Bab.1 Wanita Ular

1773 Kata
“Satria di dalam kan?” Rena yang duduk di meja kerjanya mendongak. Matanya menatap sosok wanita cantik mengenakan dress pendek ketat dengan kerah rendah yang mempertontonkan bagian montoknya itu. Belum sempat dia menjawab, Nadine dengan lancangnya masuk begitu saja ke ruang kerja wakil direktur. “Eh, tunggu!” seru Rena berusaha mencegah, tapi sudah terlambat. Buru-buru dia beranjak menyusul, Satria paling tidak suka kalau ada yang nyelonong masuk dan mengusik konsentrasi kerjanya. “Sat ...." Rena mendengus mendengar tamu tidak sopannya itu memanggil Satria dengan suara manjanya. “Lain kali tolong jangan asal masuk. Sudah saling kenal bukan berarti bisa seenaknya di tempat orang!” ucap Rena tanpa bisa menyembunyikan rasa kesalnya. “Aku sudah membuat janji langsung dengan Satria, apa masih butuh persetujuan sekretarisnya juga!” balasnya ketus. “Nadine!” tegur Satria sambil bangun dari kursi kerjanya. “Tidak apa, tadi aku lupa bilang ke kamu kalau pihak Mahendra akan datang untuk membahas lagi lanjutan pembicaraan kontrak kerjasama di Bali waktu itu.” ucap Satria ke Rena. Nadine tersenyum puas melihat Rena yang diam tidak berkutik di dekat pintu. Sebelum menyusul Satria duduk di sofa, dia masih sempat meminta dibuatkan minum. “Aku mau teh hijau tanpa gula.” Rena terpaksa mengangguk, matanya menatap jengah wanita minus attitude yang duduk menyilangkan kaki dengan angkuhnya tepat di hadapan Satria itu. Setelah menutup pintu, dia melangkah ke pantry yang terletak tak jauh dari lift. Mengambil nampan dan cangkir, lalu menyeduh teh hijau permintaan wanita ular yang selalu saja memancing emosinya setiap kali bertemu. “Sial!” umpatnya mendesis saat air panas tanpa sengaja mengenai tangannya. Setahunya pembahasan kerjasama itu berakhir gagal, karena tidak ada kata sepakat dari Linzone dan Mahendra grup. Nadine pasti tidak menyangka kalau case kerjasama mereka yang tadinya dipegang Satria, justru diambil alih oleh iparnya. Rena tidak paham, kenapa wanita yang tanpa malu selalu menempel ke Satria itu masih saja datang kesini. Berdiri di depan pintu, Rena menghela nafas sebelum mengetuk pelan. Namun, apa yang dilihatnya di dalam sana membuat giginya mengerat menahan marah. Nadine sudah berpindah duduk di samping Satria, begitu dekat tanpa menyisakan jarak. “Kopiku tadi saja belum habis Ren, lagipula aku tidak suka teh hijau.” ucap Satria. “Buang saja kalau tidak ingin minum, Pak!” sahutnya ketus sambil meletakkan dua cangkir minuman itu di atas meja, lalu melenggang pergi. “Baru kali ini aku melihat sekretaris lebih galak dari bosnya,” cibir Nadine masih sempat terdengar di telinga Rena. “Bukan ranahmu asal menilai calon istriku. Dia tidak akan ketus kalau kamu sopan dan tahu batasan.” Nadine mendecih mendengar Satria membela sekretarisnya yang menurutnya terlalu sok alim itu. Memangnya siapa yang tidak tahu jejak kelam seorang Rena Pradipta. Gelar pelakor selamanya akan terus melekat, karena skandalnya dulu jadi orang ketiga di rumah tangga seorang artis dan pengusaha ternama. Toh meski demikian, Satria justru dengan bodohnya memilih wanita itu sebagai calon istrinya. “Sat ...." “Hm ...." gumam Satria masih fokus dengan berkasnya. Nadine tersenyum, pria di sampingnya itu semakin terlihat tampan saat serius begini. Tidak, Satria jauh lebih mempesona ketika bersimbah peluh tanpa sehelai benang di atas ranjang. Jemari Nadine mulai kurang ajar merayap singgah ke paha Satria. Wajahnya semakin mendekat, lalu berhenti saat dagunya bertengger di bahu kokohnya. “Kapan kamu akan mengajakku mampir ke apartemenmu lagi?” bisiknya dengan bibir sengaja menyentuh telinga Satria, tapi pria itu justru menoleh dan mendorongnya menjauh. “Aku sudah tidak berminat dengan barang bekas banyak orang,” sahutnya nyelekit dengan tatapan risih mendorong wajah wanita itu menjauh. Tiba-tiba pintu diketuk, sialnya lagi belum sempat Satria menepis tangan kurang ajar Nadine dari pahanya Rena sudah muncul dan melihat semua. Satria gelagapan, langkah Rena terhenti dengan wajah kakunya. “Ren ...." “Ini berkas yang Bapak minta tadi,” ucap Rena mendekat dan meletakkan map kuning itu di atas meja. Satria buru-buru beranjak ketika Rena langsung berbalik dan melangkah lebar ke arah pintu. “Rena ...." Nadine menyeringai puas, meraih cangkir minumannya dan meneguk nikmat tehnya yang tidak lagi panas. Terlalu menyenangkan melihat Satria kalang kabut mengejar calon istrinya yang keluar dengan muka marahnya. “Tunggu dulu Ren!” Satria mendengus saat cekalan tangannya ditepis kasar. Rena yang sudah duduk di mejanya sama sekali tidak berminat menggubrisnya. “Semua tidak seperti yang kamu lihat. Jangan salah paham dulu!” jelasnya. “Ini kantor, bukan waktunya membahas hal pribadi disini.” sahut Rena ketus tanpa mau menatap mata Satria. “Ini kantorku, terserah aku!” ucap Satria. “Iya, karena ini kantormu jadi buatmu juga tidak masalah berbuat seenaknya. Bahkan meski dengan keberadaanku disini sekalipun. Begitu kah?!” seru Rena dengan mata memerah. “Mana aku tahu dia akan sekurang ajar itu,” sanggahnya. “Dan kamu tidak menolak, justru menikmatinya. Sialan kamu, Sat!” umpat Rena marah dengan air mata mengalir. Satria mendecak lelah, niatnya untuk mendekat dan membujuk Rena berantakan karena Nadine malah sengaja menyusul keluar. “Kalau tidak bisa bersikap profesional jangan jadi sekretarisnya. Banyak partner bisnis Linzone wanita cantik dan berkelas. Sifatmu yang cemburuan dan posesif hanya akan mengekang Satria dalam hubungan toxic,” cibir Nadine. “Diam kamu, Nad!” bentak Satria. Rena meraih ponselnya, baru saja dia hendak beranjak Satria sudah lebih dulu mencekal tangannya tidak membiarkannya pergi. “Mau kemana?” “Sudah jam istirahat, aku mau makan siang sama Freya di kafe bawah.” jawab Rena kembali menepis tangan Satria, lalu berlalu pergi ke arah lift. Sepeninggal Rena mata Satria beralih menatap nanar Nadine yang berdiri menyandar pintu dengan senyum menangnya. Tidak menyangka kedatangannya kali ini justru semakin menyulut kemarahan Rena. “Dasar mulut sialan! Kalau sampai masalahnya semakin kisruh, aku pasti akan membalasmu!” ucap Satria melangkah masuk kembali ke ruangannya. “Matamu belekan atau otakmu yang sudah tidak waras, sampai memilih seorang pelakor untuk dijadikan istri? Please ya Sat, masih banyak wanita lain yang lebih pantas untuk jadi menantu keluarga Lin. Rena bahkan punya anak di luar nikah, apa kamu tidak takut jadi gunjingan orang di luar sana?!” oloknya pedas tanpa basa-basi lagi. Satria melempar kasar berkas di tangannya ke atas meja, lalu menoleh menatap Nadine dengan sorot marahnya. “Dengan siapapun aku akan menikah, itu bukan urusanmu! Satu lagi, berkaca lah dulu sebelum menghina Rena! Biarpun dia pernah jadi perusak rumah tangga orang, setidaknya bukan bekas pakai banyak orang sepertimu,” balas Satria yang langsung membuat Nadine bungkam dengan wajah kaku. Satria marah, sangat marah. Nadine baginya tidak lebih dari sekian wanita yang pernah mampir ke ranjangnya. Sekarang mereka kembali bertemu karena urusan kontrak kerjasama, tidak lebih. Namun, anak tunggal pemilik Mahendra grup itu justru lancang ikut campur urusan pribadinya dan berusaha mencari celah mengacaukan hubungannya dengan Rena. “Banyak wanita yang pantas jadi istriku, tapi yang jelas bukan kamu. Aku tidak akan menikah dengan siapapun, selain Rena. Sekarang kamu paham kan, seberapa penting dia bagiku?!” lanjutnya. “Sorry …” gumam Nadine lirih nyaris tak terdengar. “Apa sebenarnya maksudmu datang kesini? Bukannya kamu sudah tahu proyek kerjasama antara Linzone dengan Mahendra diambil alih oleh iparku? Kalau masih ada yang belum beres seharusnya kamu mencari direktur utama, bukan aku.” tegas Satria. Nadine kembali duduk, kali ini tidak lagi berani mendekat di samping Satria. Kemarahan laki-laki di hadapannya itu membuat ciut nyalinya. “Aku cuma ingin minta tolong kamu membujuk kakak dan juga iparmu, supaya mau memberikan empat puluh persen saham untuk kami sesuai tawaran awal kalian. Ayahku jelas tidak mungkin setuju kalau cuma dua puluh persennya saja seperti patokan dari kakakmu,” ucap Nadine serius. “Salah kalau kamu pikir aku bisa membujuk kakakku. Meski suaminya yang memegang kursi pimpinan, tapi kakakku sebagai pemegang saham terbesar punya hak mutlak di perusahaan ini. Freya tidak akan ikut campur urusan kantor, kecuali kamu yang sudah berulah dan membuatnya marah.” tutur Satria. “Jangan ngawur! Kami bahkan baru sekali bertemu saat di Bali kapan hari,” sahut Nadine. “Dan yang tidak kamu tahu, Rena adalah sahabat dekat kakakku. Itulah kenapa sekarang mereka makan siang bersama.” Nadine melongo, otaknya masih berusaha mencerna ucapan Satria. Iya, tadi Rena bilang mau pergi makan siang bersama Freya. Bodohnya dia sampai tidak sadar kalau orang yang dimaksud sekretaris Satria itu adalah Freya Lin, kakak angkat Satria yang tadi datang bersama suaminya dan berpapasan dengannya di lift. Pantas saja saat bertemu di Bali, kakak angkat Satria itu bersikap sinis padanya. Bahkan seenaknya saja merubah empat puluh persen kesepakatan untuk pembagian saham menjadi dua puluh persen. Berarti memang sejak awal pewaris Linzone itu sudah tahu tentang hubungan terlarangnya dengan Satria. Atau bisa jadi Rena sengaja menghancurkan proyek kerjasama mereka dengan mengadu ke Freya. “Sialan!” umpatnya kesal. “Salahmu sendiri terlalu banyak tingkah!” dengus Satria dengan wajah jengahnya. Kalau sampai Freya tahu keributan yang terjadi barusan, habislah dia jadi bulan-bulanan kemarahan bumil satu itu. “Jangan remehkan kakakku yang hanya diam di rumah dan tidak tahu apa-apa soal bisnis, karena tidak ada yang bisa membantah keinginannya. Termasuk ayahku dan suaminya, sehebat itu dia.” tutur Satria. “Jadi kamu juga tidak bisa membantu kami membujuknya?” tanya Nadine mulai cemas. “Tidak, kalau dia sudah menandaimu jangan harap bisa mendapatkan kontrak kerjasama itu. Apapun yang kamu lakukan akan percuma, paham?!” pungkasnya. Satria beranjak bangun dari duduknya. Berlama-lama di ruangannya bersama Nadine hanya akan membuat Rena semakin salah paham. Entah pikiran bodoh apa yang sedang kekasihnya itu bayangkan. Biarpun penurut, tapi kalau sudah marah Rena paling sulit dibujuk. “Satria ...." “Apalagi Nad?!” sahutnya kesal. “Tolong sekali ini saja, Sat! Ayahku pasti mengamuk kalau tahu aku sudah mengacaukan semuanya. Kerjasama ini sangat penting untuk perusahaan kami.” ucapnya memohon. “Kamu tahu apa yang aku pertaruhkan kalau masih ngeyel membahas soal ini ke kakakku?” tanya Satria yang dijawab gelengan kepala oleh Nadine. “Hubunganku dengan Rena.” Tak disangka wanita itu justru mendengus kesal sambil melengos. Masih tidak mengerti apa istimewanya seorang bekas pelakor seperti Rena, sampai Satria begitu takut kehilangan dia. “Jangan merasa besar kepala karena pernah tidur denganku. Kamu hanya satu diantara sekian wanita yang dengan sukarela merangkak di ranjangku. Urusan kita sudah selesai, jangan coba datang mengusik hidupku lagi.” ucap Satria penuh peringatan, lalu keluar meninggalkan Nadine yang terpaku dengan wajah merah padam. Tanpa sengaja tatapannya terdampar pada frame foto yang terpajang di atas meja kerja Satria. Tanpa bertanya pun dia tahu, gadis kecil di gendongan Satria itu adalah anak haram dari hubungan gelap Rena dulu saat jadi simpanan suami orang. “Sialan kamu, Sat! Bicara seolah aku tidak lebih berharga dari calon istrimu yang murahan itu. Ayo kita bermain! Lihat sejauh mana dia mampu bertahan dengan cemburu dan sakit hatinya!” gumam Nadine dengan tatapan marahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN