Lima

1540 Kata
Rasya memilih mengendarai mobil karena gerimis melanda malam ini, mungkin sebentar lagi akan turun hujan jika melihat kilat dan mendengar suara guntur yang mulai bersahutan. Ketika petugas keamanan membuka gerbang untuknya, Rasya pun meminta salah satu petugas keamanan berjaga di dalam. Khawatir Sonia terbangun. Hanya pada saat tertentu saja petugas keamanan bisa masuk ke dalam rumah besar itu. Di perjalanan, Rasya memilih singgah ke salah satu warung makan yang menyajikan hidangan mie ayam. Mungkin cocok untuk disantap malam ini, setidaknya Yura harus mengisi perutnya meski hanya sedikit. Setelah membeli satu porsi mie ayam lengkap dengan bakso dan pangsit. Rasya kembali melajukan mobilnya. Hujan mulai turun dengan deras, sehingga jalanan tampak lengang. Beberapa pengendara motor memilih menepi karena derasnya hujan tak mampu dihalau dengan jas hujan yang mereka kenakan. Rasya menepikan mobil di depan gang ke arah rumah Yura, karena mobilnya bisa menghalangi jalan jika terus masuk sampai halaman rumah Yura yang tak terlalu besar. Sesampainya di gang rumah Yura, hujan semakin deras mengguyur, beruntung ada payung di mobilnya. Dia pun memakai payung itu, sambil berjalan pelan agar air hujan tak memercik ke celananya. Dari kejauhan, Rasya melhat siluet seorang pria bertubuh tinggi dan kurus, memakai topi di kepalanya. Pria itu tampak mematung di depan rumah Yura.  Sesaat Rasya berpikir bahwa pria itu mungkin tetangga Yura, namun melihat gelagatnya yang mencurigakan membuat Rasya merasa perlu mengawasinya lebih jauh sebelum singgah ke rumah Yura, dia memilih bersembunyi dibalik tanaman hias berukuran besar milik tetangga Yura. Benar saja, pria itu seperti mengeluarkan pisau dari sakunya dan bersiap mendorong pintu. Kilat membuat pisau itu terlihat jelas. Rasya membelalakkan matanya, kaget tentu saja. Ada masalah apa pria itu sehingga mengeluarkan pisau dari saku celananya? Gelagatnya pun mencurigakan karena sesekali dia seperti mengawasi khawatir ada yang melihat aksinya. Rasya mencari benda yang bisa dipakainya untuk menghentikan pria itu, dia melihat sapu lidi dengan pegangan yang terbuat dari batang bambu. Di lempar payungnya ke tanah beserta bungkusan yang dibawanya, membagi dua bambu itu dan melemparkan layaknya tombak ke arah pria itu, tepat terkena kakinya, yang langsung membuat sosok itu terkejut dan hampir terjatuh, namun dia berhasil menguasai dirinya dan berlari dari rumah Yura. Rasya berniat mengejarnya namun dia lebih mengkhawatirkan keselamatan Yura, terlebih pria itu berlari sangat cepat seolah telah terlatih. Rasya mendorong lebar pintu rumah Yura hingga suara daun pintu beradu dengan tembok, mengejutkan Yura yang tengah berbaring di kamar neneknya. Yura segera keluar dari kamar, dengan mata sembab dia melihat Rasya yang tubuhnya sedikit basah. “Kamu kenapa hujan-hujanan?” tanya Yura. Rasya masuk dan membuka setiap pintu, dia pun menuju ke kamar mandi untuk memastikan tak ada sesuatu yang mencurigakan. Tidak ada celah yang terlewatinya, rumah itu tak terlalu besar sehingga dengan cepat dia bisa menyapunya. “Ada apa?” tanya Yura khawatir. “Sebaiknya kamu bereskan pakaian kamu dan barang penting, mulai sekarang kamu tinggal di rumah aku,” ujar Rasya seolah tak terbantah. “Tapi ada apa?” tanya Yura tak mengerti. “Lakukan saja!” ujar Rasya geram. “Nggak! Aku harus tahu apa yang terjadi?” “Di sini bahaya untuk kamu!” Rasya menatap tajam Yura seolah ingin menelannya hidup-hidup membuat Yura sedikit gentar. “Ra, di depan ada payung punya Si-siapa?” tanya Dela yang terkejut melihat Rasya tengah berdiri dan menatap tajam Yura. Dela ingat pria ini adalah yang mengaku calon suami Yura siang tadi, namun Yura belum menceritakannya karena terlalu larut akan kesedihannya. “Aku tunggu di depan,” ucap Rasya, menunduk sopan pada Dela dan keluar dari rumah Yura, menunggu di teras, sesekali matanya melihat jauh ke sekitar, barang kali pria tadi kembali datang. “Ra, kamu belum cerita,” ucap Dela menggantung kalimatnya. “Bantu aku beresin baju dan barang berharga Del, meskipun aku tidak memilikinya,” ucap Yura dengan wajah sedih. Sepertinya memang tak ada barang yang berharga di rumah itu. Perekonomian Yura memang terbilang cukup miris. “Kamu mau langsung pindah malam ini juga?” tanya Dela. Yura mengangguk lalu menuju kamarnya. Yura mengambil tas besar di atas lemari, tas itu sangat berdebu sehingga Dela membantu membersihkannya dengan tissue basah yang ada di atas nakas kamar Yura. Yura mengeluarkan bajunya yang layak pakai lalu merapikannya di atas ranjang. “Ra, bicara sesuatu dong,” ucap Dela sembari membersihkan tas Yura. “Namanya Rasya, sebenarnya aku juga masih merasa seperti mimpi Del, tapi ... dari tadi perasaan aku juga nggak enak, aku merasa seperti ada yang mengawasiku, dan aku ingin mencari tahu tentang kematian nenek, aku benar-benar mempunyai feeling bahwa kematian nenek Ana nggak wajar,” ucap Yura. “Ra, ikhlas,” tutur Dela seraya menyerahkan tas besar itu. “Aku ikhlas sungguh, melihat nenek yang semakin renta dan sakit membuat aku benar-benar mengikhlaskan kepergiannya. Tapi kalau nenek meninggal dengan tidak wajar, tentu aku harus mencari tahu, tolong kamu masukkin baju ke tas ya, aku mau ambil beberapa berkas di kamar Nenek,” ucap Yura sambil beranjak, namun Dela menahan lengannya dan menatap Yura dengan pandangan khawatir. “Kamu mencintainya? Bukan terpaksa kan?” tanya Dela merujuk pada pria bernama Rasya yang bahkan baru dikenalnya hari ini. “Entahlah Del, aku sebatang kara kini, tinggal sendirian pasti nggak akan mudah. Oiya dia punya anak perempuan, aku yakin dia nggak akan menjahati aku karena memikirkan anak perempuannya,” ucap Yura seraya mengembuskan napas panjang, dia pun keluar dari kamarnya dan menuju kamar sang nenek. Dia membuka lemari pakaian nenek Ana, mengambil satu baju kesayangan sang nenek, gaun yang usang namun masih tampak rapih. Saat mengambil gaun itu, dia menemukan sebuah buku catatan, namun buku itu tampak sangat rapuh seolah berusia puluhan tahun. Yura kembali memasukkan buku itu ke dalam lipatan baju nenek, dia akan membacanya nanti. Yura juga mengambil sertifikat rumahnya dan beberapa berkas penting di kamar nenek. Dia keluar dengan membawa satu tas berisi barang yang menurutnya penting itu. Jika nanti dia butuh sesuatu tentu dia masih bisa kembali ke rumah. Yura hampir melupakan sesuatu besok merupakan pembukaan acara olah raga di kantor, dia telah mencuci seragam olah raga timnya yang dicetak dengan tulisan divisi masing-masing, karena itu dia segera memasukkan baju itu ke dalam tas. Mengambil gembok di dekat meja tamu dan keluar dengan dibantu Dela yang memasang wajah sedih karena Yura akan tinggal jauh darinya. Saat akan mengunci rumah dengan gembok, Yura kembali ke kamar neneknya, mengambil buku yang sempat tertinggal di ranjang. Buku favorit sang nenek di mana terdapat jejak sepatu yang mungkin terinjak oleh warga yang membantunya membawa nenek ke rumah sakit. Setelah mengambil buku itu, Yura pun menarik handle pintu, keningnya berkernyit melihat kunci yang rusak, bahkan dorongan angin saja bisa membuka pintu itu. “Ada apa?” tanya Rasya. “Sepertinya kuncinya rusak.” Yura akhirnya langsung mengunci gembok rumah itu dan meletakkan anak kunci di saku. Rasya semakin curiga ada yang tidak beres dengan kondisi saat ini. Dia kembali menatap ke sekeliling dan tak menemukan siapa pun. Hujan telah berhenti, menyisakan genangan air di mana-mana. Dela sudah membawa satu tas Yura yang berisi pakaian, sementara Yura memegang satu tasnya yang berisi berkas penting dan benda lain. Rasya mengambil tas dari tangan Yura tanpa banyak berbicara, dia juga mengambil tas dari tangan Dela, dan berjalan lebih dahulu menuju mobilnya. Sepintas melirik bungkusan mie ayam yang teronggok tak berdaya di pinggir jalan, dia ingin membuangnya namun dia tak bisa melakukan itu, karena dua tangannya telah terisi. Dela yang melihat sampah itu pun mengambilnya dan membuang di tong sampah terdekat. “Ada tempat sampah kok buang sembarangan?” sungut Dela. Yura hanya memandang kosong dan kembali berjalan di samping Dela yang kini mengamit tangannya. “Kalau ada apa-apa kabarin aku ya Ra, aku akan segera ke tempat kamu,” ucap Dela. “Iya, sekali lagi terima kasih ya, rumah mas Rasya aman kok,” ucap Yura agar Dela tidak khawatir, lagi pula rumah besar itu memang tampak sangat aman dengan petugas keamanan pribadi yang berjaga di rumah tersebut. Rasya meletakkan tas-tas tersebut di kursi belakang, lalu dia membuka pintu dan duduk di kursi kemudi. Membuka kaca jendela mobil lebar-lebar. Yura masih berbicara dengan Dela. Lalu dia masuk ke dalam mobil dan menutup mobil itu. Dela membungkuk untuk melihat Rasya dari kaca jendela, “Mas Rasya, titip Yura ya,” pesan Dela dengan senyum canggung. Rasya hanya mengangguk tanpa berbicara, lalu Yura menoleh ke arah Dela seolah mengatakan dia akan baik-baik saja dan meminta Yura memaklumi sikap Rasya yang dingin itu. Dela mundur untuk memberikan jarak mobil Rasya melaju, namun Rasya bahkan tidak menyalakan mesin mobilnya. “Ada apa?” tanya Yura. “Minta teman kamu masuk ke rumahnya lebih dahulu, baru kita jalan,” ucap Rasya pelan. Yura sebenarnya tak mengerti maksud Rasya, namun dia menurutinya karena cukup masuk akal hal yang diucapkan Rasya, apakah Rasya tahu bahwa dia sedang mengkhawatirkan sesuatu? “Del, kamu masuk ke rumah kamu dulu, baru aku berangkat,” ucap Yura. “Tapi aku mau lihat kamu jalan,” rungut Dela dengan wajah sedih. “Eggak apa-apa, lagi pula hmmm sepi banget di sini dan sudah malam, cepat sana masuk,” ucap Yura. Rumah Dela memang tidak jauh dari mobil Rasya yang terparkir, akhirnya dengan berat hati Dela berjalan ke rumahnya, tak lupa melambaikan tangan ke arah Yura. Setelah memastikan Dela masuk ke dalam rumahnya, Rasya pun melajukan mobilnya dan meninggalkan pemukiman itu. ***      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN