Part 12 – Menuju Titik Terendah

1132 Kata
Besok waktu terakhir untukmu, Nirma Bersiaplah lusa kamu menikah dengan anakku Nirmala menyesali setiap bulir-bulir yang menetes di antara ke dua pipinya. Tak ada lagi kesempatan untuk menolak. Pun berlari pada sebuah keadaan yang menjerat hati. Tak ada yang bisa dilakukan selain pasrah. Usahanya sudah menunjukkan sebuah hasil. Nirma tak bisa menuntut atau menyalahkan siapa pun di sini. Dia yang sudah banting tulang untuk mendapatkan rupiah. Nyatanya tak berhasil juga. Nirmala berkemas. Semua bajunya pun dimasukkan ke dalam koper. Dia akan pulang kampung dan mengabdi sebagai menantu si tuan tanah. *** “Rosma, Aku harus ke Jakarta. Ada urusan bisnis di sana.” “Aku ikut, kan?” “Untuk kali ini tidak.” “Apa? Kamu membiarkan Aku di sini sendiri!” “Aku tidak mau.” “Dengarlah. Ini urusan bisnis bukan jalan-jalan. Lagian jika Aku sukses siapa yang menikmatinya jika bukan dirimu, Rosma.” Rayuan Roy seketika membuat Rosma luluh . Meski sebenarnya dia sangat inginkan pergi bersama sang kekasih. Merenda cinta sepanjang waktu. “Berapa lama di Jakarta?” “Satu minggu.” “Kenapa lama sekali? Tidak bisa satu atau dua hari saja!” “Ini proyek besar. Mengertilah! Semua ini untuk masa depan kita.” Kediaman Rosma membuat hatinya bergidik. Baginya satu minggu merupakan waktu yang cukup lama untuk menanti sang kekasih. Tak ada lagi rengekan yang terdengar. Rosma hanya diam dan mengunci pintu kamarnya. Melihat tingkah sang kekasih. Roy pun tak bisa tinggal diam. Seribu bujuk rayu itu pun dikeluarkan untuk membuat Rosma kembali tersenyum dan tak cemberut lagi. “Hari ini Aku akan mengajakmu jalan-jalan dan Aku sudah transfer sejumlah uang untukmu. Ayolah bersiap! Sepuluh menit lagi kita berangkat.” Rosma melirik dengan sinis. Dirinya memang tak bisa menolak jika Roy mengajaknya jalan-jalan. Belum lagi nilai rupiah yang masuk ke rekeningnya. Membuat hatinya berbunga-bunga. Swiss merupakan negara di Eropa yang terkenal dengan keindahan alamnya. Tak ada mata yang  memandangnya tak terpukau. Beberapa destinasi yang dihadirkan membuat hati seketika terpikat. Mahakarya alam tersebut membentang sepanjang gugusan pegunungan Alpen. Kini Rosma terasa berada di surga. Sungguh keindahannya membuatnya seolah tak ingin mengedipkan mata. Seakan dia melupakan rasa kesalnya pada sang kekasih. Roy mengajak Rosma menikmati keindahan danau. Orang banyak menyebutnya dengan danah patah hati. Keindahan air berwarna toska berpadu dengan rimbunnya pepohonan. “Rosma, kamu tahu kenapa danau ini disebut dengan danau patah hati?” “Tidak, kenapa?” “Dulu ada seorang gadis yang mencintai penggembala. Mereka sering bertemu di danau ini setiap malam.” “Cuma itu?” “Namun cinta mereka harus terpisahkan karena kematian. Makanya danau ini disebut danau patah hati.” Rosma memandang perahu yang tersedia di tempat itu. Dia pun menginginkan agar Roy mau mengajaknya berkeliling dengan perahu. Roy pun tak menolak. Dengan senang hati menuruti keinginan sang kekasih. Setelah cukup puas dengan pemandangan di blausee lake. Roy dan Rosma pun beranjak untuk menuju tempat wisata yang lain. “Sekarang Kamu ingin kemana?” “Aku pernah dengar jika di Swiss ada kastil yang di kelilingi danau. Temanku yang menceritakan beberapa waktu lalu.” Roy tersenyum sambil menggandeng Rosma. Kali ini Roy mengajak sang ke kasih untuk menikmati sebuah keindahan pada bangunan klasik yang diinginkan oleh sang kekasih itu.  Chillon Castle adalah istana yang terletak di Danau Geneva. Ada tiga halaman yang sangat lapang dan dipenuhi rimbunnya pepohonan.  Beberapa ruangan-ruangan luas yang dipenuhi dengan peninggalan bersejarah. Mata Rosma nampak berbinar. Keindahan kota Swiss memang tak diragukan lagi. Rosma menikmatinya dengan penuh suka. Duduk berdua dengan sang kekasih. Sembari menikmatI pemandangan yang tak pernah dijumpai sebelumnya. Bersandar di pundak Roy. Menatap indah bangunan klasik dan danau itu di depannya. *** “Kamu mau kemana, Ma?” Nuna melihat Nirma yang sedang mengemasi barang-barangnya. Belum ada jawaban yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Nirma tetap saja fokus dengan barang-barang yang dikemasinya. Nuna semakin tak tahu apa yang terjadi pada Nirma, sahabatnya. “Nirma, jawab!” “Aku akan pulang kampung dan menikah!” “Dengan anak tuan tanah?” “Lalu siapa lagi?” “Jangan gila kamu, Ma.” “Kamu bilang gila?” “Kamu mau hidupmu berakhir dengan orang yang sama sekali tak kamu kenal? Menikah itu sakral.” “Lalu apa Aku salah dengan pernikahan itu?” “Nirma, Kamu pasti bisa cari jalan keluar untuk tidak menikah dengannya!” “Semua jalan sudah buntu.” “Tidak. Aku yakin masih tersisa satu jalan yang kamu tak tahu itu.” “Tapi apa?, semua sudah berakhir. Dan ini keputusanku.” “Mana Nirma yang Aku kenal pantang menyerah?” “Kamu kira hidup ini seperti pikiran-pikiranmu. Aku sudah berusaha, tapi bagaimana jika hasilnya tak sesuai dengan keinginanku.” “Tapi usaha itu harus terus dilakukan, Ma.” ‘’Kamu kira selama ini usahaku terjeda? Aku sebatang kara di sini, tidak seperti kamu yang masih punya kekayaan dan keluarga utuh. Apa yang Kamu mau bisa saja minta pada orang tuamu, sedangkan Aku?” “Kenapa Kamu bawa-bawa Aku meminta pada orang tuaku? Kamu salah dengan anggapan itu!” Nirma tak melanjutkan lagi kata-katanya. Rentetan tetesa air mata itu beriringan. Nuna pun seolah tersinggung dengan pembicaraan itu. Dia segera pergi. Tak ada pamit yang mengiringi. Hanya rasa kecewa yang melambung menyesaki partikel di dalam dadaanya. Nirma tak bisa mengontrol emosinya. Kesedihan dalam kesendirian membuaT ucapannya tak bisa tertahankan. Namun tak ada yang bisa dilakukan Nirma saat ini. dia hanya mengikuti ke mana arus air akan membawanya. *** Panggilan telepon berdering. Di pagi hari dengan mata yang masih saja terpejam. Nirma mencari di mana ponselnya diletakkan. Tanpa melihat siapa yang meneleponnya. Nirmala pun segera mengangkat panggilan itu. “Nirma, anak buahku akan menjemputmu. Sore nanti pernikahanmu akan dilaksanakan.” Mendengar kata pernikahan. Mata Nirma secepat itu terbuka lebar. Dia menatap kembali layar ponselnya. Tuan tanah yang kini kembali memberikan kabar yang tak disukainya. “Perjalanan ke Banyuwangi pasti melelahkan, bagaimana jika pernikahan ditunda besok saja?” “Pernikahan dilaksanakan di rumah anak saya, di Jakarta. Bukan di Banyuwangi.” Panggilan udara itu terputus. Nirma merobohkan kembali badannya. Tangannya meraih foto sang ibu. Kembali air matanya menganak sungai. Membanjiri keluh kesah yang kini bersemayam dalam batinnya. “Ibu, Aku tak tahu harus bagaimana menghadapi semua ini. Maafkan Aku belum bisa mewujudkan cita-cita, Ibu.” Ucapan itu menutup tatapannya pada foto yang kini dipeluknya. Nirmala saat ini hanya bisa diam dan meratap. Meski sebenarnya dia masih menginginkan sebuah usaha untuk pergi dari kenyataan ini. Namun semua terasa mustahil. Nirmala seperti sedang di borgol. Dirinya hanya bisa diam tak bisa melawan. Kini nasibnya hanya bisa dihitung beberapa jam lagi. Anak buah tuan tanah akan menjemputnya, dan sore nanti acara pernikahan itu akan digelar. Nirma membuyarkan bayangan-bayangan itu. Dia sungguh ketakutan. Hingga air matanya keluar dari kedua bola matanya tanpa terjeda. Menatap jam dinding. Ada bisikan meronta dalam hatinya yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN