[15] Jebakan Pertama

2080 Kata
Suny memperhatikan ponselnya dengan penuh bangga. Rasanya puas banget kalau semua yang ia rencanakan berjalan lancar. Ia enggak peduli kalau suaminya menatap dengan heran. Katanya juga, “Jangan sampai keterlaluan, Ma.” “Keterlaluan dari mana?” Suny berdecak kesal. “Aku itu lagi buat Tio sadar. Biar dia enggak main perempuan terus. aku yang pusing kalau mendadak ada wanita yang datang, hamil pula, ngaku sudah dibuat hamil sama Tio?” Sang suami, Arfan Cakra tergelak sempurna. “Pikiran kamu itu jangan ngawur, Ma.” “Dari mana enggak ngawur?” Ia pun membanting bokongnya disofa, duduk tepat di samping suaminya. “Kamu enggak tau laporan apa yang Leony beri perkara Tio? Banyak yang anak itu tutupi tapi aku tau kenapa, Pa. Leony enggak mau Tio dimarahi dan dibebankan terus tentang pertanyaan jodohnya.” “Ya bagus, lah, Ma.” “Bagus dari mana?” Suny mendelik tak terima. “Tio itu sudah tiga puluh lebih, Pa. masa kita enggak mau melihat anak sendiri menikah?” “Pasti Tio butuh pertimbangan yang banyak seputar wanita yang ada di dekatnya.” Arfan tau, mendebat Suny sama saja membuat dirinya terancam. Suny kadang tegasnya enggak pakai dipikir. Sekali mulutnya berkata ia harus tidur di luar, maka Arfan harus lakukan. tapi karena ini perkaranya dengan Tio dan menyangkut mengenai kenyamanan Naina nantinya, Arfan harus turun tangan. Bukan ia tak tau rencana Suny perkara wanita yang akan dikenalkan saat kencan buta bersama Tio. Yang mana sebenarnya ia tak setuju. Meski penasaran juga kenapa spesifikasi wanita itu harus berumur dan memiliki rambut merah? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan wanita berambut merah? Akan Arfan cari tau tapi nanti. Urusannya sekarang dengan Suny dulu yang harus ia tegaskan, karena ia yakin Tio tak akan suka ide ini. “Udah deh,” Suny berdecak sembari mengibas pelan. “Papa enggak tau rencana Mama. Ini Mama sudah diskusi dengan Bu Yesi, lho. beliau meski nyebelin enggak pernah bisa diajak bercanda, tapi memikirkan Naina. Ia juga tau Nai dekatnya hanya sama Tio. Kalau Tio berjodoh dengan orang yang enggak sayang sama Naina, kita yang kerepotan. Kasihan, Pa, Naina. Masa iya harus kehilangan figur orang yang dianggap orang tuanya, sih?” Arfan menghela pelan. “Jadi apa rencana Mama?” “Mau Mama biar Tio itu sadar, ada Leony di sampingnya. Masa orang segitu care sama dia dan Naina enggak dilirik sama sekali. mama suka heran sama pria enggak peka. Tio itu keturunan siapa, sih? Mama aja bisa tau kalau Ony itu tulus ke mereka berdua.” Arfan jadinya meringis sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Memang keturunan Papa enggak ada yang peka!” Nah, kan. kenapa jadi Arfan yang kena getahnya, sih? Niat Arfan itu hanya mencari tau karena enggak biasanya sang istri gencar sekali menginginkan perjodohan untuk putranya. Ditambah yang biasanya jarang sekali komunikasi dengan keluarga di Surabaya, mendadak beberapa waktu belakangan ini jadi intens. Apa karena kepulangan Tio dan Naina ke sana? Setau Arfan, Tio memang mengurus bagian di Sidoarjo dan sekalian mampir mengajak Naina berkunjung ke rumah nenek dari pihak ibunya. Tio bukan paman yang senang memonopoli keponakannya. Arfan tau itu. “Memang enggak jadi boomerang sendiri kalau perjodohan ini lancar? Kalau Tio dan wanita itu cocok, Leony bagaimana?” Suny sekali lagi berdecak. “Memang Mama tau perasaan Leony seperti apa? Yang Mama lihat, gadis itu baik dan sabar menghadapi Naina. Kalau di dekat Tio juga, enggak terlihat seperti asistennya, kok. Malah kalau Mama rasa seperti kekasihnya. Tapi yang jadi masalah, Tio ini sama sekali mengabaikan Leony.” “Mama ini lucu,” Arfan jadinya tertawa. “Orang sama-sama enggak suka dipaksa melihat satu sama lain.” “Ih!” Suny melotot garang. “Mama mau lakukan apa pun biar Tio punya jodoh. Nikah segera, punya anak kalau bisa, biar Naina punya tanggung jawab menjaga adiknya. titik. Enggak ada bantahan lagi. biar perjodohan itu diatur sama Leony.” Ia pun bangkit dengan segera. mengentak kesal sembari bersidekap, meninggalkan suaminya yang masih punya sisa tawa di ujung bibirnya. “Awas aja nanti masuk ke dalam kamar! Tidur di luar.” Asatag, Tuhan! Suny ini terkadang bikin Arfan pusing. Ketimbang dirinya kelabakan enggak ada yang bisa ia peluk saat malam hari, Arfan memilih untuk mengalah. Mengejar dengan meminta maaf dengan bisikan lembut. Meski kdang ditepis tapi kemarahan di bibir Suny sudah mulai surut. Tak apalah. Paling yang repot nanti Tio dan Leony menghadapi cobaan yang dibuat-buat oleh ibu bernama Suny ini. Sementara itu, Leony menatap tak percaya pada ponselnya yang sudah kembali ke menu awal. Saat mendongkat, didapati dua adiknya menatap lekat. Juga bingung mungkin dengan obrolan yang mereka tak sengaja dengar. “Kalian kembali ke kamar. Kakak capek, mau tidur.” Kedua adiknya ini enggak ada yang menolak dan membantah. Setelah memberi pelukan singkat, di mana Leony merasa ‘utuh’ meski terkadang keutuhannya tercerai berai karena banyak situasi, tapi setidaknya malam ini dilaluinya dengan damai. Pun saat si adik tengah memberinya satu cup cokelat hangat. Kakaknya sangat menggemari coklat hangat salah satu menu di kafenya. Baru saja Leony menutup pintu kamar, memastikan tak ada barang yang tertinggal di bawah, ponselnya kembali minta perhatian. Kali ini, Leony mengerutkan kening keheranan karena nama yang muncul di layar; Naina. “Ya, Nai?” “Sudah tidur belum, Kak?” “Belum.” Leony duduk di tepian ranjangnya. “Kakak habis dibelikan s**u cokelat. Mau diminum biar enggak keburu dingin.” “Aku mau,” katanya setengah merajuk. “Kakak minta Bi Muji buatkan, ya?” tawar Leony. “Enggak mau, ah. Enggak jadi.” “Ada apa?” tanya Leony dengan nada sedikit menyelidik. “Ada yang enggak beres?” “Kakak jadi temani aku ke makan Mami dan Papi, kan?” Mengenai janji itu, tadinya Leony pikir sudah dilupakan. Tapi ternyata Naina ini tipe yang akan mengingat apa yang sudah terlanjur dikatakan. “Oke. Kakak usahakan. Semoga pekerjaannya nanti enggak terlalu banyak.” Lantas tanpa permisi, telinganya bergema suara nyonya besar dari sang bos. Juga sekelebatan foto serta profil banyak wanita berambut merah yang harus ia seleksi. Ia menghela pelan. “Pokoknya Kak Ony usahakan, ya?” “Jangan enggak, ya, Kak,” kata Naina dengan nada memelas. “Aku seperti engga punya teman. Daddy sibuk terus. kak Ony ikutan sibuk. Kalau sama Pak Parjo, ada aja yang dilaporkan. Padahal Nai belum tentu seperti itu, lho.” Ingin sekali Leony memberi nasihat kalau sering sekali Naina buat kekacauan. Perkara kabur, enggak sekolah tapi kelayapan entah ke mana, belum lagi kalau dirinya sedang enggak bisa kendalikan dirinya. Teman sekelasnya diamuk tanpa basa basi. Kadang juga membantah gurunya. Lalu yang paling membuat ia kelimpungan, saat Naina sering sekal mengucapkan nama Mami Farah. Astaga! Namun atas semua itu, Leony memilih bersabar. Kesepian yang melanda gadis kecil itu tak seharusnya ia rasakan. Naina dipaksa untuk merasakan segala hal yang seharusnya tak perlu ada dalam hidupnya. Tapi guru agama di sekolahnya dulu berkata, “Jodoh, maut, kelahiran, dan anak sudah ada yang mengatur dan kita sebagai umat yang beriman, berusaha menjalankan garis takdir yang sudah ditentukan dengan baik.” Jadi … tak ada yang bisa Leony lakukan selain memberi arahan serta menemani Naina kalau ada waktu. Bukan apa. Bekerja di sisi Tio ini selain perlu stok sabar yang gila-gilaan, ia juga harus merelakan banyak waktunya terbuang. Yang seharusnya bisa ia pergunakan untuk bersosialisasi dengan temannya yang lain, Leony masih harus mengurus keinginan Tio yang lainnya. Di saat minggu tenang di mana bisa ia pergunakan untuk me time, malah Tio mengusiknya sampai tak bisa berkutik sama sekali. Ada saja perintah yang diminta Tio untuk segera ia lakukan. Tak mau ditunda sampai esok, juga Leony tak bisa berkutik kalau Tio sudah bilang, “Kamu asisten saya, kan? kamu harus tau apa yang saya kerjakan dan bantu. Minggu saya enggak libur, kamu juga. Kalau mau liburan, kita bersama. itu namanya kompak.” Kendati demikian, Tio bukan orang yang pelit perkara uang. Gaji Leony memang mepet sekali untuk membiayai hidupnya beserta para buntut di belakangnya. Tak tersisa untuk sekadar tabungan. Untuk membeli kemeja serta sepatunya saja, ia butuh menghemat di beberapa titik. Tapi karena Tio mendorongnya untuk terus bekerja di hari libur, uang yang ia miliki banyak. Sering kali ia heran juga tak enak hati karena nominal yang masuk ke rekeningnya dengan dalih, “Buat jajan kamu, Ony. Kamu sudah bantu saya. Sekarang tolong pesankan hotel. Saya butuh refresing.” Meski di ujung ucapannya itu, Tio lebih sering nyeleneh. Tapi pada dasarnya pria itu baik. Hanya saja, Leony tak sanggup menukar kebaikan Tio dengan wanita yang ada di sekitar hidup sang pria. Duh! Berat sekali rasanya. Kebaikan itu jadinya minus lantaran sikap Tio yang player abis! Sebulan bisa berganti empat sampai lima wanita yang dikencani. Kadang malah bentrok jadwal di mana Leony yang harus turun tangan. Selain diminta untuk menemani wanita yang tak bisa dikunjungi Tio, kadang lagi yang lebih gilanya, Tio memasang Leony sebagai tameng. Bertugas untuk meminta si wanita jangan menghubunginya lagi. Alasannya klasik. Tio dijodohkan orang tuanya! Tuhan! Andai bisa protes mengenai hal ini, pasti sudah ia lakukan. tapi mana bisa karena selain Leony butuh transferan tambahan di luar gajinya, kadang Tio ini harus ia tau sepak terjangnya. Karena yang meminta kegiatan Tio di luaran sana membuat Leony tak bisa berkutik banyak. Ketimbang ia punya banyak masalah, jadinya sebagai asisten yang baik dan benar, ia menuruti saja. Semuanya. Apa pun yang Tio lakukan. “Kak?” panggil Naina sekali lagi. “Kok, Kakak enggak jawab pertanyaan aku?” “Eh?! Iya maaf, Nai. Tadi Kakak harus cek lampu kamar dulu.” Ia berdusta. Rasanya langsung membuat perutnya melilit mendadak. Tapi dirinya enggak mungkin jujur perkara pekerjaannya yang agak aneh ini, kan? “Kakak kenapa takut gelap?” Leony menghentikan geraknya menyibak selimut. Agak lama ia mematung, pantulan dirinya terlihat di cermin. Sosok bertubuh kurus, rambutnya tergerai lurus sebahu, pipinya tirus, matanya berbingkai kacamata tebal, ditambah kawat gigi yang masih setia ia kenakan. Dari pantulan itu mendadak ia teringat kisahnya di masa lalu. Kisah yang tak ingin ia hadirkan sedetik pun dalam hidupnya lagi. namun ia bisa apa kalau dirinya bagian dari masa lalu. “Enggak apa-apa, Nai. Takut … ehm, Kak Ony takut kecoa.” “Oh, iya memang nyebelin banget kalau ada kecoa. Untungnya aku enggak takut.” Naina tertawa di ujung sana. “Besok aku sekolah tapi jemput aku, ya, Kak.” “Kak Ony kerja, kan?” Naina terkekeh. “Pas makan siang jemputnya.” “Memang Pak Parjo ke mana?” “Ada, sih.” “Nai mau main sama Kak Ony?” Tak ada sahutan setelahnya. Pertanda kalau apa yang Leony katakan terlalu tepat sasaran. “Besok bilang sama Pak Parjo, minta anter ke kantor Daddy. Selama Nai enggak reseh dan ganggu kerjaan Kak Ony, nanti Kakak bilang Daddy.” “Benar?” “Iya.” “Asyikk!!!” “Apa yang asyik?” tanya Tio di ujung sana. suaranya terdengar jelas di telinga Leony. Tak mungkin ia matikan sambungan telepon ini, kan? jadinya Leony memilih menunggu sembari mendengar pembicaraan di ujung sana. Yang pasti, ada perdebatan karena keputusan Leony tadi. Yang mana jelas membuat Naina kegirangan tapi menurut Tio, itu merepotkan. Padahal seingat Leony, yang diganggu itu dirinya. Bukan Tio. Kenapa juga Tio malah terdengar enggak suka? Enggak taukah ia kalau bocah bernama Naina itu kesepian? Tak bisa kah Tio mengerti sedikit saja? “Jangan terlalu longgar dengan Naina, Ony,” kata Tio dengan tegasnya. “Di sana kamu kerja, kan? bukan mengasuh anak.” “Saya tau, Pak,” kata Leony pelan. “Tapi Non Nai saya pastikan enggak akan merusuh.” “Agenda kamu besok banyak keluar bersama saya, lho, kalau kamu lupa.” Sekali lagi, Leony berkata, “Iya, Pak. saya ingat.” “Terus Naina kamu taruh di kantor? gitu?” Leony menghela pelan. “Di luar kantor, kebanyakan bersama investor dan Bapak bersama divisi Marketing. Saya enggak ikut. Agendanya seperti itu. Makanya saya berani meminta Non Nai main ke kantor. Lagi juga jarang sekali, kan, Pak?” Tio mendengkus kesal jadinya. “Terserah lah! Jangan buat saya tambah repot!” “Baik, Pak.” “Jangan biarkan Naina terlalu merecoki kerjaan kamu, ya. Ingat, kamu itu saya pekerjakan untuk membantu meringankan tugas saya. Paham?” “Iya, Pak.” “Jangan iya-iya aja, Ony!” Leony berdecak pelan. “Apa pun yang Bapak mau, saya turuti.” “Oke. Minggu depan batalkan semua kencan buta saya. Jangan pikir saya enggak tau rencana itu!” Leony terperangah. “Ketimbang kencan buta dengan orang yang enggak saya kenal, kita kencan saja. Beres, kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN