia tak mau melihat kembali wajah Rafi. Tak ingin melukai terlalu dalam, pun tak bisa membuat keadaan berubah sesuai keinginan. Nirmala terduduk kaku di bawah jendela.
Air matanya mengalir deras. Hidupnya terasa begitu hampa. Cintanya hanya bisa dikatakan dalam hatinya saja. Mulutnya membungkam dengan rapat. Hanya karena tak ingin menyakiti hati seorang malaikat kecil yang dicintainya.
Tetesan air matanya tak henti bercucuran. Nirmala tak pernah merasakan cinta sedalam ini. pertemuan pertama dengan Rafi menyisakan sebuah kenangan yang membekas erat dalam sanubarinya.
Cinta yang bersemayam hanya bisa dirasakan tanpa terbalaskan. Bahkan Nirmala pun membohongi hatinya. Jika dirinya tak mencintai Rafi. Padahal di lubuk hatinya terdalam. Cintanya sangatlah kuat. Namun Nirmala seakan rapuh dengan keadaan yang membelenggunya.
***
Rafi merasa dunianya terhenti. Berharap cintanya terbalas. Namun nyatanya rasa yang dimilikinya bertepuk sebelah tangan. Wanita yang dicintainya tak memiliki perasaan yang sama. Rafi hanya diam dalam lamunan. Tak bisa memaksakan keadaan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Rafi pulang dengan hati yang redup. Patah karena tak mendapat balasan. Cinta yang menghiasi ruang rindunya kini hanya sebatas butiran debu yang tak berarti. Rafi seakan yakin bahwa Nirmala memang senang dengan pernikahan yang akan dijalankan itu.
Rafi tak bisa memaksa sebuah hati. Dia mencoba untuk menerimanya dengan lapang d**a. Meski dirinya tahu, bahwa menghapus cinta dalam hati sak semudah menghapus pensil di atas kertas putih.
Nirmala segera menyeka air matanya saat terdengar suara ketukan pintu dari arah kamarnya. Melangkah pelan dengan berusaha sekuat tenaga untuk menyembunyikan perasaannya yang kini sedang patah. Nirmala membuka pintunya.
“Ada apa, Bu?”
“Boleh saya masuk, Nirma?”
Nirmala mempersilakah mama Rose masuk ke dalam kamarnya. Nirmala mencoba menghadirkan senyum meski hatinya sedang terluka. Mereka pun saling beradu pandang, hingga akhirnya Nirmala menundukkan pandangannya.
“Nirma duduklah di sini.”
Mama Rose meminta Nirmala untuk duduk bersebelahan dengannya. Nirmala pun mengikuti tanpa menolak sedikit pun. Sopan santunnya membuat mama Rose selalu rendah hati pada sosok Nirmala yang low profile itu.
“Ada apa, Bu?”
“Nirma, kamu siap besok menikah?”
Nirmala terdiam. Tak ada jawaban yang bisa disuguhkannya. Bahkan dirinya sendiri pun bingung dengan hatinya. Keadaan ini benar-benar membuatnya tak bisa berkutik. Bahkan untuk masa depan dirinya sendiri, Nirmala tak bisa memikirkannya.
“Nirma, kamu tahu kan, Asila selalu tertawa riang mendengar kamu akan menikah dengan papanya.”
Nirmala pun hanya mendengar dengan diam. Dia sama sekali tak membuka mulutnya. Memandang wajah mama Rose dengan pasrah. Sesekali Nirmala menundukkan pandangannya. Lalu kembali menatap kedua bola mata wanita yang sangat dihormatinya itu.
“Kamu sangat membantu keluarga kami, jika tidak ada kamu, saya tidak tahu jadi apa Asila.”
Mata Nirmala mendadak berkaca-kaca. Kasih sayangnya pada Asila memang tak bisa diukur. Dia mencintai gadis kecil itu dengan sepenuh hatinya. Namun cintanya kini menjadi boomerang sendiri bagi kehidupan Nirmala.
“Saya harap, kamu benar-benar bisa jadi bagian dari keluarga kami, bicaralah Nirma, saya ingin mendengar apa yang kamu rasakan.”
Mama Rose memohon dengan sangat. Sedari tadi tak ada satu pun perkataannya yang mendapat jawaban dari Nirmala. Mata Nirmala yang berkaca-kaca itu segera dihapusnya. Dia tak mau air matanya menemani pembicaraan yang sedang berlangsung dengan sangat serius itu.
“Katakanlah apa yang ingin kamu katakan, Nirma.”
“Saya tidak ingin mengatakan apa pun, Bu.”
“Bantulah saya untuk membuat Hendra melupakan masa lalunya, saya sangat percaya padamu, Nirma.”
“Saya tidak tahu harus jawab apa, Bu.”
“Bantu saya, ya. Hendra pasti akan mencintaimu suatu saat nanti.”
Mama Rose segera memeluk Nirmala. Dekap cinta itu membuat Nirmala kembali menghadirkan air matanya. Haru biru menyatu dalam sebuah hubungan yang sudah lama terjalin, namun sebagai baby sitter dan majikan. Namun kali ini mama Rose tak memandang itu. Dirinya menganggap bahwa Nirmala adalah calon menantu yang sangat baik hatinya.
“Nirma, antarkan Asila untuk menjadi anak hebat. Dan buatlah papanya merasakan kembali indahnya cinta, tolong ya.”
Kata-kata itu mengakhiri pembicaraan mama Rose. Nirmala hanya diam dengan terus memikirkan kata demi kata yang benar-benar mengganggu pikirannya itu. Nirmala pun segera mengunci kamarnya. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Lampu kamar Nirmala segera dimatikan. Namun dirinya tak kunjung memejamkan mata. mama Rose seakan memberikan sebongkah beban dan juga amanah yang begitu berat baginya. Mengantarkan cucunya menjadi anak hebat dan juga menghadirkan cinta di hati Hendra.
Nirmala membolak balikkan tubuhnya. Mencari kenyamanan. Namun tak didapatkan. Dirinya terus saja menatap langit-lagit yang gelap tanpa cahaya. Seperti hatinya yang kini sedang hitam tanpa pencahayaan sedikit pun.
Nirmala mendengar ponselnya berdering sesaat. Sebuah panggilan tak terjawab dari nomor yang sangat dikenalnya, Rafi. Namun Nirmala membiarkannya. Hingga Rafi mengirimkan sebuah pesan untuknya.
Semoga kamu bahagia dengan cintamu
Aku akan bawa cinta ini pergi bersama angin
Terima kasih Nirmala
Sudah membuatku merasakan cinta sedalam ini
Aku pamit
Nirmala membacanya dengan menghadirkan kembali air mata yang menganak sungai tanpa diminta. Dirinya yang sebenarnya punya rasa yang sama, namun tak bisa dikatakannya. Kini kalimat perpisahan itu membuat hatinya seakan hancur berkeping-keping.
Nirmala ingin membalas pesan itu. Namun dirinya tak kuasa untuk merangkai kata. Nirmala pun membiarkan ponselnya. Dirinya segera menutup matanya dan mencoba untuk menepis tentang perasaannya sendiri yang kini sedang berkobar.
Nirmala memaksakan diri untuk memejamkan matanya. Saat jam di atas mejanya menunjukkan pukul tiga pagi. Air mata yang eluar sudah cukup membuat tenaganya merasa letih. Wajah yang sembab itu segera ditutup dengan selimut tebalnya.
***
Asila terlihat riang gembira. Pagi-pagi sekali dirinya sudah menggedor pintu Nirmala. Membangunkan calon mamanya itu penuh senyuman. Nirmala yang merasakan kepalanya pening pun segera membuka pintu.
Dilihatnya Asila dengan seorang wanita membawa beberapa peralatan rias. Asila tersenyum lebar di depan Nirmala. Namun Nirmala hanya diam menatap dengan menahan kantuknya.
“Calon mama, ini perias yang akan bikin calon mama cantik.”
Asila berkata dengan nada yang sangat membahagiakan. Wanita yang berdiri di depan Nirmala pun memperkenalkan diri. Dia adalah seorang perias yang disewa untuk merias sang calon pengantin yang tak lain adalah Nirmala.
Nirmala segera mempersilakan perias itu masuk ke dalam kamarnya. Namun Nirmala memohon ijin untuk mandi terlebih dahulu. Nirmala masuk ke kamar mandi, menatap wajahnya di cermin yang tertempel di dinding kamar mandi itu. Nirmala tetap menjaga hatinya dan juga air matanya.
Tak lama Nirmala pun sudah siap untuk dirias. Nirmala duduk di sebuah kursi dan menatap wajahnya di cermin besar yang ada di kamarnya. Sedangkan Asila berhias senyum dan terusa saja menemani calon mamanya itu.
Sentuhan riasan membuat Nirmala terlihat begitu cantik. Dirinya yang jarang sekali berdandan, kini bak bidadari dengan keanggunan gaun yang dikenakannya. Tubuhnya yang ramping sangat pas dengan gaun yang kemarin dipilihkan oleh karyawan butik tempatnya bertandang.
Tak butuh waktu lama untuk mempersiapkan sang calon pengantin wanitanya. Kini Nirmala sudah siap untuk dipertemukan dengan sang calon pengantin pria. Penghulu, wali dan juga saksi sudah siap di ruang tengah.
Pernikahan itu hanya dihadiri keluarga Mahendra saja. Tak ada siapa pun yang mengetahui sebuah pernikahan yang menurut Nirmala sangat sakral itu. Hendra melarang papa dan mamanya mengundang kerabat dekat.
Menuju tempat ijab qabul. Bayangan wajah Rafi berkelibat di pelupuk matanya. Entah mengapa menggantungkan cinta dalam diam itu begitu sulit dirasakannya. Namun gelak tawa keriangan Asila sedikit membantu mengalihkan pikiran Nirmala.
Mahendra sudah siap di kursi yang disediakan. Menunggu Nirmala datang dan duduk di sampingnya. Tak lama wanita cantik yang terlihat menuruni tangga itu pun segera menuju tempat yang disediakan. Mama Rose menatap kecantikan Nirmala yang luar biasa.
Hendra pun merasa pangling dengan wanita yang duduk di sampingnya. Namun Hendra tak mau menatap lama. Dirinya yang acuh itu segera menatap ke arah penghulu. Nirmala yang bersanding dengan lelaki yang menurutnya sangat dingin itu, merasa gugup. Apa yang dilakukannya saat itu sama sekali tak mendapatkan keyakinan dalam hati.
Nirmala hanya menuruti ke mana air mengalir. Dirinya tak memikirkan akibat dari keputusan yang dipilihnya. Penghulu pun segera memulai acara. Saat ijab qabul itu dikumandangkan, dan para saksi mengatakan sah, terdengar suara pecahan barang yang beradu dengan lantai dari arah ruang tamu. Semua mata pun tertuju ke arah sumber suara.
^Cengkir^
"Ngapusi kui hakmu. Kewajibanku mung etok-etok ora ngerti yen mbok apusi."
(Berbohong itu hakmu. Kewajibanku hanya pura-pura tidak tahu kalau kamu sedang berbohong.)