[10] Raptor Marah

2095 Kata
Suny menatap Leony dengan pandangan aneh. Jelas, lah! Tadi saat di kafe es krim kesukaan cucunya, Leony bersama Tio terlibat pembicaraan khusus. Bukan Suny enggak ingin dengar, tapi kalau bahas masalah pekerjaan ia memilih mundur. Ia masih belum ingin mencampuri bisnis yang digeluti putra bungsunya itu. Ia hanya ingin ada di sisi Tio sebagai bentuk sandaran ternyata meski, ya ... Suny tahu, kadang dirinya kelewat batas. Harusnya ia sadar diri, Tio juga tertekan menghadapi semuanya. Satryo Cakra, tak menggemari hidup di belakang meja. Putranya serupa elang dengan sayap demikian lebar. Hobinya berpetualang. Jauh dan bebas. Sayangnya, kini sayap itu ia lipat rapi sekali. Sebagai seorang ibu yang tahu bagaimana putranya biasa bertumbuh, tak semestinya Suny menambah beban pikiran. Namun ... “Kamu sendirian, Ony? Tio mana?” Leony membenahi kacamatanya. Tersenyum lebar demi membuang semua hal yang mendadak bercokol di benaknya tadi. “Bapak pulang ke apartemen.” “Anak itu!” geram Suny kesal. “Ya sudah lah. Kamu makan sana. Tadi sempat makan enggak sama Tio?” Masih dengan senyuman, Leony mengangguk. Padahal kebohongan yang seharusnya tak Leony beri. Tapi mau bagaimana lagi kalau mood-nya dibuat hancur berantakan sama Raptor? Dulu Leony pikir, beban hidup terberatnya adalah saat sidang sarjananya. Di mana mulai dari penyusunan halaman depan skripshit sampai akhir segala tugas yang ada. Sampai rasanya Leony mau gila dan menyerah. Eh ... ternyata ada yang lebih sinting ketimbang sidang. Selain dunia kerja, juga menghadapi bos macam Tio si Raptor yang enggak tahu kenapa, buruk sekali peringainya sore ini. Padahal Leony sudah diam, enggak banyak bantah, enggak ada dumelan enggak terima, juga tampangnya ia buat semenyesal mungkin. Dia salah, kan? Kenapa malah meninggalkan pekerjaan yang jelas ditunggu dan diperlukan sang bos demi Naina. Tapi ini Naina, lho, ya! Bukan orang lain. Seharusnya Tio menyadari hal itu, kan? Tapi mengingat tingkah Tio yang bertindak semaunya, seenaknya, enggak pakai mikir, jadi untuk apa Leony bantah? Setelah ocehan panjang itu, mobil yang dikendarai Tio mengambil jalur yang berbeda dengan arah yang seharusnya. “Kita mau ke mana, Pak?” tanya Leony heran. Bukan enggak berani melirik ke arah pria yang ada di sampingnya, tapi ia sudah merasa bulu kudunya merinding, kok. Macam ia diberi tatapan berkekuatan ratusan juta volt. Siap membumihanguskan dirinya kalau berani menoleh. “Ke mana saja yang penting saya senang,” sahut Tio dengan ketusnya. Matanya melirik kesal pada Leony. “Terus nasib saya bagaimana, Pak?” Tio diam saja. Matanya sudah kembali mengarah pada jalan yang terpampang di depannya. Sesekali menekan klakson agak kuat dan memaki pengendara yang baginya seenak udel memacu kendaraannya. Satu harapnya; Leony menghentikannya. Tapi enggak. Leony malah diam saja memegangi sabuk pengamannya. Saat Tio melirik, kadang gadis itu terpejam dengan mulut komat kamit. Padahal laju kendaraannya enggak terlalu cepat, kok. Cuma memang agak ugal-ugalan, sih. Biar saja. Biar asistennya itu tahu kalau dirinya kesal. Apa susahnya mengatakan hal yang dipendam, sih? Gadis itu menghela lega, Tio juga tahu itu, saat mobil yang Tio kendarai memasuki area lobby apartemennya. “Besok jemput saya jam tujuh. Bawakan sarapan dan kopi. Apa yang saya minta juga harus kamu selesaikan malam ini juga.” Leony menelan ludah perlahan. “Baik, Pak.” “Awas sampai telat!” Ia pun melepas seat belt-nya. “Bawa pulang mobil saya. Pastikan jangan sampai ada yang lecet.” Leony mengangguk patuh. “Beri saya kemajuan pekerjaan kamu tiap jam.” Selain embusan napas yang tampaknya ditahan luapan emosinya, yang mana Tio pikir ia akan mendengar rentetan panjang suara Leony. Sayangnya yang menyapa telinganya sekali lagi hanyalah ucapan bernada patuh dan datar. “Iya, Pak.” Tio berdecak sebal jadinya. Ia lepas sabuk pengamannya agak kasar termasuk pintu mobilnya. Jangan harap ada salam perpisahan, yang ada Tio memberi tatapan kesal juga marah pada Leony. Kedataran wajah Leony serta sorot yang terhalang kacamata yang seringnya menunduk, sukses membuat Tio terpicu kegeramannya. Ia berjalan dengan mengentak memasuki apartemennya. Mengabaikan beberapa petugas yang menyapanya. Membiarkan Leony menyalakan mesin mobil dan derunya terdengar samar meninggalkan bangunan berlantai tiga puluh ini. Sementara di dalam mobil, Leony entah sudah berapa kali menghela panjang. Maunya, sih, teriak-teriak. Tapi percuma juga. Ia sudah lelah. Mungkin karena sejak tadi menahan diri agar enggak melontarkan ucapan yang bisa membuat Tio semakin marah. Diam adalah kunci. Meski ... ia putar audio mobil dalam volume yang enggak main-main. Kalau nanti dirinya terlibat urusan dengan polisi, anggap saja ia tengah membuang stres yang dimiliki. “Kak Ony!” pekik Naina sembari membawa boneka kesayangannya; Minnie Mouse. “Aku nungguin dari tadi. Daddy bilang, Kak Ony pulang ke sini.” Leony kembali memasang senyumnya yang palsu. Selain lelah berkendara melawan kemacetan Jakarta, ia juga masih belum puas bernyanyi macam orang gila di dalam mobil. Masih tersisa sedikit lagi rasa kesalnya tapi ternyata mobil yang ia kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar milik Tio ini. “Iya. Masih harus ngerjain PR.” Naina tertawa. “Kak Ony seperti pelajar saja. Ada PR-nya.” “Ayo, Ony sama Naina jangan kebanyakan ngobrol. Makan malam dulu. Baru lanjutkan bicaranya,” kata Suny menginterupsi. Di mana ia pun merangkul Leony seraya berbisik. “Ganti baju dulu dan basuh wajah kamu yang enggak bersahabat itu, Ony.” Leony jelas terkejut. Ia sampai menatap ibu dari bosnya itu dengan pandangan heran. Yang ia dapatkan sebuah senyum tipis teramat tulus. Juga bibir yang melirihkan ucapan, “Maafkan Tio, ya.” Ia ditinggalkan begitu saja karena sang nyonya besar mengurus cucunya. Meski begitu, di sisa kesadarannya yang masih tersisa, ia seret kakinya menuju kamarnya. Kamar tamu yang ia tempati terletak di bagian kanan rumah mewah ini. Di mana ia tinggalkan pekerjaannya siang tadi. Benar yang Suny katakan. Malah kalau perlu, sekalian ia mandi. Siapa tahu kekesalan yang ia pendam, luruh terbawa air yang membasahi seluruh tubuhnya. Setelahnya, ia bisa makan dengan perasaan yang jauh lebih baik. Tapi kalau ia mandi, nanti nyonya besar dan Naina menunggunya? Astaga! Ia di sini hanya tamu! Asisten sang bos yang mana seharusnya bekerja. Bukan malah menikmati apa yang ada di sini, kan? Harus sadar diri di mana ia tinggal sekarang. Ia percepat langkahnya. Begitu sampai di kamar, ia juga mengambil pakaian ganti dengan kecepatan kilat. Pun mandi. Yang penting bersih dan wangi. Etapi kalau mandi buru-buru memangnya bersih, ya? Biar, lah! Yang penting wajahnya terlihat jauh lebih segar dan apa yang mengganjal di hatinya, banyak berkurang. “Kak Ony, cepat jalannya!” Naina merengut. “Aku lapar tauk! Hampir saja aku susul Kak Ony. Tapi kata Oma tunggu sebentar lagi. “Kenapa enggak makan?” Leony jelas terkejut lah. Meski ia sudah mempercepat semua gerakannya di kamar, tetap saja butuh waktu kalau menunggunya kembali ke meja makan. “Naina enggak mau kalau enggak ada kamu. Katanya kapan lagi makan bersama.” Suny menggeleng heran tapi tersenyum juga. "Sudah. Kita makan dulu.” Leony tak tahu harus berekspresi seperti apa. Bukan karena ia tak pernah makan bersama dengan keluarganya. Tapi acara makan bersama di meja makan di mana lengkap semua sajian yang ada, sudah jarang sekali ia nikmati. Lebih dari itu, orang yang duduk di meja makan pun satu demi satu sibuk mengurus dirinya masing-masing. Meninggalkan Leony yang masih berjibaku dengan masa lalu yang mengurungnya. Karena sungguh, ia rindu sekali masa di mana dirinya bisa menatap satu demi satu keceriaan yang kini hilang. Berganti kesuraman yang entah kapan berakhir. *** “Kelar juga!” pekiknya seraya merenggangkan otot tubuhnya. Ada rasa lelah dan agak nyeri di bagian punggung tapi rasanya kalau sudah menyelesaikan satu pekerjaan, dirinya bisa tersenyum puas sekali. Apalagi matanya sekali lagi mengamati hasil pekerjaannya. Ia terbiasa memiliki dua salinan. Satu untuknya siapa tahu Tio menghilangkannya. Satu lagi yang ia beri pada sang bos. Alias arsip yang asli. Lalu yang paling utama, ia simpan di satu flashdisk khusus siapa tahu terjadi hal di luar kendalinya. Sebagai seorang asisten ia belajar mengenai data yang ia kategorinya beberapa jenis. Low, middle, high priority. Seperti berkas yang baru saja ia selesaikan laporannya. Senyumnya terkembang lebar di antara kesibukan tangannya merapikan tiap tumpukan yang tercecer. Satu demi satu ia susun kembali seperti sedia kala. Juga mengambil bagian yang ia rasa penting untuk menunjang hasil penelusurannya. Saat matanya tertumbuk pada benda pipih berwarna hitam miliknya, nama Tio muncul di layar. Leony mencibir. “Enggak sabar amat, ya. Padahal besok pagi juga aku kasih laporannya.” Tapi ia tak bisa mengabaikan panggilan itu begitu saja. Segera ia geser icon hijau di layar, pun mencari tempat yang nyaman baginya untuk bersandar. “Ya, Pak?” “Sudah selesai?” Leony memejam sejenak. “Sudah. Baru banget. Laporannya lima menit lagi saya kirim. Saya bereskan file-nya dulu. Bapak bisa cek besok dalam bentuk utuh.” “Oke.” “Ada lagi yang Bapak butuhkan?” “Enggak,” sahut Tio singkat. Leony merasa perubahan suara Tio malam ini. Ia pikir, nada sang Bos masih seperti saat meninggalkannya di dalam mobil. Ketus dan siap mengajaknya duel. Berhubung nada bicara sudah kembali normal dan ada sedikit keriangan di sana, Leony jadinya lega. Meski tadi dijawab dengan singkat, sih. “Selamat malam kalau begitu, Pak. Biar segera saya be─” “Besok kamu enggak usah ke kantor, Ony.” Leony jadi heran. “Kenapa memangnya, Pak?” “Pergunakan cuti yang saya beri besok.” “Ya?” Leony sampai menegakkan punggungnya, lho. Bukan apa. Ini sangat mengherankan untuknya. Belum pernah Tio beri cuti khusus untuknya secara pribadi. Mau cuti sehari sekadar menikmati kota Jakarta saja, enggak bisa. Kalaupun bisa, serius itu pun kalau bisa, Leony pasti sujud syukur. Sekalinya boleh, Tio malah mengekorinya. Walau sosoknya enggak ada di samping Leony, tapi kalau ponselnya dering terus di mana banyak pertanyaan dari Tio tentang pekerjaannya, apa namanya kalau cutinya digerecoki Tio? Meja kerjanya pindah ke kamar Leony? Atau ke kafe tempat ia menepi sejenak? “Ini sudah hampir jam satu malam dan kamu belum istirahat sejak tadi, kan?” Leony mengerucutkan bibirnya. Bergumam pelan yang mana ia tak terlalu peduli kalau Raptor mendengarnya. “Siapa yang minta diselesaikan malam ini juga? Macam enggak ada hari esok saja!” Di ujung sana, tawa Tio pecah. Yang mana dinikmati dalam khidmat oleh Leony. Yang tadinya juga ingin ia tambah dumelan yang ia rasakan, tapi mendengar gelak itu ada, jadinya mengubah sedikit suasana hati Leony. “Kalau keberatan harusnya kamu bilang, Ony.” “Saya bisa bicara mengenai keberatan?” “Kenapa enggak bisa?” tanya Tio masih ada sisa tawa di sana. “Saya takut mengganggu kenyamanan Bapak.” Leony berkata dengan senyum tipis, meski Tio enggak bisa melihatnya. Tapi setidaknya, kali ini ia bicara dengan jujur. Ia tak ingin terlalu terbuka mengenai protesnya. Seperti tadi yang ia alami. Padahal semua kata sudah tersusun rapi, tinggal terlontar karena memang dirinya tak tinggal diam. Bukan juga inginnya bermain di mall. Sama sekali enggak ada terpikir untuk bersantai-santai di tengah berkas yang ditunggu. Tapi kalau ia bicara yang mana membuat Tio terbeban, lebih baik ia bungkam. “Saya enggak merasa terganggu, Ony. Tell me how your feels. Mana saya tahu di mana letak keberatannya kamu kalau diam saja?” Leony mengatupkan bibirnya. “Enggak usah jemput saya. Kamu istirahat saja. Berkasnya segera kirim biar saya yang satukan semua bagiannya.” Tio berkata dengan nada ringan. “Dengar saya, kan?” “Iya, Pak.” “Besok pagi Mama pulang. Mungkin sekalian antar Naina sekolah. Kamu kalau mau bangun siang enggak jadi masalah.” Gadis itu tertawa pelan. “Macam rumah saya saja, ya, Pak.” “Memang di rumah kamu bisa bangun siang?” Agak lama Tio menunggu sahutan dari Leony yang mana tak ia dapatkan setelah jeda hampir dua menit. Membuatnya menghela pelan. “Sudah semakin larut, Ony. Segera tidur setelah menyelesaikan bagian akhirnya.” “Iya, Pak.” Tak lama berselang, ponsel itu pun kembali ke menu semula. Di mana sambungan telepon itu pun terputus. Menyisakan Leony yang menatap agak lama layar ponselnya. Di mana foto dirinya mengenakan seragam sekolah diapit kedua orang tuanya. Wajahnya dihias senyum lebar. Matanya belum mengakrabkan diri dengan kacamata berframe tebal. Alih-alih kacamata, Leony kenakan softlens berwarna kelabu yang pas bersanding dengan kulit wajahnya. Rambutnya lurus tergerai rapi di mana poninya ia buat jatuh di sisi kanan wajahnya. “Miss you, Dad,” katanya pelan. “Tapi benciku juga besar.” Ia mendongak sedikit, merasakan dinginnya suhu di ruangan ini. Pandangannya terinterupsi dengan masuknya satu pesan. [Bos Raptor : Perpanjang izin dinas kamu, Ony. Naina butuh guru belajar. Seminggu saja sampai pra-test semesternya selesai. Enggak bisa nolak karena pengajuannya sudah saya setujui. Pihak HRD sudah memberi info ke orang tua kamu meski seharusnya itu kamu yang beritahu. Tapi saya enggak yakin kamu cepat diberikan izin. Selamat berlibur esok, Ony.]
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN