SUNYI
Yura, seorang gadis cantik bermata sipit dengan wajah mungil dan tubuh yang juga tak terlalu tinggi hanya 157 sentimeter. Rambut yang baru saja di potong seatas bahu. Berjalan cepat keluar dari lift dengan tangan sebelah memegang ponsel yang ditempelkan di telinga.
Kulitnya putih, membuat siapapun yang melihatnya akan iri, terlebih ketika dia mengenakan make up, serupa boneka berbie. Di usianya yang ke dua puluh lima tahun ini dia sudah bekerja sebagai salah satu karyawan di perusahaan besar yang bergerak di bidang produksi elektronik di pusat kota sejak tiga tahun lalu.
“Iya Mi, baru keluar dari lift. Sudah, aku sudah bawa catatan pembelanjaan kita, iya aku sudah cek nggak ada yang tertinggal. Kamu tunggu di mobil saja, di lobi kan? Iya aku lari deh,” ucap wanita bernama lengkap Yura Berlian Dianne itu. Menurunkan ponselnya setelah memutuskan panggilan, melihat jam tangannya yang bersinggungan dengan gelang usang pemberian sang nenek, gelang yang warna emasnya hampir pudar itu memang tampak harus diperbaiki karena sering lepas, kaitnya yang bermasalah. Yura selalu lupa membawanya ke tempat patri.
Karena terlalu terburu-buru, dia menabrak seorang pria tinggi dengan pakaian serba hitam juga tas gendong hitam yang talinya cukup panjang. Yura hanya menunduk dan terus berjalan hingga dia mengaduh! Ya gelangnya tersangkut di gantungan tas tersebut.
“Ahh!! Maaf tunggu!” jerit Yura karena pria tinggi itu terus berjalan sementara tangan Yura ikut tertarik demi mengimbangi gelangnya agar tidak putus. Pria itu menghentikan langkahnya dan menoleh, tasnya terasa bergerak.
“Gelangku tersangkut, sebentar,” tukas Yura seraya melangkah mendekat ke tas pria itu. Pria tinggi berwajah tampan namun terlihat dingin itu pun melepas satu tali tasnya. Melihat Yura yang berusaha melepas kait gelang yang menempel di gantungan boneka putih miliknya.
“Ah susah sekali,” ujar Yura dengan wajah meringis. Pria itu tampak berdecih dan melepas gantungan kuncinya, lalu menghempaskannya hingga Yura terkejut.
“Pergi!” ujar pria itu, meninggalkan Yura yang memegang gantungan boneka putih yang tampak sudah mulai kotor karena debu itu. Yura sangat kaget karena pria itu terdengar membentaknya padahal Yura merasa tak mengenalnya.
Hingga teman Yura yang tak sengaja melihat kejadian itu pun berlari menghampiri Yura yang masih tertegun, sementara pria tadi berjalan angkuh meninggalkan Yura dengan boneka miliknya di tangannya.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Mia, teman Yura yang tadi meneleponnya, dia merasa ada yang tidak beres karena Yura terlalu lama sehingga dia menyusulnya. Yura menggeleng dan mengajak temannya berjalan cepat menuju mobil yang menunggu mereka.
Tadi Yura memang sudah turun ke lobi namun dia justru meninggalkan catatan barang yang akan dibelinya sehingga dia kembali ke ruang kerjanya.
“Jangan pernah berurusan dengan mas Rasya,” ucap Mia, wanita yang lebih tua dua tahun dari Yura itu menasehati. Yura masih berusaha melepas kait gelang di boneka berbahan wol itu di dalam mobil yang akan membawa mereka ke pusat pembelanjaan.
“Kamu kenal?” tanya Yura setelah berhasil membuka kait gelangnya, namun salah satu benang boneka itu tampak koyak.
“Aku pernah satu tim dengannya, dengar gosip dia keponakan dari pemilik kantor kita. Orangnya dingin dan nggak bisa berbicara.”
“Lho tapi tadi aku dengar dia ngomong sesuatu,” ucap Yura.
“Hanya satu kata yang paling sering dia ucapkan, yaitu kata ‘pergi’ kan?” ucap Mia seraya mendengus.
“Iya tadi dia bilang pergi,” tutur Yura seraya menggeleng tak mengerti, rahang pria itu mengeras saat mengucapkannya tadi, membuat Yura sedikit takut.
“Dia dijuluki pria es batu karena terlalu dingin, tak ada yang betah bekerja dengannya. Dan setiap dua tahun dia pindah divisi, entah karena alasan apa? Katanya sih karena para atasan di setiap divisi tempatnya kerja nggak suka dengannya sehingga dia berpindah-pindah, mungkin karena dia saudara pemilik perusahaan sehingga nggak ada yang berani memecatnya.”
“Uh aku bisa membayangkan kerja dengan teman seperti itu,” ucap Yura seraya bergidik. Mia pun menganggap bekerja dengan Rasya itu merupakan pengalaman buruk. Mia menoleh ke boneka yang Yura pegang. Dia pun mengambilnya.
“Ini boneka apa sih? Pocong?” tanya Mia memperhatikan gantungan boneka dari benang wol itu. Yura mengambilnya dan terkekeh.
“Sepertinya ini boneka salju, aku akan mencuci dan memperbaikinya lalu mengembalikannya,” ucap Yura, memasukkan boneka itu ke dalam tasnya.
“Kamu bisa?”
“Lho kamu lupa? Aku kan pernah jualan benda-benda dari benang wol. Dulu nenek juga membesarkan aku dari hasil berjualan keterampilan tangan yang dibuatnya dari benang wol, syal, boneka, baju-baju boneka, sejak sekolah dasar aku sudah ikut nenek berjualan,” kenang Yura terhadap satu-satunya keluarga yang dia punya. Yaitu neneknya, nenek Ana yang kini berusia lebih dari delapan puluh tahun.
“Oiya, aku hampir lupa, bagaimana keadaan nenek Ana sekarang?” tanya Mia yang memang beberapa kali pernah main ke kediaman Yura.
“Baik, hanya saja karena usianya, nenek sering bermasalah di penglihatannya. Sudah tak bisa berbicara, sekarang penglihatannya sering terganggu sehingga susah berkomunikasi jika dia sedang sakit,” ucap Yura seraya menghela napas.
“Tapi nenek Ana masih bisa mendengar kan?” tanya Mia. Yura pun mengangguk.
Dia dengar dari nenek tetangga dulu, bahwa neneknya pernah dibawa ke Jepang oleh tentara Jepang tak lama setelah Indonesia merdeka. Dulu nenek Ana bisa berbicara, gadis paling cantik sehingga tentara itu menyukainya. Namun entah mengapa nenek Ana kembali ke Indonesia dengan membawa bayinya yang merupakan ibu Yura tanpa sang suami. Katanya suaminya meninggal sehingga nenek di deportasi setelah hampir lima tahun tinggal di Jepang. Itupun nenek tak berbicara sehingga pemerintah kesulitan berkomunikasi, karena nenek hanya bisa mengangguk dan menggeleng.
Padahal sebelum ke Jepang nenek merupakan gadis yang normal. Lalu nenek mempelajari bahasa tubuh untuk berkomunikasi. Hingga kini Yura bisa melakukan bahasa tubuh karena berkomunikasi dengan sang nenek.
Yura hampir tak pernah mengenal orang tuanya. Nenek hanya berkata orang tuanya pergi ketika dia berusia lima tahun dan sejak itu dia tak pernah mendengar kabar orang tua Yura meskipun tampak nenek selalu menantinya pulang.
Mata sipit Yura pun diyakini diwarisi dari kakeknya yang merupakan warga Jepang namun dia tak pernah tahu asal usul sang kakek, neneknya pun tak pernah berbicara tentang itu dan seolah menghindari pembahasan tentang suaminya, hal yang selalu membuat Yura terganjal.
“Hei ayo turun,” ajak Mia membuyarkan lamunan Yura. Mereka telah sampai di pusat perbelanjaan. Tim mereka akan mengadakan sebuah acara tahunan perusahaan dan Yura serta Mia mendapat tugas membeli peralatan untuk membuat spanduk dari karton untuk menyemarakkan acara itu seminggu lagi. Mereka pun memasuki toko alat tulis, mengambil banyak karton dan alat mewarnai juga barang-barang yang dibutuhkan lainnya.
Acara pekan olahraga kantor tahunannya itu akan menjadi hari yang membahagiakan bagi seluruh karyawan karena acara itu untuk mengeratkan hubungan antar karyawan juga, dilaksanakan di lapangan belakang kantor yang memang sangat mensupport kegiatan olahraga karyawannya.
***
Karena terlalu sibuk di kantor tadi, Yura pulang sudah hampir pukul sembilan malam. Melihat sang nenek yang duduk di kursi favoritnya depan rumah mereka. Rumah itu memang sudah usang dan reyot. Yura sedang mengumpulkan uang untuk merenovasinya namun uang yang terkumpul belum terlalu banyak karena dia juga harus memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama neneknya itu. Namun tak apa selama kamar tidur mereka tidak bocor.
“Nenek kok di luar?” ujar Yura seraya memapah neneknya yang sudah sangat renta, sang nenek yang masih menyisakan gurat kecantikan di wajahnya hanya tersenyum dan bertanya apa Yura sudah makan dengan gerakan tangannya. Yura berkata belum makan dan dia akan makan di dalam.
“Nenek sudah makan?” tanya Yura, sang nenek mengangguk dan meminta ke kamarnya, Yura membuka pintu kamar nenek, kamar yang juga tampak tua namun tertata rapih, ranjang dari kayu jati. Kelambu mengelilingi ranjang itu agar nyamuk tak menggigit tubuh sang nenek, sudah sejak dulu dia selalu mengenakan kelambu mungkin banyak nenek lain yang juga mengenakannya.
“Nenek tidur ya, besok mau aku masakkin apa?” tanya Yura seraya menyelimuti sang nenek, setelah membersihkan ranjang itu dengan sapu lidi dan memastikan tak ada nyamuk di balik kelambu tersebut. Sang nenek hanya menjawab terserah Yura dengan bahasa tangannya. Yura tersenyum dan mengangguk. Lalu menutup kelambu itu dan keluar dari kamar sang nenek. Dia sangat menyayangi neneknya karena dia hanya memiliki sang nenek di dunia ini.
Yura memegang perutnya, melihat ke jam dinding, sudah cukup malam, jika dia makan sekarang perutnya akan membuncit, dia lapar dan ngantuk sekaligus. Karenanya dia memutuskan membuat sereal sachet rasa cokelat untuk mengganjal perutnya. Dia tak suka jika perutnya membuncit sementara dia belum menikah.
Entah dia mengalami kelainan atau terlalu memuja tubuhnya? Karena dia sangat suka melihat tubuhnya yang membuat para wanita iri. Meskipun bukit kembarnya tak besar namun cukup kencang dan dia yakin pria yang menikahinya nanti akan menyukainya.
Setelah menghabiskan serealnya, Yura pun masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, dia tak pernah betah tidur tanpa mandi.
Hanya mengenakan handuk dia mengunci pintu rumah dan meletakkan kunci di atas nakas. Lalu dia masuk ke kamarnya. Memandang kaca setinggi tubuhnya dan melepas handuknya. Senyumnya terkembang melihat tubuhnya yang putih mulus tanpa cela itu.
Dia bahkan memutar tubuhnya dan melempar handuk ke sembarang arah. Dia pernah mencari tahu tentang apa yang terjadi dan sepertinya memang mengarah ke exhibionist namun dia tak peduli, toh dia hanya menikmati tubuhnya sendiri, tanpa memamerkan kepada orang lain. Dia berkelit, karena dia terlalu mencintai tubuhnya sehingga dia mengaguminya.
Mengambil handuknya dan tanpa berbusana berjalan di kamarnya yang telah terkunci, memindahkan handuk ke gantungan di belakang pintu kamar lalu naik ke ranjangnya. Menyilangkan kakinya dan menggigit bibirnya, hanya dia yang tahu rasanya dan dia selalu menyukai aktifitasnya ini yang menurutnya dapat menghilangkan stresnya. Dia pun akan tertidur dengan tanpa sehelai benangpun. Itu sebabnya dia tak suka menginap atau berkemah karena dia tak bisa tidur dengan nyaman seperti ini.
***