Bab 2. Mencuri benih

1089 Kata
“Kenapa malah diem saja? Bukannya minta maaf!” Winston kembali bersuara. Suaranya terdengar naik satu oktaf saat melihat wanita di hadapannya terlihat terlihat tidak sopan. "Anu, maaf, Mister, saya buru-buru. Saya harus bantu dokter di ruang operasi. Kalau begitu, saya permisi," pamit Roro yang sebenarnya berdusta dengan wajah tertunduk. Ia pun bergegas berlari menjauhi sosok Winston yang terlihat mengerikan di matanya. Saat sudah sedikit menjauh, Roro menoleh ke belakang. Matanya melotot saat menyadari Winston masih menatap ke arah dirinya. "Aduh, kenapa dia masih ngeliatin aku, sih? Bagaimana ini?" Roro pun segera berbelok ke arah lain agar terlepas dari pandangan Winston yang membuat jantungnya nyaris copot. Setelah menjauh dari pria yang ditabraknya tadi, akhirnya Roro bisa bernafas lega. Ia pun hendak berbalik menuju lift untuk mengantarkannya ke ruang laboratorium. "Ro, kamu kenapa?" tegur Ajeng yang tiba-tiba saja muncul. Roro sontak saja terkejut membuat Ajeng merasa heran. "Ajeng, kamu ngagetin aku, tau nggak?" seru Roro terkejut setengah mati. Ajeng terkekeh apalagi saat melihat wajah pucat Roro. "Sorry, lagian aku tuh penasaran tau nggak, kamu tuh kenapa? Kenapa tadi kamu jalan buru-buru gitu? Udah kayak liat setan aja," ucap Ajeng yang masih terkekeh. "Emang aku liat setan, Jeng," cetus Roro asal. "Apa? Serius? Di mana? Mukanya kayak gimana?"Ajeng justru penasaran. Ia menanggapi serius ucapan Roro. "Mukanya kayak kamu. Nyebelin," ucap Roro ketus membuat mata Ajeng terbelalak. Roro pun segera masuk ke dalam lift meninggalkan Ajeng yang kini bergumam kesal. **** Setibanya di ruang laboratorium, Roro pun segera melakukan pekerjaannya sesuai instruksi dokter yang sedang bekerja di sana. Satu jam berselang akhirnya tugasnya selesai. Namun, saat ia hendak keluar ruangan laboratorium, di saat bersamaan ada seorang dokter yang sedang membawa wadah steril yang secara kasat mata dapat Roro tebak apa isinya. Baru saja dokter tersebut meletakkan wadah steril itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Dokter itu pun segera mengangkat panggilan sambil berjalan ke sisi lain ruang laboratorium tersebut. Suasana laboratorium kini tampak sepi. Semua dokter yang sebelumnya ada di sana sudah keluar untuk melakukan pekerjaan yang lain. Kini tinggallah Roro seorang diri. Melihat benda yang tadi dokter itu bawa, entah kenapa menarik perhatiannya. Kakinya pun reflek mendekati meja di mana wadah steril berisi s****a itu. Mata Roro sontak bersinar. Tiba-tiba terbesit di pikirannya untuk melakukan sesuatu dengan s****a itu. Tanpa pikir panjang, Roro mengambil botol steril lain yang ada di laboratorium tersebut. Lalu ia menuangkan cairan itu ke dalam botol dan menutupnya rapat. Kemudian, ia mengantonginya dan dengan langkah cepat membawanya keluar. Karena jam kerjanya sudah hampir habis, Roro pun segera ke ruang loker dan berganti pakaian serta mengambil semua barang miliknya. Dengan jantung yang berdebar penuh rasa takut, ia pun membawa sampel s****a itu di dalam saku celananya. Untuk menjaga kualitasnya, s****a memang harus tetap dengan suhu tubuh, apalagi ia tidak membawanya dengan wadah khusus. Jadi, harus sangat berhati-hati. Oleh sebab itu, Roro menyimpannya di tempat yang paling dekat dengan kulit. Berharap ia bisa segera merealisasikan rencananya itu. Setelah berada di dalam taksi, Roro pun menghubungi seorang sahabat dekat yang akan ditemuinya. *** "Ro, kamu jangan gila! Kamu mau inseminasi dengan s****a yang kamu tidak tahu milik siapa," pekik Syasya–sahabat Roro saat di akademi keperawatan dulu. Meski tidak bekerja di rumah sakit yang sama, keduanya masih berteman baik. "Aku nggak ada pilihan lain, Sya. Please, tolong aku! Aku sangat ingin hamil. Sementara kamu tahu sendiri, aku itu udah nggak punya suami. Aku sudah diceraikan dan untuk menikah lagi pun rasanya nggak mungkin. Aku udah trauma banget dengan yang namanya pernikahan. Bagaimana kalau apa yang aku alami kembali terulang kalau menikah lagi? Aku nggak sanggup, Sya. Lagian kamu ‘kan tahu, aku sudah melakukan berbagai macam pemeriksaan dan semua hasilnya bagus, tapi kenapa aku nggak juga hamil? Makanya, aku terpaksa melakukan hal gila ini. Aku berharap s****a ini bisa membuatku hamil.” Roro menatap sahabatnya begitu sendu sambil melihat box di mana ia menyimpan s****a tadi agar kualitasnya tetap terjaga. "Ro, jangan pesimis! Bisa saja yang sebenarnya mandul itu Firman, bukan kamu," ujar Sasya berusaha membujuk Roro agar tidak melakukan hal yang menurutnya terlarang untuk dilakukan. "Dia nggak mandul, dia subur. Buktinya dia menceraikanku karena pacarnya hamil. Sekarang, anak mereka pasti sudah lahir. Mereka beruntung sekali, sementara aku ...." Roro tergugu, padahal ia sudah berjuang sejauh itu agar bisa hamil dan memberikan Firman keturunan, tapi ia tetap saja belum juga hamil. Meski begitu wanita yang belum lama masuk ke dalam kehidupan mantan suaminya justru bisa hamil secepat itu. Hati siapa yang tak sakit? Hati siapa yang tak kecewa? Tetapi dibandingkan rasa kecewanya pada Firman dan Andini, Roro lebih kecewa pada dirinya sendiri. Kenapa hingga saat ini ia tak kunjung hamil? Maka dari itu, Roro berniat melakukan inseminasi. Entah kenapa ide itu tiba-tiba saja datang setelah melihat cairan yang mengandung benih yang entah milik siapa. Ia seakan sudah jatuh cinta dan ingin cairan benih itu membuahi rahimnya meski ia sadar jika persentase keberhasilannya tidaklah besar, tetapi ia ingin mengupayakan terlebih dahulu. "Ro, tapi apa yang kamu lakukan ini ilegal," ucap Sasya yang tak ingin sang sahabat terjerat kasus. Bukan tidak mungkin, Roro bisa masuk penjara karena masalah ini. "Karena itu kita lakukan diam-diam. Kita bisa minta tolong sama dokter Risa.” “Apa, dokter Risa?” Sasya cukup tercengang mendengarnya. Harusnya ia sudah menebak arah pembicaraan Roro akan ke sana. “Bukannya kamu pernah bilang kalau dia itu lagi butuh uang banyak buat menangin kasus gugatan hak asuh anaknya. Aku bisa bayar dia 50 juta. Aku belum pernah bilang ya sama kamu, kalau Mas Firman ngasih aku uang sebanyak itu buat kompensasi. Mungkin biar aku nggak nolak saat dia minta cerai. Please, Sya … aku mohon, bantu aku, Sya! Hanya kamu yang bisa aku mintai tolong, Sya!" ucap Roro lagi dengan raut memelas. Roro tahu betul hanya Sasya yang bisa menolongnya karena sahabatnya itu adalah asisten seorang dokter kandungan. Ditambah dokter itu kini sedang mengalami masalah keuangan, ia yakin dokter itu pasti bersedia membantunya. “Baiklah, aku akan usahakan. Cuma kalau sampai nanti ada apa-apa, aku nggak mau ikut tanggung jawab, ya?” Seketika Roro mengangguk. Mengiakan jawaban dari sahabatnya itu. Di hari yang sama, hanya butuh waktu beberapa jam saja, akhirnya apa yang direncanakan Roro akan segera terlaksana. Saat ini, wanita itu sudah berada di sebuah ruangan serba putih yang tertutup. Tampak seorang dokter dan perawat sedang melakukan serangkaian proses untuk memasukkan s****a melalui kateter ke dalam rahim Roro. “Aku mohon, semoga benih ini bisa berbuah di rahimku. Akan aku buktikan kalau aku tidak mandul!" batin Roro yang nekat melakukan semua itu tanpa memikirkan akibat yang nanti akan dihadapi setelahnya. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN