Naina kalau bete itu memainkan ujung jemarinya di tepian meja. Enggak peduli kalau Tio berkali-kali melotot padanya. Terserah juga kalau Tio bilang dirinya enggak sopan. Hatinya kesal, lho! Kenapa juga makan siangnya harus di restoran seperti ini? Naina bukan lagi milih maunya di restoran mahal, makanan yang tersaji di depan matanya malah terlihat enak ketimbang bungkusan ayam tepung yang menggoda sejak kedatangannya tadi.
“Rawon dagingnya enak, kok, Nai,” kata Leony. Diusapnya pelan bahu bocah yang tampak enggak nyaman ini. “Kamu lapar, kan? Kak Ony sudah pesankan es krim buat penutup nanti.”
“Maunya ayam tepung.” Leony melengos. “Enggak mau makan kuah-kuah. Tadi di sekolah menunya soto ayam.”
Leony tersenyum tipis. “Udang goreng tepung mau?”
Agak lama Naina berpikir sebelum akhirnya mengangguk.
“Oke, Kak Ony pesankan, ya.” Sekali lagi, Leony mengusap rambut sang gadis penuh sayang. Berusaha bersabar karena mood Naina yang mendadak terjun bebas. Pasti karena ayam pesanannya tadi enggak jadi dimakan, makanya Naina merajuk. Padahal Leony pesan dalam jumlah yang agak banyak. Pikirnya, Naina pasti meminta camilan lebih. Juga enggak lupa mocca float serta mango yang mereka gemari, sudah tersedia untuk disantap.
Leony tak bisa menolak saat Tio memintanya ikut serta. Meski tak duduk bersama di satu meja di mana sang bos duduk berduaan dengan pacarnya, ehm ... Leony harus sebut si Rara itu pacar si bos, kah? Jadi benar, kan, kalau Tio memang ada janji temu di luar bersama orang lain? Sialnya, kenapa Leony bodoh sekali mencarikan pakaian yang menurut matanya pantas sekali memeluk tubuh sang pria.
Tuhan! Kalau saja bisa Leony merutuki kebodohannya sudah ia lakukan sejak tadi. Tapi mana bisa karena sejak pagi saat Tio datang, dirinya makin terkesima. Untung saja ia diselamatkan oleh poninya yang agak panjang. Jadi enggak kentara amat lagi memperhatikan bosnya. Meski staf lain semuanya memuji dan mengatakan keberuntungan akan posisi Leony, tapi kadang ia ingin membantah telak.
Kalau Raptor lagi anteng, enak banget dipandangi. Diam, fokus, serius, enggak banyak bicara, enggak banyak mau juga, dan yang paling menyenangkan untuk mata Leony; gantengnya tambah ribuan kali lipat. Ia akui itu dengan amat.
Tapi kalau Raptor berulah, rasanya ingin sekali Leony bertukar tempat dengan siapa pun yang mengatakan kalau ia termasuk beruntung menjadi asistennya Tio. Ada saja yang salah. Banyak betul ucapan Tio yang membuat kepala Leony mendadak pusing. Belum lagi kecepatan tangannya menulis dan merangkum segala macam inginnya Tio, harus pas. Enggak ada yang boleh salah.
“Mau ke mana kamu?” tanya Tio yang membuat Leony berjengit kaget. Kacamatanya dibenahi terlebih dahulu sembari membuang semua pemikirannya mengenai Tio. Tersenyum meski canggung, di mana ekor matanya mendapati sang lawan bicara alias pasangan kencan Tio kali ini, menatapnya dengan tatapan bermusuhan.
Tangan Leony jadinya terkepal kuat. Ada rasa takut yang merayapinya perlahan. Tatapan Rara masih bisa ia ingat sejak dulu. Enggak mudah dilupakan meski sudah berusaha ia singkirkan. Trauma masa lalu itu membekas kuat.
“Mau pesan udang goreng untuk Non Nai.” Leony sedikit menunduk. “Saya permisi.”
Tio hanya bisa pasrah melihat asistennya menjauh. Padahal rencana Tio yang sebenarnya adalah membawa dua orang yang terpisah meja dengannya, duduk bersama. Menikmati makan siang di Amaris karena menurut Tio, rawonnya juara. Walau banyak perdebatan yang pastinya akan terjadi, tapi Tio menikmati. Setidaknya gempuran rapat dengan komisaris dan temuannya yang terus mengusiknya, bisa mereda dengan adanya mereka berdua.
Apalagi Naina juga tampaknya nyaman berada di dekat Leony, kan?
“Mas, kamu enggak makan?” tanya Rara dengan lemah lembutnya. Tangannya juga menyentuh lengan Tio. Menggeser duduknya agar lebih dekat dengan sang pria. Tak peduli kalau ia jadikan tontonan banyak orang. Yang ia inginkan, Leony melihat ke arah mereka.
Beruntung banget, event yang ia kerjakan dua minggu ke depan ada di Jakarta. Ia juga tahu tempat kerja Tio lengkap dengan apartementnya. Jangan salahkan kemampuan Rara yang bisa mencari tahu mengenai bos tampan yang membuatnya tergila-gila ini. Baru kali ini dirinya merasa, ia ingin memiliki Tio. Lebih dari sekadar teman tidur. Apa karena ada Leony di sisi Tio? Yang mana baru ia tahu saat di Surabaya?
Enggak mau, ya, kalau Rara kalah saing sama gadis cupu itu. Enak saja.
“Iya.” Tio sedikit menepis tautan tangan mereka. “Kita makan dulu.”
“Mas ada meeting lagi?” Rara tersenyum penuh menawan.
“Ada.” Tio mengaduk pesanannya tanpa selera. “Kamu makan saja, Ra. Saya mau memastikan anak saya makan dulu.” Ia pun menggeser kursinya. Kedatangan wanita cantik juga seksi ini membuatnya mengerutkan kening. Kapan terakhir kali mereka berhubungan? Ia rasa saat hari terakhirnya di Surabaya. Setelahnya ia enggak pernah ada komunikasi lagi. Chatnya juga sudah ia hapus segala historynya.
Bagi Tio, pantang untuk menyimpan terlalu lama kontak wanita yang hanya menjadi penemannya sesaat.
“Lho, Mas?” Rara terperangah. Ia menatap Tio tak percaya. Di mana sebenarnya agak bingung juga saat mengikuti Tio makan siang, enggak peduli kalau Tio itu kebingungan karena kedatangannya, atau terpaksa mengajaknya makan siang bersama. Pokoknya Rara harus ikut ke mana pun Tio melangkah. Selama di Jakarta, ia bertekad membuat Tio bertekuk lutut padanya. Terserah caranya seperti apa. Lagian tubuhnya oke punya, kan? Enggak ada yang bisa menolaknya. Si pria berblazer navy yang tampak keren ini juga memuji semua gaya bercinta mereka.
Enggak mungkin dirinya mendapatkan penolakan, kan?
Yang membuatnya heran, bocah yang sejak awal kedatangannya menatap ia tak suka. Padahal Rara sudah berusaha bersikap ramah, lho. Walau kaget karena diperkenalkan sebagai anak dari Tio. Apa sebelumnya Tio sudah menikah? Atau haruskah ia bertanya pada Leony? Ah ... sepertinya itu ide yang bagus. Mungkin setelah makan siang kali ini, Rara jalankan misinya.
Mendapatkan banyak informasi mengenai Tio. Harus. Bahkan kalau perlu, menekan Leony untuk mengatakan semua hal mengenai sang pujaan hatinya ia rasa perlu. Lagian matanya Leony terlihat takut menatapnya, kan? Rara jadinya tersenyum puas mengikuti pikirannya. Ia pun tanpa tahu malu, membawa piring sajiannya. “Aku gabung di sini, ya?”
Leony yang baru akan duduk di posisi sebelumnya, mendadak mundur. Untung saya udang goreng tepung yang ia bawa biar Naina enggak terlalu cemberut lagi, enggak tumpah. Ia sampai berdecak pelan karena ulah si wanita aneh ini.
“Ups! Sorry. Enggak lihat ada kamu, Mbak.” Rara mengibas pelan. Tak mau mundur ke kursi lainnya. “Mbak, ambilkan piring Pak Tio, ya. Biar kami makan bersama.”
“Siapa yang nyuruh Tante Aneh ada di sini?” tanya Naina. Tangannya menopang dagu. Matanya enggak ada takut-takutnya menghadapi wanita yang menurutnya gila ini. Dari penampilannya saja sudah norak sekali. Dulu, satu-satunya orang yang ia musuhi adalah si Pirang. Tapi karena sudah lama tak bertemu, permusuhan itu menghilang begitu saja. Di mata Naina, Pirang ini meski rambutnya mencolok sekali dilihat, tapi enggak senorak wanita yang duduk di tengah mereka.
Fix! Naina punya musuh baru. Apalagi dia enggak sopan banget datang menyingkirkan Leony-nya.
“Aku mau makan bersama, kan?” Rara tersenyum lebar. “Kamu sukanya apa? Biar Tante ambilkan.”
“Aku sukanya Tante pergi dari sini.”
Rara mengerjap pelan tapi kemudian kembali menarik sudut bibirnya. Berusaha sabar. “Tapi Tante diminta menemani Pak Tio makan bersama kalian.”
“Daddy bilang begitu?” Naina menatap Tio dengan mata tajamnya. “Setahu aku, kita mau makan bertiga. Tante itu orang luar. Lagian enggak ada undangan untuk Tante.”
Rara masih tersenyum. “Mbak, kenapa malah bengong? Ambilkan piring Pak Tio.”
“Jangan nyuruh kak Ony!” Naina melotot. “Kak Ony bukan pesuruh. Ambil sendiri.”
“Sudah.” Tio menengahi. “Lanjutkan makan kalian.”
“Apa Daddy sengaja mengundang Tante Aneh ini?” Naina enggak akan menuruti Tio dengan mudahnya. “Kak Ony, duduk di samping Daddy.”
“Makan dulu, Nai. Tante ambilkan piring Daddy dulu.”
“Enggak usah, Ony. Kamu duduk saja. Lanjutkan makannya. Biar saya ambil piring sendiri.” Tio menggeser kursi untuk Leony. “Sini kamu. Makannya teruskan.”
“Baik, Pak.” Leony memilih menuruti saja. Matanya sendiri memberi isyarat agar Naina jangan banyak bersuara lagi. “Ini pesanan kamu, Nai.” Diangsurnya piring berisi udang goreng tepung yang masih hangat ini. “Makan, ya.”
“Iya, Kak.” Naina memaksakan senyumnya. Walau meja makan mereka cukup untuk empat orang, rasanya Naina enggak ingin bersama orang baru yang menurutnya bersikap enggak sopan. Berhubung Leony meladeninya dengan sangat sabar, mata Naina sedikit dilepaskan dari gerak gerik Tio. Enggak ada yang aneh, sih. Biasa saja. Setelah mengambil piring makannya, Tio duduk dengan santai dan makan dalam diam.
Meski kadang menanggapi ucapan si wanita Aneh yang duduk di sampingnya, tetap saja Naina tak suka. Sepertinya ia memang harus bersikap enggak sopan. Menghalau wanita centil yang mendekati daddy-nya harus kembali ia lakukan.
“Daddy nanti malam pulang jam berapa?”
“Seperti biasanya. Ada apa memangnya?” Tio menatap Naina dengan heran. “Tumben kamu tanya.”
“Aku tunggu Daddy pulang saja, ya.”
“Enggak capek? Kamu banyak tugas, kan?” Tio menggeser mangkuk berisi rawon pesanannya. “Cobain, kamu pasti suka.”
“Bosan, Daddy. Di sekolah menunya soto. Tadi aku bilang sama Kak Ony, makanya dia pesankan udang goreng. Coba kalau tadi jatuh?"
Tio tersenyum simpul. “Tapi enggak, kan?”
Naina mencebik. “Aku malas bicara sama Daddy. Aku sama Kak Ony saja.”
Tio tertawa. Matanya lantas memperhatikan gadis berkacamata yang makan dalam diam. “Apa yang kamu makan?” Pertanyaan Tio membuat sang gadis sepertinya kaget. Buktinya sampai sedikit tersedak. Segera Tio menggeser gelas minumnya. “Kenapa, sih, Ony? Makan saja segala tersedak? Enggak bisa pelan-pelan?” tanya Tio dengan raut tak suka.
Setelah membebaskan diri dari rasa yang mendadak menyiksa tenggorokannya, Leony ingin sekali menyanggah tapi tak bisa. Yang bisa ia katakan hanya, “Ikan bakar, sepertinya karena bumbu yang tadi masuk membuat saya tersedak.”
“Hati-hati bisa, kan?”
Leony hanya mengangguk saja.
“kamu mesti coba rawon di Amaris, Ony. Paling enak menurut saya.”
Sekali lagi anggukan Leony beri.
“Saya pesankan?”
“Enggak usah, Pak. Saya habiskan punya Non Nai saja. Sayang. Non enggak mau. Maunya hanya tumis brokoli dan udangnya saja.”
“Sudah enggak panas, kan? Apa mau saya minta panaskan bagian kamu?”
Leony menggeleng cepat. “Seperti ini saja cukup.”
“Daddy, nanti dessertnya aku mau banana split? Ada, kan?”
“Ada kayaknya.” Tio pun memanggil salah satu pelayan. Memastikan Naina memesan apa yang menjadi keinginannya. Sejak tadi, senyum Naina enggak ada. Mungkin karena perhatian Tio yang mendadak terbagi. Ia sendiri agak kebingungan karena kedatangan Rara. Tapi akan segera ia selesaikan setelah makan siang kali ini.
“Kamu enggak mau, Ony?”
“Sejak tadi aku perhatikan, kamu malah sibuk memperhatikan orang lain, Mas,” Rara protes. “Aku jauh-jauh datang dari Surabaya demi bertemu kamu. Yang aku dapat apa?”
Tio menoleh, lantas tersenyum tipis sekali. “Saya enggak minta bertemu kamu, kok. Kapan kita ada janji?”
Rara menggeram kesal. Ia pun meletakkan sendoknya dengan agak kasar.
“Tante Aneh sudah dengar, kan, Daddy aku bilang apa? Tante enggak dapat undangan makan di sini. Kalau memang mau bersama kami, enggak jadi masalah. Tapi jangan berkata enggak sopan sama Kak Ony. Bagus aku enggak nyuruh Daddy biar Tante Aneh minta maaf ke Kak Ony.” Naina melipat tangannya di d**a.
“Nai,” Leony turun bicara. “Selesaikan makannya. Nanti keburu datang es krimnya. Kita harus kembali ke kantor lebih cepat. Kak Ony banyak pekerjaan.”
Rara menggeram kesal. Ingin sekali meladeni gadis kecil sombong ini. Akan ia pastikan gadis itu menerima dirinya dan membantunya mendapatkan Tio. Lihat saja. Menghela napas panjang, ia pun tak peduli kalau nanti Tio bersikap dingin padanya. Ia hanya ingin menunjukkan kalau dirinya masih punya kepentingan dengan Tio. “Aku yakin kamu kangen sama aku, Mas.” Wanita itu pun mengecup pipi Tio tanpa permisi. Membuat sang pria terperanjat. “Iya, kan, Mas?”
Ia pastikan satu hal; Leony dan anak sombong itu melihatnya. Akan ia pastikan, Tio tak akan bisa berpaling darinya. Dan apa yang ia inginkan, terjadi. Sorot mata Leony mengarah padanya, lantas tak lama dialihkan begitu saja. Juga si bocah yang kini menatapnya dengan murka.
“Daddy payah banget cari pacar! Cacing unicorn seperti ini diajak kencan?! Payah!!!” Naina menggeser kursinya dengan segera. “Ayo, Kak Ony! Kita pulang!”
“Nai!” Leony terperangah. “Nanti dulu.”
Naina mana bisa dihentikan kalau sudah seperti ini. Yang ada langkahnya makin besar meninggalkan area restoran. Tak peduli kalau suara Tio juga ikut memanggilnya.
“Nai, tunggu Kakak!” Leony langsung menyambar tasnya. “Saya permisi, Pak.”
“Tunggu saya, Ony.”
Yang ada ... Rara ditinggalkan sendiri. Ia tak menyangka mendapatkan perlakuan seperti ini! Awas saja!