Part 16 - Vas Bunga

1883 Kata
Asila berdiri dengan wajah manisnya. Dia yang merasa penasaran dengan wanita yang berada di foto yang kini tengah ditanyakan pada papanya itu. Namun Hendra masih menatap putri kecilnya dengan senyum kasih.“Pa, kenapa diam? Ini foto mama Asila ya, Pa?” tanya Asila lagi. “Bukan, Sayang. Itu foto Oma waktu masih muda.” “Oma cantik ya, Pa.” “Iya.” Hendra menutupi sebuah kebenaran yang tak ingin diketahui anaknya. Kepergian sang mama dengan sengaja itu membuat Hendra seakan tak ingin mengenalkan Rosma pada Asila. “Pa, Ayo kita main.” Hendra tak pernah bisa menolak ajakan sang putri. Meski lelah tubuhnya, semua yang diinginkan sang putri harus terwujudkan. *** Hari pernikahan Nuna semakin dekat. Namun sampai detik ini dirinya belum juga mendapatkan informasi tentang keberadaan Nirmala. Beberapa cara sudah dilakukannya. Mulai dari kirim pesan di beberapa media sosial Nirmala, mencari di tempat kos dan juga bertanya pada beberapa teman-teman alumni kampus. Namun tak ada hasilnya. Ada ruang yang seakan kosong di hati Nuna. Hilang dengan bekas yang sangat mengesankan. Namun kekosongan itu masih saja terus mengiringi hari-harinya yang dirasa kurang sempurna. Tak ada teman diskusi sebaik Nirmala, dan tak ada pula teman yang sangat sabar serta mengerti seperti Nirmala. Nuna sangat merasa kehilangan. Penyesalan memang tak pernah datang di awal. Menyisakan sebuah rasa yang sangat mengganjal dalam dadaa. Merintih namun tak bisa mengembalikan sebuah keadaan. Semua hanya bisa terkenang dengan kepahitan yang begitu nyata. Hari ini undangan pernikahan Nuna akan disebar. Ada satu nama yang tak bisa dituju. Dia adalah Nirmala. Ke mana lagi kaki akan melangkah mencarinya. Di ujung nestapa Nuna hanya bisa berandai-andai dalam bayangan semu yang samar. “Nirma, Kamu mau kan jadi bridesmaid buat Aku?” “Tentu saja Nuna, Aku akan berdandan cantik demi dirimu.” “Aku bahagia Nirma, Aku juga menginginkan Kamu segera bertemu dengan Arjunamu.” “Tentu saja, Aku akan segera menyusulmu.” Untaian kata itu hanya sebuah ilusi yang tak bisa terjadi kini. Bias kerinduan menjelma menjadi bayangan yang sulit untuk diwujudkan. Nuna memendam rasa sakit di batinnya. Tak tahu bagaimana rasa bersalah itu terus menggerogoti hatinya. *** Mama Rose dan suaminya telah kembali dari luar kota. Kerinduan pada sang cucu pun membuncah. Peluk cium seerat mungkin dihadirkan penuh dengan kasih sayang. Tiada yang dituju pertama kali saat di rumah selain Asila. Senyum, tawa tan tingkah Asila begitu candu bagi semua orang yang tinggal di rumah. Bila putri kecil itu menangis, maka dunia terasa hancur. Namun sebaliknya bila malaikat kecil itu tertawa riang penuh kebahagiaan, dunia terasa seperti pelangi dengan banyak warnanya. “Oma, Opa, hari ini Aku mau pindah di sekolah baru?” “Oh, iya ...” “Iya, Oma. Kata Papa di sekolah baru lebih menyenangkan.” “Begitu, ya.” Celoteh Asila di meja makan dengan riang membuat mama Rose bertanya-tanya dalam hatinya. Sekolah baru beberapa bulan dan sekarang harus dipindah. Serasa ingin cepat menanyakan alasan pada putranya. Sejurus Asila akan berangkat ke sekolah barunya bersama Nirmala. Pamit dengan salam dan mencium tangan semua keluarganya. Diantar sopir pribadi, Asila pun siap belajar di tempat yang baru. “Kenapa Asila pindah sekolah?” “Sekolah yang lama mutunya kurang bagus, Hendra hanya inginkan pendidikan terbaik untuk Asila.” Hendra menutupi apa yang sebenarnya dilakukan. Dia tak mau berdebat dengan mamanya. Tak lama Hendra pun segera bertandang menuju kantornya. *** Nirmala menunggu Asila dengan cukup diam. Dia menatap sebuah instansi pendidikan yang begitu maju. Tak kalah bagus dengan sekolah Asila sebelumnya. Seperti ada suntikan semangat untuk mewujudkan mimpinya suatu saat nanti. Jika Asila sudah dewasa dia tak akan menjadi pengasuhnya lagi. Nirmala akan berusaha untuk menggapai mimpi yang tertunda. “Mbak, Ibu mau bicara.” Tiba-tiba sopir pribadi yang selalu mengantarkannya memberikan telepon genggang padanya. Nirmala pun segera berbicara pada mama Rose lewat bantuan ponsel itu. “Ada apa, Bu?” tanya Nirmala. “Kenapa Asila harus pindah sekolah?” Seketika Nirmala terdiam. Dia menatap langit biru yang begitu cerah. Namun tidak seperti hatinya yang keruh. Nirmala takut bila apa yang akan dikatakan membuat pak Hendra tak menyukainya. “Tolong jawab Nirmala.” “Apa Ibu sudah tanya ke Pak Hendra? Saya takut lancang, Bu.” “Jangan khawatir, Saya bisa ambil sikap, Nirmala.” Nirmala bergeming sebelum akhirnya dia memberikan jawaban pada sang majikan. Jika sudah begitu dirinya tak bisa apa-apa. Selain jujur dengan menceritakan apa yang sedang terjadi. “Di sekolah lama akan ada perayaan hari Ibu, di situ membuat Asila bersedih. Lalu pak Hendra memindahkan ke sekolah baru agar Asila tak memikirkan tentang sosok ibu lagi, begitu Bu kurang lebihnya.” “Terima kasih, Nirmala. Saya titip Asila ya.” Pembicaraan itu berakhir. Nirmala menyerahkan ponsel itu kembali pada sopirnya. Tiba-tiba saja Nirmala terkejut. Seorang guru memanggilnya dan meminta Nirmala untuk menuju ruang guru secepatnya. “Maaf Bu, ada apa?” “Mbak Nirmala, pengasuh dari Asila?” “Betul, Bu.” “Saya mau tanya, kenapa Asila tiba-tiba bersedih saat disuruh untuk menceritakan tentang ibu?” “Apa Bu?” “Sebentar lagi sekolah kita akan mengadakan perayaan hari ibu, untuk prolognya, tadi saya menyuruh setiap anak menceritakan tentang ibu atau siapa pun wanita yang dicintai, boleh oma, tante dan siapa saja, namun Asila tak mau bercerita, dia terdiam dan menangis.” Mendengar penjelasan guru baru itu. membuat Nirmala pun terdiam seketika. Dia bisa membayangkan bagaimana sesak hati anak asuhnya itu. “Lalu sekarang bagaimana keadaan Asila, apa dia masih menangis, Bu.” “Tidak, kami sudah bisa mengatasinya.” “Maaf, Bu, Asila memang tidak tinggal bersama mamanya.” “Broken home?” “Saya kurang mengerti, Bu. Mungkin Ibu bisa menanyakan langsung pada pak Hendra, papa Asila.” “Baik kalau begitu, terima kasih sudah berkenan memberikan informasi pada kami.” Pembicaraan itu pun berakhir. Nirmala kembali merasakan goresan rasa di hatinya. Menunggu Asila dengan sabar. Bel pulang kini dinantinya. Nirmala ingin memastikan jika kondisi anak kesayangannya itu baik-baik saja. Tak lama Asila pun pulang dengan wajah tertekuk sayu. Namun dia tak menangis. Hanya sekadar malas untuk berbicara. Pertanyaan Nirmala tak dijawabnya. Masuk ke dalam mobil Asila memilih untuk tidur dan tak menanggapi setiap kata yang keluar dari bibir Nirmala. Mama Rose yang melihat Asila pulang dengan wajah tak membahagiakan itu pun merasa terkejut. Biasanya setiap pulang sekolah, Asila selalu berceloteh dan menceritakan hal sekecil apa pun yang telah dilaluinya di sekolah. Namun tidak dengan hari ini. Asila sedang cemberut dan tak ingin keluar kamar. Dia memilih membuyarkan segala kekesalannya itu dengan membungkus diri. Tidur dengan cepat. Mama Rose pun segera menanyakan hal itu pada Nirmala. Dengan tegas Nirmala menceritakan apa yang terjadi di sekolah. Semua berkaitan dengan sosok ibu. Mama Rose pun tak bisa diam melihat guratan kesedihan di wajah cucunya. Masuk ke dalam kamar Asila dengan untaian harap yang menggebu dalam hati. Ingin merubah keadaan yang tak semestinya dirasakan oleh sang cucu. “Sayang, kenapa harus cemberut begitu.” “Sebenarnya mama Asila kemana, Oma?” “Mama Asila sudah tidak ada, Sayang.” “Asila mau punya Mama, seperti teman-teman di sekolah.” “Asila kan punya banyak mama, ada oma, ada mbak Nirmala, ada Bibi. Semuanya sayang sama Asila.” “Tapi Asila tidak punya, Mama.” Tangis Asila kembali meraung. Dipelukan omanya dia menumpahkan sejuta rasa yang menyesaki setiap partikel di dalamnya. Mama Rose membelai mesra rambut panjang Asila. Mendekap penuh dengan kasih sayang. Sakit yang dirasakan Asila seolah menyeterum slide demi slide yang dulu pernah terjadi di beberapa lembar memori kehidupan keluarganya. Rosmalina yang meninggalkan Asila tanpa kata. Perceraian yang hanya diwakilkan pengacara. Tak ada kabar apa pun dari sosok wanita yang seharusnya menyayangi putrinya itu. Mama Rose menitikkan air matanya. Haru biru kini bersatu. Cucunya memang tak pernah salah. Dia adalah korban dari masalah kedua orang tuanya. Berusaha menghibur Asila dengan segala cara, namun Asila tetap saja mengeluarkan air matanya. Hingga merasa lelah. Asila pun tertidur di pangkuan sang oma. *** “Kenapa harus memindahkan Asila di sekolah baru? Kamu mau mempermainkan psikis anakmu?!” “Maksud Mama apa?” “Hari ibu itu bukan untuk dihindari Hendra, tapi kita yang harus menghadapinya.” “Hendra hanya tak mau Asila tahu tentang mamanya.” “Tapi tidak dengan memindahkannya ke sekolah lain, dengan harapan sekolah itu tak mengadakan perayaan hari spesial untuk memberikan penghormatan pada ibunya.” “Sudahlah, Ma. Asila baik-baik saja.” “Asila bukan Kamu, Hendra. Dia menangis dan menanyakan di mana mamanya.” “Mama jawab apa?” “Kamu harus berikan pengertian, dia sudah bisa mengerti. Kita tidak boleh terus membohonginya.” “Aku ingin Asila bahagia tanpa mamanya, itu saja, Ma.” “Mama tahu itu. Tapi dia tersiksa dengan keadaan ini, katakanlah tentang siapa mamanya sebenarnya.” “Aku akan coba.” Hendra terdiam. Berpikir dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Satu persatu benang itu pun diurai. Dia tak ingin mengambil langkah yang salah. Baginya kebahagiaan Asila di atas segalanya. *** Malam itu Asila tak mau belajar dan juga tak mau makan. Dia hanya ingin berada di kamarnya. Bermain dengan boneka-boneka lucunya. Bersandiwara tentang sebuah keluarga yang utuh. Nirmala yang melihat kondisi itu pun segera menceritakan pada majikannya. Hendra, mama rose dan juga suaminya segera menuju ke kamar Asila. Mereka ingin membujuk Asila agar bisa kembali riang seperti sedia kala. Hendra memeluk Asila dan menatap kedua bola matanya tanpa lepas. “Anakku sayang, kenapa tidak mau makan dan belajar?” “Asila tidak lapar dan Asila tidak mau pergi ke sekolah, jadi untuk apa Asila belajar.” “Katanya mau jadi dokter, dokter itu harus pintar dan harus belajar sejak kecil.” “Pa, sebenarnya Asila punya mama atau tidak?” Hendra tersentak mendengar pertanyaan Asila. Dia yang sama sekali tak menyangka bila pertanyaan itu dihadirkan kembali padanya. “Kenapa tanya begitu?” “Kata bu guru, kita lahir di dunia ini dari rahim seorang mama. Lalu kalau bukan dari mama, Asila lahir dari siapa?” “Asila lahir dari perut mama juga kok.” “Lalu ke mana Mama Asila, Pa?” Hendra menarik napas panjang. Kemudian menatap ama Rose penuh arti. Mama Rose menjawab tatapan itu dengan senyuman dan anggukan. Hendra kembali beradu pandang dengan Asila. Menatapnya penuh cinta kasih. “Papa juga tidak tahu di mana Mama Asila.” “Kenapa begitu?” “Karena Papa dan Mama Asila sudah tidak bisa hidup bersama.” “Kenapa tidak bisa?” Hendra mengambil vas bunga yang ada di atas meja. Memegang vas yang masih berisi bunga mawar itu. Seketika Hendra membanting vas bunga itu ke lantai. Asila menutup telinganya karena bunyi keras itu mengganggunya. Hendra lalu mengambil beberapa pecahan vas bunga itu dan juga bunga yang masih utuh. Menatap kembali Asila dengan cintanya. “Asila coba perhatikan. Jika vas ini pecah, apa dia bisa disatukan lagi?” Asila menggeleng. Menatap kembali Hendra dengan mata tajamnya. “Tapi Pa, apa vas itu tidak bisa dikasih perekat supaya utuh lagi?” “Bisa sayang, tapi bentuknya masih bagus atau jelek?” “Jelek.” “Mama dan Papa Asila seperti vas bunga yang sudah pecah, tidak bisa utuh lagi untuk menjadi tempat bagi bunga yang cantik.” “Bunga itu harus dicarikan vas baru, Pa. Supaya dia punya tempat untuk menetap.” Mendengar kata-kata Asila, Hendra merasa tak menyangka. Dia cukup diam dan menatap kembali wajah polos putrinya itu.   ^Cengkir^ "Crah agawe bubrah."  (Konflik akan menimbulkan perpecahan)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN