Bab.5 Boomerang

1945 Kata
Tidak seperti yang Satria kira, Rena seperti amnesia yang terbangun keesokan harinya dan masih lanjut dengan bungkamnya. Mungkin kedatangannya semalam dan juga pelukan hangat mereka hanya dianggap bunga tidur, jadi seharian di kantor juga terlewati dengan suasana kaku. Bicara seperlunya, tanpa kontak fisik apalagi bercanda. Satria sendiri memilih mengalah, mengusik Rena yang masih kesal hanya akan semakin membuat mukanya tidak enak dilihat. Seperti sekarang, Rena berdiri di samping meja Satria menunggu pria itu selesai memeriksa berkas yang dia antar untuk dibubuhi tanda tangan. “Aku mau kopi.” “Tapi …” Satria menoleh, Rena mengangguk dan tidak melanjutkan ucapannya. Dia melangkah ke sudut ruangan, lalu menuang secangkir kopi dengan menambahkan satu butir gula kotak. Rena mendecak pelan, ini bahkan sudah cangkir kelima Satria meminum kopinya seharian ini. Entah kebetulan darimana saat Rena meletakkan kopi itu di meja, ponsel Satria pun berdering pelan. Mata keduanya sontak tertuju ke layar, satu nama yang muncul di sana membuat udara seketika berubah panas. Satria kelabakan, tadi dia memang mengirim chat ke Nadine dan mengajaknya bertemu nanti malam di Golden. Namun, sialnya wanita itu justru menghubunginya saat Rena berada di sampingnya. “Kenapa tidak diangkat?” tanya Rena dengan tatapan sengitnya. “Tidak penting,” jawab Satria meringis. “Saya keluar dulu, berkasnya nanti saya ambil lagi.” “Tunggu Ren!” Satria menarik tangan Rena yang hendak pergi dengan kemarahannya, lalu menariknya mendekat. Ingin sekali dia membanting ponselnya yang terus saja berdering dan semakin membuat Rena meradang itu. “Aku tidak angkat telponnya kamu marah, nanti aku angkat kamunya ngamuk lagi. Terus aku harus bagaimana?” tanya Satria mendongak menatap wajah Rena yang merah padam. “Kalau aku tidak di sini pasti langsung kamu angkat kan?” sahutnya ketus. “Tidak,” jawab Satria menggeleng. Rena mendengus tidak percaya. Tangannya masih saja meronta berusaha lepas, tapi Satria tidak berniat membiarkannya pergi dengan keadaan salah paham. Sialnya lagi, Nadine belum menyerah dan terus menghubungi Satria hingga ponselnya lanjut berdering memperkeruh suasana. “Angkat!” bentak Rena geram. “Nggak! Buat apa diangkat, kalau sudah tahu ujung-ujungnya bikin kamu makin tambah marah. Kamu tahu sendiri bagaimana beracunnya mulut dia!” tolak Satria. Rena menepis kasar tangan Satria, tapi dalam sekali hentak pria itu justru menarik Rena hingga jatuh terduduk di pangkuannya. “Sat …” “Kamu angkat saja telpon dari Nadine kalau memang tidak percaya padaku!” ucap Satria memberikan ponselnya ke Rena. Padahal jantung Satria sudah hampir mencelat keluar. Kalau Rena benar-benar mengangkat telepon Nadine dan mendengar tentang ajakannya untuk bertemu nanti malam, maka tamat sudah riwayatnya. “Angkat!” ulang Satria saat Rena masih saja tidak bergeming. Bukan ponsel yang Rena ambil, tapi berkas yang baru saja Satria tandatangani. Tanpa mengucapkan apapun dia kemudian bangun dari pangkuan Satria dan melangkah keluar. “Sialan Nadine!” umpat Satria begitu Rena menghilang di balik pintu yang dibanting keras. “Apa?!” bentaknya mengangkat telepon dari Nadine. “Galak banget Sat? Kan kamu yang mengajak bertemu duluan? Apa sekretarismu masih marah soal kemarin?” ucapnya seperti sengaja mengejek. Sumpah demi apa Satria benar-benar dibuat jijik oleh wanita yang satu itu. Kalau saja bukan untuk membalas apa yang sudah Nadine lakukan pada Rena dan Naya, mana mungkin dia sudi menghubungi kucing sialan itu lagi. Apalagi sampai mengajaknya bertemu di luar. “Aku sibuk Nad! Kamu buta huruf tidak bisa baca chatku atau gimana, sampai masih terus menerorku dengan panggilan teleponmu?!” sahut Satria geram. “Aku cuma ingin memastikan kamu tidak salah kirim pesan,” jelasnya dengan tertawa senang. “Tapi kenapa harus di bar? Aku lebih senang kalau kita langsung ke apartemenmu biar tidak ada yang mengganggu,” imbuhnya. Satria menggeleng dengan senyum sinisnya, tidak habis pikir sebegitu tidak punya malunya Nadine. Padahal dia anak tunggal pengusaha besar, tapi kelakuannya murahan seperti wanita tidak punya harga diri. “Kalau kamu tidak mau ya sudah, kita batalkan saja untuk yang nanti malam!” ancam Satria. “Jangan! Ok, kita ketemu nanti malam di Golden.” sahut Nadine panik. Satria langsung memutuskan sambungan teleponnya, lalu melemparnya ke atas meja. Untuk kali ini saja dia harus bisa menahan diri menghadapi Nadine. Toh, nanti ada Wira yang akan membantunya disana. Yang perlu Satria lakukan sekarang hanyalah berhati-hati supaya Rena tidak sampai tahu soal ini. *** Sudah hampir satu jam Satria duduk menikmati minumnya bersama Wira di Golden. Waktu untuk bertemu Nadine semakin dekat, tapi Xena belum juga tampak batang hidungnya. “Berhenti minum Sat! Bisa-bisa kamu tumbang duluan sebelum kucingmu masuk perangkap,” tegur Wira. “Pusing aku, gara-gara telepon dari Nadine marahnya Rena semakin menjadi.” keluh Satria. Bukannya kasihan, Wira justru cengengesan. Ternyata lucu juga kalau buaya seperti Satria sedang jatuh cinta. “Belajar dari kamu dan Raka, aku malah semakin merasa sudah tepat untuk tidak melibatkan perasaan dengan yang namanya wanita.” “Tunggu saja, giliranmu pasti akan tiba! Seperti aku yang dulu tidak pernah berangan-angan untuk jatuh cinta, tapi nyatanya tetap tidak bisa menghindar saat bertemu Rena dan Naya.” tutur Satria. Wira hanya mengedikkan bahunya, lalu meneguk kembali sisa minuman di gelasnya. “Sejak kapan kamu mulai jatuh cinta ke Rena?” tanyanya penasaran. Senyum tampak tersungging di bibir Satria. Sambil memutar-mutar gelasnya, mata Satria berbinar membuka kembali kenangan yang selalu tersimpan rapi di ingatannya. “Saat peresmian resort di Bali, aku sepertinya mulai tidak bisa berpaling menatap Rena. Disana juga Naya pertama kali memanggilku papa. Ada rasa yang tidak bisa aku terjemahkan dengan kata-kata saat bocah itu memanggilku papa dengan binar matanya yang …” Satria tampak mengernyit memilih kata yang tepat, tapi kemudian mengedikkan bahunya. Sulit, seperti katanya tadi, tidak ada satu kata pun yang bisa mewakili rasa itu. “Entahlah, kamu tidak akan tahu seperti apa rasanya dianggap dan dipanggil papa oleh bocah kecil yang sejak lahir tidak pernah mengenal papa kandungnya. Mungkin karena nasibku dan Naya sama mirisnya sejak bayi sudah dicampakkan, jadi aku tahu seberapa dia menginginkan kasih sayang seorang papa seperti anak pada umumnya.” Ucapan Satria yang mengalir begitu saja dan wajah getirnya membuat Wira terdiam. Cinta selalu menemukan jalannya, dan mungkin Naya adalah tali merah yang mengikat takdir hidup Satria dan Rena. “Sebagai teman, aku tulus mendoakan kebahagian kalian. Pegang erat tangan mereka, Sat! Jangan sampai terlepas lagi seperti dulu itu, karena jalan kita tidak mungkin selamanya mulus. Bersyukurlah, karena Tuhan masih berkenan memberimu kesempatan kedua untuk bisa bersama mereka lagi.” Satria mengangguk, untuk itulah dia di sini sekarang. Menyingkirkan duri yang sudah menyakiti Rena dan menghina anak mereka. Di mata sebagian orang yang tak punya hati, Naya dianggap anak haram. Tapi, bagi Satria bocah itu adalah segalanya. “Dia datang, kamu hubungi lagi Xena dan minta dia secepatnya kesini!” ucap Satria mengedikkan dagunya begitu melihat Nadine muncul di pintu Golden. Tanpa menoleh, Wira beranjak dari meja mereka dengan membawa gelasnya. Agak ketar-ketir karena Satria sedikit kebablasan minum, hingga belum apa-apa mukanya sudah mulai memerah. Dia hanya khawatir mulut ipar Ibra itu tidak bisa direm dan mengacaukan segalanya. “Wah, apa ada yang aku lewatkan Sat? Tumben jam segini kamu sudah hampir tumbang,” ucap Nadine tersenyum lebar. Satria bahkan sama sekali tidak berminat menggubrisnya. Nadine datang mengenakan gaun super mini ketat warna krim dengan model kerah depan terbukanya. Kalau dulu Satria mungkin akan dengan senang hati menikmati lekuk tubuh yang mereka pamerkan, tapi sekarang rasanya dia mual ingin muntah. “Apa dia masih marah gara-gara yang kemarin itu? Cih, dasar kekanakan!” “Kalau kamu masih terus membahasnya, pergi saja sana! Semua jadi begini juga karena kelakuanmu yang menjijikkan!” sahut Satria geram, tapi wanita itu justru tertawa senang. “Ah … jadi itu yang membuatmu butuh pelampiasan.” ledeknya. “Menurutmu begitu?!” balas Satria tersenyum miring. “Aku sangat tahu siapa kamu, Sat! Mana mungkin puas hanya dengan satu perempuan, apalagi yang sudah barang rongsokan.” cemoohnya begitu tajam menusuk telinga Satria. Cengkraman tangan Satria di gelasnya semakin erat. Tidak salah kalau dia memancing wanita bermulut sampah ini keluar dan membuatnya membayar semuanya, karena Nadine memang pantas mendapatkan itu. “Ini pesananmu!” Wira datang meletakkan satu gelas kosong dan sebotol red wine di meja mereka. Nadine sempat mendongak, lalu kembali menatap Satria. Membiarkan Wira menuang gelasnya dengan minuman kesukaannya itu. “Kalian kenal?” tanyanya sambil meraih gelasnya dan meminum beberapa teguk. Satria menyeringai, tidak butuh waktu lama lagi untuk melempar wanita pembawa sial ini ke neraka. “Aku orang baru di sini, jadi hanya menyapanya sebentar. Anggur istimewa untuk wanita secantik Anda, semoga tidak mengecewakan.” ucap Wira tersenyum sebelum melangkah pergi dari meja mereka. “Wow, kamu masih ingat anggur kesukaanku Sat.” lontarnya dengan wajah berbinar senang. “Mana mungkin aku lupa, karena seleramu selalu beda.” sahut Satria. “Tentu saja,” ucapnya bangga. “Bukan cuma selera minuman, tapi juga pria teman tidurmu pun juga beda. Bukankah karena itu juga kamu selalu mencari mangsa?!” Namun, wanita itu bahkan sama sekali tidak marah mendengar cibiran pedas Satria. Dia justru tertawa lebar sambil menatap Satria penuh minat. “Justru itu yang membuat orang seperti kita ini lebih cocok bersama, iya kan? Aku paham selera hidup seperti apa yang kamu inginkan, kamu pun juga tidak akan terkekang seperti sekarang. Buka matamu lebar-lebar, Sat! Rena terlalu egois, posesif dan sama sekali tidak pantas untukmu!” lontarnya. Satria tertawa terkekeh, ujung jarinya mengusap bibir gelas dengan tatapan menggodanya. Dia tidak mengatakan apapun, hanya mengedikkan dagunya ke arah gelas Nadine dan mengajaknya bersulang. Tidak sia-sia, wanita itu benar-benar meneguk habis minuman di gelasnya. “Tidakkah kamu merasa terlalu percaya diri?!” sindir Satria yang kembali menuang minuman ke gelas Nadine. “LinZone dan Mahendra grup punya basis yang sama, kalau kita bisa menggabungkan keduanya bukankah jauh lebih menguntungkan? Beda dengan Rena, apa yang bisa dia lakukan untukmu, selain jadi beban dan mengekang kebebasanmu?” ucap wanita itu dengan percaya ditinya. “Menggabungkan?!” ulang Satria tidak bisa lagi menyembunyikan tawa gelinya. “Kamu pikir aku segoblok itu?! Mahendra bahkan tidak ada sepucuk kukunya LinZone. Atas dasar apa kamu merasa pantas bersanding denganku? Kalau Mahendra sehebat itu, kalian tidak akan mengemis minta proyek kerjasama pada kami!” balasnya telak membuat wajah Nadine kaku. “Satu lagi, kamu sepertinya lupa dari keluarga mana Rena berasal. Pradipta grup bahkan jauh lebih besar dari perusahaan kalian. Dia hanya tidak ingin dibilang aji mumpung dengan masuk ke perusahan kakaknya. Paham kamu?!” tegas Satria dengan tatapan tajamnya. Nadine mendengus marah. Melihat keadaan yang memanas dan Satria mulai kehilangan kendali, Wira tampak semakin was-was. Matanya berkali-kali melirik ke pintu, berharap Xena muncul di sana. “Jadi maksudmu mengajakku keluar karena ingin membuat perhitungan denganku dan membalaskan sakit hati calon istrimu? Kalau mulutnya bisa merayu suami orang, maka tidak heran kalau juga bisa meracuni otakmu sampai jadi tidak waras.” ocehnya tidak terima. Dalam sekali teguk, Nadine yang tersulut emosinya meneguk habis minuman di gelasnya. Satria menyeringai, meski kepalanya sendiri juga mulai pusing, paling tidak sebentar lagi wanita sialan di depannya ini pasti akan tumbang. “Kamu salah sudah terlalu meremehkanku, Sat! Aku tidak sebodoh itu melepasmu begitu saja! Apa yang tidak bisa aku miliki, orang lain juga jangan harap bisa mendapatkannya!" Mata Satria langsung menatap awas. Obat mulai bereaksi, wajah Nadine sudah tampak memerah dengan mata sayu dan nafas terengah. Namun, apa yang dia ucapkan barusan membuat Satria berspekulasi kalau Nadine juga sudah berulah licik lagi. “Apa maksudmu?” tanyanya. “Aku punya kejutan untukmu. Anggap saja aku membantumu melepas rantai yang perempuan murahan itu sudah pasang di lehermu.” jawabnya tersenyum menang. “Rena …” Satria langsung mendongak begitu mendengar suara Wira memanggil nama wanita kesayangannya itu. Jantungnya berdegup menggila melihat Rena benar-benar berada di sana, berdiri tak jauh dari mejanya dengan wajah marah dan tatapan terlukanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN