Itulah Faktanya.
Sebenarnya El adalah putra Kevan. Itu adalah rahasia yang disimpan Sania selama 6 tahun ini.
Bermula dari kesalahan Kevan yang tak sadar karena alkohol dan meniduri seorang wanita yang diseretnya paksa dari club dan berakhir di apartemennya saat itu.
Sania yang pagi itu mencari kakaknya di apartemen, tak sengaja berpapasan dengan wanita yang sudah ditiduri kakaknya itu di lobby dan tengah menangis.
Karena masih sangat pagi dan disana sangat sepi, akhirnya ia merasa iba dan bertanya.
Sania terkejut saat tahu Kevan penyenyebab wanita itu menangis. Dan dari situ Sania tahu jika Kevan melakukan kesalahan, karena telah meniduri wanita baik-baik.
Mulanya Sania ingin membantu, tapi wanita itu menolak karena yakin semuanya akan baik-baik saja. Tapi satu bulan kemudian, Sania secara tak sengaja kembali bertemu wanita itu di perjalanan pulang setelah melakukan pekerjaan gelapnya.
Sania kembali melihat wanita itu menangis dipinggir jalan yang gelap dengan hanya menggunakan baju tipis. Padahal pada hari itu udara cukup dingin. Sania kembali menawarkan bantuan, dan kali ini diterima oleh wanita itu.
Wanita itu mulai bercerita dan terbuka pada Sania. Nama wanita itu Alice. Ia bercerita jika keluarganya mengusirnya setelah mengetahui dirinya tengah hamil. Termasuk adik laki-laki yang selalu melindungi dan percaya padanya.
Sania prihatin mendengar itu. Tapi disisi lain Sania bahagia karena tahu Alice mengandung anak Kevan, yang berarti ia akan mempunyai keponakan.
Dan disinilah Alice dan El tinggal. Di Mount Kisco. Desa yang sedikit terpencil di New York. Sania yang membawa Alice kesini agar mereka jauh dari bahaya dan dapat hidup tenang tanpa gangguan apapun. Dan ya, disana juga adalah termasuk wilayah dimana Sania dulu pernah meminta Kevan untuk tidak mengusiknya. Sania meminta sendiri dengan khusus agar wilayah itu dibiarkan saja. Lagipula tidak ada apapun yang berharga disana, kecuali hanya jejeran bengkel dan beberapa kantor kecil. Kevan tidak membutuhkan semua itu.
Dan Alice tentu saja tidak menurut begitu saja. Wanita itu baru mau menurut setelah Sania mengatakan jika Kevan adalah seorang mafia. Mungkin Alice tahu sangat berbahaya untuknya dan anaknya tinggal bersama Mafia yang mempunyai banyak musuh. Dan hingga akhirnya mereka sepakat tinggal di rumah yang sengaja Sania beli untuk mereka. Semua keperluan Alice dan El dipenuhi oleh Sania. Sania memastikan mereka tak kekurangan apapun. Sania sendiri yang selalu mengontrol kondisi mereka disana. Dan soal uang, ia tidak akan pernah lupa untuk selalu mengirimkan setiap bulannya kepada mereka disana.
"Aunty, ada orang-orang yang berdiri ditengah jalan,"
Ucapan El yang langsung menyadarkan Sania dari lamunannya. Dan benar. Di depan sana ada empat orang pria berpakaian hitam-hitam berdiri ditengah jalan. Apa itu orang-orang suruhan musuh Kevan ?
"El menunduk dan tidak boleh melihat keluar, satu lagi.. jangan keluar dari mobil apapun yang terjadi, okay," ucap Sania saat memberhentikan mobilnya tak jauh dari pria yang sedang berdiri itu.
Sebenarnya Sania bisa saja menabrak mereka berempat, tapi ia tak mau memberikan pelajaran buruk pada El, dan juga ia ingin tahu siapa orang yang mengirim mereka.
Sania keluar dari mobil dan mengunci mobil itu. Ia tak mau terjadi sesuatu pada El. Ia menghampiri pria-pria yang berdiri angkuh tak jauh darinya itu tanpa rasa takut sedikitpun. Meski ia tak bersenjata sama sekali saat itu.
'Sepertinya aku tahu siapa yang mengirim mereka. Bagus sekali dia tahu keberadaanku disini,' batin Sania dalam hati.
"Kemarikan alat komunikasi kalian," perintah Sania dingin. Para pria itu saling berpandangan lalu memberikan alat komunikasi mereka pada Sania begitu saja. Mungkin karena takut.
"Jika kau tidak membuat mereka menyingkir dari jalanku. Aku bersumpah tidak akan pernah pulang," teriak Sania marah pada headset yang dipakainya.
"San.. dengarkan aku dulu. Aku minta maaf soal pizza tadi. Pulanglah, aku akan membuatkannya untukmu sekarang,"
Sania tersenyum kecil mendengar suara khawatir kakaknya. Ya. Begitulah kakaknya.
"Sayangnya aku sudah punya orang yang bisa membuatkanku pizza dan soal pulang, aku akan pulang nanti malam,"
"Baiklah. Aku akan menyuruh mereka pergi. Mengetahui kau hanya pergi ke Mount Kisco membuatku sedikit tenang. Sampai jumpa nanti malam,"
Sania langsung mengembalikan headset itu pada pria yang ada didekatnya itu asal, lalu berjalan kembali masuk kedalam mobil.
"Apa aku sudah boleh melihat keluar sekarang aunty ?"
"Ya.. sudah boleh,"
Sania mengusap rambut El sayang. Yang diusap hanya diam menikmatinya. Sania sangat menyayangi bocah itu. Selain karena bocah itu adalah keponakannya, itu jyga karena bocah itu sangat pandai dan menyenangkan.
"Apa aunty tidak apa-apa ? Siapa mereka ?"
"Bukan siapa-siapa sayang. Sepertinya kita harus ganti mobil,"
"Kenapa ?" ucap El dengan menunjukkan wajah polosnya pada Sania.
"Karena banyak yang mau mencuri mobil ini. Apa El mau mobil ini dicuri ?" ucap Sania bohong. Tapi mau bagaimana lagi ?
"No aunty. Daripada dicuri, mobil ini untuk El saja. El suka mobil ini,"
'Persis seperti Kevan. Tidak akan melepaskan sesuatu yang sudah dilihatnya,' batin Sania dalam hati.
"El harus besar dulu. Baru aunty akan belikan mobil yang seperti ini," ucap Sania mencubit hidung El gemas. Sania lalu mulai menjalankan mobilnya saat melihat anak buah Kevan tadi sudah pergi.
Sedangkan El mengerucutkan bibirnya lucu. Sania tertawa tertawa kecil melihat tingkah El itu.
• • • • •
"Aku lega dia baik-baik saja," ucap Kevan pada Nathan yang masih setia berdiri disampingnya sejak tadi.
"Aku juga ikut senang mendengarnya," jawab Nathan dengan tersenyum. Senyum tak berdosa. Padahal dialah orang yang bersalah disini.
"Aku tidak akan mempercayakan adikku padamu lagi," ucap Kevan yang tiba-tiba berubah berbicara dengan nada dingin pada Nathan.
"Itu benar. Sania itu harus dititipkan pada seorang juru masak. Karena setiap kali dia kabur seperti ini, itu karena ia tak bisa mendapat makanan yang diinginkannya," ucap Nathan yang tak mau disalahkan disana.
Kevan langsung menonyor kepala pria itu dengan keras.
"Setiap hari aku memang selalu menuruti menu darinya untuk makan. Tadi pagi memang salahku karena terburu-buru ke markas. Kau seharusnya bisa memahami sifat adikku dengan baik setelah sekian lama mengenalnya, 'kan ?" ucap Kevan yang tentu saja tidak terima adiknya disudutkan dan dicela seperti itu.
"Tapi aku masih penasaran, bagaimana bisa kau mengetahui keberadaannya ?" ucap Nathan yang terlihat ingin tahu.
"Anak buahku yang stay disana melapor kalau ada Elemento melintas dijalanan Mount Kisco. Aku suruh saja mereka menghadang mobil itu. Dan ternyata itu Sania,"
"Tapi untuk apa dia ke Mount Kisco,"
"Sudahlah. Jangan dipikirkan. Biarkan saja dia pergi kemanapun yang dia inginkan," ucap Kevan santai lalu pergi meninggalkan Nathan yang masih bertanya-tanya.
"Hei.. bagaimana kalau mobilmu itu dibuat lecet oleh Sania ?" ucap Nathan menyusul Kevan.
"Ya... Aku akan beli yang baru. Apa susahnya ?" ucap Kevan santai membuat Nathan yang berjalan dibelakangnya terbelalak kaget dan tak percaya.
'Gila'
• • • • •
"Berhenti bermain sekarang !! Ini sudah 10 menit sejak aku menyuruh kalian terkahir kali. Aku tidak mau menerima alasan lagi. Sekarang sudah malam. El pergi ke kamar dan tidur sekarang juga. Besok kau harus bangun pagi dan sekolah, 'kan ?" Ya. Itu Alice. Ia marah pada Sania dan El yang tak kunjung berhenti bermain playstation sedari 2 jam yang lalu.
"Ya mommy ..." ucap Sania dan El kompak dengan wajah lesu. El berdiri dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Sedangkan Sania hanya diam dan duduk disana melihat apa yang dilakukan Alice.
"Kalian selalu membuat rumah berantakan jika sudah bersama," gerutu Alice sambil memunguti bungkus snack yang berserakan dilantai.
"Kan tidak setiap hari juga Al. Santai saja.. sini ku bantu," ucap Sania ikut membersihkan kekacauan yang dibuatnya.
"Kau terlalu memanjakannya San,"
"Aku memang sengaja melakukan itu. Aku ingin dia tumbuh seperti anak-anak lain. Aku dan Kevan menjadi orang jahat seperti sekarang karena kesalahan orang tua kami. Mereka mengacuhkanku dan Kevan seperti kami tak pernah ada dan menjadi anak mereka. Aku tak ingin siapapun mengalami hal yang serupa,"
Alice terdiam. Ia merasa bersalah telah berkata seperti tadi.
"Aku yakin El akan menjadi pria yang baik dan tangguh suatu hari nanti, karena mendapat kasih sayang banyak sekali dari aunty-nya,"
"Terima kasih, Alice. Dan maaf. Usahaku selama 5 tahun ini belum berhasil. Kevan tetap saja tak ingin meninggalkan pekerjaan gelapnya itu. Tapi kau tenang saja. Aku akan terus mencobanya," ucap Sania sambil mengusap pundak Alice.
"Aku percaya padamu San," ucap Alice tersenyum tulus pada Sania.
"Tunggulah sebentar lagi. Aku juga sudah berjanji pada El untuk mempertemukannya dengan daddy-nya,"
"Tapi bagaimana jika Kevan tak menerima___"
"Tidak !! Percaya padaku. Dia tak akan melakukannya. Aku sekarang malah khawatir tentang hal lain,"
"Apa ?"
"Bagaimana jika kau yang tak bisa menerimanya. Kau tahu. Usahaku selama 5 tahun ini tak membuahkan hasil sama sekali. Kevan tak ingin meninggalkan pekerjaannya, karena aku tak culup alasan untuk meyakinkannya. Jadi salah satu dari kalian harus mengalah," ucap Sania yang sengaja diberinya jeda sebentar disana.
Alice mengernyitkan keningnya bingung mendengar itu. Ia menunggu Sania melanjutkan ucapannya.
"Bagaimana jika aku yang memintamu untuk berada disisi Kevan dengan kondisi yang seperti sekarang ini. Jangan lalukan ini untukku. Lakukan untuk El. Dia butuh sosok Daddy-nya. Dan aku yakin, perlahan kau bisa membuat Kevan meninggalkan pekerjaan gelapnya itu. Setelah kau dan El hadir dihidupnya, Kevan akan berubah demi kalian. Meski seorang Mafia, ia adalah pria yang penuh kasih sayang dan kehangatan Al. Percayalah padaku," jelas Sania panjang lebar. Alice diam seperti sedang berfikir.
"Ini terlalu cepat, San. Aku tak tahu harus menjawab apa sekarang,"
"Kalau begitu pikirkanlah ucapanku tadi. Aku berharap kau mau Al. Sekarang, pergilah tidur. Aku yang akan membersihkan ini," ucap Sania mengambil alih barang-barang yang dipegang Alice.
Sania mulai membersihkan lagi ruangan tempat dia bermain bersama El tadi.
"Kau masih disini. Aku tahu kau ingin berbicara sesuatu. Katakan saja Alice. Jangan memendamnya dalam hatimu," ucap Sania ketika melihat Alice yang tak bergerak dari tempatnya sama sekali.
"Bagaimana dengan keselamatan El. Aku__"
"Dengarkan aku.. selama 16 tahun hidupku didunia kejam dan gelap bersama Kevan, aku tak menerima luka apapun dari siapapun itu musuhnya Kevan diluar sana karena apa, karena dia menjagaku melebihi menjaga dirinya sendiri. Dan dengan ada hadirmu dan El nanti, aku yakin dia akan memperlakukanmu dan El sama seperti dia memperlakukanku. Jika kau tak percaya pada ucapanku barusan, baiklah.. aku yang akan menjamin keselamatanmu dan El," ucap Sania tersenyum hampir seperti seringai.
'Dan mungkin dengan datangnya kalian nanti, Kevan akan membiarkanku sedikit bebas. Ahh.. membayangkannya saja aku sudah senang,' batin Sania senang dalam hati.
Alice hanya diam. Sania membuang sampah yang ada ditangannya ditempat sampah yang ada didapur. Saat kembali, ia mendapati alice masih saja terdiam.
"Al, aku membawamu kesini karena dulu aku takut kau dalam bahaya karena tabiat Kevan yang punya banyak jalang. Dan kau juga takut Kevan menyuruhmu menggugurkan anakmu, benar kan. Tapi semuanya berbeda sekarang.. jalang-jalangnya sudah ku usir keluar dari hidupnya. Dan El sudah tumbuh besar. Dia tak akan berbuat macam-macam pada kalian. Terlebih lagi, sibodoh Kevan itu sangat menyukai anak-anak," ucap Sania meyakinkan Alice dengan kedua tangannya yang berada dipundak Alice.
Alice menatap Sania lekat.
"Baiklah.. aku yang akan berusaha berada disisi Kevan. Lagipula aku tak bisa disini selamanya kan. El juga bilang padaku kalau disekolah, anak-anak lain sering mengejeknya. Aku kasihan padanya," ucap Alice tersenyum pada Sania. Sania merasa lega dengan jawaban itu.
"Jadi kau tahu itu juga. Dia juga bilang begitu padaku saat pulang tadi. Dan selain itu aku tahu alasanmu yang lain sehingga kau setuju,"
"Benarkah.. coba katakan,"
Alice berdiri menunggu, sedangkan Sania duduk santai di sofa.
"Ya.. mengingat umurmu yang hampir menginjak 30 tahun. Kau kan sudah tua dan merindukan rasanya belaian seorang Kevan. Aku benar tidak______ aww. Kenapa kau memukul kepalaku ?" Sania mengaduh dan mengelus kepalanya.
"Itu agar otakmu yang sedikit miring itu bisa lurus lagi. Bicaramu terlalu frontal di dalam rumah yang terdapat anak kecil didalamnya. Kau ingat kejadian dulu El mengikuti ucapan kotormu itu," ucap Alice kesal.
"Ya... tentu saja. Itu memperlihatkan bahwa El itu memang pintar sejak bayi. Dan berkatku juga dia mengatakan kata pertamanya. f**k you.. f**k you.. aku ingin mendengarnya mengatakan itu lagi," ucap Sania menggoda kakaknya.
"Kau ini memang keras kepala. Sudahlah aku mau tidur. Tutup pintunya jika kau pulang nanti. Dah ..." Alice lalu berjalan menuju kamarnya.
"Baiklah. Dan bersiaplah pergi ke kota. Tunggu telepon dariku," ucap Sania lalu tak lama kemudian ia melihat Alice mengacungkan jempolnya tinggi dikejauhan sana.
Sepeninggal Alice wanita cantik itu hanya duduk diam disana. Ia bersandar dan memejamkan matanya. Menikmati sisa yang hanya tinggal beberapa detik lagi disana.
"Baiklah. Ayo pulang. Aku rindu pada kakakku yang tampan itu," ucap Sania setelah membuka matanya dan menegakkan badannya.
Sania lalu bangun dari duduknya. Mengambil kunci mobil di atas meja.
Ia berjalan kepintu utama. Mobilnya terlihat disana, setelah ia membuka pintu. Ia memang sengaja memarkirkan mobilnya di halaman depan rumah, mengingat ia hanya sebentar disana.
Sania masuk kedalam mobil. Mobil Ferrari Enzo. Mobil itu didapatnya dari hasil menukar Elemento milik Kevan tadi siang pada seorang pria miliuner kaya. Dengan memberikan no teleponnya pada pria itu sambil sedikit menggodanya, Sania langsung bisa membawa pulang mobil yang jauh lebih mahal itu. Itu adalah salah satu dari sekian banyak keahliannya, hihi.
Sania menyalakan mesin. Ia lalu melajukan mobilnya dengan satu tangan. Satu tangannya lagi digunakannya untuk meraih ponselnya yang sedari tadi siang diletakkannya di dashboard mobil.
Ketika ia sudah keluar dari kawasan rumah, ia lalu menancap gas menjauh dari rumah. Setelah dirasa cukup jauh, ia lalu menghidupkan ponselnyanya lalu diletakkannya kembali ketempatnya tadi.
Sania melajukan mobilnya cepat menuju kota. Setelah seharian bermain dengan si kecil El, ia merasa lelah dan butuh kasur sekarang.
Tapi saat ia sudah memasuki kota, ponselnya berdering, ada telfon masuk. Sania tak mengangkatnya karena ia sedang mengebut sekarang. Kedua tangannya harus berada di stir.
Jalanan tak begitu ramai, tinggal 4 blok lagi ia sampai dirumah. Jadi Sania menurunkan kecepatannya. Ia tak mau dikejar polisi lagi.
Sania berhenti karena lampu merah. Ia melihat dipinggir-pinggil jalan sana banyak sekali wanita berpakaian kurang bahan dengan riasan yang berwarna mencolok.
"Sekarang waktunya bagi para jalang bekerja ya... semoga uang mereka nanti cukup untuk membeli pakaian dengan bahan yang lebih tebal dari yang mereka pakai sekarang," ucap Sania terkikik lalu melajukan mobilnya karena lampu sudah berubah hijau.
Sania mulai berbicara ngelantur. Dia sepertinya memang sangat membutuhkan kasur sekarang ini.
"Astaga.. aku mengantuk sekali," ucap Sania setelah menguap.
Sania membelokkan mobilnya dibelokan terakhir dan berhenti di pinggir jalan. Ia tak bisa masuk kedalam rumah karena banyak mobil terparkir disana.
Sania tak ambil pusing tentang itu. Ia sangat mengantuk. Ia mematikan mesin mobil, dan keluar dengan membawa ponsel dan kunci mobil ditangannya. Ia mengunci mobil itu lalu memasukkan ponsel dan kunci mobil itu kedalam saku jaket yang dipinjamnya dari Alice sambil terus berjalan masuk kedalam rumah.
Sania melewati jejeran mobil hitam yang terparkir di halaman rumahnya dengan sesekali menguap.
Sania langsung membuka matanya lebar saat mendengar suara tembakan dari dalam rumahnya. Kantuknya hilang seketika. Ia berlari kearah pintu utamanya.
Sania membuka kasar pintunya sehingga menimbulkan suara keras. Membuat orang-orang yang ada didalam menoleh kearahnya.
"Wow... ada tamu rupanya,"
Bersambung...