Syfo mengernyit heran saat mendengar lantunan musik klasik mengalun di seluruh penjuru Melody’s Cafe. Tadi saat dia baru masuk kafe, lagu yang sedang berputar adalah lagu-lagu hits tahun ini. Dan sekarang sudah berganti dengan alunan musik klasik yang terdengar begitu syahdu di telinga.
Sudah sekitar lima belas menit Syfo berada di kafe, tapi baik Melody maupun Lekha tidak ada yang bisa dihubungi. Dia butuh teman mengobrol saat ini, dan berharap salah satu dari dua orang itu ada di dekatnya sekarang. Mau pulang juga percuma. Dia sedang tidak ingin berada di tempat yang sudah nyaris tidak layak disebut rumah sebagai tempat pulang itu.
Tiba-tiba ada piring ceper kecil berisi cheese cake menggoda selera mendarat di atas mejanya. Syfo menoleh ke tempat cheese cake itu berasal. Seorang pemuda yang tak asing tapi tidak pernah disapanya sedang berdiri sambil menyunggingkan senyum manis. Dia adalah Sagara, laki-laki yang selama ini memerhatikan Syfo dalam diam.
“Apa ini?” tanya Syfo heran.
“Cheese cake,” jawab Sagara sambil tersenyum canggung. Dia mengumpulkan keberanian untuk bisa menghadapi Syfo secara empat mata seperti ini.
“Ya, tahu itu cheese cake. Tapi maksudnya apa?”
“Untuk Tante Syfo.”
Syfo tertawa renyah. “Gula darah saya tinggi. Kamu mau bikin saya kolaps ngasih yang manis-manis gini?”
Sagara melotot. Dia segera mengambil piring ceper yang tadi disodorkannya ke depan Syfo. “Maaf...aku benar-benar nggak tahu soal itu,” sesalnya.
“Loh, kok, diambil lagi?”
“Katanya tadi-”
“Saya cuma bercanda. Nanti tagihannya saya bayar kalau sudah mau pulang saja ya.”
“Serius nggak apa-apa?” tanya Sagara meyakinkan.
Syfo mengangguk yakin sambil menyodorkan tangan untuk meminta kembali piring berisi cheese cake tersebut. Akhirnya Sagara menyerahkan piring pada Syfo.
“Eh, tapi nggak usah dibayar juga, sih...”
“Bener nggak minta bayaran? Nanti kasir kamu nggak balance kena omel Melo.”
“Nggak kok.”
Terima kasih ya, Ga,” ucap Syfo lalu menyendokkan cheese cake ke mulutnya. “Emmhh...enak. Siapa yang bikin?” serunya, sambil menikmati rasa cheese cake di mulutnya.
Sagara menunjuk kursi yang masih berada di bawah meja. Mengerti maksud Sagara, Syfo mengangguk sambil tersenyum.
Setelah mendapat izin dari Syfo, Sagara menarik kursi di hadapan Syfo lalu mendudukinya. “Resepnya Jinan. Tante Melo nyoba bikin nggak bisa-bisa. Aku sekali bikin langsung bisa,” ujar Sagara terkikik kemudian.
“Dia kalau bikin kue, kan, pakek emosi, nggak pakek hati.”
“Bener banget. Kalau nggak bisa ngamuk,” balas Sagara.
Syfo ikut menahan tawa setelahnya. “Itu bener banget. Eh...tapi Ini kita kenapa jadi gibahin Melo?” sadar Syfo, setelah menghabiskan separuh dari potongan yang dibawakan oleh Sagara sambil membicarakan hal lucu tentang adiknya.
“Orangnya nggak ada, jadi enak-enak aja digibahin,” canda Sagara.
“Melo udah jarang banget ya, ke sini?”
“Jarang banget akhir-akhir ini. Malah urusan rekrut karyawan dan urusan yang berhubungan sama karyawan diserahkan semuanya sama aku.”
“Kira-kira Melo ke mana ya, Ga?”
Sagara menggeleng diiringi senyum yang mampu menarik simpati Syfo. Padahal dia tidak pernah menegur pemuda ini sebelumnya selain untuk urusan pemesanan minuman. Dan kini tiba-tiba Sagara hadir seolah menawarkan sebuah kenyamanan. Mengerti Sagara seenak ini kalau diajak mengobrol, Syfo sudah mengajaknya mengobrol setiap kali ke sini tapi tidak bisa menemui Melody.
“Ini siapa yang nyetel musik klasik gini?” tanya Syfo menyampaikan rasa penasarannya selama ini.
“Aku. Tante suka?”
Syfo mengangguk. “Masa anak muda seperti kamu suka musik klasik? Kalau anak muda yang suka musik klasik kebanyakan hanya untuk kepentingan tertentu aja, seperti untuk mendalami ilmu salah satu alat musik yang biasa dipakai kelompok orkestra.”
“Aku suka musik klasik dan juga suka memainkan salah satu alat musik dalam kelompok orkestra.”
“Oh, ya?” tanya Syfo tidak yakin. “Alat musik apa yang bisa kamu mainkan?”
“Biola dan keyboard.”
“Wow, hebat,” jawab Syfo sambil bertepuk tangan kecil.
“Sayangnya di sini nggak ada panggung life music. Kalau ada mungkin aku pilih jadi pemain biola di kafe ini aja, berhenti jadi barista.”
Syfo tertawa mendengar kelakar yang disampaikan oleh Sagara. “Tapi harus melalui audisi dong,” celetuk Syfo.
“Nanti Tante Syfo bagian audisinya,” canda Sagara.
Syfo tersenyum mendengarnya. “Kamu bisa aja,” balasnya.
“Tante mau dengar permainan biolaku? Nggak sejago pemain biola profesional, sih, tapi juga nggak seburuk pemain biola baru belajar kemarin lusa.”
Lagi-lagi engan mudahnya Syfo tertawa mendengar ucapan bernada bercanda yang disampaikan oleh Sagara. “Coba mana saya pengen dengar kehebatan kamu dalam memainkan biola,” tantang Syfo.
“Wait!” ujar Sagara, beranjak dari kursi kemudian berlari kecil masuk ke dalam ruang khusus karyawan.
Tidak sampai lima menit kemudian Sagara kembali ke meja Syfo sambil membawa ponselnya. Dia mengutak atik ponsel tersebut lalu menyodorkannya ke depan Syfo. Sebuah lagu yang sedang digemari banyak orang tapi versi biola mengalun dari ponsel Sagara. Syfo larut dalam permainan biola selama tiga menit tersebut.
“Gimana?” tanya Sagara.
“Not bad.”
“Udah pantes ngiringin orkestranya Erwin Gutawa, nggak?”
“Pantes banget. Sana buruan daftar trus berhenti jadi barista.”
Detik berikutnya keduanya larut dalam obrolan seputar musik klasik yang menyenangkan. Hingga tiba waktunya Syfo pulang, Sagara mengantarkan wanita itu hingga ke mobilnya. Bahkan menunggu sampai mobil Syfo menghilang dari pandangannya, baru Sagara kembali masuk kafe.
***
“Damn!” umpat Aries saat baru saja masuk kamar. “Kenapa juga seminarnya mesti sampai weekend,” omelnya sambil menggeleng seolah sedang tidak habis pikir pada apa yang baru saja dikeluhkannya.
Raut wajah Syfo berubah jengah melihat suaminya pulang kantor dengan suasana hati berantakan seperti itu. “Kenapa, Ris?” tanyanya.
“Kerja saat weekend udah kayak ikut kompeni aja,” gerutunya, melepas dasinya secara kasar setelah sebelumnya melempar jasnya ke sembarang arah. “Bikin tambah stress aja.”
Syfo berdiri, memunguti benda-benda yang dilempar oleh Aries lalu meletakkan di keranjang pakaian kotor. Sebenarnya dia sudah tahu penyebab suaminya itu muring-muring saat pulang kantor. Namun Syfo ingin mendengar sendiri alasannya dari Aries.
Aries menghela napas lalu menatap muak pada Syfo. “Abang kamu itu niat bantu apa niat ngejatuhin, sih? Kadang aku nggak habis pikir sama setiap keputusan yang diambil sama orang itu. Sebenarnya dia itu nganggap aku bagian dari perusahaan atau bukan, sih?” ucapnya sarkas.
Syfo menatap Aries tak percaya, suaminya akan berkata sekasar itu tentang abang ipar yang sudah banyak membantu kariernya. “Kita akan terus kayak gini, ya, sampai kamu puas ngatain abang aku?” ucap Syfo dengan nada bicara naik satu oktaf dari biasanya.
“Iya?! Kita akan terus gini selama kamu nggak menurunkan sedikit aja ego kamu untuk membantuku. Bukannya terus membela abang kamu itu, lalu semakin membuatku terpuruk!” balas Aries dengan suara tak kalah tinggi, sambil menunjuk wajah Syfo dan menunjuk ke sembarang arah.
Syfo melotot. “Aku yang harus menurunkan egoku? Bagian mana dari sikapku yang membuat kamu terpuruk, Eris?”
Aries membuang wajah saat melihat Syfo sedang menatapnya dengan wajah tidak terima.
“Aku bahkan sudah nggak ngerti lagi gimana caranya menarik kamu kembali seperti yang dulu lagi. Kamu berubah, Ris... sadar nggak? Kamu kayak bukan Eris yang selama ini aku kenal. Aku kayak menghadapi orang asing selama beberapa tahun terakhir. Lebih tepatnya seperti orang yang jiwanya sedang dimasuki oleh ibliss.”
“DAMN?! Maksud kamu, aku kayak ibliss?” bentak Aries tidak terima. Sebuah tamparan mendarat dengan mulus di pipi kiri Syfo. Napas Aries naik turun setelah mendaratkan tamparan itu.
“Aku bilang seperti orang yang jiwanya sedang dimasuki oleh ibliss. Bukan kamu yang seperti ibliss, Eris. Tolong bedakan?!”
Aries kembali mengumpat dan memukul Syfo, karena merasa istrinya sedang berusaha melawannya. Kemudian dia sadar kalau perbuatannya itu bukannya menemukan solusi malah semakin memperburuk suasana hatinya dan tentunya menyakiti Syfo. Dia menarik napas panjang, mengembuskannya secara perlahan, mencoba mengendalikan emosinya supaya tidak semakin terpancing.
Dalam hitungan detik Aries akhirnya berkata, “iya sudah, aku minta maaf kalau sudah salah paham,” ucapnya tenang, seolah tidak baru saja menyakiti Syfo.
Syfo tercengang menatap Aries tidak percaya. “Bisa-bisanya kamu membuat kata maaf menjadi tidak ada maknanya lagi. Seharusnya di balik kata maaf itu, ada janji untuk menjadi lebih baik dan nggak mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.”
“Iya, aku minta maaf, Syfo. Lalu aku harus bagaimana untuk mendapat maaf dari kamu? Sujud di kaki kamu? Mencium punggung kaki kamu? Itu yang kamu mau?” cecar Aries, mulai terpancing lagi emosinya.
Syfo tidak menanggapi lagi. Dia beranjak dari ranjang lalu memilih keluar kamar. Dia harus segera mengompres wajah bekas tamparan Aries tadi dengan air dingin sebelum membekas lalu menimbulkan bengkak.
“Aku nggak minta kamu melakukan itu, Ris. Aku cuma ingin kamu kembali menjadi Aries Hananta Syahrier yang mencintaiku dengan tulus serta memperlakukanku dengan baik.”
“Aku tetap Aries yang dulu, Fo. Kamunya yang terlalu berlebihan sampai menganggap kalau aku berubah.”
Syfo menggelengkan kepalanya. Bahkan di saat tersudutnya seperti ini, Aries masih saja membela diri. “Mungkin kamu nggak merasa. Tapi aku ngerasa kalau kamu berubah sudah sejak lama. Kamu aja yang nggak nyadar,” jawab Syfo buru-buru balik badan menghadap pada pintu kamar yang tadi ada di belakangnya.
Aries melangkah lebar menuju ke tempat Syfo. Dia memeluk Syfo dari belakang. “Maaf,” ucapnya lirih. “Kali ini aku benar-benar minta maaf. Aku akan melakukan apa saja demi mendapatkan maaf dari kamu, sweetheart,” sambungnya, sambil mengecup puncak kepala Syfo.
Syfo mengusap lengan kokoh Aries yang tengah melingkari tubuhnya. Aries membenamkan dagunya di puncak kepala Syfo, berharap perbuatannya ini bisa meredam emosinya dan juga emosi Syfo. Namun sedetik kemudian Syfo menarik napas panjang lalu melepaskan diri dari Aries. Tanpa menoleh dia membuka pintu kamar, keluar tanpa sempat menutupnya kembali dan membiarkan Aries yang masih terpaku di tempatnya tadi memeluk Syfo.
***
Keesokan paginya Syfo mematut refleksi wajahnya di cermin wastafel kamar mandi. “Sial! telat ngompres kayaknya, nih. Mana mau ketemuan sama Lekha,” gerutunya, sambil menyentuh pipinya yang mulai membengkak.
Harusnya dia tidak melawan semalam. Namun kata-kata Aries semalam sudah melewati batas kesabarannya. Selama ini Syfo masih bisa terima perbuatan buruk Aries padanya sekalipun suaminya itu mencaci maki bahkan memukulnya. Namun ketika pria itu mulai membicarakan hal-hal buruk mengenai Luthfi, hal itu yang tidak bisa diterima oleh Syfo.
Setelah berkutat dengan peralatan make up yang dimilikinya, akhirnya Syfo bisa sedikit menutupi lebam di wajahnya. Sementara dia sibuk menutup bekas pukulan Aries, pria itu dengan tak acuhnya bersikap seolah tidak terjadi apa-apa antara mereka semalam.
Syfo menggeleng tidak habis pikir. Dia memilih segera sarapan lalu bergegas berangkat ke kantor setelah menyiapkan sarapan untuk Aries dan basa basi berpamitan pada pria itu. Sebesar apa pun keributan yang terjadi dalam rumah tangga mereka, Syfo tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai seorang istri. Hal itulah yang membuat Syfo merasa heran apa alasan Aries sikapnya jadi berubah seburuk sekarang? Pasti ada yang salah dalam rumah tangga mereka? Sayangnya salah satu dari mereka tidak ada yang mau sedikit menurunkan ego untuk mencari tahu hal yang salah itu, lalu memperbaikinya bersama-sama. Mereka berdua lebih memilih membiarkan persoalan itu berlarut-larut hingga berujung saling menyakiti fisik dan juga hati masing-masing.
~~~
^vee^