-----
Vallery Pov
-----
Aku menatap wajah Brian dengan mata yang berkaca-kaca, tanpa diduga Brian segera memeluk ku hingga tubuhku jatuh menindih dadanya yang bidang. Deburan nafasnya yang memburu menjalar di puncak kepalaku, dan tubuhnya terasa hangat di setiap permukaan kulitku. Aku memejamkan mata merasakan kedua lengannya yang memeluk ku begitu erat.
"Liza maafkan aku, jangan tinggalkan aku." Tubuhku menegang mendengar perkataan Brian, hatiku terasa tersambar oleh petir mendengar Brian mengucapkan nama wanita yang tidak aku kenal namun entah mengapa efeknya membuat seluruh hatiku terasa hancur. Tanpa ku sadari, air mata menjatuhi pipiku yang menyentuh d**a Brian. Aku mendorong Brian dan bangkit, aku menatapnya dan ia pun menatap ku dengan tatapan terkejut.
"Va-Vallery ... ?" ucap nya terbata-bata. Aku menyeka air mataku dengan kasar lalu pergi dari hadapannya.
Aku menuruni tangga mansion miliknya dan berlari menuju mobil ku. Aku mengemudikan mobil ku dengan sangat cepat, ku sadari saat ini air mata berjatuhan membasahi celana jeans yang ku kenakan.
Ada apa dengan mu, Vallery? Kenapa kau menangisinya?
Aku menepi ke sisi jalan, tak jauh dari sebelah kanan ku, aku mendengar deburan ombak dari pantai Los Angeles. Aku mencoba menenangkan hatiku yang terasa sakit tanpa ku tahui apa penyebabnya.
Aku segera menelpon Ruberta dan memerintahkannya untuk membawa beberapa botol vodka yang ada di apartement ku. Tak lama berselang, Ruberta datang menggunakan taksi. Ia berjalan menghampiri ku yang masih berada di dalam mobil. Ia mengetuk pintu kaca mobil ku dan aku pun keluar. Aku berjalan menuju kap mobil ku tanpa menghiraukan kehadirannya.
"Ini pesanan mu," ucapnya seraya menyodorkan sebotol vodka padaku.
"Apa yang sedang terjadi dengan mu, Vallery? Matamu tampak bengkak." Aku menenggak vodka yang ada di genggaman tanganku, menatap jalanan di hadapan ku yang sepi dan mendengarkan deburan ombak.
"Entahlah, aku merasa ada yang aneh dengan diriku," jawab ku dengan jujur.
"Kau merindukan seseorang?" Tanyanya seraya menyandarkan pinggangnya di samping ku.
"No," jawab ku datar.
"Kau mempunyai masalah?" Tanyanya kembali membuat ku berpikir.
"I don't know," balas ku ragu mengingat bagaimana kejadian tadi.
"Kau, menangisi seorang pria?" Tanyanya hati-hati dan itu membuat ku menegang.
Dengan perlahan aku menoleh ke arahnya, dan tanpa diduga-duga air mata kembali melolos turun melewati pipiku saat aku menatap Ruberta. Ruberta terkejut seraya menutup mulut dengan kedua tangannya dan itu membuat ku kembali menangis terisak-isak.
Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan ku, aku hanya tidak suka mendengar Brian mengatakan kalimat itu padaku ketika aku berada di dalam pelukannya, aku merasa seolah-olah aku tidak diinginkan, aku tidak suka saat Brian menganggap ku sebagai wanita lain yang mungkin begitu berarti baginya.
"Siapa yang kau tangisi? Mengapa kau menangisinya?" tanyanya seraya memeluk ku, menenangkan ku dengan usapan tangannya di punggungku.
"Entahlah, aku tidak tahu, aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi padaku saat ini, aku tidak mengerti mengapa aku menangis," kata ku di sela-sela tangisan ku.
"Ceritakan apa yang terjadi," pintanya seraya melepas pelukan kami lalu menatap wajahku dan setelahnya mengalirlah cerita itu. Ruberta diam menatap ku setelah selesai bercerita. Tatapannya seolah menusuk mataku. Sebuah pernyataan yang keluar dari mulutnya membuat tubuhku kembali menegang.
"Kau mencintainya." Ucapan itu terngiang-ngiang di kepalaku hingga beberapa detik lamanya.
Tidak, tidak mungkin. Aku baru bertemu dengannya kemarin malam, bagaimana mungkin aku mencintainya?
"Itu tidak mungkin, Ruberta."
"Why?" Ia menatap ku dengan kesal.
"Aku mengenalnya kemarin malam, bagaimana mungkin aku sudah mencintainya?" tanya ku seraya mendnegus.
"Cinta sama sekali tidak memandang waktu, Vallery." Ungkapnya mencoba meyakinkan ku bahwa aku mencintai Brian tapi hal itu aku tepis jauh-jauh.
"Kau berpikir terlalu jauh, Ruberta," sergah ku mencoba menghilangkan pernyataan Ruberta bahwa aku mencintai Brian.
"Kau-" perkataan ku terpotong saat seorang pria memanggil namaku.
"Vallery." Aku merasa familiar dengan suara itu, aku menoleh dan menatap seorang pria yang tak jauh dari ku dengan nafas yang memburu. Tubuhku terasa begitu kaku melihat pria yang kini ada di hadapan ku
Jack?
Jack menghampiri ku dan tanpa permisi ia memeluk ku. Aku segera mendorong tubuhnya, ia menatap ku seolah-olah aku adalah mangsanya. Seketika ia menggenggam tangan kanan ku dan dengan cepat aku menghentakkan tanggannya.
PLAKK!!
Tanpa pikir panjang aku menamparnya. Dia adalah mantanku yang pernah mencampakkan ku dua tahun yang lalu kemudian menikah dengan seorang wanita yang dipilihkan oleh ayahnya.
"Jangan pernah menyentuh ku lagi, b******k!"
Ia mendongak dan menatap wajahku. "Vallery aku minta maaf."
"Sekalipun kau mencium kakiku, aku tidak akan pernah memaafkan mu!" bentak ku dengan nafas memburu, hatiku terasa begitu sesak, seolah ada sebuah batu yang menghimpit dadaku saat ini.
"Aku tidak yakin" tiba-tiba Jack hendak berlutut di hadapan ku dan aku menyadari apa yang akan ia lakukan, mencium kakiku. Dengan cepat aku menendang wajahnya hingga membuat tubuh Jack terhuyung ke belakang. Aku benar-benar tidak ingin melihat wajahnya lagi.
"Sayangnya aku tidak pernah ragu dengan apa yang ku ucapkan!" kata ku dengan sinis lalu memasuki mobil diikuti dengan Ruberta yang duduk di kursi penumpang.
Aku melajukan mobil ku dengan kecepatan tinggi meninggalkan Jack di jalanan itu. Nasib ku terasa benar-benar sial hari ini. Aku memukul stir dengan keras dan itu membuat Ruberta terkejut.
"Oh, God! Tolong tenanglah, Vallery. Kau sedang menyetir!" ujar Ruberta menenangkan ku, ia tahu saat ini emosi ku sedang tidak stabil, mungkin ia tidak ingin terjadi hal yang tidak-tidak.
"Sepertinya kau lupa bahwa aku adalah seorang pembalap," ucap ku dengan tenang, masih melajukan mobil ku dengan kecepatan tinggi. Bisa ku lihat Ruberta memutar bola matanya.
"Balap liar, bukan balap resmi di lintasan," ucap Ruberta mengingatkan bahwa selama ini aku bukanlah pembalap legal.
"Whatever, intinya aku selalu begini jika sedang emosi." aku tidak mau kalah. Ruberta menghela nafasnya lalu memijat keningnya, ia selalu putus asa jika memberitahu ku tentang apa yang benar dan apa yang salah dan aku tidak peduli.
-----
Brian Pov
-----
"Untuk saat ini tidak memungkinkan, Brian. Pasang sabuk pengaman mu." Aku terkejut saat Vallery mengatakan hal itu.
Apa aku akan menemaninya balapan? No, itu tidak mungkin! Mungkin aku sering membawa mobil ku dengan kecepatan tinggi, tapi di saat itu aku sebagai pengemudi, bukan sebagai penumpang, jika aku sebagai penumpang, aku tidak bisa membayangkan kenangan itu berputar lagi di otakku.
Aku ingin membuka pintu mobil ini tapi tidak bisa, aku menoleh ke arah Vallery, ia menatap jalanan yang ada di hadapan kami.
Oh, s**t!
Mau tidak mau aku harus memasang sabuk pengaman. Setelah memasang sabuk pengaman tiba-tiba mobil melaju dengan sangat cepat.
Tidak, tidak! Teriak ku dalam hati seraya menatap jalanan yang ada di hadapan ku, aku meremas kedua sisi jok yang ku duduki dan ingatan itu kembali datang.
-----
Flashback On
Dua tahun yang lalu ...
"Lihatlah, Brian. Aku bisa mengemudikan mobil ku dengan kecepatan tinggi!" ucap wanita yang berada di samping Brian.
"Pelankan lajunya, aku tidak suka melihat kau kebut-kebutan seperti ini," ucap Brian panik.
Wanita itu memutar bola matanya. "Oh, come on, Brian. Ini sangat menyenagkan!"
"Liza, aku mohon pelankan mobilnya." Brian mencoba bersabar.
"No." Tiba-tiba Liza semakin menginjak gas dan mobil melaju semakin cepat.
"Liza apa yang kau lakukan?!" Brian terlihat marah, panik dan juga khawatir.
"Aku bisa mengatasinya, Brian," jawab Liza dengan tenang.
Saat di simpang jalan Liza tidak menghiraukan lampu merah yang menyala, tiba-tiba sebuah cahaya lampu begitu menyilaukan Liza dan Brian dari arah kiri, keduanya menoleh.
"Liza!" teriak Brian dan seketika itu ia sudah tidak sadarkan diri.
Flashback Off
-----
Aku membuka mataku namun pandangan mataku begitu buyar, aku merintih saat merasakan kepalaku benar-benar pusing. Tiba-tiba aku merasakan tangan seseorang menggenggam tanganku.
Liza?
Aku segera menarik tangan Liza dan memeluk tubuhnya, berharap semua yang ku lihat tadi hanyalah mimpi, aku tidak ingin kehilangan Liza, aku akan merasa hampa jika harus berpisah dengan wanita yang sangat aku cintai saat ini.
"Liza maafkan aku, jangan tinggalkan aku." Tiba-tiba Liza melepaskan pelukan ku, saat aku hendak bertanya mengapa, aku terkejut melihat wanita lain, dia bukanlah Liza. Sedetik kemudian aku mulai sadar, wanita itu adalah Vallery, wanita yang kemarin malam membuat ku merasakan hal yang dulu ku rasakan kepada Liza.
Aku melihat Vallery menagis dan entah mengapa itu membuat hatiku terasa sangat sakit "Va-Vallery?" Vallery menyeka air matanya dan bangkit dari sisi ku lalu berjalan keluar dari kamar dan saat itu juga aku merasa seolah ada yang hilang dari hatiku, entah mengapa aku tidak ingin ia pergi.
"Siapa dia?" aku terkejut mendengar suara seorang pria, aku menoleh dan mendapati adikku tengah menatap ku dengan tatapan ingin tahu.
"Bukan urusan mu," ucapku membuang muka.
"Siapa pun dia tapi kau menyakiti perasaannya." Aku terkejut mendengar perkataan Vinic. Aku kembali menoleh kepadanya dan menaikkan alis kanan ku. Aku tidak mengerti.
"Maksud mu?" tanya ku benar-benar bingung.
"Kau menyebut nama Liza saat ia ada di pelukan mu, bahkan sebelum kau sadar aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa ia mencemaskan mu." Aku terdiam mendengar perkataan Vinic.
Apakah aku menyakiti mu, Vallery?
"Oh, lupakan perasaan bersalah mu jika dia adalah salah satu jalang mu, aku tahu kau tidak terlalu peduli dengan perasaan jalang-jalang itu terhadap mu."
Aku marah mendengar Vinic mengatakan bahwa Vallery adalah seorang jalang. Belum sempat aku memakinya, ia telah berlalu dan pergi meninggalkan ku di dalam kamarku. Aku mencoba bangun dan duduk di atas tempat tidur ku, menyandarkan punggungku di ujung tempat tidur. Pikiran ku kembali mengingat saat Vallery pergi, aku ingat bagaimana raut wajah Vallery saat itu. Ia menangis.
Apa kau merasa sakit hati saat aku menyebut nama Liza? Jika memang seperti itu, kenapa kau sakit hati? Apa itu tandanya kau ...