Alvian Hardi Wijaya adalah putra tunggal dari pasangan Hardi Wijaya dan Elisa Wijaya. Pemilik Perusahaan Hard Energy sebagai produsen energi panas bumi terkaya di negeri ini.
Di ruang keluarga
"Al, kami akan mengizinkanmu belajar di Sekolah Menengah Atas." Ucap Tuan Hardi membuat Alvian kegirangan.
"Namun.." Tuan Hardi menghentikan kalimatnya. Alvian mulai merasa tidak enak hati.
"Ada syarat yang harus kamu penuhi." Alvian sudah bisa menebaknya, tidak semudah itu orang tuanya mengabulkan keinginannya.
"Oke. Apa syaratnya?" tanya Alvian.
"Tidak hanya satu, tapi beberapa syarat." Ucap Tuan Hardi menantang Alvian.
"Baik. Aku akan penuhi syaratnya." Alvian bahkan menjawab tantangan ayahnya sebelum mengetahui syarat-syarat yang diberikan ayahnya.
"Pertama." Ayahnya mulai membuka suara membuat hati Alvian deg-degan.
"Kamu akan bersekolah tanpa memberitahu identitas aslimu sebagai anak Mommy dan Daddy," ucap Tuan Hardi.
Alvian mengangguk, menyanggupi syarat pertama.
"Kedua.." Tuan Hardi berhenti sejenak, hati Alvian kembali berdebar.
"Daddy tidak akan memberikan fasilitas mewah padamu. Kamu akan hidup seperti anak biasa, hidup sederhana." Ucap ayahnya membuat perdebatan dalam hati Alvian apakah ia sanggup atau tidak.
"Ketiga.." Tuan Hardi melanjutkan.
"Tunggu Dad!" Ayahnya masih akan bicara, namun Alvian menghentikannya.
"Kenapa? Kau mulai ragu." Tuan Hardi tidak menyangka jika anaknya akan terlalu cepat menyerah.
"Tidak Dad, bukan itu. Menurutku kedua syarat itu sudah cukup adil untukku. Tidak adil bila Daddy memberikan banyak syarat jika dua saja sudah cukup berat," ucap Alvian.
Kedua orang tuanya tersenyum mendengar protes anaknya.
"Memang itu yang kami inginkan, agar kamu tidak keluar dari mansion ini," ucap ibunya dalam hati.
"Ya sudah, Daddy hanya beri kedua syarat itu untukmu, jika salah satunya dilanggar, kamu akan kembali ke homeschooling," ucap Tuan Hardi dengan tegas.
Akhirnya Alvian menyanggupinya. Mulai besok ayahnya akan mendaftarkan Alvian sekolah di SMA Pelita Bangsa, Sekolah terbaik di Kota Sedang.
Pagi ini Alvian mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lancar. Kebetulan saat homeschooling pelajaran di sekolah umum ini di pelajari lebih awal, sehingga Alvian bisa dengan mudah mengikutinya.
Suara bel istirahat telah berbunyi. Anak-anak mulai riuh kesana kemari. Ada yang hendak pergi ke kantin, berkumpul bersama teman satu tongkrongannya, ada pula yang hanya berdiam diri di bangkunya sendiri.
Alvian hendak pergi ke kantin. Namun di luar dugaannya, Dimas teman barunya, tidak bisa menemaninya pergi karena dipanggil ke ruang OSIS dahulu.
"Sorry ya Al, Lo duluan ke kantin nanti gue nyusul. Ada something wrong di sana." Dimas yang bertugas sebagai salah satu anggota OSIS harus ikut rapat.
Akhirnya dengan terpaksa Al berjalan sendiri. Kini ia tengah menyusuri jalan yang tadi pagi ia lalui bersama Dimas. Tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada seorang wanita cantik yang sedang membersihkan kelasnya.
"Dari sekian banyak siswa di kelasnya hanya dia yang tinggal di sana." Gumam Al dalam hati.
Wanita itu sekilas melihat ke arah Al. Al hanya melihatnya dari jendela-jendela yang ia lewati, namun sangat gugup ketika pandangan mereka tidak sengaja bertemu. Al buru-buru berlari menuju kantin dengan perasaan yang tidak keruan.
Hati Al berdebar, jantungnya berdegup kencang. Baru pertama kali ia merasakan perasaan ini. Di kantin ia senyum-senyum sendiri. Tiba-tiba di belakang.
"Dooorrr!!" Dimas mengejutkan Alvian yang masih memegangi sedotan minumannya saja. Beruntung ia belum meminumnya, jika tidak mungkin ia bisa tersedak.
"Rese Lo! Ngagetin gue." Ucap Alvian antara kesal dan pikiran masih terbayang wanita itu.
"Haha. Emang niat gue bikin Lo kaget." Dimas masih puas melihat ekspresi Alvian yang kaget karenanya.
"Jangan keseringan Lo bikin kaget orang. Gimana kalo mereka punya penyakit jantung?" Tanya Alvian mulai serius.
"Iya-iya sorry. Gue juga pilih-pilih orang kali. Lo kan masih muda masa sih bisa jantungan. Hahaha." Dimas masih menertawakan Alvian, ia membayangkan jika benar sahabatnya ini collapse gara-gara dikagetkan.
"Sial Lo! Makan nih!" Alvian menyumpal mulut Dimas dengan gorengan yang ada di depannya.
Dimas yang kaget, mengeluarkan kembali makanan yang dimasukkan Alvian ke mulutnya.
"Sialan Lo! gue ga suka bakwan. Uhuk-uhuk." Dimas mengumpat sampai terbatuk-batuk. Beruntung bibi kantin tepat waktu membawakan minuman dan makanan pesanannya. Dimas segera menyeruput minumannya.
"Hahaha." Alvian tertawa dengan puas.
"Nah! Udah tahu sendiri kan rasanya dikerjain." Ucap Alvian yang belum berhenti tertawa melihat ekspresi wajah Dimas.
Mereka merasakan puas satu sama lain, menganggap sekarang skor imbang.
"Ya udah buruan makan! Keburu masuk kelas." Ucap Alvian diikuti Dimas yang melahap makanannya.
Alvian dan Dimas sudah selesai dengan makanannya. Mereka hendak kembali ke kelasnya.
"Dim ini kelas XII ya?" Tanya Alvian pada Dimas ketika melewati kelas wanita tadi.
"Iya Kelas XII-IPA 1. Kenapa emang?" Tanya Dimas penasaran.
"Nggak apa-apa." Jawab Alvian pura-pura biasa.
Tiba-tiba ketika Alvian masih mencari sosok perempuan yang ingin ia lihat kembali.
Bruk!
Alvian bertabrakan dengan wanita yang sedang ia cari-cari. Ia hampir tidak bisa bergerak. Wanita di depannya merasa aneh melihat Alvian, namun ia melewati Alvian dan Dimas dengan memaksakan senyum di wajahnya.
"Dim," Alvian memegang tangan Dimas setelah wanita itu berlalu.
"Apa?" Dimas ikut merasa aneh dengan tingkah temannya itu.
"Siapa perempuan yang tadi lewat?" Tanya Alvian terlihat gugup.
Dimas mulai merasa ada yang tidak beres.
"Lo suka ya sama Kak Rina?" Tanya Dimas asal menebak.
Alvian refleks memukul punggung Dimas.
"Jangan kenceng-kenceng ngomongnya!" Bisik Alvian.
Dimas masih menahan rasa antusiasnya.
"Gila Lo baru satu hari udah punya gebetan. Apalagi kalo Lo tahu banyak cewek cakep disini." Dimas mengejek Alvian.
Alvian ingin sekali menyumpal kembali mulut temannya ini, tapi apa daya bel sudah berbunyi membuat mereka berlarian menuju kelasnya diiringi tawa Dimas masih membayangkan Alvian yang menyukai kakak kelas mereka.
Sandrina Natasya Aurora
Memiliki nama panggilan Rina. Usianya kini 18 tahun 6 bulan. Waktu kecil Rina terlambat masuk Sekolah Dasar karena ia sering sakit-sakitan. Jadi di kelasnya memang Rina yang lebih dewasa dibanding yang lain.
Rina adalah salah satu murid pintar di sekolahnya. Ia banyak menyumbang piala dalam berbagai macam lomba di sekolah. Beberapa bulan lagi ia akan menghadapi Ujian Akhir Sekolah, ia sedang fokus belajar untuk ujian juga tes mendapatkan beasiswa masuk perguruan tinggi.
"Rin awas!" Teriak teman laki-laki di kelasnya.
Sebuah penghapus papan tulis hampir mengenai wajahnya. Beruntung ia bisa menangkapnya dengan cepat. Teman-teman di kelasnya kebanyakan masih bertingkah kekanak-kanakan.
Sandrina menarik nafasnya berat. Kelas yang sudah ia rapikan terlihat berantakan kembali. Ia mengelus dadanya, ia pikir memang tak semua orang mempunyai hati dan pikiran yang sama dengannya.
Di kelasnya Rina adalah seorang ketua kelas. Ia adalah siswi terajin yang harusnya dijadikan panutan oleh teman-temannya. Namun sebaliknya, bukannya menjadikan panutan kebanyakan teman-temannya ini malah menjadikannya sebagai bulan-bulanan.
Rina kembali duduk di kursinya. Ia mulai mempelajari kembali buku mengenai soal-soal ujian akhir sekolah. Tiba-tiba.
"Bruk!"
Suara buku yang dilemparkan geng anak perempuan populer di kelasnya.
"Isi semua jawabannya dengan benar!" Ucap ketua geng yang menamai mereka The Queens.
Sandrina sudah bersama teman-temannya ini selama 3 tahun. Ia tahu watak mereka jika tak menuruti keinginannya hanya akan menimbulkan masalah.
Sandrina mengambil buku-buku itu, lalu mulai mengerjakan soal-soalnya.
Cassandra, dia adalah ketua geng anak perempuan di kelasnya. Sering di panggil Queen. Memikirkannya saja membuat Rina sakit kepala.
Pernah ketika Rina tidak menuruti keinginannya, ia malah dijadikan bulan-bulanan anak laki-laki yang menyukai Cassandra. Sejak saat itu Rina tidak ingin lagi membuat Cassandra kesal padanya.
"Ini Queen." Ucap Rina sambil memberikan buku-buku yang tadi diberikan Casandra.
"Oke. Good!" Cassandra mengibaskan tangannya menyuruh Rina kembali ke tempatnya.
Rina berbalik. Ia sedikit mengomel dalam hati.
"Bukannya mengucap terima kasih, malah mengusir seenaknya saja." Rina menghela nafas panjang.
Ia ingin belajar untuk dirinya sendiri, namun selama masih ditindas oleh The Queens ia tahu ketenangan yang ia harapkan hanyalah mimpi baginya.
Di kelas tidak ada yang mau mendekati Rina, karena mereka takut dijadikan bulan-bulanan oleh Cassandra dan yang lainnya. Rina pun mengerti, untuk itu ia lebih banyak menghabiskan waktu sendiri.
Sebenarnya dulu di kelas X banyak teman-teman laki-laki yang menyukai Rina. Rina adalah wanita yang mendekati sempurna di kelasnya, namun karena Cassandra merasa iri pada Rina ia selalu membuat orang-orang yang dekat dengan Rina mengalami masalah.