Part 3 - Menggapai Mimpi

1869 Kata
Jakarta, kota metropolitan dengan padat penduduk yang tak perlu ditanya lagi. Berjuta anak manusia memberikan warna-warni kehidupan tentang indahnya ibu kota, tak terkecuali Nirma yang mengabdikan hidupnya untuk memberikan pesan tentang manisnya hidup di kota yang dulunya bernama Jayakarta itu. Pagi ini dengan segala semangat yang membara, terlihat Nirma telah berada di depan laptopnya, meski tengah menahan rasa kantuk karena lelahnya perjalanan yang menguras tenaga, dipaksanya membuka email dan mengirimkan beberapa lamaran yang ditujukan untuk beberapa sekolah pendidikan. Sebagai sarjanan pendidikan anak usia dini, Nirma mencari sekolah favorit yang menurutnya ia bisa mengabdikan segala llmunya yang diperoleh di kampus untuk kecerdasan anak-anak bangsa, dengan semangat yang membara ia pun mengirim surat lamaran dan CV- nya tak kurang dari dua puluh sekolah yang ada di Jakarta. Selain itu ia pun mencari di berbagai media sosial tentang lembaga pendidikan yang sedang membutuhkan tenaga pengajar. Dalam benaknya, ia akan mengajar demi baktinya kepada ibunda, selain itu impian untuk S2 pun akan segera terwujud dalam beberapa bulan ke depan karena berkat beasiswa yang ia dapatkan, masih di kampus yang sama ia mencari tumpuan ilmu yang tersimpan dalam lembaran-lembaran buku demi buku, dalam hatinya membara sejuta mimpi yang akan ia persembahkan untuk orang-orang terkasih tak lain adalah ayah dan ibunya yang telah bahagia bersama Tuhannya. Berkali-kali Nirma menguap tanda ia masih diselimuti rasa kantuk yang begitu memikat, ditariknya bantal di sudut kasurnya tak terasa ia pun membaringkan badannya yang masih terasa sangat lelah dan sesaat matanya pun terpejam secepat kilat. Baru saja ia meluapkan kenikmatan di dunia maya, ia terkagetkan dengan suara deringan telepon genggamnya yang begitu keras. Dibuka matanya dengan sangat terpaksa dan sungguh begitu berat seperti memikul sebuah beban. “Nirma, aku hari ini interview di kantor papa, aku mau kamu ikut temenin aku ya” “Se...sekarang?” tanya Nirma dengan mata yang masih sedikit terpejam “Iya, aku jemput kamu sekarang” Pembicaraan berakhir tanpa salam dengan tanda matinya telepon genggam Nirma, ia pun membawa tubuhnya dengan langkah yang sangat terpaksa, mengambil handuk yang terpajang di belakang pintu, masuk kamar mandi dengan mata yang masih sulit untuk dibuka dengan lebar. Tak lama suara ketukan pintu terdengar dengan kerasnya, meski Nirma masih di kamar mandi, ia bisa menduga bahwa yang datang adalah Nuna. Bergegas menarik handuk, memakainya dan mebuka pintu dengan segera. “Cepat sekali kamu sampai” “Sudah, jangan banyak tanya Ma, aku sudah hampir telat ini” Sejurus semua terasa begitu terburu-buru, hanya dengan menggunakan sweater dan jeans Nirma langsung menarik tas dan mengambil telepon genggamnya. Keduanya menuju mobil dan Nuna menginjak gas lebih cepat daripada biasanya. Sebuah perusahaan besar tempat di mana papa Nuna menjadi manager di perusahaan itu, tanpa pikir panjang saat ada lowongan pekerjaan pun langsung ia tertarik dan mencobanya. Memasuki ruang interview keringat dingin membanjiri tubuh Nuna, ia coba menarik napas panjang dan hentakan kakinya sedikit mengurangi rasa gugupnya. Pertanyaan demi pertanyaan ia jawab dengan santai dan tegas. Nuna memang gadis yang memiliki kelebihan publik speaking yang bagus, ia suka sekali dengan dunia master of ceremony, hingga tak ayal ia pun mengumpulkan beberapa piala penghargaan MC yang berjejer di buffet kamarnya. Hampir setengah jam Nuna berada di sebuah ruangan panas seperti saat sidang skripsi, Nirma yang masih setia menunggu di lobi dengan bertemankan telepon genggamnya, sesaat ia merasa tenggorokannya begitu kering, dilihatnya di pojok ruangan terdapat air mineral yang disediakan untuk pengunjung. Digerakkan kakinya untuk mengambil air itu, dan tiba-tiba ia tersandung saat seorang laki-laki tak sengaja menabraknya dari arah yang berlawanan. Laki-laki itu tinggi, kulit bersih, berkacamata dan berjas rapi dan terlihat sedang menerima telepon dengan saat serius. “Maaf, saya tidak sengaja,” kata laki-laki itu dan berlalu begitu saja. Mata Nirma seolah tak berkedip, pandangannya masih tertuju pada laki-laki yang berjalan ke arah lift, meski wujudnya sudah tak telihat, Nirma tetap saja terpana, seperti ada keanehan yang ia rasakan. Suara Nuna mengagetkan dengan penuh antusias. “Nirma, aku diterima di perusahaan ini” Rasa euforia membumbung tinggi pada harapan yang kini telah Tuhan berikan, keduanya berpeluk erat tanda bahagia kini telah menyelimuti. Tak henti-hentinya senyum lebar selebar angkasa Nuna perlihatkan di setiap perkataan. “Selamat ya Nuna, aku bangga padamu” “Aku akan traktir kamu, ayooo” “Aku sedang tidak ingin makan, ke rumahmu saja bagaimana? Aku rindu sama tante Sofia” “Kamu rindu mamaku, baiklah...sekarang juga kita ke rumah” Nuna tak hentin-hentinya bernyanyi dengan rasa kegembiraan yang begitu mendera kalbu. Posisi yang sekarang ia jabat adalah benar-benar sesuai dengan passionnya. Dia sungguh tak bisa membendung kebahagiaan hingga di dalam mobil tak sedikit pun ia berteriak kegirangan. Nirma pun sontak tertular virus bahagia dari Nuna, ia pun menyetel audio musik dengan begitu keras sampai pada akhirnya mereka telah sampai di rumah tujuan tanpa terasa. “Tante Shofi.....” panggil Nirma. “Haloo sayang...sudah berapa hari tante tak melihatmu, Nirma sehat?” “Alhamdulillah sehat tante, tante bagaimana?” “Tante juga sangat sehat” Perbincangan mereka berlanjut dengan begitu hangat, tak lama kemudian papa Nirma datang ikut serta menjadi bagian dari topik demi topik yang dibahas dalam perjumpaan tersebut. Hingga kembali orang tua Nuna mengajak Nirma untuk tinggal bersama. Mereka sudah menganggap Nirma seperti keluarga sendiri, hampir 4 tahun Nirma dan Nuna bersahabat baik. Tapi Nirma tetap pada pendiriannya, ia menolak dengan halus tawaran dari orang tua Nuna, ia masih menikmati tempat tinggalnya meski hanya berupa satu petak bangunan yang sangat sederhana. Sore menyapa, sang jago merah telah berada di ufuk barat, sinarnya hampir tertutup oleh senja, hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang pulang dari segala aktivitas yang dilakukan, tak terkecuali Nirma, ia pamit pulang dengan mengendarai ojek online, sekali lagi ia pun menolak diantar oleh sahabatnya itu untuk kembali ke tempat kosnya, dengan senyum merekah Nirma pamit undur diri dengan hati yang dipenuhi dengan cinta keluarga kedua baginya. Sendiri dalam bangunan penuh warna merah muda, beberapa kata motivasi terpampang di dinding kamarnya, Nirma membuka laptopnya, berharap ada kabar baik tentang email yang ia kirimkan untuk melamar pekerjaan. Tak lama ia pun mendapati sebuah jawaban yang sangat membuatnya bahagia, sebuah sekolah PAUD berbasis bilingual telah mengundangnya esok pagi untuk mengikuti tes dan interview calon tenaga pendidik. Ia sungguh merasa bahagia, meski ini barulah langkah awal yang ia pun tak tahu akan diterima atau malah sebaliknya. Diambilnya telepon genggam di atas meja dan ia pun mengabari Nuna sebagai sebuah kabar yang sangat membahagiakan. Dipejamkannya mata yang sebenarnya masih enggan untuk tertutup, Nirma menyematkan beribu harapan yang indah untuk menjalani esok pagi, ia pun telah mepersiapkan segala sesuatu sebelum ia baringkan tubuhnya, selimut bercorak monokrom itu melilit dengan guling yang tengah dipeluknya, lampu kamar telah padam, Nirma mencoba masuk ke alam mimpi dengan sebait doa yang ia panjatkan. Suara alarm yang bersumber dari telepon genggam Nirma membuat ia terbangun dari pelukan sang malam, dirapikannya selimut, bantal dan juga gulingnya. Dinyalakannya lampu dan diambilnya handuk berwarna biru dan langsung menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diri, kini Nirma bersiap-siap seolah akan menghadapi kembali ujian untuk diterima mengambdikan ilmu yang telah didapatnya, baju putih bersih dengan bawahan hitam yang tadi malam telah disetrikanya, ia sedikit memoles wajahnya, dengan disemprot sedikit parfum, ia pun seakan telah siap menghadapi tes di sekolah pilihan itu. Memandang dirinya di depan kaca yang begitu lebar, ia bergumam dalam hati akan segala mimpi yang telah ia harapkan, dengan penuh harapan Nirma pun menyangklong tasnya dan segera berangkat ke sekolah PAUD “Star Bilinguall”. Dengan memesan ojek online tak lama ia pun segera melenggang dengan untaian doa yang selalu ia panjatkan di sepanjang jalan. Dilhatnya sekitar sepuluh pelamar yang masih menunggu giliran untuk tes dan interview, dipandanganya beberapa calon pelamar yang sepertinya sudah berpengalaman. Nirma mencari tempat duduk yang bisa ia gunakan untuk sekadar mencari inspirasinya dan menghilangkan segala rasa ketidak yakinannya itu. Ia ingin merubah suasana gugup ini menjadi sesuatu yang bisa ia taklukkan. Duduklah Nirma di sebuah kursi di sudut ruang, dipandangnya beberapa anak-anak kecil lucu nan menggemaskan berlari di depannya dengan tawa yang bertebaran. Sesaat ia pun teringat akan mendiang ibunya, sebuah pesan yang menjadi harapan baginya, “Tuhan akan mengubahmu jika kamu pun bisa merubah dirimu, kalau ingin sesuatu tinggal tengadahkan tangan lalu memintalah, Tuhan tak akan pelit untuk tidak memberi apa yang diminta hambanya” Nirma menunduk, ia letakkan tangannya di atas tas yang dipangkunya, menengadah dengan penuh pertolongan, matanya terpejam, ia tengah meminta sesuatu pada Tuhannya, sampai tak terasa air mata menghiasi pipinya tanpa terduga. “Kakak kenapa menangis?” Sontak Nirma membuka mata dan mengusap air matanya, dipandangnya wajah gadis kecil yang sungguh cantik, rambut panjang dengan pita merah jambu menghiasi hitam rambutnya. Nirma tersenyum simpul dan memandang gadis itu dengan tetapan penuh cinta. “Kakak sedang berdoa”, jawab Nirma. “Kata Bunda kalau berdoa harus yang tulus biar dikabulkan sama Allah” Gadis itu kemudian berlalu saat bel berdering tanda masuk kelas, Nirma seperti sedikit terhibur dengan kata-kata gadis itu, ia terlihat lebih tenang dan kini tinggal satu giliran lagi Nirma akan masuk ruangan untuk mengikuti tes dan interview. Ditegakkan wajah Nirma dengan penuh percaya diri saat memasuki ruangan yang kali pertama ia datangi, didapatinya Ibu kepala sekolah, ketua yayasan dan satu guru kelas di ruangan itu. disalaminya ketiga orang tersebut lalu ia mengambil posisi untuk duduk di kursi yang telah disediakan. Ada bebera lembar soal yang harus Nirma kerjakan, dengan 50 soal tak ada 30 menit Nirma sudah bisa menyelesaikan soal itu dengan sangat baik, selanjutnya saat sesi wawancara Nirma diminta untuk menunjukkan satu keahlian yang ia punya, tak ragu Nirma pun unjuk kebolehan dalam bidang seni tari dan menggambar. Selesainya Nirma menarik napas panjang dengan berhiaskan keringat saat harus mengeluarkan energi tubuhnya untuk sekedar menunjukkan tari semut dan tari barong. “Baik Bu Nirma, silakan tunggu diluar, kami akan berdiskusi selama 15 menit dan nanti kami akan umumkan siapa 2 orang yang akan bergabung di sekolah kami” Menunggu adalah pekerjaan yang sebenarnya menguras emosi Nirma, dipandanginya bebrapa bangunan di tempat ini, berjejer beberapa foto anak-anak berprestasi dalam mengikuti beberapa lomba yang telah diadakan, banyak pula piala yang terpampang nyata di dalam almari kaca yang sangat besar terletak di lobby sekolah ini. Jarum jam berputar terasa begitu lama, padahal waktu yang dbutuhkan untuk berdiskusi hanya 15 menit, dipandangnya jam dinding dengan penuh rasa bosan, tak lama kemudian satu persatu calon pelamar pun dipanggil untuk mengetahui hasil akhir. Nirma menggenggam tangannya begitu erat, jantungnya berdetak begitu cepat, calon pelamar yang sudah keluar dari ruangan terlihat wajahnya tertekuk tanpa berhiaskan senyuman, mereka satu persatu telah meninggalkan sekolah yang sangat megah ini. Apa mungkin mereka tidak diterima?, Nirma berpikir keras, sebentar lagi giliran ia yang akan kembali memasuki ruangan yang menegangkan baginya, langkah demi langkah ia lewati hingga tepat berada di depan pintu ruangan, d**a Nirma terasa sesak seakan ia tak sanggup bila ia harus mendengar kata gagal, sebelum memasuki ruangan yang masih tertutup, Nirma kembali memejamkan matanya dan sejenak berdoa agar harapannya tak bertepuk sebelah tangan. “Bu Nirma, dari hasil tes tulis dan interview bagus, akan tetapi kami belum bisa menerima Bu Nirma untuk bergabung di sekolah ini” Nirma mencoba melapangkan dadanya. Harapannya belum bisa terwujud saat ini. meski kekecewaan hadir dalam setiap angannya, tapi Nirma mencoba untuk menerima keadaan. Kini dia harus kembali pulang dengan rasa tertahan. Diam dan tak sanggup untuk mengatakan kesedihannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN