Kiya udah di jalan, Mas.
Rangga tersenyum kecil membaca pesannya.
Lona juga udah di jalan. Kamu hati-hati Kiya.
Kening Zakiya mengerut membacanya. Ia kira hanya berdua dengan Rangga. Ia sudah dalam perjalanan. Kali ini menggunakan mobil Papanya karena percuma menggunakan mobilnya. Dari pagi dipanasi mesinnya oleh Andra tak mempan-mempan. Dari pada makan hati, lebih baik ia berangkat saja dengan mobil Papanya. Abangnya entah ke mana lagi itu. Terserah lah. Paling urusan lelaki. Iya kan?
Sementara Rangga menurunkan ponselnya karena tak ada lagi balasan dari Zakiya. Ia bergerak menuju kamar adiknya. Begitu membuka pintunya....
"Berdua doang sama Hanafi?"
"Enggak."
Gadis itu sibuk sendiri dengan barang-barangnya. Kening Rangga mengerut. Kenapa terlihat rempong sekali padahal tidak sampai menginap?
"Terus?"
"Yaaa berdua lah, Maas. Nanti ada ibunya kok."
"Ke rumahnya?"
"Iyaaaa! Iih bawel!"
Humaira sedang sibuk merapikan isi tasnya. Isi tas selempang. Ia membawa mukena untuk persiapan solat. Rangga menatapnya dari pintu kamar. Masih bingung dengan izin jalan hari ini. Ia jelas bingung karena Humaira terlihat rempong begitu. Tak seperti biasanya yang apa adanya. Apa karena mau bertemu Hanafi? Hohoho. Ia ingin tertawa.
Adiknya ini tak pernah mau mengaku kalau sudah lama tertarik dengan cowok itu. Tapi pipinya langsung bereaksi menjadi kemerahan. Yaa sesuai namanya, Humaira.
"Tapi Hanafi gak bilang sama Mas."
Biasanya cowok itu akan izin ke mana pun ia bersama Humaira. Termasuk kalau-kalau mereka mendadak lama pulang padahal cowok itu yang datang menjemput Humaira. Sebagai rasa tanggung jawab. Lelaki kan memang harus begitu.
"Makanya nanti dia jemput ke sini baru ngomong sama Mas."
Humaira masih memunggunginya. Gadis itu sibuk menarik resleting tas selempangnya. Satu tangan Rangga justru parkir di pinggang. Maksudnya, berkacak pinggang.
"Berdua doang sama Hanafi di mobil?"
Humaira menghela nafas. Jengah juga karena terus ditanya. Masnya ini memang bawel kalau urusan yang seperti ini. Rangga ingin tertawa melihat ketidaksabarannya. Humaira memang paling malas menghadapinya yang sedang bawel seperti ini.
"Sampe bandara berdua terus ada ibunya."
"Oooh," Rangga mengangguk-angguk. "Telepon Mas loh kalo Hanafi ngapa-ngapain kamu di jalan."
"Ya ndak lah, Mas. Hanafi bukan orang kayak gitu."
"Gak ada jaminannya!"
Humaira mengerucutkan bibir. Ya memang benar juga. Ia membalik badan lantas turun dari atas tempat tidur. Laki-laki dan perempuan itu sekalipun titelnya sahabat yaa tetap harus jaga jarak. Kan tak ada yang tahu persoalan hidup.
"Nanti telepon Mas pokoknya. Nyalain juga alarm hape-mu itu. Mas udah ajarin kan cara jalanin aplikasinya?"
"Iyaaaa!"
Rangga menyentil kepalanya. Lantas terkekeh. Humaira mendesis lantas mengenakan tas selempangnya. Suara mobil Hanafi sudah terdengar. Saking hapalnya.
"Ciyeee yang mau jemput ibu mertua!" ledeknya.
Humaira menggembungkan pipinya. Ekspresinya sih terlihat kesal karena diledek begitu padahal sedang berupaya menahan senyumnya. Pipinya kontan memerah. Hal yang membaut Rangga tertawa seketika. Cowok itu langsung dicubit Humaira berkali-kali.
"Awas ya kalo ngomong macem-macem di depan Hanafi!" ancamnya. Rangga malah tertawa lagi. Senang sekali menggoda Humaira yang pipinya mudah merah itu. Alasan itu juga ia diberi nama Humaira oleh ayahnya. Yang kemerah-merahan.
"Assalamualaikum, Mas!" sapa Hanafi dari pintu.
"Waalaikumsalam, adik ipar!" olok Rangga dari dalam. Hanafi tertawa mendengarnya sementara Humaira melotot. Ia kan sudah bilang, jangan ngomong macem-macem. Tapi Masnya ini? Astagaaaa!
"Titip Maira. Nanti pulangnya biar Mas aja yang jemput."
Ia ogah membiarkan adiknya berduaan dengan lelaki. Hanafi mengangguk lantas pamit sekali lagi. Ia tahu bagaimana ketatnya Rangga soal hal semacam ini. Hanafi juga tahu batas. Ia menghormati Humaira sebagai perempuan tentunya.
"Baweel!" ledek Maira. Gadis itu bergerak masuk ke dalam mobil begitu Hanafi membukakan pintunya. Rangga terkekeh. Ia melihat mobil itu bergerak menjauh. Kemudian menghela nafas panjang. Jodoh itu tak ada yang tahu. Yang dekat belum tentu berjodoh. Yang jauh, bisa jadi berjodoh. Iya kan?
Rangga percaya akan hal itu. Makanya ia sering menasehati Humaira. Manusia kan suka berekspektasi tinggi dan berharap. Rangga hanya tak mau ia berharap pada yang bukan seharusnya, misalnya pada seorang lelaki. Karena lelaki itu kan hanya manusia biasa. Ia ingin Humaira menyerahkan segala urusan itu kepada Allah. Termasuk dengan apa yang terjadi pada hidupnya saat ini.
Berkaca dari pengalaman keluarga. Ia juga awalnya sulit menerima. Tapi keadaan dan akhirnya perasaan itu tumbuh. Kasih sayabg itu mengalir bahkan hingga sekarang. Darah memang lebih kental dari pada air. Rangga suka filosofi itu.
Begitu hendak masuk, ia mendengar suara. Saat membalik badan, ia mendapati Lona muncul dengan ngos-ngosan.
"Kenapa?"
"Parah ih, Maas! Lona dikejar anjing di sana tadi!"
Ia tertawa. Di sini memang banyak yang memelihara anjing. Sudah tak heran. Mana ia naik kereta lalu menyambung dengan angkot. Naik angkot dari stasiun hanya sekitar sepuluh menit. Tapi berjalan masuk dari g**g tercepat itu butuh waktu lima belas menit. Memang lumayan jauh. Kalau Humaira biasanya lewat jalan belakang. Hanya saja agak sepi. Tapi memang lebih cepat. Cuma yaaa tak ada jalur angkot. Biasanya gadis itu akan naik ojek sampai stasiun. Harganya sepuluh ribu rupiah saja. Masih murah kalau sama orang-orang di sekitar sini. Kalau orang baru atau asing lainnya baru dinaikan harganya. Hal-hal sekacak itu memang lumrah sekali.
"Masuk dulu," tuturnya. Ia mempersilahkan Lona masuk.
Tadinya mereka mau membahas ini di kantor. Tapi di kantor sedang diadakan banyak rapat. Bukan karena ruangan tak cukup, Rangga perlu privasi karena urusan ini belum disebar ke semua anggota di LSM mereka. Sengaja masih dirahasiakan sampai bertemu dengan kliennya secara langsung. Setelah itu baru akan didiskusikan kembali.
"Maira mana, Mas?" tanyanya. Heran saja karena rumah ini agak sepi.
"Maira tadi pergi sama temennya."
"Temen?"
"Iya. Hanafi. Kenal? Di sering gabung juga di perdemoan."
"Yang putih atau yang betawi?"
Rangga tertawa mendengar itu.
"Andros maksudnya yang betawi?"
Lona tertawa. Ia baru tahu kalau itu Andros. Lelaki-lelaki di sekeliling Humaira yang ia tahu memang hanya itu.
"Berarti Hanafi itu yang suka bikin Mas cemburu itu kan?"
Rangga tertawa. Satu timnya memang tahu semua tentang asmara adiknya. Karena gengnya Humaira yaaa hanya kedua cowok itu dan Saras. Mereka kan seringkali terlibat di dalam perdemoan mahasiswa. Sering bekerja sama dengan banyak aktivis organisasi juga. Makanya banyak yang mengenal.
@@@
"Dari email kan kebaca tuh, namanya Nando Ignatius. Kalo dilihat dari profil yang kita dapat, dia ini financial controller perusahaannya."
"Apa tadi nama perusahaannya, Kiya?"
"Abdi Agro Negoro Group."
Lona mengangguk. Gadis itu berselancar diinternet.
"Masih belum ada pemberitaan terkait penggelapan pajak dari perusahaan ini. Kenapa dia tiba-tiba ngehubungi lo?"
"Kayaknya karena konferensi pers yang rame itu. Mungkin dia mikirnya, gue bisa bantu. Katanya kan di sini, dia udah ngelihat profil gue."
Rangga mengangguk-angguk.
"Tapi kita gak pernah angkat kasus pajak begini. Gimana, Mas? Kayaknya gak ada yang paham juga deh."
"Mas punya temen, anak pajak. Dia kerja di konsultan pajak gitu. Kita bisa diskusi nanti sama dia. Asal gak nyebut si Nando ini. Karena kan bahaya. Terus kalo kita gak bisa pegang, Mas bisa lempar ke lembaga lain yang bisa membantu. LBH kayaknya lebih kompeten. Mereka juga bisa memberikan perlindungan hukum untuk Nando."
"Tapi Mas, kayaknya si Nando ini punya maksud deh kenapa dia ngehubungi Kiya. Pasti mau viralin ini di media massa kan?"
"Tepat sekali, Kiya. Tapi kita harus ketemu dulu sama orangnya. Gak bisa gegabah asal nulis berita hanya dari satu sumber saja."
Zakiya mengangguk-angguk. Itu memang benar.
"Baca lagi email-nya Kiya."
"Katanya ada laporan penghindaran p********n pajak oleh 14 perusahaan di bawah Abdi Agro Negoro Group kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada dua tahun yang lalu. KPK kemudian melimpahkan bukti permulaan kepada Menteri Keuangan yang lalu diserahkan ke Ditjen Pajak pada Januari setahun berikutnya. Ditjen Pajak lalu memulai proses penyidikan dengan memeriksa buku laporan keuangan lima tahun sebelum itu yang menyangkut 14 perusahaan tersebut. Tapi anehnya, Ditjen bilang kalau tidak ada penggelapan pajak. Dia kan staf di sana, bagian keuangan lagi jadi tahu persis kalo perusahaan itu memang melakukan penggelapan pajak."
"Berarti ada kerja sama antara Ditjen Pajak dengan perusahaan."
"Bisa jadi, Mas!"
"Tulis itu, Lona. Besok kamu langsung berangkat saja ke sana. Jangan sebut nama perusahaannya. Cukup tanya daftar perusahaan yang masuk laporan. Kamu Kiya, besok langsung ke KPK untuk konfirmasi kasus ini. Kalau bisa ketemu sama penyidiknya sekalian."
Zakiya mengangguk-angguk. Ia menulis tugasnya untuk besok.
"Nih orang kayaknya gak tenang hidupnya," tutur Zakiya yang membuat Rangga dan Lona tertawa. "Tapi punya nyali juga. Sampai mau melapor. Jadi yang masuk ke dalam laporan KPK itu juga dari dia, Mas. Tuh baca."
Rangga mengangguk-angguk. "Ini sih sepertinya penggelapan pajak yang dilakukan itu cukup canggih, sitematis, dan terencana. Lihat deh. Dia bilang, mereka punya unit khusus yang mengatur penggelapan pajak ini. Itu kan sengaja banget."
"Gila ya. Emang sih gaji-gaji orang pajak itu gede. Tapi dosanya juga gede."
Rangga tertawa mendengarnya. Itu bukan lagi fakta yang asing.
"Kalau unit khusus itu bisa jadi bukti kasus penggelapan pajak ini, bisa masuk pidana dong?"
Lona menjentikan jari. "Keren juga wawasan ilmu hukum lo," pujinya yang membuat Zakiya tertawa.
"Kan bisa aja ucapan gue tadi salah."
"Dendanya bisa mencapai 2,5 triliun rupiah dan sanksi administratif sekitar 1,9 triliun rupiah. Kalo dari undang-undang begitu," tambah Lona. Ia hanya membaca dari informasi yang berhasil ia dapatkan.
"Apa pemerintah bakal bentuk tim khusus gitu ya, Mas untuk investigasi?".
"Bisa jadi. Tapi harus banyak kerja sama antar lembaga. Bisa dari Ditjen Pajak terus Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian BUMN, dan Kementerian Luar Negeri. Kemenlu perlu dilibatkan untuk membantu penelusuran aset-asetnya yang Mas yakin udah sampe luar negeri."
"Terus kenapa nih orang di Singapura ya?"
"Melarikan diri kali. Buronan kan banyak yang begitu."
"Tapi kalo dia berani melapor gini--"
"Biasanya tekanan, Kiya. Kamu kan tahu gimana kerja penguasa baik penguasa pemerintahan maupun perusahaan. Sistemnya sama. Beda ranahnya aja."
Zakiya tersenyum kecil. Benar juga.
"Rekayasan p********n pajak dilakukan dengan mengurangi pendapatan dan menaikkan pembiayaan. Ini dilakukan dengan cara transfer pricing."
Lona tampak berpikir. "Banyak istilah yang gak gue ngerti."
Rangga tertawa. Zakiya juga merasakan hal yang sama.
"Tapi, Mas. Kalo kita berhasil mengangkat ini ke ranah publik, kira-kira bakal mandek gak ya? Yaaa seperti banyak kasus yang ujung-ujungnya mandek di MA lah."
Rangga terkekeh. "Kalau kasus ini mandek maka megindikasikan kalau hukum masih cenderung tajam dan runcing ke bawah dan tumpul ke atas."
"Everybody knew, Mas!"
Rangga tertawa. Tapi realitanya memang begitu.
"Kalo kasus ini malah gak jadi pidana atau pidananya gak untuk semua orang yang terlibat itu berarti?"
"Makamya jangan sampe kasus ini dikembalikan ke Ditjen Pajak karena bisa saja kasusnya menjadi kasus utang piutang pajak. Apalagi kalau mereka menyanggupi untuk membayar denda pajak."
"Itu tuh hebatnya hukum di negara kita. Hukum bisa disulap dengan gampangnya. Kalaj samoai terjadi, pihak kejaksaan harusnya ngotot nanti. Kasusnya harus masuk ke pidana khusus. Jangan malah ke mana-mana. Tapi yaa tadi, hukum di sini itu berkeadilan sosial bagi yang punya harta dan tahta doang."
"Apalagi ini untuk perusahaan skala besar. Dari belakang namanya aja udah tahu siapa pemiliknya."
Rangga mengangguk-angguk. "Yang suka kasih beasiswa kan?"
Zakiya terkekeh. "Terus apalagi nih, Mas?"
"Kita harus ketemu sih sama dia. Kalo bisa secara langsung. Jangan berhubungan lewat ponsel atau apapun lagi. Bahaya karena takutnya malah disadap. Jurnalis itu rentan. Kita bisa terseret. Jangan sampai kita salah langkah juga. Karena kalau sampai salah, perusahaan itu malah bisa menuntut balik pada kita."
Lona mengangguk-angguk. "Terus, Mas untuk kasus desa di kabupaten Bogor gimana?"
"Yang mana?"
"Yang katanya air sumur tercemar sama limbah B3."
"Aaah yang itu. Bentar, Mas minta Kang Syamsul untuk ke sini."
Mereka mengangkat jempol. Pakarnya memang harus ikut bersama untuk mendiskusikan masalah ini. Mereka kembali berdiskusi sembari menunggu kedatangan Syamsul.
"Tapi, Mas, nanti kapan sekiranya mau ketemu Pak Nando ini?"
"Coba tanya, dia punya jadwal kapan?"
Zakiya mengangguk. Ia segera mengetik pesan.
"Kalo sekiranya berbahaya, Kiya, lebih baik kita lempar pada yang lain. Mas bukannya gak mau ambil resiko. Tapi pasti akan banyak tekanan pada kita. Bisa jadi gak cuma dari perusahaan tapi juga dari pemerintah yang malah pro dan bekerja sama dengan mereka. Seperti yang sudah banyak terjadi. Banyak temen-temen kita yang akhirnya ditangkap kan?"
Zakiya mengangguk. Terkadang ia gemas untuk urusan seperti ini. Bukannya mau egois memikirkan masa depannya sendiri. Tapi mereka juga harus punya insting tentang masalah ini akan berkembang pesat ke arah mana. Mereka perlu memikirkan keberlangsungan LSM. Masih banyak urusan lain yang juga tak kalah krusialnya.
"Rencana Mas gimana?"
"Mungkin nanti Mas akan minta tolong salah satu temen dari media massa lain yang sudah punya nama, yang sekiranya berani mengangkat pemberitaan ini. Ini akan menjadi pemberitaan besar. Mereka sudah banyak merugikan negara. Apa yang menjadi hak harus diambil. Apa yang menjadi kewajiban harus dibayar. Tak pandang buluh siapa orangnya, berapa kekayaannya maupun gelarnya. Karena yang namanya hak dan kewajiban warga negara memang begitu."
Zakiya tersenyum kecil. Ini yang ia suka dari sosok Rangga. Lelaki ini punya prinsip kalau kebenaran harus ditegakkan bukan karena orangnya siapa. Tapi yang namanya kebenaran memang harus diperjuangkan.
@@@
"Ngapain?"
Andra heran melihatnya dari pintu kamar. Cowok itu baru pulang, entah nongkrong di mana lagi. Hobinya memang nongkrong, berharapnya dapat cewek. Tapi selalu hampa. Ia bukannya pemilih, tapi belum ada yang membuatnya tertarik saja.
"Nyari data-data," tuturnya. Seingatnya ia menaruh beberapa dokumen penting di bawah lemari dan tempat tidur tapi tak satupun ia temukan.
Andra geleng-geleng kepala. "Udah dibersihin kali sama si Bibi. Pasti dikira sampah."
Ia melotot mendengarnya. Tapi termakan juga oleh kata-katanya. Akhirnya berlari menuruni tangga dan berteriak memanggil pembantu. Kemudian lemas saat kata-kata Andra memang menjadi kenyataan.
"Yaaah Bibiii kok dibuang siih? Itu tuh dokumen pentiiing!"
Ia terduduk di lantai seperti anak kecil yang sedang merajuk. Si Bibi bingung harus bagaimana lagi. Karena sudah terlanjur dibawa tukang sampah dari beberapa bulan yang lalu.
"Mama yang suruh Bibi buang itu."
Meledaklah tangisnya semalaman itu. Andra tertawa menyaksikannya dari tangga. Papanya hanya geleng-geleng kepala. Yang ada, ia makan diomeli karena menaruh barang penting di bawah tempat tidur dan lemari. Maksud hati Zakiya adalah ia menaruh di sana agar tak mencampurkannya dengan barang-barang lain. Malah dibuang! Ya memang sih bentuknya hanya kertas-kertas yang dijilid, isinya juga dokumen-dokumen yang dikliping. Mungkin seperti telah usang. Tapi itu Zakiya susah dapatkan klipingannya dari tukang loak.
Usai menangis, ia mengomel panjang-lebar. Alih-alih bersimpati, orang-orang di rumah malah tertawa melihatnya yang emosi sendirian. Andra merangkulnya ketika ia menaiki tangga. Wajahnya masih menangis. Air mata masih jatuh. Andra bahkan meledeknya karena sudah besar tapi masih menangis kekanakan seperti ini. Mungkin karena ia anak bungsu? Aaah tidak juga. Kalau di luar kan Zakiya terlihat sangat mandiri. Tapi begini lah manusia. Mau berusia berapa pun pasti ada sisi kanak-kanaknya.
Dengan ditemani Andra, keduanya berbaring di atas tempat tidur. Zakiya memeluknya. Andra juga memeluknya. Mereka terbiasa hidup berdua selama ini. Sedekat ini pula hubungannya. Kalau Andra yang disakiti, Zakiya akan bergerak maju. Begitu pula sebaliknya. Andra menghela nafas panjang. Tak terasa mereka telah dewasa kini.
"Udaaaah. Besok kerjain lagi tesisnya. Cari datanya di internet. Masa gak ada?"
Ia melotot mendengarnya. Andra terkekeh. Memang tak ada pilihan lain.
"Tadi Abang dapat pemberitahuan dari kantor."
"Pemberitahuan apa?"
Ia bertanya dengn sesenggukan. Andra masih tertawa. Lucu kalau Zakiya cengeng seperti ini.
"Beberapa bulan lagi bakalan dideportasi ke Amerika."
"Berapa lama?"
"Semingguan paling."
Zakiya mengerucutkan bibirnya. Ia kira akan lama. Kalau lama, ia akan merajuk. Ia memang belum bisa lepas dari Andra. Kalau Andra sampai menikah, ia tak bisa membayangkannya. Mungkin akan menangis tujuh malam.
"Abang pokoknya gak boleh nikah dulu!"
Andra tertawa. Mau menikah juga belum ada calonnya. Mau bagaimana lagi?
"Farras gimana kabarnya ya?"
Hatinya agak-agak nyeri kalau masalah ini diungkit. Hahaha. Kegalauan yang terpampang nyata dan membaut Zakiya terkekeh seketika.
"Dulu kan Abang pernah bilang ke Kiya. Kalo abislulus S2 pengen nikahin Farras. Eeeeh malah ke duluan yang lain. Aaww!"
Ia mendapat jitakan di kepala. Yang berlalu biar lah berlalu dan tak perlu diungkit lagi keberadaannya. Terkadang memang ada hal-hal yang hanya akan menjadi pembelajaran hidup.
"Gak usah dibahas!"
Zakiya terbahak. Tangisnya hilang kalau obrolan diganti dengan nasib sedih asmara milik Andra.
@@@
Ia hanya bisa pasrah diomeli dosen pembimbingnya. Yaa diomeli dengan cara yang baik sih, tapi ia juga mengaku kalau ia memang salah. Bukannya segera menyelesaikan kuliah tapi malah mempersulit diri. Masih harus bersyukur karena sang dosen masih mau membimbingnya. Begitu keluar dari ruangannya, ia menghela nafas. Kemudian berjalan lesu menuju parkiran kampus. Ia akan bertekad kali ini. Apapun caranya, ia harus menyelesaikan tesisnya. Ia tak mau dikeluarkan karena tak bisa menyelesaikan kuliah yanh sudah berjalan kelewat lama ini. Waktu 2,5 tahun itu sudah cukup lama. Ia saja yang suka sekali mengulur-ulur waktu.
Ketika hendak berjalan menuju parkiran, ia malah melihat wajah yang tak asing. Perempuan berjibab dengan gamis dan tampak anggun itu berjalan sambil menggendong anaknya. Begitu menoleh....
"Hei, Kiya," ia menyapa. Susah lama tak bertemu. Tak canggung lagi. Zakiya sudah lama keluar dari yayasannya. Beberapa tahun silam. Lalu baru sekarang bertemu lagi. Siapa? Tentu saja orang yang semalam dibicarakannya bersama abangnya. Panjang umur sekali, pikirnya.
"Eh, Ras? Apa kabar?"
Farras tersenyum kecil. Keduanya bersalaman dan saling memeluk. Zakiya mencubit-cubit pipi anak sulung Farras, Faris. Tampak ganteng sekali dan agak-agak pemalu. Zakiya terkekeh.
"Ngapain ke kampus?"
Dulu lebih dulu Farras yang masuk kuliah di sini dibandingkan dengannya. Ia juga telah menyelesaikan perkuliahan sejak lama.
"Mau ngambil S3 lagi."
Waaaaah. Ia mengangguk-angguk.
"Lo ngapain? Sama? Mau S3 juga?"
Zakiya tertawa. "Belum. Masih nyelesain tesis."
Aaaah. Farras baru tahu. Mereka mengobrol sebentar untuk kemudian Farras pamit karena harus bertemu dosen pembimbingnya. Ia hendak meminta surat rekomendasi. Sementara Zakiya pergi dengan mobilnya. Terkadang ada rasa iri yang menyelip disaat melihat teman-temannya sudah menikah, memiliki suami dan anak. Sementara ia masih berjuang sendirian. Yaa tak apa sih. Toh teman-temannya yang lain juga masih banyak yang sendirian. Di LSM Mas Rangga, ada beberapa perempuan yang sudah tiga puluhan ke atas tapi masih betah sendiri. Ada yang bahkan trauma menjalin hubungan. Ada yang dilema, ingin menikah tapi terlalu berat rasanya karena menjadi tulang punggung keluarga. Ada juga yang sudah menjanda dan akhirnya fokus mengurus anaknya tanpa pasangan. Masing-masing memiliki alasan kenapa mereka mengambil keputusan untuk tetap sendirian hingga diusia seperti itu. Sama halnya dengan Zakiya. Ia memilih sendiri karena memang belum berpikir ke arah sana. Ia juga memilih sendiri karena merasa belum menemukan seseorang yang benar-benar membuatnya tertarik untuk sama-sama membina rumah tangga.
@@@