[3] Siapa Farah?

1259 Kata
[Mak Lampir : Siapa Mami Farah?] Tadinya Tio masih ingin bergelung dengan selimut apalagi ada wanita cantik yang ia kenal saat berkunjung ke Surabaya satu tahun lalu menemaninya. Janjinya, kalau Tio singgah, ia pun dengan senang hati menemui Tio. Lumayan, lah, membuatnya tak terlalu penat meski otaknya kembali terkuras karena kegiatan yang ada. Setidaknya kehadiran wanita yang memamerkan punggung mulusnya di ranjang yang ia tiduri malam ini, membuatnya cukup bugar. Tiga hari ke depan dirinya memantau jalannya pembebasan lahan yang masih belum menemukan kesepakatan. Inginnya satu ronde lagi walau sang wanita tertidur, tapi kalau dipecut sedikir gairahnya, pasti Tio akan mendapatkan keinginannya. Lagi juga, bergumul bersama sembari adu desah di pagi hari itu menyehatkan, kan? Sayangnya, itu hanya sebatas rencana. Ponselnya terus saja berdengung pelan macam lebah yang berkeliaran di taman bunga. Ribut sekali. Padahal hari pun masih terlalu pagi. Baru jam … enam? Astaga! “Ya, Nek?” sapanya. “Kamu baru bangun, Tio?” Ia tak peduli dengan ucapan bernada tinggi barusan. “Ada apa?” “Ada apa kamu bilang? Kamu itu direktur utama! bermalas-malasan itu seharusnya enggak kamu lakukan, Tio! Kamu tau apa yang kamu pegang itu kebanyakan sahamnya Azkia!” Tuhan! Hal itu lagi yang dibahas?! “Saya masih santun sampai sekarang menghadapi Ibu, ya. Mama dan Papa enggak pernah tau kelakukan Ibu terhadap saya.” Tio menyibak pelan selimutnya. Membuat sang wanita yang tadinya ada di pelukannya, bergeliat pelan. Tio tersenyum tipis. Mengusap rambut sang wanita sebegai bentuk menenangkan lantas ia pun beranjak. Memilih duduk di salah satu sofa yang ada. Masih menggenggam ponselnya dengan erat. Pegangan tangannya di ponsel makin mengetat. Ia masih belum terima dengan ucapan yang ia dengar pagi ini. Tak tau kah Mak Lampir satu ini kalau ia sudah mengerahkan segala daya dan upayanya? Sampai ia lebih sering meninggalkan Naina yang menjadi tanggung jawabnya? Hanya untuk menjaga agar Faldom berjalan sebagaimana mestinya? Azkia Ishana Djaya, putri tunggal pemilik grup Fall Building di mana kala itu, suaminya membangun Faldom sebagai bentuk kerja sama tersendiri. Pengucur dana utama jelas Azkia, sebagai bentuk sokongan penuh untuk suaminya berkarya. Tak ada yang aneh selama Faldom berjalan. Pernikahan mereka juga baik-baik saja meski agak lama dikaruniai seorang putri yang cantik bernama Naina. Saat berita kematian mereka mencuat, jelas kepemilikan Faldom dipertanyakan. Juga surat warisan yang ternyata sudah dibuat oleh Abyan Wijaya kala itu. Tampuk kepemimpinan Faldom hanya diserahkan pada Satryo, adiknya. ditanda tangani khusus juga oleh Azkia. Membuat ia mau tak mau menerimanya. Ada decih tak suka yang Yeni Djaya lontarkan. Terdengar jelas sekali tapi Tio tak peduli. Sudah sering ia mendapatkan perlakuan seperti itu. memangnya ini keinginannya? Astaga! Andai boleh memilih ia lebih senang kalau b******u dengan ombak. Keliling dunia menikmati indahnya ciptaan Tuhan sembari menjajal apa pun jenis profesi yang bisa ia lakukan di luar sana. Sayangnya … atas nama rasa sayang dan cinta yang terlalu besar juga ia pun ingin melindungi keponakan satu-satunya, Tio rela. “Siapa Farah?” “Ya?” “Farah!” sentak Yeni agak keras. “Naina beberapa kali menyebut nama Farah. Tunangan kamu?” “Bukan.” Tio menegakkan punggung. “Naina bilang, dia hanya mau Mami Farah. Enggak mau siapa pun wanita yang ada di dekat kamu kecuali Mami Farah. Siapa dia, Tio?” Tio tepuk jidat! Keras pula. Tak peduli kalau nanti ada bekas tepukannya di sana. Duh … Naina! Jangan membahas Mami Farah lagi bisa, kan? Padahal anak itu sudah berjanji enggak akan ada pembahasan mengenai Farah lagi. Selain aman untuk jantung Tio, setelah ia mencari tau siapa yang ada di samping Farah, Tio memilih undur diri dengan amat teratur. Macam merindukan planet venus yang indah dipandangi tapi didekati bisa terbakar! Berbahaya! “Bukan siapa-siapa, Oma.” Kalau Tio sudah memanggil Yeni dengan sebutan Oma, artinya ia tak ingin banyak bicara lagi. “Perempuan mana lagi yang kamu ajak berkencan, Tio?” Suara Yeni kembali meninggi. Sekali lagi, Tio menghela frustrasi. Jangankan kencan, bicara dengan sosok bernama Farah saja sudah panas dingin. Ditambah matanya itu, lho, enggak bisa mudah dilupakan Tio. Tapi juga, apa yang dilakukan Farah di rumahnya saat Naina sakit, membuat Tio berpikir. Naina tak mungkin ia tinggalkan saat sudah berumah tangga nanti. Ini juga yang membuatnya malas berhubungan secara serius dengan wanita mana pun. Cukup jadi teman tidurnya saja. kalau wanita itu tak cocok dengan Naina? Bagaimana mereka bisa satu rumah? Sementara dirinya tak bisa mengabaikan Naina begitu saja. Sayagnnya Tio pada Naina sangat besar. Tidak. Tio memilih menyingkirkan pemikiran ini saja. Ia harus fokus pada sisa pekerjaannya di sini. “Saya mau ke Sidoarjo tiga hari ke depan. Supir akan jemput Naina biar dia ikut saja.” “Enggak bisa! Siapa yang izinkan?” Cengiran di bibir Tio langsung mundur. Kebohongannya semalam saat telepon Leony, dikabulkan Tuhan. Ia juga yakin, sih, Yeni enggak akan biarkan Naina ikut dengannya. Kecuali saat pulang nanti. Itu juga pasti menggunakan drama yang panjang! Yaelah! Kapan hidupnya enggak penuh drama? Tio menghela panjang. “Nanti Oma capek, ngeluh lagi. aku juga maunya enggak pegang apa-apa, lho, di Faldom. Menjaga Naina dan jadi wali yang benar dan waras. Sayangnya aja, tanggung jawab aku terlalu besar. Sudah gitu, penghargaannya enggak ada sama sekali. seolah keberadaan saya di sana, hanya pengganggu.” Yeni berdecak. “Sudah. Bicara sama kamu enggak pernah benar!” Lantas teleponnya ditutup begitu saja. Membuat Tio menghela panjang. Bersandar adalah hal yang ia lakukan sekarang. Ponselnya ia taruh di meja berlapis kaca, tangannya sengaja ia letakkan di atas kepala. Menarik napas sedalam mungkin lalu mengembuskannya perlahan. Sampai … “Kok bangun?” Tio menoleh dengan segera di mana pipi sang wanita berada di dekatnya. Sekali menipiskan jarak juga, pipi itu bisa ia kecup. Sayangnya, Tio tak ingin hanya sebatas pipinya saja. “Masih pagi.” Rara tersenyum lebar. Tangannya yang ia kalungkan di leher sang pria, ia kendurkan sesaat. Tarikan tangan Tio sebagai pertanda, dirinya diminta mendekat padanya. Dan yang ia lakukan, duduk tepat di atas pangkuan Tio. “Kamu enggak temani aku lagi, Mas.” Tio tertawa. b****g sintal itu diremas pelan. Mengenakan pakaian tidur super tipis, di mana paha mulus itu kini terpampang nyata di sisi kakinya. “Mas!” pekik Rara dengan senyuman manja. Rambutnya yang berantakan semakin jadi ia perbuat. Menggunakan sela jemarinya, ia menyugar rambut panjangnya. Membuat gerakan menggoda. Ditambah sedikit menggerakkan tubuhnya yang ada di atas pangkuan Tio. “Sekali lagi, ya?” tanya Tio. “Belum puas.” Disambarnya bibir yang masih tersisa jejak kemerahan di sana. Dengan senang hati, lah, Rara sambut permintaan itu. kapan lagi dapat pelanggan kelas kakap macam Tio? Apalagi wajah tampan Tio ini enggak mudah untuk Rara lupakan. Termasuk … “Pak.” Leony masuk begitu saja. “Bubur ayamnya saya bawa aja ke atas. Bapak lama banget balas pesan saya.” Rara berdecak kesal karena kedatangan Leony. Matanya menatap gadis itu tak suka. Ia tak peduli kalau dirinya masih ada di pangkuan Tio. Leony yang mengganggu kesenangan mereka! “Turun dulu. Saya mau bicara dengan Leony.” Tio seenaknya menggeser tubuh Rara. Berjalan menuju asistennya yang repot membawa tas juga satu tentengan yang ia tau, sarapan kesukaannya. “Ada sate telurnya enggak?” “Ada. Susah nyarinya di Surabaya, Pak,” keluh Leony. “Tapi saya belinya Cuma dua. Saya enggak tau kalau Bapak ditemani wanita di kamar ini.” “Biar saja. Nanti Rara bisa pesan apa pun di restoran ini.” Ia pun duduk di meja makan yang tersedia. Mengucapkan terima kasih terutama pada kopi yang disuguhkan Leony. Sementara itu … Rara menatap Leony dengan bengisnya. Akan ia mulai hitung cara membuat Leony kembali ketakutan karena intimidasinya. Harus!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN