"Kiya! Kali ini lo di ambulans aja," tutur Gala. Lelaki itu agak khawatir karena saat demo terakhir, Zakiya dipukul polisi dengan pentungan. Memang tidak sengaja saat itu. Zakiya hanya berusaha menghadang polisi yang ingin memukul beberapa mahasiswa.
"Gue lebih seneng megang kamera," tuturnya. Ia sudah menggantung kamera di lehernya. Biasanya ia mengambil beberapa potret mahasiswa yang sedang melakukan orasi. Itu mengingatkannya pada saat ia kuliah sarjana dulu. Ia kan aktif demo. Segala kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat selalu ia kritik. Bahkan ia beberapa kali diundang ke gedung DPR sebagai perwakilan mahasiswa. Tapi lagi-lagi ia tahu kalau akhirnya hanya dijadikan formalitas oleh pihak pemerintah. Segala demo mereka tidak ada gunanya karena pemerintah sudah mengambil keputusan tersendiri. Keputusan yang katanya dibuat atas nama rakyat. Entah rakyat mana yang mereka maksud.
"Lo jangan jauh-jauh dari ambulans Kiya. Semua orang akan nyari lo kalo ada apa-apa."
Zakiya mendengus. "Kalo ada apa-apa lari ke pos. Kita udah bikin spot aman."
Gala menghela nafas. Mahasiswa baru saja berdatangan beberapa menit lalu. Tapi ia sudah deg-degan. Takut sesuatu terjadi lagi. Terakhir saat mereka demo terkait pembangunan ibu kota baru yang dinilai pemborosan hutang negara, sebagian besar dari mereka ditangkap dan sebagian kecil terluka parah hingga dirawat di rumah sakit. Termasuk Zakiya yang saat itu tak sadarkan diri. Gala sangat ketakutan saat itu. Namun entah kenapa ia selalu aktif lagi berdemo.
"Hanya Tuhan yang bisa mencabut nyawa mereka," keluhnya.
Zakiya yang baru saja memfokuskan kameranya pun menoleh.
"Siapa yang lo maksud?"
"Seragam berbaju coklat. Mereka gak lain hanya lah kaki-tangan pemerintah."
Zakiya terkekeh. "Ini belum seberapa parah dibanding demo kita yang terakhir."
Gala mengangguk-angguk. "Kapan mereka berhenti bikin orang-orang kayak kita ini khawatir? Ngambil keputusan cuma mikirin perut sendiri bukan rakyatnya."
Zakiya terbahak. "Sejak kapan orang yang punya jabatan gak egois? Biar pun gak semuanya tapi seratus persen pejabat yang tertangkap itu karena korupsi. Lo ingat waktu kita kuliah?"
"Yang kapan?"
"Waktu kita ngajuin dana ke salah satu kementerian."
"Aaah." Gala mengangguk-angguk.
"Kita ajukan dana 85 juta tapi tiba-tiba disuruh tanda tangan laporan pendanaan sebesar 100 juta. Lo tahu kan lima belas juta masuk ke mana?"
Gala terkekeh. Itu sudah biasa. Makanya terkadang kementerian suka kalau ada mahasiswa yang datang mencari dana. Mereka bisa mengambil beberapa keuntungannya.
"Perjalanan dinas ke Papua naik pesawat bermerk BUMN yang mewah. Lo paham berapa banyak dana yang habis hanya untuk sebuah perjalanan dinas mereka? Kalo mereka bagikan itu ke orang miskin, mereka bisa makan lebih dari sebulan."
Zakiya masih berceloteh. Ia sebetulnya emosi kalau memikirkan hal-hal semacam itu. Tapi ya mau bagaimana lagi? Ia bukan pejabat yang memiliki kekuasaan yang bisa menghapus semua kenyamanan mereka.
"Yang itu lucu kata-katanya," tutur Gala. Ia menunjuk salah satu spanduk yang dibawa mahasiswa yang bertuliskan 'kalau pemerintah berhutang disebut hutang rakyat'. Zakiya langsung mengangkat kameranya dan mengabadikan beberapa tulisan spanduk dan juga momen-momen demo yang masih manis. Ia jadi rindu dikala mengenakan almamaternya dan berorasi di tengah-tengah mereka. Di kampusnya dulu, UIN Jakarta, Zakiya terkenal sebagai orator cantik yang selalu membius banyak mahasiswa. Usai demo, biasanya ia banyak mendapat salam dari kampus-kampus lain. Demo malah menjadi ajang mencari jodoh.
Zakiya mengubah mode kamera menjadi rekaman video saat pada mahasiswa berbaris dan mulai bernyanyi lagi sejarah yang selalu membawa kenangan demo terasa manis dan terasa haru. Zakiya tersenyum sembari ikut bersenandung dengan mereka dan ini benar-benar mengingatkannya pada momen ia berdemo beberapa tahun lalu.
"Kepada para mahasiswa....
Yang merindukan kejayaan........
Kepada rakyat yang kebingungan....
Di persimpang jalan........
Kepada pewaris peradaban.....
Yang telah menggoreskan.......
Sebuah catatan kebanggaan...di lembar sejarah manusia...."
"Wahai kalian yang rindu kemenangan................
Wahai kalian yang turun ke jalan............
Demi mempersembahkan jiwa dan raga......
Untuk negeri tercinta...........
Wahai kalian yang rindu kemenangan........
Wahai kalian yang turun ke jalan.........
Demi mempersembahkan jiwa dan raga.....
Untuk negeri tercinta...."
"Jadi kangen almamater," bisik Gala yang sudah berdiri di sebelahnya. Zakiyah terkekeh. Ia juga sama.
@@@
"Kami bergerak karena nurani kami berkata bahwa peraturan apapun tanpa kebijakan akan rusak, dan jika yang terhormat para pemangku tahta yang memiliki kebijakan hanya diam, maka kami akan terus bergerak dengan membawakan massa untuk meminta keadilan," seru seorang perempuan yang berdiri di atas sebuah gerobak. Kehadirannya menonjol. Almamaternya berkilau-kilau di tengah teriknya matahari. Zakiya menatap gadis berjilbab itu dari jauh kemudian menurunkan kameranya usai mengambil beberapa potretnya.
"Dari kampus mana?" tanya Radisti. Gadis itu baru saja tiba usai bekerja setengah hari di kantornya.
"Biasa, kampus kuning. Perasaan gue sering lihat dia jadi orator demo."
Malah Gala yang menjawab. Ketiganya berdiri agak jauh kali ini. Tak jauh dari ambulans yang terparkir. Sementara itu, Zakiya merasa tertarik. Sepertinya ia juga sering melihat wajah itu di gedung DPR salam beberapa pertemuan terakhir. Apakah gadis yang sama?
"Turunnya kami ke jalan adalah simbol dari ketidakadilan! Kami tidak mau ketidakadilan pada negeri ini terus berlangsung hingga menyengsarakan rakyat!"
Gadis itu masih berorasi. Suasana siang itu memang mendadak hening karena suaranya yang lantang hanya mengenakan pengeras suara. Para seragam berbaju coklat masih berdiri rapat, menjaga gedung DPR di depan sana. Pejabat-pejabat yang ada di dalamnya malah tertawa melihat apa yang terjadi di sini. Seolah tidak merasa bersalah padahal mereka adalah sumber masalah itu sendiri. Bayangkan kalau mereka bisa dipercaya oleh rakyat yang memilihnya dengan nurani akan kah hal semacam ini terjadi?
"Kiya!"
Pemimpin tim demo mereka muncul. Namanya Rangga. Lelaki muda yang juga manis sekali. Pria Yogyakarta yang meluluhkan banyak hati perempuan kecuali Zakiya. Ya katanya dia turunan Jawa-Sunda. Tapi wajahnya dominan Jawa-Jogja.
"Itu Humaira bukan?" tanyanya.
Zakiya menoleh lagi ke arah gadis yang berdiri di atas gerobak dan sedang menjadi pusat perhatian itu.
"Adik Mas?" lempar Radisti. Seingatnya adik lelaki ini juga memiliki nama yang sama.
"Sepertinya. Mas gak tahu ya?" tanya Zakiya. Rangga memakai kacamatanya. Penglihatannya memang tak begitu jelas jika melihat dari sejauh ini. Ia hanya mengenal suaranya.
Rangga menurunkan kacamatanya usai memastikan kalau itu memang adiknya. "Heish. Sudah ku bilang untuk gak ikutan kali ini."
Zakiya terkekeh. "Masnya juga bandel."
Rangga menoleh pada Zakiya lantas menghela nafas.
"Dia cerdas, Mas. Saat Kiya melihatnya mencecar anggota DPR terakhir kali, semua orang kecuali DPR bertepuk tangan."
"Mulutnya memang tajam."
"Dan dia menggunakan mulutnya dengan benar."
Rangga mengangguk-angguk. "Sepertimu," tuturnya yang membuat Zakiya menoleh. Gadis itu tak tahu kalau Rangga sudah lama melihatnya. Saat itu, Rangga masih berstatus jurnalis lepas dan ia banyak meliput demo mahasiswa. Di sana lah ia pertama kali melihat Zakiya sampai akhirnya setahun lalu kembali dipertemukan dengan perempuan ini di depan gedung DPR dan Rangga menawarkannya untuk bergabung dalam organisasinya.
@@@
"Woi! Terbakar! Terbakar! Minggir! Minggir!"
Teriakan itu terdengar di mana-mana. Dan entah apa yang terjadi, tahu-tahu Zakiya terguling karena banyak mahasiswa berlarian menyelamatkan diri. Gas air mata ditumpahkan membanjiri. Kebanyakan dari mereka masih bertahan dan justru itu lah yang membuat para seragam cokelat semakin tidak sabar menghadapi kekeraskepalaan para mahasiswa. Mereka juga ingin beristirahat maka demo ini harus segera berakhir. Para mahasiswa dipukul mundur dengan berbagai cara. Ada yang dipukul jika melawan. Ada yang disiram gas air mata. Bahkan satu tembakan pun terarah ke atas. Zakiya kaget. Seharusnya tidak perlu begini. Para mahasiswa kalau diberitahu dengan baik juga akan mendengar dan patuh. Tapi Zakiya lupa kalau yang melakukan ini kepada mereka juga tak punya nurani.
"Kiya! Kiya! Ambulans!" teriak Gala. "Ada yang terluka, tolong lo temani!" teriaknya.
Zakiya berlari mendekat. Ia menyadari kalau kepalanya sedikit pusing namun tetap berlari menuju ambulans. "Relawannya mana?" tanyanya. Harusnya tadi ada di sini tapi.....
"Dia nyupir. Yang nemenin di belakang gak ada. Takut kenapa-napa. Tadi satu dokter lari ke sana untuk nyelametin yang dipukul. Lo aja yang ikut ambulans, gue mau cari yang lain," tutur Gala lalu cowok itu berlari ke tengah-tengah kekacauan.
Zakiya langsung bergegas naik. Ketika ia duduk, ia terkaget melihat wajah mahasiswa bercucuran darah. Lelaki berjaket kuning itu meringis.
"Tadi diapain?" tanyanya. Ambulans bergerak lambat karena harus menerobos keramaian.
"Ada yang bawa s*****a tajam, Kak," tukasnya sambil memegang perut. Zakiya ternganga. Ia baru menyadari ada luka diperutnya.
"Mas! Saya aja yang nyetir!" teriaknya dari belakang. Yang menyetir pun tampak frustasi.
"Yakin nih?"
Ia juga was-was.
Zakiya mengetuk lagi agar mobil berhenti sebentar untuk bisa bertukar posisi. "Mendingan Masnya yang urus, saya yang nyetir. Saya gak paham pertolongan medis," tuturnya yang akhirnya diiyakan oleh relawan yang bertitel perawat itu. Keduanya bertukar posisi dengan cepat.
Begitu menutup pintu samping kemudi, Zakiya memencet klakson mobil kuat-kuat hingga memekakan telinga siapa saja yang berada di dekatnya. Ia mengendarai mobil dengan cepat untuk sampai di rumah sakit terdekat. Namun sialnya, tiba-tiba ada sebuah mobil hitam menjajari mobilnya. Dan satu s*****a laras panjang keluar dari jendela dan terarah padanya.
@@@