Part - 6

1664 Kata
**Attention di part ini mengandung muatan dewasa dan kata kasar. Mohon bijak menyikapi. ====== 7 hari setelah kejadian siang itu, Benedict menghindari Aerhyn. Mereka sama sekali tak bertatap muka walau tinggal di satu unit yang sama. Benedict pergi kerja sebelum Aerhyn bangun dan pulang setelah Aerhyn tidur. Bahkan terkadang Ben sama sekali tak pulang ke rumah. Entah apa yang menyebabkan Benedict seperti menghindar Aerhyn. Ia tak mempermasalahkan kejadian minggu lalu. Ia yakin kalau Benedict khilaf, dan Aerhyn memaklumi nya. Namun kini ia merasa dirinya di jauhi, Ben tak ingin melihatnya. Terkadang ia menunggu Ben pulang dan tertidur di sofa ruang tengah. Saat tengah malam ia terbangun hanya mendapati dirinya sudah terbalut selimut. Dan itu perbuatan Ben. "Apa salah ku Tuan, setidaknya kalau kau membenci ku lebih baik katakan saja" ia tergugu sedih. Pagi itu Aerhyn tetap membuatkan sarapan untuk Ben, ia bangun lebih awal. Kalau ia terlambat pasti takkan bisa melihat wajah Ben. Ia sengaja menunggu kehadiran Benedict di ruang makan. Benedict terkejut melihat sosok wanita yang ia hindari seminggu ini. Terlihat sayu menahan kantuk demi menunggunya. Tak tega membiarkannya begitu saja. "Apa yang kau lakukan sepagi ini" tanya ben dengan nada dingin. Wajahnya datar tak ingin menunjukkan sedikit pun ekspresi pada si gadis. "Menyiapkan sarapan untuk Tuan, karena beberapa hari ini Tuan tak sarapan" Aerhyn berbicara dengan nada takut. "Aku bisa sarapan di kantor. Kau tak perlu menyiapkan sarapan lagi untuk ku" tuturnya sembari meninggalkan Aerhyn yang menunduk. Maafkan aku, ini demi kebaikan mu. Batin Ben. Aerhyn tak berani lagi menatap wajah Benedict, ia tertunduk dan membuat bulir bulir bening menggantung di kelopak matanya, pria itu ia biarkan berlalu begitu saja. Ia menyeka kasar bulir yang berhasil lolos menyentuh pipi. Berlari menuju kamarnya dan mengurung diri, menangis di balik bantal adalah caranya mengungkapkan kesedihan. Audrey dan Bianca heran mengapa Tuannya berubah. Benedict adalah orang yang disiplin. Jarang sekali melihatnya pulang dan pergi kerja di waktu yang seperti ini. Semenjak keberadaan Aerhyn Tuannya kian dingin tak tersentuh. Sosoknya kian jauh, sepertinya tembok yang ia dirikan semakin tinggi dan berbahan baja. Pagi itu hingga tiga hari kedepan Ben ada tugas keluar kota. Saat ia ingin menulis pesan pada Audrey, ia malah harus bertemu orang yang paling ia hindari dirumahnya sendiri. Kemungkinan kakak laki lakinya akan datang berkunjung dan menginap di rumahnya. Kini tak ada seorang pun di rumah yang tau bahwa Ben harus dinas luar kota. Dan kakaknya akan menginap. *** Ting tong.. Ting tong.. Pulul 8.30 pm waktu Washington. Bel rumah berbunyi, Aerhyn langsung menuju pintu untuk membukanya. Dengan senyum mengembang Ia berpikir bahwa Ben melupakan kuncinya. Karena itu ia menekan bel. "Selamat Datang Tuan" senyumnya yang mengembang tadi berubah menjadi tanda tanya. Sosok lelaki yang wajahnya serupa dengan Benedict namun berambut pirang kini berdiri di hadapannya. "Pembantu baru?" tanya lelaki itu. "Bu bukan, saya ehmm anu Tuan Benedict" jawabnya tergagap. "Oh.. Mainan baru Ben, aku kakaknya Ben, Matthew. Boleh aku masuk?" Sedikit kekehan nakal dari suaranya. Aerhyn merasa hatinya sedikit tergores karena di labeli 'Mainan' oleh kakak dari Tuannya. "Si silahkan masuk Tuan" jawabnya sopan sembari mempersilahkan Matthew masuk. Dan membantu membawakan kopernya ke dalam. "Dimana Audrey dan Bianca, aku lapar" tanya nya lagi. "Saya akan panggilkan mereka Tuan" Di apartment mewah milik Benedict ini terdapat 4 kamar utama dan 1 kamar untuk art. Setelah Aerhyn meletakkan koper Matthew ia bergegas ke dapur memanggil Bianca. Bianca membuat beberapa menu untuk di santap oleh Matthew, pria itu makan dengan lahap. Ia kelaparan karena perjalanan dari Florida menuju Washington sangat jauh. Ia hanya makan kudapan selama di pesawat. Mulutnya tak berhenti mengunyah namun matanya memperhatikan ke arah Aerhyn yang mencuci piring di wastafel. Senyum miring terukir di bibir tebalnya. Ia tak pernah tau bahwa adik satu satunya itu hobby menyimpan mainan di rumah. Tapi yang ia sadari Aerhyn sama sekali bukan type dari seorang Benedict, mengapa adiknya menyimpannya. Benedict menyukai wanita yang seksi dan dewasa. Sedangkan gadis yang sedang memunggunginya ini jauh dari kata itu. "Hey siapa namamu?" tanya Matthew di selingi kunyahannya. Aerhyn berbalik dan mengahadap Matthew. Mengelap tangannya dan sedikit mendekat walau masih dengan jarak yang cukup jauh. "Saya Aerhyn Tuan, tapi bisa di sebut Rhyn saja" jawabnya sopan. "Ok Rhyn, bagaimana kau bisa mengenal adik ku?" selidik Matthew. "Pertama kali saya kenal saat Tuan Benedict mengisi acara di pementasan tari balet" "Kau penarinya?" Matthew memastikan "Bukan. Saya hanya pengunjung" Aerhyn menjawab dan tersenyum ramah. "Lalu bagaimana kau bisa tinggak disini?" Tanya Matthew lagi. "Tuan Benedict menyelamatkan saya" suaranya sesikit bergetar "Menyelamatkan mu? Dari apa?" Matthew semakin tertarik. "Maaf Tuan, saya tak bisa menceritakannya, saya mohon undur diri" Jawab Aerhyn lemah. Ia tak ingin mengingat kejadian pahit yang pernah menimpanya, Benedict adalah orang yang menyelamatkan nya, ia ingin mengabdi pada Ben, dan menerima apa pun perlakuan Ben padanya, itu janjinya malam ketika ia di bawa kerumah ini. "Baiklah" Matthew penasaran. Ia tak mungkin bertanya pada adiknya. Dan wanita di hadapannya ini tak ingin memberi tahu. Apa hubungan mereka sebenernya. ** "Kau sudah di rumah? Minta segala keperluan mu pada Audrey atau Bianca" seru Ben berbicara dengan seseorang di balik telpon. " ...... " "Dia bukan siapa siapa, jangan berurusan dengannya" jawab Ben lagi. Nada suaranya berubah menjadi seperti peringatan. " ....... " "Besok aku pulang, tak perlu hiraukan gadis itu" Tegasnya lagi dan menutup telpon. Rahangnya mengeras, ia tau sifat kakaknya. Pringatannya hanya di anggap angin lalu. Ia tak mau kakaknya berhubungan dengan Aerhyn. Walau ia tak menyukai Aerhyn tapi ia tak ingin kakaknya menyentuhnya. Schedule nya yang seharusnya pulang besok pagi, ia percepat menjadi malam ini. Ia tak ingin terjadi sesuatu di kediamannya. *** Aerhyn bersiap untuk tidur. Mengenakan dress hitam potongan rendah yang tak berlengan di atas lutut dan berbahan chiffon. Mematikan lampu kamar. Suasana temaram. Sedikit cahaya lampu luar menembus masuk dari balik tirai kamarnya. Ketukan pintu membuatnya mengundurkan niatnya menaiki ranjang queen size di kamar itu. Tok tok Aerhyn membuka pintu dan menampilkan sosok lelaki tinggi yang wajahnya sangat mirip dengan Tuannya. "Tuan Ben? Maksud saya Tuan Matthew, ada apa" kurangnya pencahayaan membuat Aerhyn keliri hingga salah menyebutkan nama. "Kau cantik" dua kata itu yang hanya keluar dari mulutnya. Matthew mendorong pintu kamar Aerhyn, memaksa masuk. Mendekap gadis itu di pelukannya. Dan mencoba mencium bibir Aerhyn dengan paksa. Aerhyn mencoba melolosakan diri dari dekapan Matthew, air mata mulai mengalir di pipinya. Meronta dan memohon. "Tuan lepaskan, ku mohon jangan lakukan ini padaku" mohonnya diiringin tangisan. "Sshhh... Jangan menangis, Benedict tak kan marah kalau aku mencicipi mu" pujuk Matthew yang berusaha mencium Aerhyn. "Ku mohon Tuan, jangan seperti ini" tangis Aerhyn semakin pecah. Isaknya memenuhi seluruh ruangan. Plaaakk Satu tamparan mendarat di pipi mulus Aerhyn. Bibirnya pecah, darah mengalir dari sudut bibir mungil itu. "Brengs*k aku tau kau jal*ng yang dikutip adik ku, jangan merasa diri mu suci" Matthew tak sabar. Kreekk Terdengar suara baju yang di robek oleh Matthew, p******a yang tak terbalut bra terpampang di hadapan Matthew, ia memandang ganas. Ditenggelamkan wajahnya disana. Menhirup aroma jasmine dari tubuh Aerhyn. Tanpa Matthew sadari, Benedict sudah berada dirumah. Dari pintu ia mendengar isakan Aerhyn. Hatinya tak tenang. Ia yakin kakaknya pasti sudah berbuat yang tidak tidak. Benar saja sampai ia di kamar Aerhyn dilihatny kakaknya sudah bersiap ingin memperkosa gadis malang itu, sementara Aerhyn berusaha melepaskan diri. "Hentikan. Matthew aku sudah mempringatimu" suara Benedict lantang. Mengejutkan Matthew yang ada di atas tubuh Aerhyn. Dan berdiri memperbaiki celananya lalu berjalan keluar. Aerhyn buru buru menarik selimut dan menutupi diri. Isaknya masih terdengar, ia berpeluk lutut bersandar pada ujung tempat tidur. Benedict melihat ke arah Aerhyn yang ketakutan. Ekspresi Ben begitu mengerikan, ia tak pernah melihat Ben semarah itu. Benedict ingin sekali memukuli Matthew namun itu takkan terjadi, Matthew kakaknya. Kakak yang pernah menyelamatkan nyawanya ketika ia kecil dulu. Semarah apa pun ia pada Matthew ia tak mau melayangkan tangannya. "Aku hanya ingin bermain main pada wanita sok suci itu, jal*ng tak tau diri" umpat Matthew di depan Benedict. "Dia bukan jal*ng. Bukan kah aku sudah mempringatimu mu Matth" seru Ben dengan suara yang begitu dingin, membuat siapa pun akan bergidik ngeri. "Baiklah, aku tak mengganggunya lagi. Aku ingin tidur, aku lelah" putusnya dan berjalan menuju kamar. Benedict begitu marah, ia harus melampiaskannya. Dan sasarannya adalah Aerhyn, wanita yang tak bersalah. Ia kembali menuju kamar Aerhyn yang masih terbuka. Memandanginya dengan tatapan penuh amarah. "Rendahan, ini cara mu menggoda kakak ku" tuduhnya tak berdasar. "Saya.. Saya tak menggoda kakak anda Tuan" suaranya bergetar karena diiringi tangisan. "Kau bilang tak menggoda, dengan pakaian seperti ini, huh?" Hardik Ben lagi. Walau ia menyesali perkataannya. Tapi ia benci ada bekas kakaknya di tubuh Aerhyn. Aerhyn hanya bisa tertunduk. Ia tak menggoda Matthew. Lelaki itu yang memaksa masuk. "Aku membeli mu dengan harga mahal bukan menjadikan mu jal*ng untuk kakak ku" lagi lagi Ben melontarkan kata kata pedas. "Aku sedang berbicara pada mu, tatap aku brengs*k" maki Ben semakin kasar. Begitu Aerhyn menatap matanya, Ben tersentak melihat sudut bibir wanita itu mengeluarkan darah. Kepar*t kau Matthew, umpatnya dalam hati. Benedict mendekati Aerhyn, memegang wajah gadis itu dan mengangkatnya dengan paksa. Menciumi seluruh bibirnya dengan ganas. Mengahpus semua jejak Matthew. Mencumbu setiap inci yang Matthew sentuh. Meninggakkan beberapa bekas kepemilikannya disana. Aerhyn hanya pasrah, bahunya naik turun menyembunyikan tangisnya. Perlakuan Benedict sangat kasar padanya. Berbeda dengan yang ia lakukan dulu. Setelah Ben menyelesaikan aktifitas nya. Ia pun memakai kembali pakaiannya. "Jangan pernah keluar selama kakak ku disini, Bianca akan mengantar makanan mu. Mengerti" perintah Benedict. Aerhyn mengangguk cepat. Tak ingin di maki lagi oleh Benedict. Lelaki itu pun pergi meninggalkan begitu saja. Menguncinya dari luar. Seperti tahanan. Dalam gelapnya malam, Aerhyn menangis dalam diam. Tuannya yang ia kira berbeda dari lelaki kebanyakan di luar sana, mematahkan pikirannya begitu saja. Aerhyn kini sadar siapa dirinya. Ia hanya gadis yang Ben beli. Ben bebas melakukan apa pun yang ia inginkan. Ia hanya b***k bagi Ben. Selama Ben masih membutuhkan nya. Ia akan mencoba bertahan sekuat yang ia bisa. ============ To be Continued. ** Jangan lupa tinggalin jejak dengan cara vote and comment. Sebagai bentuk apresiasi pada penulis. Thx ??
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN